“Demikianlah”: Kegaduhan
Berbahasa
Ungkapan yang
terasa tidak sedap, “Kegaduhan Berbahasa” yang menjuduli artikel ini
sesungguhnya terlahir dari sebuah
insiden kecil dalam pertemuan pastoral
post-Natal tingkat Keuskupan Ruteng awal tahun 2016 ini. Sebagai pertemuan pastoral, kegiatan seperti
ini dinilai amat strategis baik itu terkait peserta pertemuan maupun masalah
dan isu aktual yang dibahas. Peserta pertemuan pastoral post-Natal ini adalah
para agen pastoral seperti uskup, para imam baik yang berkarya di paroki maupun
yang berkarya pada berbagai pelayanan kategorial, komunitas biara, dan utusan
Dewan Pelaksana Pastoral (DPP) dari semua paroki di keuskupan Ruteng. Isu pokok
yang diangkat merujuk pada isu gereja universal yaitu masalah Kerahiman
Allah. Tema sentral kerahiman Allah ini,
dalam konteks gereja lokal dipertalikan dengan proses implementasi hasil Sinode
keuskupan Ruteng.
Sinode
III Keuskupan Ruteng (2013—2015) telah
menetapkan arah dasar pelayanan pastoralnya dalam rumusan: Persekutuan Umat
Allah Keuskupan Ruteng yang Beriman Solid (utuh), mandiri (dinamis) dan solider
(transformatif). Rumusan ini tampak dalam berbagai dokumen hasil sinode yang
selanjutnya akan diimplementasikan secara bertahap sebagai langkah strategis dalam
lingkaran masa 10 tahun dengan fokus yang berbeda. Tahun 2016, ditetapkan
sebagai tahun pertama implementasi sinode dengan fokus pada kehidupan Liturgi
dengan tema pokok “Liturgi sebagai Sumber Kerahiman Ilahi”. Terkait dengan
Liturgi, tampaknya ada perubahan rumusan bahasa dalam teks-teks ibadah dan
perayaan karena harus disesuaikan dengan tuntutan liturgi yang berlaku dari
Roma. Perubahan rumusan itulah yang melahirkan insiden berupa kegaduhan saat
peserta sidang pastoral disuguhi satu rumusan yang tidak lazim. Rumusan tanpa
kata ‘demikianlah’.
Tulisan
ini tidak bermaksud mengubah apalagi melawan rumusan yang dikehendaki Roma.
Tentu semua ingat prinsip klasik ini,"Rome
has spoken; the cause is finished" atau dalam bahasa Latin, "Roma locuta, causa finita est". Prinsip ini bermuatan pesan
autoritas dan harus dipatuhi. Hal yang sama tampaknya berlaku dalam perkara
pemilihan kata untuk teks-teks ibadah dalam liturgi. Rasa bahasa menurut rasa
orang Roma harus menjadi rujukan, tanpa mempersoalkan apakah pilihan dan
pemakaian kata itu cocok, pas dengan rasa bahasa masyarakat di mana ibadah dan
perayaan itu dilangsungkan. Dalam perkara ibadah, tampaknya hukum dan afirmasi
akan kesetaraaan dan keunikan setiap bahasa harus dikuburkan. Gagasan tentang
inkulturasi termasuk unsur bahasanya tampaknya harus dipertanyakan untuk
dilanjutkan kalau bahasa dipandang hanya sebagai unsur elementer. Mungkin umat
yang hidup pra-Konsili Vatikan II akan lebih menerima kalau kembali beribadah
dan teks ibadah berbahasa Latin jika memang dasar bahasa ibadah itu menginduk
pada bahasa Latin.
Kegaduhan berbahasa dalam momen sidang
pastoral keuskupan Ruteng, terkait penghapusan, penghilangan kata “demikianlah”
dari semua teks ibadah terutama untuk mengakhiri pembacaan teks kitab suci baik
injil maupun teks kitab suci lainnya. Penghapusan kata itu menuai berbagai
tanggapan para peserta sidang. Jawaban
pegawang liturgi singkat saja dan
cenderung normatif, “Ini sudah ditetapkan dalam sidang KWI dan sesuai dengan
keinginan Roma”. Untuk mengakhiri pembacaan teks kitab suci dan injil, rumusan
“Demikianlah Sabda Tuhan” yang selama ini dipakai harus diubah menjadi “Sabda
Tuhan”. Itu artinya, ada proyek raksasa
lagi untuk pencetakan buku ibadah yang baru hanya untuk menghilangkan kata
“demikianlah”. Ini persis sejajar dengan yang terjadi dalam dunia pendidikan di
Indonesia beberapa waktu silam ketika nama SMA diganti menjadi SMU, SMP menjadi
SLTP. Miliaran rupiah harus dibuang untuk mengganti satu huruf baik berkaitan
dengan buku pelajaran maupun pembuatan stempel sekolah di seluruh Indonesia.
Untuk buku-buku ibadah dalam gereja Indonesia tentu bisa menghabiskan miliaran
rupiah juga.
Itu
kalau kita berbicara tentang proyek pencetakan buku-buku untuk menghilangkan
kata ‘demikianlah’ tentu percetakan mendapatkan rezeki berlimpah. Kalkulasi
ekonomis memang hanyalah sentilan sampingan tetapi yang paling penting
sesungguhnya terkait penggunaan bahasa dalam ibadah dan buku-buku ibadah.
Ketika kegaduhan berbahasa ini muncul, beberapa teman imam mempertanyakan itu
kepada kami. Kami ditanya bukan dalam kapasitas sebagai ahli teologi dan pakar
liturgi tetapi dalam kaitannya dengan masalah bahasa. Sebagai imam, kami memang
harus berpegang pada prinsip yang dikatakan autoritas gereja, Roma lucuta, causa finita est, tetapi
dari aspek bahasa tentu lain ceritanya.
Penghapusan
kata ‘demikianlah’ dari teks-teks ibadah atau buku-buku liturgi tampaknya
sederhana kalau merujuk pada keharusan mengikuti bahasa asal (Latin, Roma)
tetapi mengejutkan jika dilihat dari dunia bahasa secara umum. Dunia mengakui
bahwa bahasa manusia itu unik dan sempurna bagi para pendukung bahasa tersebut.
Karena itu, tidak ada bahasa yang dianggap paling sempurna dijadikan rujukan
dalam menghadirkan suatu makna secara sempurna.
Sesempurnaan apa pun proses menerjemahkan satu kata dari satu bahasa ke
dalam bahasa yang lain tetap tidak akan mengalihkan seluruh makna kata aslinya
ke dalam bahasa terjemahannya. Penerjemahan hakikatnya hanyalah upaya untuk
mendekatkan makna dua bahasa untuk kepentingan pemakainya. Untuk masyarakat
pendukung bahasa Manggarai, misalnya, bahasa Manggarai itu paling sempurna
mengungkapkan rasa dan makna dari kata yang digunakannya. Begitu juga pengguna
bahasa lainnya di dunia. Kalau prinsip ini yang dirujuk maka keharusan
mengalihkan secara harfiah kata dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain
tentulah menafikkan keunikan sebuah bahasa.
Kembali
pada persoalan bahasa teks dan buku-buku ibadah perihal pemakaian dan
penghilangan kata ‘demikianlah’ perlu dijelaskan dalam konteks ranah logika
berbahasa. Kata ‘demikianlah’ biasanya mengakhiri suatu pernyataan,
penyampaian, informasi, berita. Selama ini kata ‘demikian’, ‘demikianlah’ bisa
kita temukan dalam wacana tulis seperti pengumuman, surat undangan, surat
pemberitahuan, dsb. Juga kita dengarkan ketika seseroang mengakhiri penyampaian
informasi, berita dalam bahasa lisan. Kita bisa dengarkan ucapan dan membaca
tulisan seperti: “demikian(lah) yang bisa kami sampaikan, demikian(lah)
undangan kami, demikian(lah) pesan yang harus kami sampaikan”, begitu
seterusnya. Pemakaian kata ‘demikian(lah)’ di sini pada bagian akhir untuk
menegaskan apa yang disampaikan sebelumnya.
Contoh,
seorang mahasiswa ketua kelas ditugasi dosennya menyampaikan pesan dosen untuk
mahasiswa sekelas agar mengumpulkan tugas akhir kuliah menulis pada waktunya. Ketua kelas akan menyampaikan
pesan itu, dan pada bagian akhir ia akan menegaskan dengan mengatakan,
demikian(lah) pesan dosen kita agar tugas akhir kuliah menulis dikumpulkan pada
waktunya. Dalam bahasa yang konkret penegasan itu bisa diganti dengan kata
sinonim ‘begitu(lah) atau begini(lah) pesan dosen. Apakah logis kalau dalam
contoh kasus seperti ini ketua kelas mengakhiri pembicaraannya dengan
mengatakan, “kata dosen”, “pesan dosen”?
Contoh
kasus sederhana ini kami gunakan untuk menganalogikan kasus penghilangan kata
‘demikian(lah)’ dalam konteks pembacaan, penyampaian pesan Tuhan berupa teks
Kitab suci. Dalam ibadat atau liturgi ada yang membacakan teks kitab suci.
Pembaca itu berperan sebagai pembawa berita, pesan Tuhan dalam teks kitab suci.
Dalam satu ibadat liturgi ekaristi misalnya dibacakaan dua teks masing-masing
dari surat Paulus kepada Jemaat di Roma dan dari Injil Lukas. Ketika memulai
membaca, pembaca menyampaikan kalimat ini: “Pembacaan dari surat Paulus kepada
Jemaat di Roma”. Umat yang hadir atau peserta ibadah sudah dengan sendirinya
paham dan sadar (minimal berdasarkan pengetahuan dasarnya tentang liturgi)
bahwa yang dibacakan untuk mereka itu bukanlah teks biasa tetapi sabda Tuhan.
Karena yang dibacakan itu, hanya penggalan dari surat-surat Paulus, yang
dipahami sebagai Sabda Tuhan, beralasan dan logis kalau pada bagian akhir
pembacaan itu, pembaca menegaskan dengan mengatakan, “demikian(lah) Sabda
Tuhan. Pemakaian kata itu logis karena memang menuntut adanya respon,
tanggapan, jawaban umat atau perserta ibadah. Respon itu adalah “Syukur kepada
Allah” untuk pembacaan teks selain keempat injil dan “Terpujilah Kristus” untuk
mengakhiri pembacaan teks injil.
Dalam
aturan liturgi yang baru kata ‘demikian(lah)’ ditiadakan sehingga untuk
mengakhiri pembacaan cukup menyampaikan kata, “Sabda Tuhan”. Pernyataan ini, ‘sabda Tuhan’ tidak
membtuhkan respon karena semua peserta ibadah memahami dan menyadari bahwa
melalui bacaan-bacaan yang dikumandangkan itu mereka mendengarkan Sabda Tuhan.
Mereka hanya memerlukan penegasan yang memungkinkan mereka memberi tanggapan
berupa ungkapan ‘Syukur kepada Allah’ dan ‘Terpujilah Kristus’. Penegasan itu
disampaikan secara eksplisit oleh pembaca dengan mengatakan, “Demikian(lah)
Sabda Tuhan” bukan “Sabda Tuhan” saja. Sekali lagi, ini penjelasan dari
perspektif logika berbahasa. Bukan, pertimbangan teologis dan tidak bermaksud
melawan KWI dan Roma. Hanya satu yang tetap harus dipegang sebagai prinsip
bahwa tidak ada bahasa yang paling sempurna di dunia ini karena semua bahasa
itu sempurna dalam dirinya tanpa harus membandingkannnya dengan bahasa yang
lain. Orang Indonesia, orang Manggarai, orang Ende, orang Jawa dll. mempunyai
bahasa yang sempurna untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan perilaku.
Untuk
yang berekonomi pas-pasan, pemberlakukan rumusan baru tanpa “demikianlah” dalam teks dan buku liturgi tidak perlu takut
akan pembengkakan biaya pembelian buku baru. Ekonomisnya pakai saja semua buku
lama, tinggal coret atau lewatkan saja kata ‘demikian(lah)’ jika ditemukan di
dalam teks. Kalau toh telanjur tetap mengucapkannya karena mempertimbangkan
logika berbahasa dan rasa berbahasa
seperti yang kami uraikan, tentu belum dikategorikan sebagai dosa. Toh,
kita yang memakai bahasa itulah yang lebih paham akan nuansa makna setiap kata
jauh lebih bermakna dari pada kita terpaksa menggunakan kata lain yang justru
mengaburkan makna. Demikianlah uraian kami tentang kata ‘demikianlah’ yang terpaksa
tergusur dari halaman buku-buku ibadah dengan harapan tidak menimbulkan
kegaduhan berbahasa. Isi ibadah jauh lebih penting daripada formulasi dan
bungkusannya. ** (Telah dipublikasikan pada Flores Pos Edisi Sabtu, 30 Januari 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar