Kekuasaan dan Demokrasi Superfisial
Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng
Perhelatan akbar pemilihan serentak telah berakhir. Rakyat yang kebetulan
diundang untuk memberi hak demokratisnya telah memberi mandatnya pada orang
pilihannya dan rakyat yang betul tidak diundang dilupakan saja. Semuanya
seakan-akan tanpa masalah, aman, tertib, dan terkendali. Pertarungan wacana perihal kekuasaan telah
usai. Perebutan kekuasaan untuk sementara berhenti tetapi strategi dan trik
mengamankan kekuasaan diam-diam diperkukuh untuk periode selanjutnya agar kata
petahana (incumbent) tidak terhapus
dari kamus politik, demokrasi, dan kekuasaan di tanah air.
Pasangan yang terpilih secara demokratis akan berlangkah tegap, wajah terangkat, berbangga karena ia yakin sungguh bahwa rakyat memberinya mandat. Pasangan yang terpilih dalam demokrasi semu tentu saja berlangkah tegap, tetapi mungkin akan agak tertuntuk berwajah sembab mendengarkan apa kata hatinya ketika hak rakyat dikondisikan untuk dimandatkan kepadanya. Liputan seputar pilkada merupakan menu pencerdasan masyarakat dari pihak media untuk mengkritisi pemimpin yang betul-betul dipilih rakyat atau yang betul kebetulan dipilih rakyat.
Flores Pos Rabu (16/12) menurunkan berita rajutan wawancara wartawan senyornya, Frans Obon, dengan pimpinan STKIP Santo Paulus Ruteng Senin (14/14) seputar pilkada. Salah satu kata kunci, sekaligus benang merah yang sepantasnya dicermati dari liputan Flores Pos yakni pemakaian istilah “superfisial” yang dikorelasikan dengan pilkada sebuah perhelatan yang menghabiskan daya miliaran rupiah. “Pilkada langsung telah menjadi sesuatu yang superfisial” yang dapat dicermati dari perubahan orientasi pemilihan rakyat yang terkesan berubah dalam waktu yang cepat. Kesan superfisial atau semu ini didasarkan pada kondisi beberapa hari sebelum pemilihan dan hasil penghitungan suara. Narasi seperti penculikan, pembakaran kotak suara, kasus dugaan kecurangan pembukaan segel kotak suara, dan parade masyarakat menuntut hak demokrasi di jalanan karena merasa haknya dirampas di beberapa daerah akan tercatat sebagai sejarah kelam demokrasi yang ditengarai sedang mati suri.
Pasangan yang terpilih secara demokratis akan berlangkah tegap, wajah terangkat, berbangga karena ia yakin sungguh bahwa rakyat memberinya mandat. Pasangan yang terpilih dalam demokrasi semu tentu saja berlangkah tegap, tetapi mungkin akan agak tertuntuk berwajah sembab mendengarkan apa kata hatinya ketika hak rakyat dikondisikan untuk dimandatkan kepadanya. Liputan seputar pilkada merupakan menu pencerdasan masyarakat dari pihak media untuk mengkritisi pemimpin yang betul-betul dipilih rakyat atau yang betul kebetulan dipilih rakyat.
Flores Pos Rabu (16/12) menurunkan berita rajutan wawancara wartawan senyornya, Frans Obon, dengan pimpinan STKIP Santo Paulus Ruteng Senin (14/14) seputar pilkada. Salah satu kata kunci, sekaligus benang merah yang sepantasnya dicermati dari liputan Flores Pos yakni pemakaian istilah “superfisial” yang dikorelasikan dengan pilkada sebuah perhelatan yang menghabiskan daya miliaran rupiah. “Pilkada langsung telah menjadi sesuatu yang superfisial” yang dapat dicermati dari perubahan orientasi pemilihan rakyat yang terkesan berubah dalam waktu yang cepat. Kesan superfisial atau semu ini didasarkan pada kondisi beberapa hari sebelum pemilihan dan hasil penghitungan suara. Narasi seperti penculikan, pembakaran kotak suara, kasus dugaan kecurangan pembukaan segel kotak suara, dan parade masyarakat menuntut hak demokrasi di jalanan karena merasa haknya dirampas di beberapa daerah akan tercatat sebagai sejarah kelam demokrasi yang ditengarai sedang mati suri.
Kekuasaan itu Relasi dan Integrasi
Politik dan
demokrasi yang dilakoni secara superfisial dalam konteks mendapatkan kekuasaan
akan melahirkan kekuasaan yang rapuh dan
keropos dari sisi paling dalam. Kekuasaan yang didapatkan dalam suatu permainan
semu cenderung defensif dan otoriter. Tendensi perilaku defensif dan otoriter
kekuasaan itu akan bermetamorfosis ke
dalam sandiwara kekuasaan yang memaksakan kepatuhan pada kelompok yang sejalan
dan dianggap saja loyal terhadap kekuasaan yang sama. Berbagai kepentingan yang diletakkan pada kekuasaan yang diperebutkan
dengan sendirinya menodai hakikat demokrasi.
Kepatuhan yang
dikondisikan seperti ini melahirkan dan menghadirkan warga masyarakat yang
menjadi boneka di tangan penguasa dan akan mudah
dijinakkan.
Bentuk terburuk dari kekuasaan yang melahirkan kepatuhan yang dipaksakan
seperti ini membawa kita pada gagasan Gramsci (Gramsci’s Political Thought) perihal hegemoni kekuasaan. Semua
orang tahu bahwa pemikiran kritis Gramsci semakin kuat dirujuk ketika reformasi
ditiupkan untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang berakar dalam semangat
politik yang korup, kotor, dan koersif.
Perihal
kekuasaan, Gramsci menegaskan bahwa kekuasaan harus dipahami dalam relasi
termasuk relasi sosial dengan masyarakat sipil. Hanya dalam pemahaman kekuasaan
berperspektif relasi seperti ini kekuasaan itu dapat didistribusikan secara
merata kepada masyarakat sipil dan bukan secara total dimandatkan kepada aparat
negara yang cenderung koersif. Konsep negara yag integral bagi
Gramsci pada dasarnya menegaskan konsep baru tentang watak kekuasaan bahwa
perjuangan politik tidak terbatas pada perebutan kekuasaan tetapi terutama dan
pertama merujuk pada perluasan kekuasaan itu kepada masyarakat sipil. Perluasan karena kesadaran bukan kesadaran yang diarahkan untuk kemudian
dikuasai
Implikasi dari
gagasan seperti ini semestinya mendorong semua orang untuk berpartisipasi bebas
tanpa tekanan dalam menentukan pilihan politiknya. Warga seharus dan semestinya
tidak dijadikan pemain sandiwara yang harus berakting seturut arahan sang sutradara
yang akan mempertahankan kekuasaan. Lebih tidak bermartabat lagi jika warga
yang akan menentukan pilihannya diimingi berbagai janji finansial dan posisi
dalam jabatan basah.
Demokrasi
semestinya menjadi tarian massal yang mempertontonkan ekspresi yang spontan
tetapi tetap harmonis sehingga menyenangkan untuk dinikmati. Upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan
dengan cara melanggengkan kepatuhan pada sejumlah subjek yang dapat
dimanipulasi menafikkan konsep relasi dan integral dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal seperti inilah yang menjadikan kehidupan warga tidak dinikmati sebagai
sebuah tarian massal yang melepaskan beban kehidupan. Hal seperti ini pula yang
menjadikan momen pilkada bukan sebuah pesta demokrasi tetapi justru menjadi
sandiwara yang semu alias superfisial. Ini jelas menyembunyikan api dalam sekam
yang akan memberangus demokrasi yang lagi bertumbuh sebagai salah satu wujud
revolusi mental.
Resistensi dan Seni Kebohongan
Kekuasaan
superfisial pada gilirannya menimbulkan resistensi. Resistensi terhadap
kekuasaan akan hadir ketika kelompok yang merasa haknya disampahkan mengetahui
skenario sang sutradara yang menduduki kekuasaan. Menghadapi resistensi
sebegini, sang sutradara tentu saja akan menggunakan pelbagai jurus sekadar
menyembunyikan semua skenario dan membungkusnya secara apik. Di sinilah
kehidupan demokrasi semakin rapuh karena sandiwara dibangun di atas sandiwara
dan begitu seterusnya mata rantai sandiwara tidak
terpustuskan. Jadi, benarlah adagium lama bahwa dunia ini panggung sandiwara
karena di atasnya penguasa membangun suatu kebersamaan di atas dasar yang
rapuh, merancang kebohongan untuk kebohongan.
Politik dan
demokrasi bukan lagi sebagai seni yang mengeskprsikan kebermartabatan seorang
warga melainkan seni merangkai kebohongan untuk kebohongan. Seni, kata Picasso
adalah kebohongan untuk menyampaikan kebenaran. Karya-karya sastra boleh
dianggap kebohongan (fiksi) tetapi bertendensi menyampaikan kebenaran tetang
perilaku manusia yang tentu saja berlawanan arah dengan narasi politik dan
demokrasi yang nyata untuk membahasakan kebohongan. Masalah pilkada dan
tuntutan akan demokrasi yang jujur, adil, bermartabat, yang disuarakan di jalan-jalan raya sudah
menjadi rujukan betapa politik kita menjadi narasi kebohongan yang menopang
masa depan yang lebih rapuh.
Kekuasaan Diberi atau Direbut
Aesop, budak
Yunani yang hidup 20 abad silam secara sederhana membahasakan betapa kekuasaan
itu akan membentuk perilaku seseorang seperti nyata dalam sebuah
kisah (narasi fiktif ) perjumpaan Srigala dan Domba di pinggir sungai. Srigala
secara naluri ingin menerkam domba yang sedang melepas dahaga itu di tepi
sungai. Srigala masih pura-pura paham hukum karena itu ia mencari soal sebagai
alasan menerkam sang domba. Srigala membentak domba
yang katanya membuat air keruh dan srigala tidak
bisa meminum air. Domba membela diri, “Itu tidak mungkin, karena tuan
minum di bagian hulu, aku di bagian hilir dan air mengalir dari hulu ke
hilir”. Srigala kembali menuduh, “Tetapi lima tahun lalu kamu mengkritik saya
sebagai binatang buas”. “Wah, itu tidak mungkin karena aku baru dilahirkan tiga
tahun lalu”, kata domba membela diri. “Kalau kau baru dilahirkan, tetapi ibumu
yang lakukan itu”, kata srigala sambil menerkan domba itu.
Ini kisah
dongeng (fabel) ada unsur kebohongannya tetapi menunjukkan
kebenaran tentang kenyataan kekuasaan yang cenderung otoriter. Orang lemah
selalu menjadi korban kekuasaan. Ada ajakan dan kebenaran dalam dongeng ini
tidak saja ajakan untuk kekuasaan konteks politik tetapi juga untuk semua jenis
kekuasaan. Pemimpin terhadap rakyat, orangtua terhadap anak, pendidik terhadap
peserta didik, majikan terhadap buruh, polisi terhadap ojek, pemilik
supermarket terhadap pelanggan. Persoalan pokoknya terkait bagaimana kekuasaan
itu didapatkan. Diberikan karena orang percaya ataukah diperebutkan dari orang dengan cara yang
tidak bisa dipercaya? Tidak perlu dijawab, tetapi cermatilah yang berkuasa itu
selama berkuasa! Hal yang tidak kalah pentingnya untuk rakyat adalah
berdoa bagi pemimpin yang jujur agar berbuat baik kepada rakyat dan untuk
pemimpin yang belum jujur agar pada waktunya mereka berdamai dengan hati mereka
sendiri.*(br)
(Dipublikasikan dalam Flores Pos, Rabu, 23 Desember 2015 hlm.12--13)
(Dipublikasikan dalam Flores Pos, Rabu, 23 Desember 2015 hlm.12--13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar