Gebyar Tour de
Flores (TdF) telah usai. Apa yang tertinggal dan patut di kenang? Kekaguman demi kekaguman tertinggal dan boleh jadi mendera perasaa
masyakat yang menyaksikan para pebalap mancanegara merayapi buana ‘nusa nipa’.
Tensi kesibukan warga Flores tersulut dari ujung timur (Flotim) hingga
puncaknya di ujung barat (Manggarai Barat). Ibarat mimpi, event mondial ini
menyeretsedot perhatian publik untuk bersedia menjadikan diri sebagai salah
satu betis yang memagari lintasan para pebalap.
Sebuah seremoni panjang terbentang dan terpatri dalam
ingatan setiap orang yang menyaksikannya. Sejarah tentu mencatat momen TdF
sebagai seremoni panen kekaguman masal ketika para pengayuh sepeda didatangkan
dari mancanegara dan dimotori mereka yang ada di pusat negara. Rakyat
kebanyakan secara alamiah tidak terhindarkan dari emosi kekaguman lalu tanpa
sadar mengacungkan jempol memuji dan mengamini setiap yel-yel yang mengafirmasi
semua rencana dan niat mengagendakan peristiwa ini sebagai peristiwa tahunan.
Lebih kurang setengah jam warga berdiri menunggu di
tepi jalan baik karena dikondisikan agar dijalankan maupun lahir dari emosi
spontan untuk melihat orang dari berbagai negara secara bersama-sama mengayuh
sepeda dan melintasi wilayah dan kampung halaman mereka. Ya memang tentu saja
bukan karena mau melihat sepedanya karena toh sepeda sudah ada di setiap
kabupaten di Flores. Semuanya berdiri kagum di bawah terikan matahari, tanpa
minuman yang dijatahkan dari anggaran yang tidak kecil. Kekaguman itu, menjadi
amat mahal bagi mereka yang sibuk mengurusi semuanya, tetapi terlampau murah
bagi masyarakat yang hanya menyediakan diri berdiri di tepi jalan.
Persoalan mahal atau murah selalu hadir dalam setiap
aktivitas karena tidak ada kegiatan tanpa pengorbanan yang secara ekonomis
dibahasakan dalam kata biaya. Semua orang paham tentang itu. Persoalannya,
dalam konteks pertimbangan ekonomis orang mempertanyakan kesangkilan dan
kemangkusan pemanfaatan biaya. Itu artinya, orang mempertanyakan perimbangan
antara biaya dan efek positif sebuah kegiatan berbiaya tinggi. Menakar dalam
pertanyaan tentang keberimbangan seperti ini membahasakan keraguan yang logis
dan rasional. Orang yang berpikir praktis, rasional, dan ekonomis hampir pasti
menyarati pikirannya dengan terminologi manfaat. Keraguannya terumuskan dalam
pertanyaan, apa manfaat sesuatu dilakaukan?
Persoalan manfaat inilah yang selalu mengiringi setiap
aktivitas manusia baik itu kegiatan tanpa biaya maupun dan apalagi kegiatan
yang tergolong mahal. Persis pada titik inilah keraguan yang menganakkan
pertanyaan tidak terhindarkan. Flores Pos
Selasa (24/5) menurunkan berita bertajuk “Manfaat ‘Tour de Flores’Diragukan”
dengan rujukan pada mantan anggota DPRD Ende, Heribertus Gani. Keraguan mantan
wakil rakyat Ende ini dibahasakan Flores
Pos dalam modus deklaratif (pernyataan) yang boleh dimaknai sebagai
metamorfosis dari rumusan bermodus interogatif (pertanyaan). Bertanya tentang
manfaat adu kecepatan bersepeda yang menghadirkan pebalap mancanegara yang
telah memproduksi kekaguman sekaligus menghabiskan dana yang tidak
tanggung-tanggung.
Apresiasi kritis ala Gani, boleh jadi dianggap sebagai
bisikan sayup-sayup di tengah gegap gempita kekaguman masal. Jika dicermati
dalam kebeningan nurani dan ketenangan pikiran maka bisa jadi menyadarkan kita
dan siapa saja untuk berkata heran betapa mahalnya sebuah seremoni kekaguman
yang merayapi nusa bunga selama sepekan. Di Ende tercatat 1,2 miliar rupiah
raib untuk biaya lewat para pebalap. Flores
Pos mencatat, keberadaan pebalap hanya 20 jam di Ende dan yang produktif
untuk masyarakat yang sempat menyaksikan tidak lebih dari 10 jam. Perhitungan
matematis sebegini tentu saja lahir dari keraguan dasar perihal efektivitas dan
luas dampak kegiatan itu. Dengan merujuk ke Ende saja, kita bisa menghitung
berapa besar biaya yang digelontorkan
pihak pemerintas kabupaten yang menjadi destinasi para pebalap. Realistis atau
fantastis? Di sini kita bisa bimbang dan ragu. Keraguan kita bisa menguat
manakala event ini dikomparasikan pada dampak langsungnya.
Menteri Perindustrian Saleh Husin, tampaknya memahami
emosi masa bahkan mau menyatu secara emosional dengan rakyat sepanjang daratan
Flores dengan rumusan persuasifnya agar rakyat melihat jangka panjangnya. Suatu
rumusan yang tidak tergolong baru dan pupuler, sudah biasa dan tampak normatif.
Pernyataan ini berimpilikatur jamak yang membuka peluang bagi penafsiran jamak
pula. Apa pun implikasi yang diproduksi sebagai interpretasi dan pemaknaan pada
ajakan seperti ini, intinya adalah ungkapan dan bahasa keraguan. Keraguan akan
dampak ikutan yang mengubah kondisi masyakarat. Kapan masyarakat dibiayai untuk
bersepeda ria? Jangan-jangan dari tahun ke tahun --kalau benar acara ini
dilanjutkan—rakyat hanya menjadi alat dan instrumen pengaman pagar betis
seperti kita saksikan kemarin.
Bisa dikalkulasi berapa banyak ojek, sopir angkot dan
para penggunaan jalan lintas Flores yang terpaksa kehilangan pendapatan ketika
jalan menjadi milik pebalap dan panitia? Berapa banyak penjual pinggir jalan
selintas Flores yang harus mengamankan barang jualan mereka? Berapa banyak
pebalap yang berhenti menikmati jeruk di Nduaria seperti halnya dalam kondisi
sehari-hari? Kita mungkin hanya menghitung angka miliar yang dianggarkan oleh
pemerintah setiap kabupten yang disinggahi. Berapa banyak pegawai yang
tinggalkan pekerjaan mereka di kantor dan harus menyetor betisnya ke tepi
jalan?
Tentu masih banyak pertanyaan yang bisa dideretkan
setelah emosi kita mulai meredah dari kekaguman menumental itu. Dan deretan
pertanyaan berikut ini kiranya menjadi bahan pertimbangan pemerintah dan
pengambil kebijakan ke depan. Kapan pemerintah dan dinas pariwisata setiap
kabupaten sedaratan Flores ini mengadakan kegiatan serupa dengan anggaran
sebesar itu? Ironis memang rasanya ketika para pebalap mancanegara itu
sudah bisa sampai Larantuka, Maumere,
Ende, Bajawa, Ruteng, Labuan Bajo sementara ada orang Flotim yang belum melihat
Kelimutu atau Labuan Bajo.
Pertanyaan seperti ini adalah ungkapan keraguan
sekaligus bentuk penyerahan harapan kepada siapa saja untuk mempertimbangkan
segalanya dari aspek manfaat. Kita menguji ketepatan setiap langkah dan
kebjakan dalam keraguan yang kritis dan rasional. Hanya ada satu hal yang bisa
kelihatan semua lubang jalan diperbaiki. Kalao boleh usul, nanti balapnya ke
kampung-kampung biar jalan-jalannya diperhatikan dan diperbaiki. Jika tidak,
anggaran miliar sebaiknya untuk perbaiki jalan-jalan yang dilalui masyarakat
setiap hari.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar