Mobil
Diputihkan: Siapa Jadi Pemulung?
Bone
Rampung
Keprodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP
Santo Paulus Ruteng
Terpaksa,
kami memulai tulisan ini dengan mengutip dua berita Harian Umum Flores Pos Jumat (9/10) halaman 16. “
Harga Beras di Pasar Inpres Ruteng Naik” dan “Terkesan Pemutihan Mobil Dinas
untuk Balas Jasa”. Dua judul karya jurnalistik yang mesti dan harus dimaknai
pembaca khususnya masyarakat Manggarai. Mungkin saja ada yang berpendapat dan beranggapan
media ini telah membongkar borok-borok rakyat Manggarai yang kelaparan, tetapi
sesungguhnya melalui dua judul berita yang disandingkan pada halaman yang sama,
membuktikan kepada pembaca bahwa media sungguh berpihak kepada rakyat dan bukan
kepada penguasa. Media mendidik masyarakat untuk mengkritisi pelbagai hal yang
berkaitan dengan kehidupan bersama. Kisah tentang pembeli beras, Klemens Naru,
dalam berita pertama boleh jadi merupakan representasi rakyat kecil yang
kesulitan mendapatkan beras dengan harga terjangkau.
Klemens,
seperti diberitakan, mendambakan adanya
intervensi pemerintah dalam mengatasi masalah kekurangan beras. Berita kedua,
menampilkan kelompok “orang besar” yang tidak lagi sibuk mencari beras tetapi
sibuk mencari jalan untuk mengincar fasilitas negara yang telah mereka gunakan
secara maksimal sehingga menjadi barang rongsokan. Berdalihkan kemaksimalan
penggunaaan untuk pelbagai kendaraan itu, dibangunlah sebuah wacana dan
argumentasi untuk justifikasi ke arah pemutihan. Semula berita seperti ini terasa biasa
tetapi media yang sama pada dua edisi berikutnya memuat berita dalam versi lain
tetapi tetap pada susbtansi yang sama tentang rencana pemutihan 21 kendaraan.
Fakta ini sungguh menggelitik kesadaran dan rasa sekadar mencermati apa
sesungguhnya yang sedang melanda masyarakat Manggarai karena wacana seperti itu
belum muncul di daerah lainnya.
Frekuensi
kemunculan berita perihal pemutihan kendaraan berplat merah di Manggarai ini
tampaknya menyita cukup banyak ruang pemberitaan Flores Pos. Berita pemutihan kendaraaan sungguh diseriusi media.
Ini menjadi indikasi persoalan bukan lagi sesuatu yang sepele tetapi penting dan serius untuk kehidupan masyarakat
Manggarai. Pembaca tentu saja harus berterima kasih kepada Flores Pos yang memediakan persoalan ini. Suatu model penghadiran
wacana yang membuka nalar dan daya kritis masyarakat untuk menilai tentang hal
yang lebih disibuki para petinggi baik pihak legislatif (katanya wakil rakyat),
maupun eksekutif (para pejabat katanya untuk rakyat). Di pasar rakyat merasa
tercekik karena harga kebutuhan melonjak, di gedung parlemen para orang penting
dengan enteng membentuk panitia dan menyusun
regulasi pemutihan kendaraan berplat merah.
Orang
sederhana yang tidak mengenal makna ungkapan pemutihan itu dalam nada heran. “Apakah
sulit membeli sekaleng cat putih untuk memutihkan plat merah itu?” Apakah itu
sulit, sampai-sampai menjadi topik utama
yang dibahas dalam sidang parlemen? Lebih mengherankan lagi jika pemutihan yang
dimaksud merujuk pada memutihkan papan plat kendaraan dinas, maka itu artinya
tidak ada lagi tulisan pada plat kendaraan. Itu sama artinya tanpa nomor plat.
Mengapa bukan penghitaman mobil kalau arahnya menjadikan kendaraan itu menjadi
milik pribadi? Ya, aneh juga istilah
yang satu ini. Apakah nanti semua 21 unit kendaraan tanpa nomor? Jika ungkapan
pemutihan itu berarti penghapusan 21 kendaraan itu dari daftar kepemilikan
pihak pemerintah, itu berarti kendaraan tersebut tidak layak berada dan
digunakan di jalan raya. Jika merunut
logika berpikir tim teknis yang menilai semua kendaraaan yang diputihkan itu
tidak layak, maka jauh lebih baik semua kendaraan itu dimuseumkan saja.
Dimuseumkan sebagai peninggalan sekadar mengenang mereka yang pernah menduduki
jabatan penting di Manggarai. Dimuseumkan seperti kendaraan dinas sederhana
milik Bungkarno di Blitar. Spekulasinya sederhana saja, boleh jadi semua kendaraan itu kelak menjadi
lebih mahal karena nilai historisnya daripada menyita kinerja para anggota DPR
dan para pejabat terkait. Kalau tim teknis sudah memastikan bahwa setelah lima
tahun kendaraaan dinas harus berstatus sebagai sampah, apa pantas para pejabat
yang pernah menggunakan fasilitas itu disebut sebagai pemulung? Tentu, kita
harus menghargai para bekas pejabat itu, dan sekaligus berharap merasa tidak
patut menjadi pemilik besi-besi tua itu.
Mobil Vs Pupuk
Persoalannya,
tuntu saja tidak sesederhana itu. Buktinya orang lebih sibuk mengurus nasib 21
mobil dinas daripada harus sibuk urus pupuk untuk ribuan petani agar tidak
terancam kelaparan. Para anggota parlemen dan pejabat lebih fokus pada masalah
kendaraan daripada membenahi PLN dan PDAM, dan kelangkaan pupuk yang meresahkan
masyarakat. Lebih tidak elok lagi jika nasib kendaraan yang diputihkan itu
dikaitkan dengan persoalan balas jasa. Pertanyaannya apakah oknum yang nantinya
mendapatkan kendaraan-kendaraan itu, selama menduduki jabatan, tidak
difasilitasi secara maksimal sehingga dianggap sebagai oknum berjasa? Ini suatu
model dan cara berpikir yang jauh dari harapan untuk mendidik masyarakat, yang
hanya mengedapankan logika kepentingan diri. Suatu gambaran cara berpikir yang
menjauhkan diri dari masyarakat. Wakil rakyat yang dipilih rakyat dan pemimpin
yang dipilih rakyat dengan cara seperti ini justru memunggungi rakyatnya sendiri yang ketiadaan
pupuk, beras, air bersih, dll.
Argumen-argumen
penopang semangat untuk memutihkan 21 kendaraan yang dilansir media tampaknya
sangat tidak memadai dan cenderung legalistis. Permendagri No.17/2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik
Daerah satu-satunya rujukan ibarat jalan tol memuluskan langkah pemutihan yang
akan dilakukan. Untuk urusan barang-barang rongsokan, perlu pantia khusus
sekadar menentukan calon pemulung kendaraan yang diputihkan itu. Logiskah itu?
Pihak pengelolaan pendapatan, keuangan dan aset daerah (PPKAD) mencoba
menjelaskan setelah wacana pemutihan kendaraan itu menjadi konsumsi media dan
melahirkan banyak pertanyaan masyarakat. Ada banyak pertimbangan teknis
operasional yang dinilai lebih efektif dan efisien menurut pihak PPKAD.
Penjelasan dan alasan seperti ini kontradiksi dengan pernyataan pihak yang sama
seperti yang dicatat Flores Pos 10/10
ini, “Umumnya kendaraan-kendaraan itu sudah dalam keadaan rusak. Semua
kendaraaan sudah sering keluar masuk bengkel sehingga berdampak pada tinggginya
biaya perbaikan dan operasinal”. Pernyataan yang kami kutip ini jelas-jelas
membuktikan yang sebaliknya bahwa kendaraan yang dipersoalkan itu masih ada
yang baik, dan patut diduga yang masih dianggap baik itu yang diperebutkan
dengan harga tawaran yang rendah.
Media
tidak mencatat secara jelas bagaimana proses dan mekanisme penjualan 21
kendaraan itu. Tidak dijelaskan apakah mobil-mobil itu akan otomatis dijual
(murah?) kepada pejabat yang menggunakan kendaraaan itu karena jabatan yang
diduduki sebelumnya ataukah panitia menjualnya secara terbuka sehingga mungkin
ada yang menawarnya jauh lebih tinggi sehingga nilai total penjualan tidak
hanya 854 juta rupiah tetapi bisa lebih. Para pejabat yang sebelumnya
menggunakan kendaraan itu karena jabatannya, semestinya tidak merasa diri
berjasa atau mengharapakan orang lain menilai mereka berjasa sehingga pantas
meneruskan penguasaan atas kendaraan itu. Jasa mereka sudah dibayar kecuali
kalau selama menjabat posisi tertentu mereka tidak digaji. Lebih efisien dan
nilai ekonomisnya lebih menguntungkan kalau kendaraan itu dijual terbuka kepada
publik.
Pertanyaan Nakal
Pertanyaan nakal tetapi pasti penting bisa saja diarahkan kepada tim teknis yang menilai kelaikan kendaraan dinas yang dipersoalkan itu. Bisakah tim teknis yang sama melaporkan data perihal kendaraan umum, kendaraan pribadi yang beroperasi di Manggarai yang usia pemakaiannya berkisar nol hingga lima tahun? Jelasnya, apakah kendaraan yang ada di Manggarai saat ini semua laik jalan karena usia kendaraannya masih berada di bawah lima tahun? Seingat kami ada banyak angkot dan kendaraan umum, bahkan kendaraaan pribadi yang sudah beroperasi sejak tahun 1990-an. Apakah ada standar ganda dalam menguji kelaikan kendaraan dinas dengan kendaraaan umum yang semuanya menggunakan jalan yang sama di Manggarai? Apakah kendaraan dinas itu lebih murah harganya dibandingkan dengan kendaraaan umum sehingga masa kadaluwarsanya berbeda? Bukankah harga kendaraaan dinas itu jauh lebih mahal dibandingkan dengan kendaraaan umum? Kami menduga di Manggarai belum ada kendaraan umum, truk kayu, angkot yang harganya melangit hingga angka miliar seperti mobil-mobil para pejabat.
Pertanyaan nakal tetapi pasti penting bisa saja diarahkan kepada tim teknis yang menilai kelaikan kendaraan dinas yang dipersoalkan itu. Bisakah tim teknis yang sama melaporkan data perihal kendaraan umum, kendaraan pribadi yang beroperasi di Manggarai yang usia pemakaiannya berkisar nol hingga lima tahun? Jelasnya, apakah kendaraan yang ada di Manggarai saat ini semua laik jalan karena usia kendaraannya masih berada di bawah lima tahun? Seingat kami ada banyak angkot dan kendaraan umum, bahkan kendaraaan pribadi yang sudah beroperasi sejak tahun 1990-an. Apakah ada standar ganda dalam menguji kelaikan kendaraan dinas dengan kendaraaan umum yang semuanya menggunakan jalan yang sama di Manggarai? Apakah kendaraan dinas itu lebih murah harganya dibandingkan dengan kendaraaan umum sehingga masa kadaluwarsanya berbeda? Bukankah harga kendaraaan dinas itu jauh lebih mahal dibandingkan dengan kendaraaan umum? Kami menduga di Manggarai belum ada kendaraan umum, truk kayu, angkot yang harganya melangit hingga angka miliar seperti mobil-mobil para pejabat.
Politik Bumi Hangus
Berbagai berita media dari tahun ke tahun sudah membuktikan bahwa kendaraan dinas hampir pasti lebih mahal harganya. Sudah menjadi rahasia umum di daerah-darah di NTT, para pejabat karena jabatannya seakan-akan mengharuskannya menggunakan kendaraaan yang harganya fantastis. Budaya hidup hemat dan sederhana lenyap dan tinggal slogan saat menjadi pejabat. Setelah kuasa dan jabatan diraih, hal pertama dan utama yang disibuki adalah mendatangkan kendaraan dinas bukan hanya baru tetapi harus mahal atau dimahalkan. Ada semacam prinsip berpikir paralel antara masa jabatan dan usia fasilitas negara. Ganti pejabat, ganti kendaraaan, perjabat pergi, fasilitas juga dibawa pergi mirip-mirip politik bumi hangus.
Berbagai berita media dari tahun ke tahun sudah membuktikan bahwa kendaraan dinas hampir pasti lebih mahal harganya. Sudah menjadi rahasia umum di daerah-darah di NTT, para pejabat karena jabatannya seakan-akan mengharuskannya menggunakan kendaraaan yang harganya fantastis. Budaya hidup hemat dan sederhana lenyap dan tinggal slogan saat menjadi pejabat. Setelah kuasa dan jabatan diraih, hal pertama dan utama yang disibuki adalah mendatangkan kendaraan dinas bukan hanya baru tetapi harus mahal atau dimahalkan. Ada semacam prinsip berpikir paralel antara masa jabatan dan usia fasilitas negara. Ganti pejabat, ganti kendaraaan, perjabat pergi, fasilitas juga dibawa pergi mirip-mirip politik bumi hangus.
Persoalan
pemutihan kendaraan sesungguhnya lahir dari cara pikir paralel yang tidak
cerdas ini. Kalau harga pembelian kendaraaan dinas itu lebih mahal, logiskah
kalau kendaraan semahal itu segera menjadi sampah dalam waktu lima tahun sesuai
dengan usia pejabat yang menggunakannya lalu diputihkan? Logika sederhana harus
mengatakan bahwa hal seperti ini irasional meskipun secara hukum dan aturan
yang dirujuk membenarkan praktik irasionalitas seperti ini. Semua orang tahu
bahwa prinsipnya hukum dan aturan dibuat untuk melayani kebutuhan hidup manusia
yang membuatnya, bukan sebaiknya. Kalau nyatanya kendaraan itu masih bisa
digunakan untuk pelayanan publik mengapa harus dialihkan kepada para pemulung?
Kalau
logika dan kriteria kelaikan berpatok pada usia pemakaian kendaraaan maka dalam
waktu dekat banyak pengusaha jasa transportasi gulung tikar karena banyak yang
berusia belasan tahun. Kalau keadaaanya sama saja setelah polemik pemutihan
kendaraaan dinas maka dapat diduga ada
sesuatu yang tidak beres dalam
menentukan kriteria kelaikan kendaraaan di Manggarai. Kalau terbukti banyak
kendaraaan yang usia operasinya lebih dari lima tahun bahkan sampai belasan tahun,
layak dipertanyakan dasar kelayakan semua itu. Pertanyaan dan tugas besar bagi
tim teknis dan penilai untuk memberi penjelasan kepada masyarakat. Jika tidak,
wacana-wacana bernuansa dugaaan miring bisa saja menyusul menghiasi halaman
media dengan judul yang lebih angker. Jika kendaraaan dinas usia di atas lima
tahun tidak laik jalan dan diputihkan, argumen apa yang dipakai untuk melaikkan
kendaraan umum dan angkot yang usia pemakaiannya sama bahkan lebih tua?
Masyarakat
menunggu penjelasan dan jawaban yang jauh dari retorika juridis-legalistis dari
pelbagai pihak berkepentingan dengan persoalan pemutihan kendaraan dinas. Hanya
dengan itu masyarakat menghargai pejabat yang berpihak kepada rakyat dan itu
terbaca dalam perilaku hidup sederhana, yang tahu bagaimana menghidupkan
kesederhanaan bukan hanya saat sebelum punya jabatan tetapi justru harus lebih
sederhana saat dipercayakan menjadi pejabat. Menjadi warga masyarakat itu suatu
kepastian tetapi menjadi pejabat itu hanya kebetulan. Kesadaran ini menjadi
pintu menuju perilaku sederhana dan berbela rasa, pantang menjadi pemulung.(br)
(Dimuat di Flores Pos, Edisi Senin, 19 Oktober 2010 hlm. 12--13)
(Dimuat di Flores Pos, Edisi Senin, 19 Oktober 2010 hlm. 12--13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar