Menafsir Kegelisahan Wacana Pilkada
Bone Rampung
Keprodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santu Paulus
Ruteng
Fakta ini lumrah dalam
kehidupan. Cicak harus memutus ekornya saat menyadari predator (mangsanya) mendekat dan mengancamnya. Anjing melolong
berkepanjangan saat lonceng berdentang. Tumbuhan putri malu memilih kusus saat
tersentuh. Manusia menangis saat
perasaan yang kuat mendorong kelenjar mata memproduksi air mata. Semua
kenyataan seperti ini sedemikian biasanya hadir dalam kehidupan sampai-sampai
orang tidak menyadari apa sesungguhnya yang ada dan terjadi di balik fenomena
yang tampak dan terkesan natural itu. Satu hal yang pasti, fenomena sebegini
menggambarkan korelasi dan saling pengaruh antara unsur dalam (kondisi batin,
mental) dengan kondisi luar (fisik,
perilaku) makhluk semisal cicak, anjing, rumput, dan terlebih manusia. Satu
kebenaran pokok mau dihadirkan di sini bahwa setiap ancaman dan tekanan melahirkan
kegelisahan.
Robert Hinsinhelwood (1991: 218)
melihat kegelisahan sebagai cikal-bakal lahirnya psikoanalisis. Baginya,
psikoanalisis pada hakikatnya merupakan sejarah perihal usaha manusia untuk
memahami inti kegelisahan yang terdapat di dalam diri manusia. Kegelisahan itu
ada dan datang dari dalam inti diri manusia dan akan mempengaruhi seluruh diri
manusia. Kegelisahan, lalu dikorelasikan tidak saja merujuk pada ketakutan
irasional. Dalam banyak hal, seseorang akan dikatakan irasional jika dirinya tidak
mengalami kegelisahan. Artinya, kegelisahan itu secara potensial ada dalam diri
manusia tetapi akan tampak lebih rasional jika ada faktor pelecut dan
pemicunya.
Kegelisahan dapat disederhanakan
sebagai bentuk tanggapan terhadap berbagai hal yang tidak diketahui baik
berkaitan dengan lingkungan maupun terutama berkaitan dengan faktor batin. Di
sini, kaitan batin dan fisik mutlak diperhitungkan. Persis, pada titik
persinggungan oposisional dimensi batin dan lahir, mental dan fisik inilah
diperlukan upaya menafsir perilaku dan tindakan yang mesti ditalitemalikan
dengan kondisi batin yang telah dikuasai kegelisahan.
Teori-teori psikoanalisis terkait
kegelisahan menurut Hinsinhelwood, dalam
sejarah perkembangannya, telah, sedang, dan akan terus mewarnai percaturan dan
pertarungan wacana yang potensial melahirkan konflik dengan aneka alasan.
Percaturan wacana perihal kegelisahan ini dapat dikategorikan ke dalam
fase-fase tertentu. Disebutkan, salah satu fase kegelisahan itu tidak berkaitan
dengan gagasan atau pemikiran melainkan berkaitan dengan akumulasi kekuatan
libodo yang tidak tersalurkan. Libido tidak tersalurkan itu, menumpuk ibarat
racun sampah yang bermetamorfosis menjadi kegelisahan. Ekspresi kegelisahan
muncul dalam aneka wacana baik yang dihadirkan dalam kelugasan rumusan maupun
wacana-wacana ambigu yang menyembunyikan pesan. Wacana-wacana ambiguitas yang
muncul menuntut pemaknaan berdasarkan
pemahaman akan implikatur setiap unit wacana atau pernyataan.
Percaturan dan pertarungan wacana
bernuansa kegelisahan terasa sejak penetapan pelbagai paket calon (palon) oleh
KPU. Koran-koran lokal dan berbagai media sosial dengan cukup berani
menghadirkan aneka wacana yang berpeluang dimaknai sebagai pernyataan
berimplikasi kegelisahan. Sejak palon ditetapkan, kegelisahan terus merambati
batin berbagai pihak baik para palon, partai pendukung (pakung), anggota tim
pemenangan (atiman) setiap paket maupun rakyat kebanyakan. Rambatan kegelisahan
itu terpicu dan mengalir deras karena
adukan antara keinginan untuk berkuasa bagi yang belum berkesempatan berkuasa
di satu sisi dan keinginan untuk membentengi, mempertahankan kekuasaan bagi
mereka yang pernah berkuasa.
Ada dua pusaran arus
berseberangan. Paket-paket baru yang belum berkesempatan berupaya merebut kekuasaan sekadar merasakan manisnya madu
kekuasaan, sementara paket-paket yang pernah berkuasa bahkan telah lama
berkuasa berjuang mati-matian mempertahankannya sebagai miliknya karena telah
berpengalaman menikmati manisnya madu kekuasaan. Pada titik ini, paket-paket
calon baru ingin mengalami bagaimana berkuasa sedangkan paket-paket calon lama
tidak ingin disebut kehilangan kekuasaan. Tidak mengherankan, yang baru
berjuang merebut kekuasaan dianggap lawannya sebagai pihak “terlalu nekad”
merebut meskipun belum berpengalaman.
Sebaliknya, pihak yang mau
mempertahankan kekuasaan dinilai lawannya “terlalu posesif dan terlampau
percaya diri” tidak rela jika yang lain berpengalaman. Pemain baru ingin meraih
dan memangku kekuasaan sementara yang sudah meraihnya telanjur mendudukinya.
Pemain baru mengira yang lama kelelahan memangku kekuasaan, sementara yang lama
memastikan kekuasaan yang diduduki bukan lagi hal yang melelahkan. Dua sudut pandang terhadap kekuasaan antara
memangku atau menduduki kekuasaan sulit didamaikan. Ini bukan sekadar memainkan
kata. Fakta membuktikan memangku sesuatu pada pangkuan jelas melelahkan tetapi
lain halnya menduduki sesuatu pada kedudukan tidak melelahkan.
Tegangan antara dua kekuatan
pusaran arus perebutan kekuasaan pada arena pilkada seperti ini semakin nyata
dalam beberapa pemberitaan media belakangan ini. Pilkada sesungguhnya bukan sesuatu yang
fenomenal tetapi mencermati satu-dua berita media tanpa disadari telah
mendisposisikan wacana Pilkada sebagai sesuatu yang sungguh fenomenal. Ambil
saja berita yang diturunkan dalam beberapa edisi Harian Umum Flores Pos
pada halaman (spece) liputan untuk kabupaten Manggarai. Karya
jurnalistik pada halaman itu telah memberi sinyal adanya wacana yang
menggambarkan kegelisahan menyambut Pilkada di Manggarai.
Flores Pos Edisi Sabtu,
26/9/2015, memuat berita berjudul, “Tiga Mantan Bupati Berkampanye untuk
Pasangan Deno-Madur. Tidak main-main tiga nama dideretkan pada paragraf pertama
berita yakni Gaspar P.Ehok, Antony Bagul Dagur, dan Chris Rotok. Semua orang
tahu (khususnya masyarakat Manggarai) mengenal tiga nama ini sebagai bekas
bupati. Karena mereka bekas bupati maka
pada tataran strata sosial kemasyarakatan mereka terlanjur didaulat sebagai
'tokoh'. Posisi ketokohan karena pernah berkuasa di Manggarai ini tampaknya
berdaya tawar signifikan jika turun sebagai 'pemain kunci' yang mungkin bisa
meramaikan panggung kampanye pilkada di Manggarai. Harga tawar atas nama
ketokohan seperti ini tampaknya digunakan tim pemenangan palon yang dipihaki dalam
wacana pilkada.
Tiga nama yang diklaim tim
kampanye palon yang akan turun lapangan
kampanye ini, terkesan amat berwibawa dan menggelisahkan teman main karena ada
selentingan lepas terekam bahwa ketiga tukang kampanye ini disebut trio macan.
Mudah-mudahan selentingan sebegini tidak diperpanjang lagi dengan berbagai
atribut sejenis. Betapa tidak tiga nama itu seakan-akan dijadikan taruhan
kemenangan paket yang diusung dan dikampanyekan. Akankah ketiga nama itu
menggetarkan panggung kampanye sekadar
mendulang suara dalam pesta demokrasi tingkat daerah ini? Akankah klaim
turunnya tukang kampanye sepuh-sepuh itu menjadikan pertandingan Pilkada
menjadi elok untuk ditonton? Tentu sulit menemukan jawaban tetapi klaim-klaim
melibatkan orang yang dikenal seperti itu dapat dilihat dalam kaitannya dengan
teori implikatur.
Implikatur merupakan gagasan
terpenting dalam tindakan berbahasa (kajian pragmatik). Paul Grice (1967)
sebagai penggagas teori implikatur, telah merintis suatu model pemaknaan atas
tindakan berbahasa. Bagi Grice, dalam berbahasa seseorang perlu membedakan dan
memahami makna bahasa dalam dua kutub yakni makna alami (natural meaning)
dan makna nonalami (non-natural meaning). Makna alami adalah makna
persis seperti dinyatakan dalam unsur pembangun wacana sedangkan makna nonalami
makna yang disembunyikan di balik wacana yang dinyatakan secara alami. Kalimat,
“ Kita harus menang”, misalnya secara alami berarti harus sukses dalam
pertarungan tetapi juga berimplikatur (a) ada orang lain, (b) orang lain harus
kalah, (c) orang lain juga bisa menang. Contoh ini menunjukkan bahwa setiap
wacana selalu berimplikatur. Karena itu, semakin banyak orang membuat
pernyataan semakin banyak pula implikaturnya.
Dalam konteks politik pilkada
judul berita seperti: “Tiga Mantan
Bupati Berkampanye untuk Pasangan Deno-Madur (Flores Pos 26/9)”,
“Keberpihakan Tiga Mantan Bupati Disesalkan” (Flores Pos, 29/9)”,
“Koalisi Gotong Royong Datangi Dewan, “Dipertanyakan, Regulasi Wakil Bupati
Maju Lagi sebagai Cabup (Flores Pos 2/10)”, “Jumlah Pemilih Bertambah di
Kecamatan Ruteng (Flores Pos 5/10)”, dan pernyataan yang menyertai
judul-judul ini sesungguhnya berimplikatur amat kaya, luas, dan terbuka.
Jika dirunut, semua pernyataan ini sesungguhnya menggambarkan kondisi dan
perasaan batin yang takut, cemas, dan gelisah. Kegelisahan memproduksi aneka
wacana yang berimplikatur dan setiap pembaca tentu bisa menafsirnya.
Membanggakan dan menghebatkan diri dalam berwacana dapat dibaca sebagai upaya
mengungkap kelemahan sendiri.
Rakyat pemilih tentu harus bisa
menafsir setiap wacana kegelisahan para paket calon dalam harapan akan adanya
perubahan pada aneka lini kehidupan. Ada harapan yang digantungkan pada setiap
kegelisahan merebut posisi politik. Robert Penn Waren melalui Novelnya All the
King's Men menghadirkan tokoh imajiner Willie untuk menggambarkan bagaimana
politik di sebuah negara demokrasi (Amerika) datang dari harapan tetapi bisa
tidak memungkinkan tumbuhnya harapan manakala kegelisahan meracuni proses
demokrasi yang wajar. Kegelisahan yang meracuni proses pilkada akan hadir dalam
cara-cara yang kontrademokrasi antara lain politik uang, meniupkan isu-isu tak
sedap, janji jabatan dan posisi, manipulasi data pemilih.
Tugas rakyat, adalah mencermati
sebelum menafsir aneka kegelisahan yang terselip dan diselipkan di dalam
berbagai wacana menjelang pilkada. Pastikan diri sebagai penafsir yang tepat
untuk memilih pemimpin yang memenuhi harapan. Politik memang sering menganggap
bela rasa itu hanya instrumen tetapi rakyat didesak oleh kebutuhan yang praktis
dan nyata untuk terus melawan, mencegah,
agar orang tidak hanya sibuk pada
urusan dan kepentingan diri. Pemimpin dan
politik berarti sebuah kerja, untuk
memulihkan kembali harapan: meskipun Kebaikan tidak selamanya jelas,
tetapi Keburukan sudah pasti bukanlah dasar segalanya. Rakyat berdaulat
menentukan pilihan, tak perlu gelisah apa lagi kalau hanya karena digelisahkan.*** (Flores Pos, Jumat 9 Oktober 2015)
Classic titanium vs ceramic flat iron tips - I think
BalasHapusin the form of titanium vs ceramic flat ceramic or titanium flat iron iron tips titanium build for kodi at home. westcott titanium scissors Our new expert titanium grey tipster brings his tips to you all in one titanium chords place.