Sentimen
Politik dan Politik Sentimen
Bone
Rampung
Keprodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Inonesa STKIP St. Paulus Ruteng
Senin, 24
Agustus 2015 harus dicatat sebagai tonggak penting dan bersejarah untuk
perjalanan demokrasi di Indonesia. Ia menjadi penting karena pada momen inilah para politikus,
pemburu posisi harus menerima nasib menyusul keputusan penetapan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) perihal kelayakan mereka untuk maju dalam pemilihan kepala
daerah. Ada dua perasaan yang mengisi ruang emosi mereka. Sedih dan duka mengisi ruangan rasa untuk
mereka yang berpredikat gagal menjadi paket calon (palon). Sebaliknya, sukacita
dan tawa ria mengisi ruangan emosi palon yang dinyatakan layak,
direkomendasikan untuk memasuki arena permainan merebut jabatan dan posisi yang
diyakini bisa mengubah nasibnya. Begitulah, nuansa dan kadar rasa mengaromai
gelanggang permainan perebutan kekuasaan. Bipolaritas antara tangis dan tawa
tidak terhindarkan karena dua-duanya melekat pada pilihan dan keberpihakan
politik. Efek bipolaritas rasa ini berdampak luas (berefek domino) pada diri
para pendukung palon sebagai pemain utama (play maker).
Pengertian Sentimen
Kamus Besar Bahasa Indonesia mencantumkan entri “Sentimen” sebagai salah satu kata yang bertalian dengan rasa. Kata 'sentimen' dapat dikategorikan sebagai kata benda (nomina) dan kata sifat (ajektif). Sebagai kata benda, sentimen berarti (1) pendapat atau pandangan yang didasarkan pada perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu (bertentangan dengan pertimbangan pikiran, (2) emosi yang berlebihan, dan (3) reaksi yang tidak menguntungkan. Sebagai kata sifat, sentimen berarti rasa iri hari, tidak senang, dendam. Pemakanaan kata sentimen baik sebagai kata benda maupun sebagai kata sifat sama-sama merujuk pada aspek batin manusia yang bernuansa negatif. Pemaknaan dalam konteks leksikon ini mengindikasikan tentang bersarnya peluang atau kemungkinan penguasaan pikiran oleh perasaan. Sesuatu yang seharusnya disikapi dalam ranah rasionalitas menjadi terpenjara dalam kerangkeng emosionalitas. Aktivitas otak dikendalikan kekuatan otot dan terminologi objektivitas terlindas dalam nafsu yang serba subjektivitas.
Penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah yang berlangsung serentak dan telah dimulai sejak
penetapan para palon kepala daerah, sesungguhnya menjadi arena publik yang
mempertontonkan pertarungan sentimen, permainan pada wilayah perasaan.
Tujuannya bermuara pada pengamanan posisi yang secara populer disebut kekuasaan
dan jabatan. Pertarungan bernuansa sentimen seperti ini sudah mulai terasa
bahkan menjadi wacana liar yang digelindingkan sampai kepada kelompok akar rumput, kelompok masyarakat kebanyakan. Pelbagai cara
bicara mirip silogisme dan logika sederhana yang diragi dengan perasaan sudah
menjadi wacana masyarakat baik yang palonnya dinyatakan layak maupun masyarakat
yang kecewa karena palon andalannya terjungkal di hadapan ranjau-ranjau partai
politik dan permainan kompetitornya yang licik. Semua pihak yang bertarung
dalam posisi berseberangan tampaknya berjibaku sekadar menghebatkan diri sambil
melecehkan lawan, menguduskan diri sambil menajiskan lawan, membenarkan diri
sambil menyalahkan lawan, memuji diri dengan menghina lawan. Perilaku bernuansa
sentimen seperti ini bermetamorfosis ke dalam dua analogi yaitu analogi
keluarga besar dan analogi pakaian
pesta.
Analogi Keluarga Besar
Analogi keluarga besar merujuk pada besarnya jumlah massa pendukung palon kepala daerah. Massa pendukung yang dilihat secara kuantitatif ini bisa saja berarti besarnya jumlah anggota keluarga yang mendukung dan jika banyaknya partai politik pendukung, banyak pemodal dan para kontraktor yang mau 'berjudi' mempertaruhkan modal bagi pemenangan palon yang diusung. Berkaitan dengan ini ada logika dan matematika sederhana yang menjadi dasar pertimbangan pemilih. Anggap saja jabatan yang diperebutkan itu satu petak sawah, para palon itu satu keluarga, dan dengan komposisi jumlah pendukung sebagai anak-anak yang harus mendapatkan bagian dari sepetak sawah itu. Jika sepetak sawah itu diserahkan dan menjadi milik keluarga dengan jumlah anak yang banyak maka banyak yang menjadi penguasa atas sepetak sawah itu tetapi jatahnya sangat kecil. Ini tentu berpotensi terjadi pertarungan dan perebutan di antara mereka apalagi dengan latar belakang watak cara pikir mereka. Jika semuanya berebutan maka sawah sepetak tidak akan produktif menghasilkan sesuatu untuk pemiliknya. Sebaliknya, jika sepetak sawah yang sama itu dipercayakan kepada satu keluarga dengan jumlah anak sedikit maka sedikit saja yang menjadi penguasa atas tanah itu tetapi mereka mendapatkan areal yang cukup, potensi konfliknyanya kecil, dan lahan itu bisa lebih produktif.
Sentimen yang
beranalogi pada keluarga besar ini tampaknya cukup kuat menguasai cara pikir
massa dalam menentukan pilihan mereka. Masyarakat yang mulai melek politik dan
demokrasi tampaknya menyadari hal itu. Itulah sebabnya wacana yang banyak
muncul dalam politik pemilihan kepala
daerah pada akar rumput adalah mencari dan memastikan siapa saja dan berapa
banyak (partai politik, kontraktor, tim sukses) pendukung palon. Sentimen
keluarga besar ini dapat menjadi titik bidik serangan dari pihak kompetitor
dengan dukungan minim jumlah partai, kontraktor, tim sukses. Jika sentimen
'keluarga besar' ini terus disulut maka hampir pasti orang menentukan
pilihannya akan cenderung pada palon dengan jumlah anggota yang kecil dari segi
jumlah.
Analogi pakaian pesta
Sentimen dengan analogi pakaian pesta ini juga tampak menguat dan mendominasi perasaan masyarakat pemilih di daerah yang salah satu calon kepala daerahnya merupakan orang yang masih bertakhta atau petahana (incumbent). Posisi palon petahana di satu pihak memang menguntungkan karena sudah dikenal luas selama berkuasa, kemungkinan didukung bawahannya yang loyal, pemodal yang diuntungkan tetapi di pihak lain semuanya ini akan dimanfaatkan 'lawan bertandingnya' dengan analogi pakaian pesta. Sederhananya, jika pemilihan kepada daerah itu dianalogikan sebagai sebuah pesta dan palonnya ibarat pakaian yang dipilih orang yang hendak berpesta maka ada pertimbangan alamiah di sini. Biasanya semurah apa pun pakaian kalau tergolong baru tentu layak untuk dipertimbangkan. Sebaliknya, sebagus apa pun pakaian jika pernah dipakai atau pakaian bekas, maka di sini pun pembeli membuat pertimbangan. Dalam simpangan pertimbangan untuk memilih antara yang lama dan baru pembeli hanya bisa menentukan secara tepat kalau berlaku hal yang sifatnya alamiah, natural. Lain ceritanya, jika dalam simpangan dilematis itu ada faktor lain yang diasupkan pada saku calon pembeli. Artinya, dia bisa membatalkan niat membeli yang baru meskipun murah meriah dan nekad membeli yang lama meskipun berpredikat bekas dan usang. Di sinilah persisnya kecerdasan seseorang diukur.
Logika dan
realita politik memang sulit berdamai dengan logika dan realitas religius
tetapi sentimen beranalogi pakaian pesta ini tetap berpeluang dihubungkan
dengan sesuatu yang spiritual, religius oleh para pendatang baru di gelanggang
pemilukada. Ayat-ayat kitab suci berikut berpeluang dipakai sebagai senjata
mengalahkan pemain lama. Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam
kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga
anggur itu terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru
disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah
kedua-duanya." (Mat. 9:17; Mrk.2,22; Luk.5,37-38).
Sentimen
politik dan politik sentimen dalam rumusan lain adalah perasaan politik dan
politik perasaan. Bahwa masyarakat sudah memiliki perasaan untuk berpolitik,
tentu harus diapresiasi karena perasaan berpolitik memungkinkan bertumbuhnya
benih kehidupan yang demokratis. Sebaliknya, keinginan untuk bertumbuhnya iklim
demokratis dan lahirnya pemimpin yang memperjuangkan kepentingan masyarakat
kebanyakan tidak mungkin terlaksana jika pelaku atau pemilih bermain seputar
politik yang didominasi perasaan. Mari kita menguji dan mengukur kecerdasan dan
menjujung keluhuran hak dan martabat kita dengan memastikan pilihan yang
rasional tanpa tekanan dalam aneka wajah dan bentuknya. (br)
Tulisan ini sudah dimuat pada Flores Pos Kamis, 17 September 2015 hlm.12-13
Tulisan ini sudah dimuat pada Flores Pos Kamis, 17 September 2015 hlm.12-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar