Terima
Kasih: Tinggi, Besar, Dalam, Luas
Selama bulan Juli
hingga Agustus 2015, kami sempat menghadiri berbagai acara syukuran. Ada
syukuran karena aneka keberhasilan mempertahankan komitmen cinta perkawinan
para pasangan suami istri (pasutri), ada syukuran karena keberhasilan seseorang
mempertahankan komitmen kesetiaan dalam panggilan khusus seperti kesetiaan
menjalani kehidupan sebagai imam, biarawan, dan biarawati. Masa berlibur dari
tugas rutin sebagai pendidik menjadi kesempatan istemawa bagi siapa saja,
khususnya bagi kami, untuk berinteraksi dengan masyarakat di luar kampus. Salah
satu bentuk interaksi itu bertali-temali dengan tindak berbahasa. Pemakaian
kata “terima kasih” dalam berbagai
bentuk interaksi sosial, biasanya dimaknai sebagai bentuk atau indikator
keberbudayaan seseorang. Siapa saja yang berkebiasaan menguncapkan terima kasih
layak dipredikati sebagai orang berbudaya karena kata 'terima kasih'
diidentikkan dengan sopan-santun.
Sebagai ekspresi sopan-santun,
kata 'terima kasih' hampir selalu diucapkan dalam berbagai kesempatan.
Kesempatan yang paling tanpan orang menggunakan kata ini, ketika ada pesta atau
hajatan yang dihadiri banyak orang dan pelaksanaan pesta itu melibatkan banyak
orang. Dalam beberapa kesempatan menghadiri pesta syukuran 25 tahun perkawinan,
hidup membiara, dan hidup dalam panggilan sebagai imam, secara iseng kami
menghitung frekuensi pemakaian atau pengucapan kata 'terima kasih' ini, dalam
kaitannya dengan acara sambutan ketua panitia. Ada belasan orang atau pihak
yang disebutkan dan dinilai sepantasnya diingat dengan ucapan terima kasih
mulai dari mereka berjabatan tinggi hingga mereka yang tidak berjabatan tetapi
terlibat dalam kepanitiaan.
Sungguh mengejutkan,
dalam rentang waktu 25 menit seorang yang berperan sebagai ketua panitia
perayaan syukur menghabiskan waktu 14 menit
untuk mengucapkan 'terima kasih' kepada semua pihak yang terlibat dalam
menyukseskan rangkaian acara syukuran itu. Hanya ada satu pihak yang dilupakan
dalam sambutan ketua panitia yaitu terima kasih
untuk para ibu yang sibuk menyiapkan makanan di dapur. Jika ditambahkan
dengan ucapan untuk penanggung jawab konsumsi maka waktu yang diperlukan untuk
itu ditambah dua menit. Rentetan terima kasih yang disampaikan juga bervariasi
dan terkesan tidak terkendali dan disampaikan tanpa menyadari maknanya. Ada
kesan, rentetan ucapan terima kasih itu menjadi sesuatu yang basi karena bisa
menjadi basa-basi.
Mengapa menjadi
sekadar basa-basi? Ada dua jawaban. Pertama, kata 'terima kasih' itu
disampaikan berulang-ulang sehingga membosankan. Kedua, kata 'terima kasih' itu
diembel-embli dengan kata sifat seperti besar, tinggi, dalam, luas. Kami
tuliskan di sini empat contoh penggalan pemakaian bentuk 'terima kasih' yang diembeli
kata sifat tinggi, besar, dalam, dan luas :
(a) kepada ... kami sampaikan terima kasih setinggi-tingginya, (b) untuk itu,
dari tempat ini kami lambungkan terima kasih sebesar-besarnya, (c) kepada...
juga kami tak lupa sampaikan terima kasih sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya,
(d) untuk itu dari hati yang paling dalam kami haturkan terima kasih
setinggi-tingginya dan sebesar-besarnya.
Pada keempat
penggalan penggunaan kata 'terima kasih' ini ada kata sifat (ajektif) tinggi,
besar, dalam, dan luas yang dimunculkan sebagai bentuk yang telah melewati
proses morfologis pengimbuhan (afiksisasi) dan pengulangan (reduplikasi).
Proses morfologis afiksisasi terjadi melalui penggunaan bentuk dasar kata sifat
yang diulang disertai pelekatan konfiks se-/-nya sehingga muncul bentuk
setinggi-tingginya (dari kata dasar tinggi yang diulang diimbuhi konfiks
se-/-nya), sebesar-besarnya (dari kata dasar besar yang diulang diimbuhi
konfiks se-/-nya), sedalam-dalamnya (dari bentuk dasar dalam yang diulang
diimbuhi konfiks se-/-nya), dan seluas-luasnya (dari bentuk dasar luas yang
diulang dimbuhi konfiks se-/-nya). Penambahan kata sifat yang telah mengalami
proses morfologis pada contoh ini diucapkan berulang-berlang dalam suatu
sambutan acara syukuran sungguh-sungguh membosankan.
Selain membosankan,
bentuk-bentuk seperti ini perlu dicermati secara kebahasaan terutama terkait
dan terikat makna yang dimuatkan dan diniatkan dalam bentuk-bentuk itu. Makna
penggunaan harus menjadi kriteria pertama dan utama karena berbahasa adalah
berkomunikasi dan berkomunikasi berkaitan dengan proses memaknai ujaran.
Membaca bentuk-bentuk ujaran penggunaan kata 'terima kasih' yang diperluas
seperti yang dicontohkan memunculkan pertanyaan mendasar: apa maknanya jika
mengucapkan 'terima kasih' setinggi-tingginya, sebanyak-banyaknya,
sedalam-dalamnya, dan seluas-luasnya? Seberapa tinggi, seberapa banyak,
seberapa dalam, dan seberapa luas suatu ucapan 'terima kasih' itu? Setinggi,
sebanyak, sedalam, dan seluas apa 'terima kasih' itu? Saat berhadapan dengan
pertanyaan 'nakal' seperti ini kita dipaksa untuk menemukan makna ujaran itu.
Dalam kesadaran mencari makna ujaran inilah menjadi nyata bahwa rumusan-rumusan
seperti itu telah menurunkan derajat makna kata 'terima kasih' sebagai ekspresi
keberadaban dan keberbudayaan seseorang melalui praktik berbahasa.
Lalu, bagaimana kata
'terima kasih' sebagai cerminan sopan santun itu ditempatkan pada makna
sebenarnya? Jawabannya harus kembali pada praktik penggunaan kata itu dengan
maknanya yang mencerminkan budaya dan perilaku sopan-santun dan bukan
mengeksploitasinya dalam ujaran yang bertendensi sekadar berbasa-basi. Terima
kasih itu jelas bukan basa-basi karena itu tidak perlu diembeli dengan unsur
penggusur makna. Unsur yang lazim dan berterima untuk disandingkan dengan kata
terima kasih dalam praktik berbahasa adalah penggunaan kata sifat yang
menyatakan kuantitas dan intensitas yaitu kata 'banyak'. Kita biasa berujar:
“terima kasih banyak” atau banyak terima kasih. Tidak biasa kita berujar atau
menulis: *terima kasih tinggi atau tinggi terima kasih, *terima kasih besar
atau besar terima kasih, *terima kasih dalam atau dalam terima kasih, *terima
kasih luas atau luas terima kasih. Bentuk-bentuk bertanda bintang seperti ini
merupakan bentuk yang tidak sesuai dengan patokan, norma kebahasaan.
Bentuk-bentuk seperti ini tergolong bentuk yang salah (anomali) berbahasa.
Lalu, mana yang tepat dari dua bentuk “terima kasih
banyak” atau “banyak terima kasih”. Kedua bentuk ini termasuk bentuk yang
berterima dan benar. Pilihannya bergantung pada unsur yang mendapatkan
penekanan atau dalam kajian kebahasaan disebut unsur yang dipentingkan
(topikalisasi). Pilihan bentuk “banyak terima kasih” unsur yang dipentingkan
adalah jumlah/frekuensi sedangkan bentuk “terima kasih banyak” unsur yang
dipentingkan adalah aksi, tindakannya. Karena itu, mengakhiri ulasan ini kami
menulis ucapan kami, “banyak terima kasih”. (br)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar