Sepasang Mata Malaikat
Kompas Minggu, 3 Juni 2012
LELAKI itu berdiri di dekat jendela. Temaram lampu
kamar, membingkai bayangannya seperti setengah memanjang. Sesaat, aku hanya
menangkap nuansa kesedihan di wajahnya. Wajah yang menyiratkan selaksa
kepucatan yang membentang seperti iring-iringan awan melingkupi langit. Dia lebih
banyak diam, mendengarkan dengan syahdu suara seseorang di seberang. Aku tahu,
dia sedang mengangkat telepon istrinya. Tetapi, aku tak mendengar dengan jelas:
suaranya pelan setengah berbisik, seperti dengung serangga. Sesekali, ia
mengangguk-angguk.
Aku masih meringkuk dibalut selimut. Tapi
tiba-tiba, kulihat segumpal warna serupa sisa badai yang menggumpal di sudut
matanya. Mata yang membuatku bergidik menatapnya lebih lama. Tak sampai
semenit, dia mematikan handphone, kemudian berjalan ke arahku.
”Aku harus pulang,” suaranya datar tidak terlalu
mengejutkanku. Seperti hari-hari yang lain, dia tidak selalu mengungkapkan satu
alasan pun sebelum pergi dari rumahku.
”Apakah istrimu tahu kalau
malam ini kau di rumahku?”
Dia menggeleng. Sorot matanya
kelabu dan ganjil serasa meninggalkan bekas luka pedih bagai timbunan kardus
kumal yang teronggok di tempat sampah. Lama, kami bersitatap pandang. Matanya
mendidih, serupa air yang dijerang di atas tungku. Aku ingin bertanya…, tetapi
genangan hitam di sudut matanya itu membuatku beringsut. Dan, malam itu, dia benar-benar seperti orang asing
yang baru kukenal.
Dia buru-buru berpakaian. Aku
hanya menatapnya dengan diam, bahkan ketika ia pergi dengan tergesa dan
meninggalkanku yang masih meringkuk setengah telanjang dalam balutan selimut.
***
IA tidak tahu, betapa aku
bergidik takut tatkala istriku meneleponku. Meski itu bukan kali pertama
istriku tiba-tiba meneleponku saat aku tidur di rumahnya, tetapi malam itu aku
serasa digulung ombak berlipat-lipat: hanyut dalam gelombang yang hampir
menenggelamkanku. Setelah aku mengangkat telepon, istriku langsung menangis
tersedu. Tangisnya pecah, membuat telingaku serasa basah. Kutunggu lama, hingga
tangisnya reda. Hening sejenak, sebelum kemudian istriku memintaku pulang. Anakku
sakit.
Kabar itu, sebenarnya bukan
sesuatu yang mengejutkan. Tapi, aku merasakan tiba-tiba menggigil. Tangis
istriku bagai gerimis yang turun seketika meninggalkan kepekatan yang
membentang di cakrawala serupa kerlip lampu di sepanjang jalan yang mati tiba-tiba
dan membuat seluruh kota tergeragap. Seberkas cahaya memudar, berganti gelap.
Kesunyian meruncing. Dalam perjalanan pulang, hawa dingin terus menjalar ke
seluruh tubuhku. Setibaku di rumah, aku membuka pintu rumah dengan gugup,
seraya mencium aroma parfum yang masih tertinggal di tubuhku—sekadar menepis
kecurigaan istriku sebelum aku menerabas masuk ke kamar. Tatapan istriku tak
menaruh curiga, ketika aku berdiri di ambang pintu kecuali ia terlihat gugup.
”Sejak satu jam yang lalu, panasnya tak kunjung turun,” tukas istriku.
”Kenapa kau tak langsung
membawanya ke dokter…” ujarku tak sedikit pun merasa bersalah
Kupegang kepala anakku.
Panasnya cukup tinggi.
Tetapi, istriku tak segera
menjawab. Lama, ia menatapku dengan heran. ”Tapi, anak ini butuh ayahnya. Ia
tidak hanya membutuhkanku di saat sakit seperti ini. Sayangnya, ayahnya seperti
tidak pernah tahu.”
”Jika kau tahu aku sibuk, kau
seharusnya tak perlu menungguku sampai pulang untuk sekadar membawanya ke
dokter,” tukasku, sambil membopong buah hatiku, bocah mungil yang baru
menginjak 1 tahun itu. ”Ayo kita berangkat, sebelum semuanya terlambat dan
tambah parah!”
Dalam dekapanku, anakku
menggeliat. Kemudian, ia membuka mata. Mata itu, entah kenapa, tidak lagi
dingin meneduhkan, melainkan berubah seperti nyala api unggun mata seorang
hakim yang mendakwaku dengan tuduhan berat….
***
MATA lelaki itu kemerahan,
bagai hamparan jalan di malam hari yang diterpa gemerlap lampu. Dan, sejak kali
pertama bertemu laki-laki itu, aku seperti ditelungkupkan pada seraut kenangan.
Aku tak tahu, mengapa aku tiba-tiba seperti direnggut perasaan aneh dan ganjil.
Aku seketika jatuh cinta. Apa yang kusuka dari lelaki itu? Jujur, ia
mengingatkanku akan masa laluku—dua tahun lalu—tatkala aku lulus dari kuliah.
Aku masih luntang-lantung, belum mendapatkan pekerjaan layak, dan kerap tidur
di rumah teman.
Hingga akhirnya, kehidupanku
berubah setelah aku bertemu dengan seorang lelaki yang benar-benar asing
bagiku—lelaki yang kemudian menjadikanku istri simpanan. Ia hampir memberiku
apa yang aku butuhkan kecuali kepastian…. Ia bisa datang satu minggu sekali,
kadang bisa satu bulan sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Ia datang ketika
butuh, dan ia tidak pernah datang ketika aku sedang membutuhkan kehadirannya
pada satu malam tertentu. Hingga semua itu berakhir ketika istrinya tahu
keberadaanku.
Dan lelaki ini, tiba-tiba
datang dari balik keheningan. Aku tak tahu, bagaimana semua itu bermula. Ia
tiba-tiba duduk di sebelahku, ketika aku sedang berpangku tangan di sudut cafe.
Ia tersenyum, lalu mengajakku bercengkerama. Di hadapannya, aku seperti
hilang…. Ia lelaki biasa, tapi tatapan matanya membuatku luruh. Dalam sekejap,
persendianku seperti dialiri getaran aneh yang menjalar ke setiap pori-pori.
Mata lelaki itu seperti hamparan laut, tenang dan meneduhkan. Setiap kali aku
melihatnya, aku serasa ingin menyelam ke dalamnya….
Aku tidak bisa berkata-kata
dan ketika lelaki itu menawarkan kebaikan untuk mengantarku pulang, aku tak
kuasa menolak. Sejak itulah, aku sering jatuh
sakit ketika ia lama tidak mengunjungiku….
***
SETELAH mengantar perempuan
itu, aku pulang ke rumah dengan raut penuh tanda tanya. Istriku—yang biasanya
anggun—menyambut kedatanganku dengan cemberut. Tidak seperti biasanya. Ia kali
ini tidak tersenyum, tak membawakan tasku—apalagi mau melepaskan dasiku. Sejak ia membuka pintu, ia
hanya diam—menatapku dengan mata yang aneh. Aku sudah hafal. Pasti ada
peristiwa yang tak ia sukai dan ia memprotesku dengan diam.
Aku meninggalkan istriku yang
masih berdiri kaku di balik pintu. Ia menutup pintu, menguncinya dan mengikuti
langkahku.
”Noura sakit…,” akhirnya ia
buka suara.
Aku berbalik, menatapnya
dengan raut tak percaya. ”Sakit apa?”
”Demam… Tadi, badannya panas.
Aku sudah membawanya ke dokter…”
”Gimana sekarang?” tanyaku
penasaran, seraya merangsek ke kamar.
Putriku tertidur, meringkuk
dalam balutan selimut. Entah kenapa, aku selalu menemukan setangkup ketenangan
yang selalu menelusup dalam hatiku, ketika mataku menatap bola mata mungilnya. Tapi, kali ini putriku terpejam. Aku menempelkan
tangan di keningnya. Kening putriku tidak lagi panas.
”Aku tadi menghubungimu
berkali-kali…. Tapi sia-sia! Handphone-mu
tidak aktif,” ucap istriku.
Aku tidak menanggapinya. Ia
semakin cemberut bahkan kesal. Aku menciumnya putriku pelan-pelan, tak ingin
bangun. Tapi, harapanku kandas. Putriku terjaga. Matanya biru, menatapku. Aku
merasa tatapan mata putriku… entah kenapa, tidak lagi dingin meneduhkan, tetapi
berubah seperti nyala api unggun yang membuatku bergidik takut….
Dan beberapa saat kemudian, ia
menangis.
***
DI mataku, tak ada yang
istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja—seperti umumnya lelaki lain. Hanya
saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di tepi danau. Setiap
aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang tenang. Bahkan, ketika
aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku…. entah kenapa bisa jatuh sakit.
Aku tidak tahu, kenapa semua
bisa tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku, perlahan sakitku pulih. Meski ia datang hanya diam, tak pernah banyak
bercerita dan bersenda gurau. Tetapi, kedatangannya telah membuatku bisa
tersenyum. Ah, lelaki ini benar-benar aneh.
”Aku ingin pergi ke sebuah
danau…,” ucapku memecah keheningan.
Lelaki itu diam, dan seperti
tidak mau mendengar apa yang aku katakan. Dan aku tahu, dia tak sanggup untuk
memenuhi permintaanku. Aku, entah kenapa, merasakan telah meminta sesuatu yang
tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak pernah ada kesepakatan
antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang sudah beristri. Itulah
yang membuatku tak pernah menuntut apa pun… Tapi, dia tiba-tiba membuatku
melambung.
”Besok jika kamu sudah sembuh,
aku akan mengantarmu ke pantai…” ucapnya pelan, seraya mencium keningku.
”Sekarang aku sudah sembuh.”
Lelaki itu terbaring tepat di
sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai sepotong daging dalam
kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan cepat. Lelaki itu
selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah tersengal. Aku
mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia berbaring lemas di balik
selimut.
Hingga kemudian, seperti yang
sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur nyenyaknya. Ia terbangun,
buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan dengan gugup ke arah
jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela
saat ia mendengarkan dengan syahdu suara di seberang. Aku tahu, dia sedang
mengangkat telepon dari istrinya. Tapi aku tidak mendengar jelas: suaranya
pelan setengah berbisik.
Setelah hening, lelaki itu
berkata pendek, ”Aku harus segera pulang.”
Aku tak mungkin mencegahnya
pergi. Aku tahu, pasti ia pulang
lantaran anaknya sakit. Ia pernah bercerita, setiap kali habis menemuiku, pasti
anaknya jatuh sakit…
***
Dalam perjalanan pulang, aku
benar-benar merasa bergidik dan disesap rasa takut. Itu karena, aku tidak ingin
kehilangan anakku. Kalau kulanjutkan hubunganku dengan perempuan itu, aku tak
tahu apa yang terjadi dengan anakku. Lama-lama, anakku bisa sakit menahun….
Tiba di rumah, kubuka pintu
dengan gugup. Lebih gugup lagi tatkala yang menyambutku bukan istriku, tapi ibu
mertuaku. Aku mencium tangan wanita yang telah melahirkan istriku itu dengan
takzim, ”Kamu boleh sibuk bahkan kerja mati-matian, tapi jika karena
kesibukanmu, justru anak-istrimu sakit, rasanya kesibukanmu akan membuat
hidupmu hampa.”
”Ya, Bu…,” jawabku.
Hening sejenak.
”Tapi, bagaimana dengan
Noura?” tanyaku gugup.
”Noura tak apa-apa, justru
sekarang yang sakit istrimu.”
Aku tercekat. Jadi ia
berbohong ketika tadi meneleponku? Ah, kenapa aku sekarang ini tidak peka? Aku langsung menerabas masuk kamar
dan menemukan istriku terbaring dengan tubuh lemas. Aku duduk di tepi ranjang.
Kulihat istriku menggeliat, menatapku dengan aneh.
”Kenapa tadi kau meneleponku
mengatakan Noura yang sakit?”
Istriku diam.
”Kenapa kau berbohong?”
Lagi-lagi, istriku diam.
Setelah itu, ia menatapku tajam. Dan mata istriku… entah kenapa tak lagi dingin
meneduhkan tapi berubah seperti nyala api unggun yang membuatku bergidik. Mata
istriku, kulihat seperti sepasang mata malaikat yang tak henti-henti menuduhku;
bahwa akulah yang sebenarnya berbohong. Jakarta, 2012
Jack dan Bidadari
Kompas Minggu 10 Juni 2012
SEMALAM bidadari itu meninggalkan rumah saya. Dia
menendang kursi sebelum membuka pintu depan. Di luar angin kencang sekali.
Embusan angin bercampur kemarahan membuat pintu terbanting dengan keras. Suara
pintu itu terasa seperti tamparan di wajah saya.
Musim dingin sudah datang.
Tapi di kota ini tidak ada salju. Di Eropa, sungai dan laut menjelma daratan
es. Puluhan orang mati kedinginan. Kereta membeku. Bandara membeku. Dua hari
lalu televisi menyiarkan Pangeran Belanda, Johan Frisco, tertimbun longsoran
salju waktu main ski di Austria. Dia masih koma.
Saya dan Bidadari sering
bertengkar, di musim apa pun, tentang apa pun. Dia sering menampar saya, tapi
saya tidak pernah membalas tamparannya. Sebenarnya saya ingin membalas. Tapi
yang terjadi saya hanya bertahan, tidak melawan.
Dia juga melempari saya dengan
barang-barang, yang kebetulan ada di dekatnya. Botol saus, gelas, piring,
bantal, buku, jambangan bunga, lampu meja, sepatu, kursi…. Dia juga suka
mencakar. Bidadari seharusnya tidak mencakar dan tidak punya cakar. Tapi dia
mencakar. Memang bidadari yang langka. Sekarang saya bisa tersenyum
membicarakannya. Tapi di saat kejadian, dunia ini seperti teraduk-aduk,
berantakan sekali. Benda-benda bertaburan di sana dan di sini, seperti
telur-telur ayam pecah.
Di dinding rumah saya dulu ada
lukisan pastel yang bagus. Abstrak. Komposisi warnanya hitam dan putih. Lukisan
itu saya beli dari pelukisnya langsung, tetangga saya sendiri. Rumahnya
merangkap galeri. Pengunjung mondar-mandir dalam rumah itu. Kami bisa melihat
botol-botol selai di meja makan atau piring-piring bekas sarapan yang bertumpuk
di bak cucian di dapurnya, atau melewati kamar tidur si pelukis atau kamar
tidur anak-anaknya yang terbuka.
Lukisan itu sekarang penuh
bercak merah saus tomat, berada di gudang. Saya suka sekali lukisan itu. Saya kecewa, tapi
Bidadari tidak minta maaf.
Kuku-kukunya panjang.
Goresannya membuat wajah saya terasa perih. Dia juga pernah meninju mata saya,
sehingga saya seperti melihat ada benang-benang hitam kait-mengait,
bergumpal-gumpal, melayang-layang di udara sesudahnya, selama beberapa hari.
Saya pergi ke kantor dengan mata kiri diperban untuk menyembunyikan bekas
ulahnya. Sewaktu rekan kerja saya memandang heran dan ada yang bertanya,
”Kenapa mata kamu, Jack?”, saya menjawab bahwa mata saya dicium bola basket
waktu saya main basket. Ciuman panas. Mereka tertawa.
Saya tidak melaporkan kejadian
ini ke polisi. Bidadari bisa masuk penjara kalau saya melapor.
Di lain waktu, saya bertahan
dengan melindungi wajah saya dari serangannya dengan kedua tangan saya ini,
tapi dia justru makin kalap. Kalau saya diam atau bertahan, dia tambah kalap.
Kalau saya belum luka atau lebam, dia belum berhenti.
Di hari yang membuat
penampilan saya sangat buruk dan perasaan saya lebih kacau dibanding kejadian
sebelumnya, saya memutuskan tidak datang ke kantor. Saya seharian di rumah dan
kalau bosan, di sore hari saya mampir ke rumah sahabat saya, Tom. Ketika saya
katakan bahwa saya seharian di rumah, dia langsung tahu apa yang terjadi.
Kadang-kadang Tom bekerja sampai malam. Saya akan pergi ke rumahnya setelah jam
makan malam, kemudian kami ngobrol sampai larut.
Setelah bertengkar hebat,
Bidadari akan mengangkuti semua barangnya ke mobil, membanting pintu depan dan
pergi dari rumah saya, seolah-olah dia tidak akan kembali lagi. Setiap selesai
bertengkar dengannya, saya benci sekali pada dia, sangat benci. Andaikata
mobilnya terguling di jalan dan meledak, saya lebih senang. Artinya, hubungan
kami benar-benar selesai. Tapi beberapa hari kemudian dia akan menghubungi saya
dan saya menerimanya lagi. Dia membawa barang-barangnya lagi ke rumah, lalu
menata semuanya di tempat semula, seperti pegawai museum memajang kembali
koleksi yang sempat dicuri.
Rumah Tom hanya 10 menit
bermobil dari rumah saya. Dia berkali-kali meminta saya tidak lagi berhubungan
dengan Bidadari. Kata Tom, sebenarnya Iblis adalah nama yang lebih sesuai untuk
pasangan saya. Dia mengkhawatirkan keselamatan saya. Tapi saya tidak tahu cara
yang tepat untuk menjauhi Bidadari. Dengan cara seperti menjauhi rokok, Tom
memberi usul. Orang yang berhenti merokok kurang dari setengah tahun biasanya
masih gampang tergoda untuk kembali merokok dan akan mencandu lebih parah.
Orang bisa disebut bebas dari rokok setelah setahun tidak mengisapnya sama
sekali. Setelah satu tahun itu berlalu, kamu bahkan tidak berselera lagi
melihat rokok, tidak tertarik mencoba sedikit pun.
Saya tidak tahu dari mana Tom
memperoleh teori semacam itu. Saya dan Bidadari paling lama tidak saling
menyapa hanya satu minggu.
Kadang-kadang saya membawa
Garcia, anjing kecil saya, ke rumah Tom. Garcia senang berada di luar rumah.
Dia paling suka taman. Dia selalu menunggu saya pulang dari kantor untuk
mengajaknya berjalan-jalan sebentar di halaman belakang atau ke taman dekat
rumah. Sekarang dia sengaja saya kunci dalam kamar di lantai atas. Pagi ini saya tidak ingin dia berkeliaran di lantai
bawah.
Kalau saya dan Bidadari
bertengkar di akhir pekan dan itu berkali-kali terjadi, saya memutuskan tidak
menjemput putri saya, Anna, untuk menginap di rumah. Saya tidak ingin anak saya
melihat ayahnya dalam keadaan berantakan. Anak saya harus mengenang saya
sebagai ayah yang menyenangkan, membuatnya tenang dan gembira, bukan membuatnya
khawatir dan sedih.
Setelah itu saya akan
menelepon Sue dan mengatakan bahwa saya sangat sibuk. Saya akan minta tolong
kepadanya untuk membiarkan putri kami tinggal dengannya di akhir pekan itu.
Seringkali Sue kesal pada saya dan wajar saja dia kesal, karena dia sudah ada
janji dengan teman. Dia ingin saya yang menghabiskan waktu akhir pekan dengan
Anna, karena akhir pekan adalah giliran saya bersama putri kami. Sue tidak
pernah bercerita tentang pacarnya. Saya pikir, dia memang tidak punya pacar.
Tapi saya sebetulnya tidak peduli dia punya pacar atau tidak. Sue juga tidak
peduli pada saya. Sudah lama dia tidak peduli, sebelum kami akhirnya berpisah.
Botol-botol minuman memenuhi
tong sampah di dapur. Bir, Vodka, Tequilla….. Bidadari suka minum dan mabuk.
Dulu saya jarang minum, tapi sejak saya berhubungan dengannya saya minum makin
banyak.
Umur saya 50 tahun. Putri
saya, Anna, masih belajar di sekolah menengah atas. Sejak saya dan Sue berpisah
tiga tahun lalu, putri kami harus membagi waktu untuk tinggal di dua rumah. Di
hari Sabtu dan Minggu, Anna menginap di rumah saya. Senin sampai Jumat, dia
tinggal bersama ibunya.
Saya kesepian dan karena itu,
saya memelihara Garcia. Sebelum Bidadari datang, saya sudah memelihara Garcia.
Anna menyukai Garcia. Anjing saya mudah akrab dengan orang, sehingga siapa saja
yang berkenalan dengannya langsung suka. Tom sebenarnya tidak suka anjing, tapi
dia suka Garcia.
Kadang-kadang saya mengajak
Anna ke rumah Tom. Dulu
saya dan Tom bertetangga. Rumah kami bersebelahan waktu saya baru menikah
dengan Sue. Persahabatan kami ternyata langgeng, hampir 20 tahun. Tom berpisah
dari Lizzy waktu anak mereka, Ricky, berumur delapan tahun. Lizzy menikahi
pacarnya sebulan kemudian sesudah mereka bercerai. Tom sempat jadi peminum
berat. Dia hancur-hancuran selama setengah tahun.
Lizzy kehilangan selera
terhadapnya. Tom terlalu suka bahaya. Dia pernah terancam hukuman mati dua
kali, disandera pemberontak satu kali dan kena tembak tiga kali.
Keuangan saya cukup kacau,
setelah Bidadari hadir dalam hidup saya. Tapi saya memang bukan orang pelit.
Teman-teman saya menganggap Bidadari hanya mengincar uang saya saja. Saya punya
karier yang baik dan pemasukan yang lumayan. Saya merintis karier saya di
kantor pemerintah kota. Bidadari kerja di sebuah klab malam. Gajinya tidak
banyak.
Kami sudah berhubungan selama
dua tahun. Di tahun kedua kami berhubungan, dia pindah ke rumah saya. Sebab
saya membutuhkan teman.
Sejak Bidadari tinggal di
rumah, saya jarang mengundang teman-teman saya untuk makan malam di rumah atau
mampir di akhir pekan. Bidadari merasa tidak nyaman dengan kehadiran
teman-teman saya. Dia merasa mereka mengejeknya di belakang punggungnya. Dia
merasa dikucilkan tiap kali kami berkumpul. Itu tidak benar. Tom, meski kesal,
justru paling ramah pada Bidadari. Dia senang membantunya menyiapkan makanan.
Bidadari jauh lebih muda dari saya. Umurnya baru 30-an. Cantik? Bagi saya, dia
menarik. Tapi dia memang tidak pernah keluar rumah tanpa riasan. Lagipula dia
bekerja di tempat yang mengharuskannya berpenampilan begitu. Secara fisik, dia
laki-laki, sama seperti saya. Tapi dia merasa perempuan.
Sebenarnya orang-orang di kota
ini ramah, bahkan kepada orang asing seperti kamu. Tidak seharusnya saya
kesepian. Saya juga punya teman-teman baik. Tom sering menemani saya sarapan
pagi di kedai kopi kesukaan kami atau menemui saya di jam makan siang, tapi
bagaimana pun dia punya kehidupan sendiri.
Kedai kopi favorit saya dan
Tom, itu asyik sekali. Kedai Mexico. Makanan di sana murah. Saya dan Tom biasa
memesan kopi, roti, dan tortilla isi telur dan keju. Tidak sampai enam dollar.
Hari ini saya sengaja tidak
sarapan di kedai kopi yang sama. Aneh rasanya Tom tidak akan sarapan lagi
bersama saya di sana. Dua minggu lalu dia meninggal di Suriah, karena bom meledak. Dia sedang mewawancarai orang waktu itu.
Di kedai ini makanan juga
enak. Saya pernah makan di sini satu kali, dengan Tom dan anaknya, Ricky. Kalau
Ricky lebih suka kedai kopi yang ini. Dia menawari saya untuk memesan eggs
benedict waktu itu. Sekarang saya memesan eggs benedict lagi. Ricky anak yang
baik dan perasa. Dia juga pintar masak. Saya suka beef brisket buatannya. Dia
pasti sangat kehilangan ayahnya. Saya ingin panjang umur untuk putri saya,
Anna. Besok saya ada janji dengan Ricky untuk menemaninya di rumah. Saya
benar-benar berantakan. Tapi saya harus menemaninya.
Apakah blueberry pancake kamu
enak? Tidak terlalu manis? Saya tidak suka makanan manis. Kalau sudah berumur
seperti saya, sebaiknya kamu mengurangi makanan yang manis-manis. Kamu sering
sarapan di sini? Kamu beruntung kuliah di kota ini. Orang-orangnya ramah pada
orang asing. Terhadap orang-orang Asia, tidak ada masalah. Tapi orang hitam dan
Hispanik mengalami diskriminasi. Mereka dianggap sering membuat masalah.
Kemiskinan dan kejahatan sering dalam satu paket. Tapi siapa yang tidak mudah
naik pitam, kalau lapar? Saya tidak bisa berpikir di saat lapar. Eggs benedict
ini porsinya terlalu besar. Dua telur. Kolesterol saya bisa naik. Kamu mau
satu? Dulu saya mengira Bali itu satu negara tersendiri. Ternyata itu bagian
dari Indonesia juga ya? Mudah-mudahan saya bisa ke sana.
Saya tahu wajah saya
berantakan sekali. Mata saya bengkak? Saya hanya tidur dua jam tadi malam,
kemudian tidak tidur lagi sampai pagi. Hari ini saya tidak akan masuk kantor.
Saya benar-benar pusing.
Menurut kamu, apa yang harus
saya lakukan kalau kejadiannya seperti ini.
Semalam, setelah Bidadari
pergi, saya sempat tertidur dua jam. Tiba-tiba telepon seluler saya berbunyi keras. Bidadari
datang lagi. Dia sudah di pintu depan, dia mengatakannya dengan nada datar.
Saya pikir, ada barang yang ketinggalan. Dia minta saya segera membuka pintu.
Saya turun ke lantai bawah, membuka pintu. Dia langsung menerobos masuk, lalu
menodongkan pistol ke arah saya.
Wajah Anna terbayang. Saya
tidak mau mati. Saya membujuk Bidadari untuk meletakkan pistol di meja, lalu
kami bicara. Dia tidak mau. Dia menarik
pelatuk, membidik ke arah saya. Meleset. Kena dinding. Pistolnya berperedam.
Dia berancang-ancang untuk menembak lagi. Saya secepat kilat melempar jambangan
perunggu ke arahnya. Dia terjatuh. Kepalanya menghantam meja marmer. Dia
pingsan. Saya tidak berpikir panjang lagi, langsung mengikat kaki dan
tangannya. Mulutnya saya sumpal dengan beberapa serbet. Dia sekarang di rumah,
di ruang tamu. Pistolnya saya masukkan ke dalam kantong plastik yang biasa
dipakai untuk menyimpan makanan di kulkas. Setelah itu saya mengendarai mobil
keliling kota, sampai pagi, sampai kedai kopi ini buka.
Saya akan menelepon polisi
sesudah sarapan. Nama saya, Jack. Kamu? Rati?
Rati-h?
Di bioskop, film Almodovar
yang baru sedang diputar. Kamu mau menonton nanti malam? Ajak teman-teman kamu juga. Saya traktir.
Huuuhh…. Udara di luar dingin sekali.
Perempuan Balian
Kompas, Minggu 24 Juni 2012
Sebelum peristiwa malam itu
yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan
tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada
ular-ular besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang
menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.”
Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan
lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang
hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap melakukan perjalanan sendiri ke
hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.
”Aku banyak menemukan
makhluk-makhluk aneh di sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman
sebaya, yang karena cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan
dijauhi teman-temannya. Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian.
”Teman-temanku di dunia lain jauh lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku
menirukan ucapannya.
Tabiat ini kemudian dikait-kaitkan
orang dengan almarhum ayahnya yang seorang balian, seorang dukun kesohor.
Ayahnya dikenal sebagai panggalung, dukun sakti yang karena karismanya sanggup
memanggil, mengikat, dan mendatangkan orang-orang dari kampung-kampung jauh.
Ayahnya meninggal kala ia usia 12 tahun. Ibunya lebih dulu tiada, tak tertolong
saat melahirkannya. Entah dari mana mulanya, kenyataan itu membuat Idang
dianggap sebagai pembawa kemalangan dalam hidup.
Dengan hidup hanya ditemani
nenek dari ibunya, Idang tumbuh menjadi perempuan pendiam, penyendiri. Dan bila
pun ia bicara dan bercerita kepada anak-anak sebayanya, maka itu adalah cerita
tentang mimpi-mimpi, tak jauh dari cerita tentang ular dan ayahnya.
***
Balai Atiran terang benderang.
Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung itu. Enam keluarga
yang berdiam di dalam balai, sudah sejak gelap pertama duduk di depan pintu
bilik masing-masing yang tampak gelap seperti goa, hingga pintu yang terbuka
itu layaknya kain hitam yang menempel di dinding balai. Mereka menjamu, menjadi
tuan rumah aruh yang dihelat di tengah-tengah ruang balai yang malam itu
berbilas cahaya dari lima lampu petromaks.
Barisan-barisan tamu dari
bukit-bukit jauh silih bergantian datang. Arak-arakan kecil itu sebagian datang
dengan berpenerang obor, sinter, atau hanya mengandalkan terang langit di atas
jalan yang membelah hutan pegunungan Meratus. Malam tak berbulan.
Kaki-kaki tak beralas menapaki
jalan-jalan basah dibasuh sebelum menaiki tangga balai sepuluh undakan. Tua
muda, laki perempuan, dan anak-anak. Di antara mereka ada yang membawa hasil
kebun: kemiri, keminting, atau sayuran yang diberikan kepada ibu-ibu dan dara-dara
yang bekerja di dapur mempersiapkan jamuan. Ada dua ekor babi yang telah
dikorbankan untuk upacara, dan setengah karung beras dimasak di dalam sebuah
kuali besar.
Para undangan sudah mulai
memenuhi ruangan balai. Duduk berlapis-lapis membentuk segi empat sepanjangan
ruang balai yang polos, hingga mempertegas tiang-tiang kurus ulin balai yang
menjangkau langit-langit tinggi. Hanya ruang segi empat kecil di tengah-tengah
balai yang dibiarkan terbuka, dengan segenap syarat-syarat upacara: menyan dan
sebilah keris tua telanjang jangkung kehitaman. Seorang lelaki tua namun
terlihat penuh wibawa duduk bersila. Kepalanya dibebat kain. Sementara mulutnya
tak henti mengembuskan asap tembakau yang dilinting kulit jagung kering. Dialah
damang, yang konon usianya sudah lebih satu abad. Wajahnya yang penuh kerutan
waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan batang pohon tua dalam hutan terdalam.
Damang Itat, begitulah orang-orang Meratus memanggilnya, yang malam itu akan
menjadi pemimpin upacara aruh.
Segala berpusat pada lingkaran
tari di tengah. Berputar-putar. Bergelombang. Menyedot seperti kitaran angin
limbubu. Diam yang mengalir dalam mantra-mantra dan tarian purba. Pada apa kata
menjadi sakti. Tiga lelaki terus bergerak. Kadang seperti melayang, membayang,
tak berpijak tanah, tak berpijak bumi, mengambung dalam kisaran waktu yang
terus beringsut susut.
Tiga tubuh terus
berputar-putar dalam tarian. Madah-madah dinyanyikan merasuk dalam rampak tabuh
gendang dan denting gelang. Seperti suara alam yang tak pernah terduga.
Mengentak. Melenting tajam menembus langit-langit balai. Menggetarkan udara
yang berkibar-kibar dalam satu ruang. Tubuh-tubuh liat lepas, tak mengenal
jeda, tak mengenal kantuk, tak mengenal tanah pijak. Mereka para balian yang
menjalankan ritual pengobatan untuk seonggok tubuh yang terkulai layu di
tengah-tengah balai, tempat segala sesembahan diluahkan.
Balai itulah cahaya benderang
satu-satunya di belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi
perawan. Sebuah kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si
sakit.
Tubuh kecil kurus anak usia
empat tahun itu seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut
kulit kering layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti
ilalang terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna
kulitnya kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup, meski
juga sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan rongga dadanya
yang tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari sapu lidinya menjentik
pelan pada lantai beralas lampit, mengikuti irama tari tiga balian.
Diisap buyu, penyakit
menakutkan yang mengakrabi tubuh kecil tergolek di tengah-tengah balai. Tubuh
yang diisap buyu adalah seperti merentangkan hidup di antara kematian. Darah,
daging, dan air yang menjadi sumber tubuh menjadi tercemar dan kering, serupa
hutan kehilangan keperawanannya menjadi ranggas dimakan hantu-hantu besi
bernama buldoser dan gergaji dengan sang kendali pemakan segala; manusia.
Sudah satu bulan tubuh kecil
itu tak berdaya dalam pagutan buyu. Sudah tiga hari tiga malam tiga balian
seolah terbang menari-nari mengusir sang buyu yang betah menghuni tubuhnya.
Sebuah pengobatan yang dipercaya turun-temurun dapat mengusir roh jahat dalam tubuh
si sakit. Namun, sudah tiga hari tiga malam ritual pengobatan dijalankan, roh
jahat di tubuh si anak tak jua pergi. Segala permohonan dan doa telah
dihaturkan para balian kepada sang ilah. Segala syarat: gula, beras, ayam,
bubur, kopi, menyan, telah dipersembahkan. Si sakit tetap terkulai. Dingin
tubuhnya, terkatup matanya. Tinggal jari sapu lidinya menjentik-jentik lantai.
Tiga balian masih menari
beriringan, berputar-putar dalam rampak gendang dan denting gelang yang tiada
sepi.
Seorang ibu muda yang telah
kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya
menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan
dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di
awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu
seorang ibu yang menjaganya. Sang ayah, yang duduk di antara para pria di dekat lingkaran upacara,
sesekali menengok kepadanya. Hanya karena ia seorang ayahlah yang membuat
lelaki itu tetap tegar mendampingi anak semata wayang mereka didera penyakit
tak berampunan. Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah mulai memupuk
kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah.
Seperti menyibak kegelapan
malam, meredam guruh gemuruh suara gelang dan mantra tiga balian, seorang
perempuan muda tiba-tiba menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya
merapal mantra-mantra yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan
diiringi denting gelang di kedua tangannya. Tiga balian lelaki terhenti.
Orang-orang tersihir, terpaku menatap dalam keheningan. Hanya perempuan itu,
ya, hanya perempuan itu yang menjadi pusat segala gerak, segala hidup. Ia terus
berputar-putar, menari, merapalkan mantra dan mendentangkan gelang-gelang berat
di kedua tangannya yang kurus panjang.
Aduhai,
Naik Kuda Sawang, sayang
Naik Kuda Sawang, sayang
Dibelai angin *)
Tak ada seorang pun yang
tergerak menghentikan perempuan itu. Hingga akhirnya perempuan muda berambut panjang
itu tersungkur ke lantai balai. Seluruh tubuhnya kuyup oleh peluh. Bersamaan
itu pula, anak lelaki yang menjadi pusat pengobatan di tengah balai pelan-pelan
bergerak seolah ingin bangkit. Orang-orang menyaksikan, kulit sang anak yang
semula kering layaknya kulit kayu tua berubah seolah di bawahnya telah mengalir
air kehidupan. Butir-butir peluh membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Kuning
kunyit kulitnya pun memudar. Perlahan matanya terbuka, bercahaya. Bibirnya,
yang meski masih tampak kering, perlahan berucap, ”Ayah….” Panggilannya pelan
namun jelas.
Seketika saja, orang-orang
menghambur ke depan, mendekati tubuh kecil itu. Sang ayah dan ibu langsung
memeluk dan menciuminya. ”Anakku… anakku… anakku..,” ucap keduanya sembari
menangis dalam kegembiraan mendapati sang anak telah terlepas dari maut.
Seolah tersadar, orang-orang
kemudian mengalihkan perhatian kepada sosok perempuan muda yang masih
tersungkur tak sadarkan diri di lantai. Sekejap saja mulut-mulut bergeremeng
seperti sekumpulan laron terperangkap dalam botol.
”Siapakah dia?”
”Dari mana asalnya?”
Tubuh itu tetap sepi,
tertelungkup dengan rambut panjang tergerai masai. Satu dua orang kemudian
tergerak menghampiri, lantas diikuti yang lain, lalu mengangkat tubuh perempuan
itu ke salah satu bilik balai dan merebahkannya ke atas kasur tipis.
***
Orang sekampung tidak pernah
melupakan malam itu. Seorang perempuan terbilang muda tiba-tiba menjadi balian,
menjadi dukun. Tidak pernah sebelumnya, sejak nenek moyang, seorang perempuan
menjadi balian. Paling tinggi ia hanya menjadi pinjulang, pembantu dukun
laki-laki.
Tapi malam itu, Idang, seorang
perempuan muda yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara.
Menari-nari, menyanyi, merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah
dibaca para balian.
”Ini menyalahi adat. Tidak
pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi
seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di
warung kepada dua lelaki yang lebih muda. Aku, yang meski berseberangan meja
dengan mereka, masih dapat mendengarkan ucapan itu.
”Tapi ia telah berhasil
menyembuhkan anak itu,” sahut salah satu lelaki muda sembari mengisap rokok.
”Betul, Pak. Saya ikut
menyaksikan malam itu,” timpal yang seorang lagi setelah meneguk kopi hitamnya.
Dengan wajah agak memerah,
orang tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini
nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak
menjadi balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun pergi
meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka… celaka.”
Setelah lelaki tua itu agak
jauh, seorang dari lelaki di warung berucap, ”Mungkin ia kecewa dan malu karena
tak mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.”
Aku melakukan hirupan terakhir
kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai
perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan
penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.
Selama perjalanan meninggalkan
kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu, benakku terus dihantui
cerita tentang Idang perempuan balian, dan lelaki tua di warung yang
mengabarkan akan datang bencana di kampung dan hutan mereka.
Entah, makna apa yang harus
aku pahami. Namun aku tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan
dibongkar oleh sebuah perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya.
*) Kutipan ”Syair Induang
Hiling” dalam buku ”Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan” karya Anna Lowenhaupt
Tsing, yang sekaligus mengilhami cerpen ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar