Tukang
Pijat Keliling
Kompas Minggu 1
Juli 2012
Sebenarnya
tidak ada keistimewaan khusus mengenai keahlian Darko dalam memijat. Standar
tukang pijat pada layaknya. Namun, keramahannya yang mengalir menambah daya
pikat tersendiri. Kami menemukan ketenangan di wajahnya yang membuat kami
senantiasa merasa dekat. Mungkin oleh sebab itu kami terus membicarakannya.
Entah
darimana asalnya, tiada seorang warga pun yang tahu. Tiba-tiba saja datang ke
kampung kami dengan pakaian tampak lusuh. Kami sempat menganggap dia adalah
pengemis yang diutus kitab suci. Dia bertubuh jangkung tetapi terkesan
membungkuk, barangkali karena usia. Peci melingkar di kepala. Jenggot lebat
mengitari wajah. Tanpa mengenakan kacamata, membuat matanya yang hampa terlihat
lebih suram, dia menawarkan pijatan dari rumah ke rumah. Kami melihat mata yang
bagai selalu ingin memejam, hanya selapis putih yang terlihat.
Kami pun penasaran ingin merasakan pijatannya. Maklum,
tak ada tukang pijat di kampung kami, apalagi yang keliling. Biasanya kami
saling pijat memijat dengan istri di rumah masing- masing, itu pun hanya
sekadarnya. Kami harus menuju ke dukun pijat di kampung sebelah bila ingin
merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau mengurut tangan kaki kami yang
terkilir.
Hampir kebanyakan warga di kampung kami ini adalah buruh
tani. Hanya beberapa orang yang memiliki sawah, dapat dihitung dengan ingatan.
Setiap hari kami harus menumpahkan tenaga di ladang. Dapat dibayangkan
keletihan kami bila malam menjelang. Tentulah kehadiran Darko membuat kampung
kami lebih menggeliat, makin bergairah.
Setiap malam, dengan membawa minyak urut, dia menyusur
dari gang ke gang kampung guna menjemput pelanggan. Kakinya bagai digerakkan
tanah, dia begitu saja melangkah tanpa bantuan tongkat. Tidak pernah menabrak
pohon atau jatuh ke sungai. Memang, tangannya kerap meraba-raba udara ketika
melangkah, seperti sedang menatap keadaan. Barangkali penglihatan Darko
terletak di telapak tangannya.
Dia akan berhenti ketika seseorang memanggilnya. Melayani
pelanggannya dengan tulus dan sama rata, tanpa pernah memandang suatu apa pun.
Serta yang membuat kami semakin hormat, tidak pernah sekali pun dia mematok
harga. Dengan biaya murah, bahkan terkadang hanya dengan mengganti sepiring
nasi dan teh panas, kami bisa mendapatkan kenikmatan pijat yang tiada tara.
Kami menikmati bagaimana tangannya menekan lembut tiap jengkal tubuh kami. Kami
merasakan urat syaraf kami yang perlahan melepaskan kepenatan bagai menemukan
kesegaran baru setelah seharian ditimpa kelelahan. Pantaslah bila terkadang ada pelanggan yang tertidur saat sedang dipijat.
Selain itu, Darko memiliki pembawaan sikap yang ramah,
tidak mengherankan bila orang- orang kampung segera merasa akrab dengan
dirinya. Dia suka pula menceritakan kisah lucu di sela pijatannya. Meskipun
begitu, kami tetap tidak tahu asal usulnya dengan jelas. Bila kami
menanyakannya, dia selalu mengatakan bahwa dirinya berasal dari kampung yang
jauh di kaki gunung.
Kemudian kami ketahui, bila malam hampir tandas, Darko
kembali ke tempat pemakaman di ujung kampung. Di antara sawah-sawah melintang.
Sebuah tempat pemakaman yang muram, menegaskan keterasingan. Di sana terdapat
sebuah gubuk yang menyimpan keranda, gentong, serta peralatan penguburan lain
yang tentu saja kotor sebab hanya diperlukan bila ada warga meninggal. Di
keranda itulah Darko tidur, memimpikan apa saja. Dia selalu mensyukuri mimpi,
meskipun percaya mimpi tak akan mengubah apa-apa. Sudah berhari-hari dia
tinggal di sana. Tak dapat kami bayangkan bagaimana aroma mayit yang membubung
ke udara lewat tengah malam, menggenang di dadanya, menyesakkan pernapasan.
Kami lantas menyarankan supaya menginap di masjid saja.
Namun dia tolak. Katanya kini masjid sedang berada di ujung tanduk. Entahlah,
dia lebih memilih tinggal di pemakaman, membersihkan kuburan siapa saja.
Seminggu kemudian orang- orang kampung gusar. Pak Lurah
mengumumkan bahwa masjid kampung satu-satunya yang berada di jalan utama, akan
segera dipindah ke permukiman berimpitan rumah-rumah warga dengan alasan agar
kami lebih dekat menjangkaunya. Supaya masjid senantiasa dipenuhi jemaah.
Namun, berhamburan kabar Pak Lurah akan mengorbankan
tanah masjid dan sekitarnya ini kepada orang kota untuk sebuah proyek pasar
masuk kampung. Tentu saja merupakan tempat yang strategis daripada di pelosok
permukiman, harus melewati gang yang meliuk- liuk dan becek seperti garis nasib
kami.
Di saat seperti itu kami justru teringat Darko. Ucapannya
terngiang kembali, mengendap ke telinga kami bagai datang dari keterasingan
yang kelam. Kami mulai bertanya-tanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui
segala yang akan terjadi? Sejauh ini kami hanya saling memendam di dalam hati
masing- masing tentang dugaan bahwa Darko memiliki kejelian menangkap hari
lusa.
Namun diam-diam ketika sedang dipijat, Kurit, seorang
warga kampung yang terkenal suka ceplas-ceplos, meminta Darko meramalkan
nasibnya. Darko hanya tersenyum sambil gelengkan kepala berkali-kali isyarat
kerendahan hati, seakan berkata bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa selain
memijat. Namun Kurit terus mendesak. Akhirnya seusai memijat, Darko pun
menuruti permintaannya.
Dengan sikap yang tenang dia mulai mengusap telapak
tangan Kurit, menatapnya dengan mata terpejam, kemudian berkata; Telapak tangan
adalah pertemuan antara kesedihan dan kebahagiaan. Entahlah apa maksudnya,
Kurit kali ini hanya diam saja, mendengarkan dengan takzim.
”Ada kekuatan tersimpan di telapak tanganmu.”
Kurit serius menyimaknya masih dalam keadaan berbaring.
”Tetap dirawat pertanianmu, rezeki akan terus
membuntuti,” tambahnya.
Kurit mengangguk, masih tanpa ucap.
Setelah merasa tak ada lagi sesuatu yang harus
dikerjakan, Darko permisi. Berjalan kembali menapaki malam yang lengang.
Langkahnya begitu jelas terdengar, gesekan telapak kakinya pada tanah
menimbulkan bunyi yang gemetar. Sementara Kurit terus menyimpan ucapan Darko,
berharap akan menjadi kenyataan.
***
Siang hari. Darko selalu duduk berlama-lama di celah
gundukan-gundukan tanah yang berjajar. Seperti sedang merasakan udara yang
semilir di bawah pohon-pohon tua. Menangkap suara burung-burung yang melengking
di kejauhan. Menikmati aroma semak-semak. Mulutnya bergerak, seperti sedang
merapalkan doa. Mungkin dia mendoakan mereka yang di alam kubur sana. Dan bila
ada warga meninggal, Darko kerap membantu para penggali kubur. Meski sekadar
mengambil air dari sumur, supaya tanah lebih mudah digali.
Begitulah, saat siang hari kami tak pernah melihat Darko
keliling kampung. Barangkali dia lebih memilih menyepi dalam hening pemakaman.
Ada saja sesuatu yang dia kerjakan. Bahkan yang mungkin tidak begitu penting
sekalipun. Mencabuti rerumputan liar di permukaan tanah makam, mengumpulkan
dedaunan yang berserakan dengan sapu lidi lalu membakarnya. Padahal, lihatlah
betapa daun-daun tidak akan pernah berhenti menciumi bumi. Dia begitu tangkas
melakukan itu semua, seakan memang tak pernah ada masalah dengan
penglihatannya.
Kurit membenarkan ucapan Darko. Bawang merah yang
dipanennya kini lebih besar dan segar daripada hasil panen sebelumnya.
Bertepatan dengan naiknya harga bawang yang memang tak menentu. Dengan
meluap-luap Kurit menceritakan kejelian Darko membaca nasib seseorang kepada
siapa saja yang dijumpainya. Kabar tentang ramalannya pun bagai udara, beredar
di perkampungan.
Kini hampir setiap malam selalu saja ada yang membutuhkan
jasanya. Para perempuan, yang biasanya lebih menyukai pijatan suami, mulai
menunggu giliran. Entah karena memang butuh mengendorkan otot yang tegang atau
sekadar ingin mengetahui ramalannya. Mungkin dua-duanya. Bila kebetulan kami
menjumpainya di jalan dan minta diramal tanpa pijat sebelumnya, Darko tidak
akan bersedia melakukannya. Katanya, dia hanya menawarkan jasa pijat, bukan
ramalan.
Di warung wedang jahe, orang-orang terus membicarakannya.
Mereka saling menceritakan ramalan masing-masing.
”Akan datang kepadaku putri kecil pembawa rezeki.”
”Eh, dia juga bilang, sebentar lagi akan habis masa
penantianku,” kata perempuan pemilik warung dengan nada berbunga- bunga. Ia
hampir layu menunggu lamaran.
”Dia menyarankan supaya aku beternak ayam saja,”
seseorang menambahi.
Begitulah, dengan sangat berkobar-kobar kami menceritakan
ramalan masing-masing. Setiap lamunan kami habiskan untuk berharap. Menunggu
dengan keyakinan mengucur seperti curah keringat kami yang terus menetes sepanjang
hari.
Sungguh tak dapat kami pungkiri. Tak dapat kami sangkal, segalanya benar-benar terjadi. Talim dianugerahi
bayi perempuan yang sehat dari rahim istrinya. Tak lama jelang itu, Surtini si
perawan tua menerima lamaran seorang duda dari kampung sebelah. Sementara
Tasrip bergembira mendapati ternak ayamnya gemuk dan lincah. Disusul dengan
kejadian-kejadian serupa.
Kejelian Darko dalam meramal semakin diyakini orang-
orang kampung. Ketepatannya membaca nasib seperti seorang petani memahami gerak
musim-musim. Pak Lurah pun merasa terusik mendengar kabar yang dari hari ke
hari semakin meluap itu. Ia sebelumnya memang belum pernah merasakan pijatan
Darko. Ia lebih memilih pijat ke kampung sebelah yang bersertifikat, menurutnya
lebih pantas dipercayai.
Malam itu diam-diam Pak Lurah memanggil Darko ke
rumahnya. Seusai dipijat, dengan suara penuh wibawa ia meminta diramalkannya
nomer togel yang akan keluar besok malam. Seperti biasa, Darko hanya menggeleng
sambil tersenyum. Namun Pak Lurah terus mendesak, bahkan sedikit memohon. Darko
diam beberapa jenak. Kemudian, dengan sangat terang dia pun menyebutkan angka
sejumlah empat kali diikuti gerak jari- jari tangannya. Kali ini Pak Lurah yang
tersenyum, gembira melintasi raut mukanya.
Seperti biasa, setelah merasa tidak ada sesuatu yang
harus dikerjakan, Darko permisi. Membiarkan tubuhnya diterpa angin malam yang
lembab.
***
Orang-orang kampung kini mulai gelisah. Sudah dua malam
kami tidak menjumpai Darko keliling kampung. Kami hanya bisa menduga dengan
kemungkinan-kemungkinan. Sementara Pak Lurah kian geram, merasa dilecehkan.
Mendapati nomer togel pemberiannya tak kunjung tembus. Esoknya, di suatu Jumat
yang cerah, Pak Lurah mengumpulkan beberapa warga—terutama yang lelaki—guna
memindahkan perlengkapan penguburan ke tengah permukiman. Katanya, tanah
kuburan semakin sesak, membutuhkan lahan luang yang lebih.
Sesampainya di sana, kami tetap tidak menjumpai Darko. Di
gubuk itu, kami tidak juga menemukan jejak peninggalannya. Dengan memendam
perasaan getir kami merobohkan tempat tinggalnya. Dalam hati kami masih sempat
bertanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi? KamarMalas, Januari
2012
Kabut Ibu
Kompas Minggu, 8 Juli 2012
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu
berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu,
dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah
sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena
mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka
lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka
hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan,
rumah itu pasti sudah dikutuk.”
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober
1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak
dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah
meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku
ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa
orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius
sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali
mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah
gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu
belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang
terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku
terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam
itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku
terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin,
hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk
pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya
tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih
untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam
itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di
luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api
sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh
paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu
sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi
di kamarnya.
Selepas
duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang
duluan, begitu kata abah.
Sesampainya
di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya
yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan
pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan
teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru
abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku
melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam
pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa
kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu
masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta
untanya.
”Kotor
kenapa, Bah?”
Abah
terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!”
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk
tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah
sebelum abah datang.
”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan
rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi
hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa
mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali.
Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung
datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan
rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan.
Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya
menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah,
ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan
sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal
yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki,
perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah
hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras
rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan
ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi
keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara
luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah
hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada
sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia.
Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan
lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami
yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti
pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang
melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu
berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana.
Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami
menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik
dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari
mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari
matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya.
Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan
bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang
biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah
kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu
tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami
selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan
makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan
membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami
memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali
kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut
yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu
ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami
benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan
ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman.
Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya,
hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka
jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah.
Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi
sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu,
juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh,
kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami
saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami
mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan
sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak
juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu.
Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat
laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada
di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah
kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci
rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah
bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi,
hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan
orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak
bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami
yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia
menelan ibu.
Ketika Kabut
Malang, 11-11-11
Malang, 11-11-11
Hening di Ujung Senja
Cerpen Wilson Nadeak (Kompas,
15 Juli 2012)
IA tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka berdua?
“Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. “Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.
“Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau si Tunggul?”
“Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.
Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. “Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. “Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.”
“Akan kupikirkan,” kataku. “Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.
Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke kampung halaman, kutemukan dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia terbaring di tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, “Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat.
Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik padaku, “Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.”
“Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku.
***
Rendi selalu datang dalam
mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor. Tetapi, karena
mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin
mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa
pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh
harapan ini ia memulai kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian
kota, melempar-lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya,
demi kehidupan yang tidak mengenal belas kasihan.Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa duka karena kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo dari siang sampai senja, lalu pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus kehidupan.
Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja.
Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung berita disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota “Y”.
Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke tempat istirah.
Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau.
***
Beberapa waktu kemudian,
aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan mencoba membaca
berita yang masuk.Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61.
Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.
Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati.
Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi makamnya.
Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur ke Bali bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti. Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu.
Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan:
Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata uang asing.
Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke-67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika penguburannya.
Ibu Maria meninggal mendadak.
***
Aku baru saja menerima
telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78. Kudengar suaranya
gembira, walaupun aku tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya
dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua
anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat….Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya belum sampai ke situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku?
Aku tepekur.
Hening di ujung senja. (*)
Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus…
Cerpen Sungging Raga (Kompas, 22 Juli 2012)“SABARLAH, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai.
“Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.
Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu saja senja sering melihat lelaki itu, entah di mana.
“Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab pertanyaannya sendiri.
“Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.”
Nah.
Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan senja yang konon lebih luas dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai selatan itu?
“Aku tetap suka berada di sini meski kau diam saja.”
Begitukah?
Lelaki itu memang masih diam.
“Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku merasa ditimbun kenangan.”
Sepanjang angin berembus, wanita itu terus berbicara. Tapi hari masih terang, burung-burung terbang rendah di atas mereka, tak beraturan. Belum waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di besi jembatan, kemudian terbang lagi. Senja belum datang, dan kereta juga belum datang.
“Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika senja?” tanya lelaki itu. Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri.
“Tentu saja.”
“Kereta apa? Kereta senja?”
“Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang.”
“Lalu?”
“Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang seperti biasa. Itu saja.”
“Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang mengangkut minyak pun ada namanya.”
“Ketel maksudnya?”
“Ya.”
“Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan.”
Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan, bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka. Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta melintas pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang bersinggungan dengan rel baja itu.
“Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh.” ucap lelaki itu
“Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.”
“Tapi ini terlalu dekat.”
“Kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk yang seperti ini.”
Tentu saja.
***
Serayu. Sungai besar yang teramat
sabar, aliran air memanjang sampai ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke
laut kasmaran. Sesungguhnya, ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang
kekasih yang duduk di besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah
lain manusia, seorang lelaki tua yang mendayung perahu ke tengah demi mencari
ikan, atau sawah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat
topi-topi petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan
sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa saja
sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing dari
mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di jembatan Serayu
untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal. Seakan-akan mereka sedang
mengabadikan cinta dalam hitungan detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu
waktu si lelaki akan sengaja kembali ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang
wanita itu. Meski mungkin si wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika
harus melihat senja di sungai itu lagi.Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter.
Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu. Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras,nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lalu; seorang wanita penggemar kereta dan senja.
“Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja.”
“Kau ingin aku jadi masinis?”
“Ya.”
“Artinya aku akan selalu pergi.”
“Aku masih bisa memikirkanmu.”
“Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan orang lain?”
Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada gunanya.
Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu. Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela, melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa lalu. Ini hanya kereta biasa.
Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem, sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga perasaan yang tak ada maknanya lagi.
“Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?”
Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke jembatan Serayu, si masinis melihat sepasang kekasih yang sedang duduk di salah satu sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta, seakan tak peduli dengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian mereka. Sementara di bagian kanan, warna merah pada langit dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik dengan warna merah saling tindih.
Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang dahulu pernah didambakan kekasihnya?
Akan tetapi, belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi, mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis, kereta pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan, dan akhirnya berhenti tepat di tengah jembatan. Tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam gerbong terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan. Apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar biasa di depan?
Namun kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang magis, bukan? Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula, yaitu kereta lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya:
“Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.” (*)
Notog-Kebasen, 2012
Tangan-Tangan Buntung
Kompas Minggu 28 Juli 2012
Budi Dharma
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya).
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.
”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.”
”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat.
”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan.
”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.”
”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.
Saya Mr James leigh saya telah menderita kanker tiroid yang dikonfirmasi untuk menjadi tahap keempat, dokter mengatakan kepada saya ada sedikit saya bisa lakukan karena saya tidak menanggapi pengobatan tetapi ipar saya datang untuk menyelamatkan saya dengan memesan ini minyak rami dari Rick Simpson Perwakilan yang katanya telah membantu beberapa pasien perjuangan melawan kanker dari berbagai jenis sehingga kami memutuskan untuk memberikan kesempatan, sejauh saya meningkatkan sempurna sangat baik dan saat ini saya bisa berkeliling rumah sendirian. Aku merasa yang diperlukan i membiarkan orang lain yang menderita penyakit akut ini bahwa sekali Anda memiliki minyak Cannabis baik itu benar-benar dapat memberikan satu kesempatan kedua suara hidup. jika Anda kebetulan berada di membutuhkan minyak Cannabis ini Anda dapat menghubungi dasar yang disertakan email minyak Cannabis: drweissertmedicalservices1@gmail.com ..
BalasHapusKami memiliki minyak Kualitas Ganja dan ganja medis untuk menyembuhkan kanker, insomnia, sakit punggung, mengurangi stres dan penyakit lainnya.
BalasHapusKami menjual produk kami dengan harga yang sangat nego dan bisa diterapkan. Terlepas dari harga kami sangat megah, ketika Anda membeli dari kami, anda yakin dengan kualitas terbaik dan kemurnian yang tersedia di pasar, dengan pengiriman kurir bijaksana dijamin atau pengiriman semalam khusus 24 jam rahasia dari produk ke alamat Anda. Kami menghormati dan menghargai privasi Anda dan tidak akan berbagi informasi Anda dengan siapa pun.
Kami menawarkan kemasan bijaksana dan Handal dan pengiriman. pengiriman -Cepat dan handal dalam waktu 24 jam di Inggris dan 48 jam internasional, menggunakan jasa kurir, email: neistachemical@gmail.com
situs: neistachemical.cabanova.com
skype: neista.chris
Kami memiliki minyak Kualitas Ganja dan ganja medis untuk menyembuhkan kanker, insomnia, sakit punggung, mengurangi stres dan penyakit lainnya.
BalasHapusKami menjual produk kami dengan harga yang sangat nego dan bisa diterapkan. Terlepas dari harga kami sangat megah, ketika Anda membeli dari kami, anda yakin dengan kualitas terbaik dan kemurnian yang tersedia di pasar, dengan pengiriman kurir bijaksana dijamin atau pengiriman semalam khusus 24 jam rahasia dari produk ke alamat Anda. Kami menghormati dan menghargai privasi Anda dan tidak akan berbagi informasi Anda dengan siapa pun.
Kami menawarkan kemasan bijaksana dan Handal dan pengiriman. pengiriman -Cepat dan handal dalam waktu 24 jam di Inggris dan 48 jam internasional, menggunakan jasa kurir, email: neistachemical@gmail.com
situs: neistachemical.cabanova.com
skype: neista.chris