Kota Abu-Abu
Maggie
Tiojakin (Kompas, 2 Desember 2012)
TERLETAK di ujung dunia, di mana
hujan turun tanpa henti dan matahari terus bersembunyi di balik awan gelap,
kota ini menelan, mengunyah dan melepehkan segala macam warna hingga kusam
tanpa nyawa.
Merah, kuning, biru,
hijau, jingga, ungu–semua tampak sama saja jika dibalut sendu. Hanya ada satu
warna yang konstan di sini; yaitu abu-abu.
Bahkan air laut yang mengelilingi tepian kota tampak keabuan. Begitu juga
dengan langit yang memayungi serta tanah yang jadi pijakan kami.
Sesekali ada saja warga
kota yang pergi melanglang buana, mengelilingi dunia, dan kembali membawa
segenggam tanah merah atau daun kering yang telah kemuning. Cerita petualangan
mereka selalu beragam dan sangat menarik untuk dijadikan anekdot penghibur di
saat berkumpul. Ada satu kota di garis lintang ini dan bujur itu yang sarat
akan lampu-lampu berwarna, di mana salju turun seputih kapas dan empat musim
datang dan pergi silih-berganti. Ada pun kota lain yang didominasi hanya oleh
warna emas–di mana matahari bersinar terik sepanjang hari dan para penduduknya
berkulit hitam legam. Atau kota lain lagi yang menampakkan warna-warna agraris,
datangnya dari hijau rerumputan, kuning jerami, merah bunga mawar serta birunya
langit.
Suatu malam, aku dan
istriku, Greta, tak sengaja papasan dengan seorang kawan lama di sebuah bar
pinggir kota. Namanya Temuji. Ia mengaku baru saja kembali dari sebuah kota
yang diselimuti warna hitam, tidak jauh dari belantara hutan es di
Kutub Selatan.
Semasa sekolah, Temuji
dikenal sebagai seorang atlet yang gemar main bola kaki serta mahir memanjat
pohon. Kakinya gesit. Langkahnya tak pernah ragu. Hampir dua puluh tahun
lamanya kami tak berjumpa, namun ia masih sama seperti dulu.
Berbeda dengan aku dan Greta yang sudah mulai menunjukkan kerut-kerutan
usia.
“Seperti apa Kota Hitam
yang kau kunjungi, Muji?” tanyaku. Kami duduk di salah satu meja kayu dengan
kursi panjang yang saling berhadapan. Greta duduk di sampingku, pundaknya
merapat ke dinding.
“Gelap dan panas,” jawab
Muji. Ia menuang isi botol anggur ke dalam gelas yang telah kering. “Rasanya
seperti masuk ke dalam perut bumi.”
“Kau pakai pemandu? Ikut
tur khusus?” tanya Greta. Di hadapannya ada segelas kopi hangat yang belum
disentuh. “Kudengar banyak sekali paket murah yang ditawarkan oleh agen-agen
perjalanan.”
“Kota Hitam
adalah tempat sakral yang hanya boleh dikunjungi oleh orang-orang tertentu,”
jelas Temuji. “Kota itu bukan tempat wisata seperti kota-kota lain. Tidak,
tidak. Kau takkan bisa pergi ke sana dengan paket tur murah. Tempat itu
letaknya tak tertera di atas peta. Hanya Tuhan yang tahu.”
“Lantas bagaimana kau
bisa ke sana?” desak Greta.
“Aku punya caraku
sendiri,” ujar Temuji.
“Aku tak percaya.”
“Terserah.”
“Oke, hentikan,” kataku.
“Kalian membuat kepalaku sakit.”
“Aku yakin kalian tidak
pernah ke mana-mana,” ujar Temuji seraya menghabiskan isi gelasnya. “Kalian tidak
tahu ada apa di luar sana. Keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan
kata-kata.”
Kami berpisah dengan
Temuji di depan bar pada pukul sebelas malam ketika para pengunjung yang lain
juga mulai berhamburan keluar. Dia berjanji untuk mengirimkan kartu pos dari
kota-kota yang akan dia kunjungi dalam waktu dekat ini–agar kami bisa melihat
apa-apa saja yang kami lewatkan dengan berdiam diri di satu kota, kota kelahiran kami, tempat kami mengubur dan memuja leluhur
kami. Selama bertahun-tahun, hanya kota ini yang kami kenali.
“Menurutmu kita harus
keluar dari kota ini?” tanya Greta saat malam menyambut subuh. Di luar langit
kelam tampak pucat disinari cahaya bulan yang keperakan. “Melihat keindahan
dunia?”
“Duniaku sudah
indah,” sahutku. “Karena ini dunia yang kutahu.”
“Kau tidak penasaran
terhadap dunia lain di luar sana?”
“Tidak.”
“Masa?”
“Tidak.”
“Aku penasaran.”
“Tidurlah, Greta.”
“Aku ingin melihat warna
lain selain abu-abu.”
“Apa yang salah
dengan abu-abu?”
“Tidak ada. Aku hanya
ingin melihat sesuatu yang berbeda.”
“Tak usah kau pusingkan
hal-hal yang berbeda,” kataku. “Jalani saja apa yang ada.”
“Itu pemikiran orang
kuno,” sahut Greta. “Bagaimana hidupmu mau senang kalau
kerjamu hanya menjalani apa yang ada?”
Aku tidak menjawab,
membalikkan tubuh, pura-pura tidur.
“Remos,” panggilnya.
Kurasakan tangannya meraba punggungku, hangat. “Apa kau akan membenciku kalau
aku pergi darimu demi memuaskan rasa penasaranku?”
Aku bungkam.
“Tidak lama, tentunya,”
lanjut Greta. “Paling satu atau dua bulan. Kalau kau tidak sudi menemaniku, aku
ingin minta restumu untuk melihat dunia lain seorang diri.”
Aku masih bungkam.
“Remos—”
“Tidurlah, Greta.”
“Kau takkan merasakan
kepergianku, aku janji,” sambungnya. “Aku akan kembali sebelum kau sempat merindukanku.”
Greta pergi berbekal uang
seadanya dan tekad bulat. Ia menumpang kereta dan kapal laut. Ia ingin
menikmati perjalanannya. Ia tidak mau buru-buru. Satu atau dua bulan, katanya.
Janjinya dia akan kembali sebelum aku sempat merindukannya. Tapi itu mustahil. Aku merindukannya setiap
saat. Ia tak kirim kabar. Kartu pos yang dijanjikan Temuji pun tak kunjung
datang. Hari-hariku semakin kelabu. Awan
bergumul memanggul hujan. Ke mana-mana aku jalan kaki, mengusir sendu, mengeluh
bisu. Aku pergi ke pantai dan duduk menatap laut
keabuan. Kutatap dinding semen tanpa warna. Tak tahu harus mencari Greta ke mana.
“Sudah berapa lama?”
tanya Puma, seorang
bartender yang sudah lama mengenalku. Ia menuangkan bir ke dalam gelasku yang
beku. “Setahun?”
“Setahun, delapan bulan,”
kataku. “Hampir dua tahun.”
“Dan tak ada sedikit pun
kabar dari istrimu?”
“Tidak ada.”
“Mungkin dia tersesat,”
ujar Puma.
“Dia terlalu pintar,” kataku. “Dia takkan pernah tersesat.”
“Diculik?”
“Siapa yang hendak
menculiknya tanpa minta uang tebusan?”
“Kecelakaan?”
“Aku juga sempat pikir
begitu,” desahku. “Tapi perasaanku mengatakan ia baik-baik saja.”
“Lantas kenapa?”
“Kurasa dia suka apa yang dia temui dan merasa enggan
kembali kemari.”
“Kalau gitu dia bodoh.”
“Dia istriku,” kataku.
“Jaga mulutmu.”
“Aku justru membelamu.”
“Aku hargai itu, tapi
sebaiknya jangan.”
“Kalian berdua sama
anehnya.”
Kupagut
bibir gelas dan kuteguk bir yang ada di dalamnya. “Mungkin.”
Seperti yang
kutakutkan—dan kuantisipasi—Greta tak pernah kembali. Aku sempat bertemu lagi
dengan Temuji, beberapa tahun kemudian, di bar yang sama saat dia tengah dalam
perjalanan ke sebuah kota di kaki gunung yang padat dengan kabut. Kota tersebut
terkenal sejuk dan merupakan salah satu kota wisata paling ternama di dunia. Kabut yang menggantung selalu
berganti warna mengikuti interval kalender kuno. Dan setiap kali warna kabut
berganti, warga kota selalu merayakannya dengan mengadakan festival seni.
Temuji bilang dia sempat bertemu Greta di atas kereta menuju Kota Tropis di
mana matahari memancarkan sinar keemasan tanpa henti. Aku tanya apakah istriku
tampak bahagia. Temuji mempertimbangkan jawabannya.
“Tidak,” kata teman
lamaku. “Dia sedih karena
kau tak ada bersamanya. Tapi ia puas karena telah mengambil langkah
pertama untuk keluar. Perjalanan panjang seperti itu lebih baik dilakukan
berdua; tapi kalau salah satu di antara kalian tak melihat poin dari perjalanan
tersebut—sebaiknya dilakukan sendiri.”
“Aku tak ada masalah
dengan kota ini,” kataku. “Aku nyaman di sini.”
“Bagus,” kata Temuji. Ia
menepuk pundakku berkali-kali. “Memang sudah seharusnya begitu. Tak ada apa-apa
untukmu di luar sana.” (*)
Seperseribu
Detik Sebelum Pukul 16:00
Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 9
Desember 2012)
SEBETULNYA mereka berdua tidak ingin melihat jam tangan masing-masing,
juga tidak ingin melihat jam dinding, karena hanya akan memperlihatkan
kenyataan menyakitkan.
“Aku tidak mau berpisah.”
“Aku juga.”
“Aku tidak mau.”
“Aku juga tidak mau.”
‘Tidak mau. Pokoknya tidak mau.”
“Jangan mau. Pokoknya jangan mau.”
Mereka saling memandang. Tidak ada
waktu. Mungkinkah waktu 60 menit menggantikan waktu 60 tahun? Tidak ada waktu.
Tidak adakah waktu?
Tidak ada yang pernah tahu apakah waktu
ada awal dan ada akhirnya. Tidak ada. Tidak pernah. Tidak mungkin. Tidak perlu.
Tidak ada waktu lagi. Mereka berdua
melihat jam tangan. Deru pesawat terbang melintas di kejauhan.
Masih ada waktu!
“Lima menit lagi.”
“Hanya lima menit!”
Detak jam dinding bagai dentum yang
bergaung di langit.
“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku
tidak mau….”
Lelaki tua itu menggeleng-gelengkan
kepala. Perempuan tua itu tertunduk, selalu tertunduk, seperti yang selalu
dilakukannya sejak belia. Bukankah memang dia, pikir lelaki tua itu, yang
wajahnya kelam seperti lubang hitam di langit yang membuatku terhisap sejuta
pusaran? Dalam 60 tahun, segalanya memang sudah berubah, tetapi setelah 60
tahun mata mereka masing-masing masih berbicara dengan bahasa yang sama.
“Aku juga tidak mau…,” kata perempuan
tua itu setengah berbisik, “tapi bagaimana?”
Bagaimana. Itulah soalnya. Bagaimana.
Waktu lima menit itu pun berjalan.
Pesawat terbang mendarat. Pesawat terbang lepas landas. Kolam renang biru muda.
Taman di bawah matahari. Orang-orang makan dan minum dan tertawa-tawa dalam
berbagai bahasa. Pramugari menyeret kopornya.
“Aduuuuuhhh,” kata lelaki itu lagi
dengan kedua tangan memegang kepalanya, “kenapa ini mesti terjadi.”
Perempuan itu mengangkat kepalanya yang
tadi selalu tertunduk.
“Pertemuan ini?”
“Perpisahan ini!”
Perempuan itu tertunduk lagi. Itulah
kenyataannya. Mereka telah berpisah 60 tahun yang lalu tanpa pernah bertemu
kembali, tanpa pernah mengucapkan sepatah kata sama sekali, tetapi kini harus
berpisah lagi.
“Padahal selama itu aku selalu
mengingatmu.”
“Aku juga.”
Mereka telah saling mengingat tanpa
saling mengetahui isi hati masing-masing meski hati mereka telah bersua. Mereka
telah mendengar kata hatinya masing-masing yang telah menyampaikan segalanya
tanpa bahasa apa pun selain rasa, hanya rasa, dan tiada lain selain rasa tanpa
pernah mendapat terjemahan nalarnya dalam kepala.
“Kenapa aku bisa begitu bodoh waktu itu
ya?”
“Aku juga bodoh.”
Kini keduanya sama-sama tertunduk.
Mereka telah bertemu kembali 60 tahun kemudian dan merasa tidak perlu berpisah
lagi apa pun yang terjadi bahkan ketika hal itu sama sekali tidak mungkin.
“Tapi bagaimana?”
Itulah soalnya! Bagaimana!
“Satu menit lagi!”
Perempuan tua itu mengusap matanya.
Lelaki tua itu memegang tangannya.
“Tidak! Kita tidak perlu berpisah lagi!
Tidak usah!”
Tidak ada waktu lagi!
Tangan mereka saling menggenggam dengan
erat, sangat amat erat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih erat.
“Aku tidak mau, aku tidak mau, aku
tidak mau!”
Hanya seperti bisikan, tetapi dalam
dunia mereka semesta berdentam-dentam. Dengan segala daya mereka renggangkan
detak-detak dari detik ke detik sehingga detak yang satu bertambah jauh jarak
waktunya dari detak yang lain, dan begitu jauh jaraknya, makin lama makin jauh,
begitu rupa jauhnya membuat setiap detak bagaikan bergaung sendirian dalam
semesta waktu nan sunyi begitu sunyi bagaikan tiada lagi yang lebih sunyi
sampai jarak yang begitu jauh membuat gaung tak menemukan sarana bunyi sama
sekali karena waktu seperti telah tertahan!
***
Di restoran itu terlihat jarum jam
bergetar dengan dahsyat, begitu dahsyat sampai tak bisa dilihat karena jika
waktu yang tak tertahankan telah tertahan tentulah mengakibatkan tolak menolak
yang dahsyat pada jarum jam!
Seperseribu detik sebelum pukul 16
waktu setempat, jarum jam di seluruh dunia bergetar dahsyat dalam waktu
setempatnya masing-masing! Waktu telah tertahan! Orang-orang berhenti berjalan.
Sendok berhenti di muka mulut. Minuman tak jadi tertuang. Airnya mengambang
karena waktu memang berhenti. Busyet!
Namun meski segala pergerakan tertahan,
bergetar dahsyat dalam dorongan waktu yang tak tertahankan tetapi dalam
kenyataannya tertahan, pikiran orang-orang yang gerakannya terhenti masih
berjalan dan mereka masih dapat berkata-kata untuk menyalurkan kepanikan!
Ibarat bendungan raksasa yang menahan air bah, waktu yang sesungguhnyalah
mengalirnya tak tertahankan dalam ketertahanannya mengalir juga di sana-sini
dengan sangat tidak beraturan….
“Busyet! Ada apa ini? Ada apa ini?”
Mobil-mobil berhenti melaju, tetapi
radionya tetap berbunyi, karena penyiar yang tangannya terhenti ketika memegang
mikrofon masih bisa berbicara dan melaporkan pandangan mata yang didengarnya
lewat perangkat-suara di telinganya.
“Para pendengar di segala penjuru tanah
air yang dapat dicapai oleh siaran ini, mohon perhatian sejenak atas peristiwa
luar biasa yang dilaporkan para wartawan kami di lapangan, yang sementara
tubuhnya takbisa lagi bergerak maju, masih bisa menyampaikan pandangan mata lewat
mikrofon yang katanya kebetulan terangkat di depan mulutnya. Para pendengar
sekalian, di jalanan mobil-mobil berhenti dengan mesin masih hidup, seperti
bersama waktu tetap mau berjalan tapi takberdaya karena waktu tertahan. Bahkan
pesawat terbang berhenti di udara dan tidak jatuh saudara-saudara, karena
memang rupa-rupanya adalah waktu yang tertahan dan takbisa berjalan bersama
segala sesuatu yang bergerak dalam waktu! Namun takseluruh waktu tertahan
saudara-saudara, waktu yang arus dan alirannya taktertahankan merembes dan
mengalir di sana-sini sehingga kami masih bisa bicara saudara-saudara!
Orang-orang tertahan takbisa maju di jalanan, tetapi masih bisa saling
berbicara dengan panik karena mengira akhir dunia telah tiba! Ahhhh, ada-ada
saja bukan saudara-saudara? Hehehehe!”
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00
waktu telah tertahan. Seperseribu detik yang tersisa menjadi sejuta tahun
semilyar tahun setrilyun tahun takterhitung! Apalah artinya 60 tahun yang
terpadatkan dalam waktu yang terhenti, tertahan, berkutat maju dengan penuh
perjuangan dan daya di luar perhitungan manusia? Angin berhenti, mega-mega
berhenti, sungai berhenti, samudera diam takberombak, burung elang takberkepak,
semesta dan segala langitnya menjadi gambar.
Dalam dunia yang terhenti seperti
gambar, tetapi gambar yang tergetar-getar dengan daya semesta yang waktunya
tertahan ketika seharusnya taktertahankan, kata-kata dan hanya kata-kata yang
bertebaran di luar ruang dan di luar waktu sebagai gagasan. Inilah gagasan yang
menembus lembaran-lembaran ruang dan lembaran-lembaran waktu dan
mempertanyakan.
“Ada apa ini? Ada apa ini?”
“Aneh-aneh saja waktu berhenti! Mengapa
tidak kiamat saja sekalian? Dasar kurang pekerjaan!”
“Memangnya ada yang ngerjain? Memangnya
siapa yang kurang pekerjaan sampai bisa jadi kayak gini?”
Di pasar, meskipun segala gerakan tubuh
terhenti, mulut-mulut juga taksudi ditahan.
“Bener-bener deh! Apa sih ini
maksudnya?”
“Tau deh, siape ni nyang punya mau,
nyang pasti nggak peduli kalau bisa nyilakain orang.”
“Iye ni! Kebangetan!”
Gagasan terucap di antara orang-orang
yang sendok berisi nasi gorengnya sudah terangkat ke depan mulut tapi takbisa
dilanjutkan, yang minuman dalam botolnya tertuang ke dalam mulut kehausan
tetapi airnya terhenti sebelum masuk tenggorokan, yang sedang berjalan sambil
melamunkan kekasih sedang menunggu tetapi lantas kaki terhenti takbisa berjalan
meski maksud hati terus melangkah ke depan, yang melenggang di cat-walk
karena memang peragawati tapi lantas berhenti seperti patung untuk pajangan, yang
sedang bersalto di udara dalam lomba senam tetapi berhenti di udara tanpa bisa
diturunkan karena memang seluruh umat manusia dalam semesta gerakannya
tertahan. Busyet…
Tiada lagi peristiwa akan terjadi.
Cerita terhenti dan tanpa cerita tiadalah berarti segala keberadaan dunia ini.
Waktu yang tertahan harus dilawan dan memang sedang dilawan tetapi apakah
kiranya yang akan menjamin keberhasilan perlawanan jika justru waktu yang
taktertahankan tertahan sehingga bahkan rinai hujan tetap berada di tempatnya takbergerak
seperti halaman gambar yang meruang? Namun nun di suatu tempat tersunyi pisau
belati bergerigi yang siap menembus perut pun tertahan takdapat dilanjutkan.
Dalam waktu tertahan yang mengacaukan, nasib malang tertunda, tetapi takjelas
juga apakah akan dapat dibatalkan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00.
Para pelayan di restoran melihat dua orang tua masih saling menggenggam tangan
karena keduanya takmenghendaki perpisahan. Keduanya hanya ingin berada di sana
saja selama-lamanya, begitu lama, bagaikan tiada lagi yang lama, karena memang
maunya selama-lamanya. Tertelungkup dan berpegangan tangan dengan erat seolah bertahan
dari waktu yang berusaha menyeret dan memisahkan.
“Kenapa kamu menghilang begitu saja,
ketika aku selalu menantimu sebelumnya….”
“Aku taktahu kamu selalu menantiku,
takpernah tahu dan tak akan pernah pergi kalau tahu kamu selalu menantiku, tak
akan pernah….”
“Bagaimana kamu bisa tidak tahu aku
selalu menantimu seperti itu….”
“Bagaimana aku bisa tahu kamu selalu
menantiku seperti itu….”
“Padahal aku bahagia setiap kali kamu
datang, sampai pada suatu hari kamu tidak pernah datang lagi, hilang lenyap seperti
ditelan bumi….”
“Aku tidak tahu, takpernah tahu,
kepalamu selalu tertunduk seperti itu, sampai aku mengira kamu taksuka dengan
kehadiranku….”
“Aku selalu menantimu, menunggu seperti
perempuan dalam dongeng, sampai aku tahu harus menghadapi kenyataan dan
melupakanmu….”
“Sekarang kamu tetap akan pergi dan
melupakan aku….”
“Tidak. Tidak mungkin. Tidak mau.…”
Tapi waktu check-in paling
lambat pukul 16:00. Jika tidak perempuan tua itu bisa terlambat, dan jika
terlambat serta ketinggalan pesawat, cerita akan jadi berlarat-larat.
“Seandainya waktu….”
Mereka tak ingin waktu mencapai pukul
16:00. Mereka sangat menginginkan waktu tertahan sehingga semesta takberedar
dan karenanya bergetar-getar sehingga membuat langit berdenyar-denyar.
Namun waktu tetap berjalan, sampai
seperseribu detik sebelum pukul 16:00.
“Seandainya…,” kata lelaki tua itu
akhirnya, menggenggam tangan perempuan tua itu dengan erat, seperti ingin
menyatu dan tidak akan terpisahkan lagi setelah 60 tahun berlalu tanpa
perjumpaan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00,
jika waktu tetap tertahan semesta akan menjelma serbuk cahaya dan segera meruap
selamanya seperti lenyapnya bisikan, seolah cinta memang begitu besar sehingga
dunia harus dikorbankan.
Seperseribu detik sebelum pukul 16:00,
jarum jam bergerak menuju angka IV.
Kedua orang tua itu saling menatap,
dengan mata yang telah menjadi basah tanpa dapat ditahan…. (*)
Jalan
Panjang — Kampung Utan
Tak Ada
Eve di Champs-Elysees
Kompas
Minggu, 16 Desember 2012, hlm.20
Tak
kujawab pertanyaan Nicole. Aku masih terjebak dalam kepungan wewangian yang
setiap kuhirup membuat kepalaku pusing. Mengapa semua wewangian tidak dibuat
dalam satu bau saja?
GERIMIS mengguyur Paris pada akhir
musim gugur yang agak menggigilkan tubuh rapuh Nicole. Meskipun tak ada badai
yang menerbangkan tenda-tenda kafe, mencerabut tiang-tiang listrik, atau
sekadar menumbangkan pepohonan rapuh berdaun kuning kemerahan, dia tak hendak
menerabas jalanan yang dipenuhi para gadis berpayung hitam.
Setelah membisikkan keinginan untuk
mati lebih cepat jika aku tak segera mengadopsi Edgard, bayi mungil itu, Nicole
justru menyeretku ke keriuhan Galeries Lafayette dan mendesiskan hasrat
menyebalkan. ”Sebelum mati, aku akan membeli aneka parfum di sini. Aku ingin mengguyurkan
seluruh wewangian itu ke tubuhku. Aku ingin pada saat kau menemukanku di
bathtub dengan urat nadi yang putus, tubuh indahku hanya akan menguarkan
keharuman bebauan....”
Tentu saja kuabaikan perkataan konyol
Nicole pada Sabtu yang penuh penjaja bunga di jalanan. Aku menduga dia sedang
melucu dan humor murahan memang tak perlu kupedulikan.
”Kau tahu aku tidak pernah main-main,
Gabriel. Ayolah, segera penuhi keiginanku. Kau tinggal mendatangi keluarga
Edgard dan bayi tampan itu akan kuasuh dengan sepenuh hati...,” kata Nicole
sambil terus menggandengku ke gerai kosmetik di mal yang riuh itu.
Hmm, aku selalu tak ingin terlibat
dalam percakapan konyol tentang satwa kecil atau monster menjijikkan bernama
Edgard itu. Melihat orok siapa pun, aku selalu merasa berhadapan dengan hantu
mungil. Karena itu, meskipun aku sangat mencintai Nicole, sama sekali tidak
kuharapkan dari rahim kekasih kencanaku itu muncul setan-setan kecil jorok yang
memuakkan.
”Aku sudah memberimu apa pun yang kau
inginkan, Gabriel. Kini giliranmu memberiku bayi mungil itu. Ini bukan
permintaan sulit. Kau bisa dengan gampang melakukannya...,” Nicole mencerocos
lagi sambil mencoba-coba mengoleskan aneka lipstik ke punggung tangan.
Aku masih malas merespons permintaan
Nicole. Dia lalu mengoleskan bedak dan memintaku menatap wajahnya di cermin.
”Kau tidak takut kehilangan aku,
Gabriel? Lihatlah aku begitu cantik dan wangi. Kau tidak ingin tubuhku membusuk
pelan-pelan bukan? Hmm, tubuhku akan selalu wangi jika kau segera memberiku
momongan....”
Saat itu, di tengah lalu lalang para
perempuan yang memborong tas, parfum, aneka kosmetik, kuperhatikan wajah Nicole
di cermin dengan cermat. Dia memang cantik. Tetapi saat kubayangkan dia
menimang bayi, di wajahnya seperti tumbuh moncong berliur. Nicole jadi mirip
babi merah menjulur-julurkan lidah dan menetes-neteskan lendir kental.
Tentu saja aku tersiksa melihat
pemandangan seperti itu. Tak ada cara lain, aku harus meninggalkan Nicole. Aku
harus berjingkat pelan-pelan menghindar dari gerai lipstik, bedak, atau apa pun
yang bisa membuat wajah Nicole bercahaya.
Aku lalu menuju ke gerai parfum yang
malam itu begitu dipenuhi oleh perempuan-perempuan yang begitu berhasrat
memiliki tubuh wangi. Aku dikepung Bvlgari, Dior, dan Estée Lauder. Aku
terjebak dalam labirin Chanel, Nina Ricci, Yves Saint Laurent, Kenzo, dan
Gucci. Aku terjebak dalam wewangian yang tidak kuinginkan karena para penjaga
gerai mengibas-ngibaskan potongan kertas penguji parfum pada saat bersamaan.
Aku memang karib dengan Chanel Nicole
yang lembut. Tetapi aku tak bisa mencium Bvlgari, Dior, Chanel, dan Coco dalam
waktu bersamaan. Dalam kepungan aneka wewangian, aku justru pusing dan mual.
Jadi, bagaimana mungkin Nicole tahan membaui aneka parfum yang telah diguyurkan
ke tubuh menjelang dia bunuh diri, menjelang dia memotong urat nadi dengan
pisau paling tajam?
”Parfum yang kubelikan seminggu yang
lalu sudah habis, Gabriel?” Nicole ternyata menguntit dan mengagetkanku.
Aku menggeleng.
”Jadi mengapa kau meninggalkanku? Kau
ingin menghindar dariku, Sayang?”
Tak kujawab pertanyaan Nicole. Aku
masih terjebak dalam kepungan wewangian yang setiap kuhirup membuat kepalaku
pusing. Mengapa semua wewangian tidak dibuat dalam satu bau saja?
”Kau jangan diam saja, Gabriel. Kau
tidak ingin aku cepat mati bukan?”
Tentu saja aku tak ingin Nicole
mengiris urat nadi di bathtub. Akan tetapi tak kularang dia memborong aneka
parfum. Dan agar suasana romantis tidak hilang, kukecup kening Nicole dengan
lembut, kupagut dan sedikit kugigit bibirnya di tengah keriuhan Galeries
Lafayette yang kian memusingkan kepala dan memualkan perut.
”Kita bicarakan apa pun yang kau
inginkan di Cafe du Rendez-vous ya,” aku berbisik kepada Nicole.
Kusangka dia akan segera menyepakati
ajakanku. Kusangka sebagaimana biasa meniru Sartre, Albert Camus, dan filsuf
lain, di kafe itu kami akan mempercakapkan ide-ide indah untuk kehidupan. Atau
kalaupun kami bergeming duduk sambil menyeruput cappuccino atau expresso
coffee, Nicole akan asyik dengan pensil dan rancangan-rancangan terbaru pakaian
panggung seksi untuk para penari Lido di Champs-Elysées, sedangkan aku hanyut
dalam pikiran-pikiran kosong mengembangkan apartemen dan hotel kecil keluargaku
di Rue Didot. Akan tetapi, Nicole punya pilihan lain. Dia memang tidak berminat
ke kafe atau menonton film Skyfall.
”Tidak, Gabriel. Kita pulang saja. Aku
ingin segera mandi. Aku ingin...”
”Ingin segera kupeluk, Sayang. Ingin
segera bercumbu semalaman?”
MALAM itu Nicole langsung ke bathtub. Karena tidak ingin ditodong
untuk segera mengadopsi Edgard, aku tidak memandikan Nicole. Padahal, kau tahu,
itulah kebiasaan yang selalu sangat kami inginkan sebelum bercumbu, sebelum
saling sedikit mencakar punggung. Andai tidak ada persoalan, mungkin malam itu
aku akan memberi kejutan Nicole dengan memenuhi bathtub dengan Salade Alexandre
Dumas yang kupesan dari Ladurée di Rue Royale. Nicole pasti kaget karena pada
saat mandi tubuhnya akan berlumur salmon, bayam, stroberi, rasberi, red
currant, minyak zaitun, dan jus jeruk. Tidak! Tidak! Karena dia suka Salade
Concorde, kupastikan Nicole akan menyelam di antara minyak zaitun, chicken
fillet, timun, bayam muda, tomat, kecut cuka, dan kekentalan saus meaux mustard
vinaigrette.
Jadi, sedikit pun tidak kubayangkan
Nicole akan bunuh diri malam itu. Karena itu, kupastikan setelah tidur
semalaman, kami akan bangun pagi dan seperti biasa berlari-lari kecil ke
Boulevard Brune. Di tempat itulah aku dan Nicole seperti menyusup dalam
kehidupan yang sesungguhnya. Tak ada wangi parfum–yang mengingatkanku pada
surga palsu yang diburu oleh pelacur kelas tinggi, courtesant Violetta Valery
dalam opera La Traviata—yang menyengat. Saat melebur di marche du dimanche,
pasar yang buka khusus pada hari Minggu itu, semua parfum yang melekat di
tubuhku sebelumnya akan terserap ke dalam amis daging, prengus keringat para
penjaja dan pembeli, sengat tiram atau udang, dan pada saat sama bisa kami
hirup kesegaran sayuran dan buah-buahan. Hmm, mengapa dunia tidak dicipta dalam
bau-bauan yang menyegarkan jiwa?
AKU menduga persoalan Edgard akan selesai malam itu.
Rupa-rupanya Nicole masih terus menjeratku dengan persoalan pengadopsian Edgard
saat kami menonton peluncuran rancangan kostum terbaru Nicole dalam pertunjukan
kabaret erotis di Lido yang menjemukan itu.
”Apakah rancanganku masih indah,
Gabriel?”
Sambil menenggak champagne, aku
mengangguk.
”Tapi akan lebih indah jika kau segera
menandatangani pengadopsian Edgard, Sayang...”
Aku hampir tak bisa menahan kemarahan
ketika Nicole membicarakan Edgard pada saat dan tempat yang salah. Aku tahu
sebagai transvestive, dia memang tidak mungkin hamil. Dan karena tidak bisa
hamil, seharusnya dia tidak perlu ngotot punya orok. Tidak perlu dia
menghadirkan setan busuk dalam kehidupan kami. Toh meskipun Nicole
menyembunyikan rahasia tubuh dan jiwanya, aku toh tidak pernah
mempersoalkannya. Tidak penting bagiku Nicole perempuan atau laki-laki. Tidak
penting Nicole iblis atau malaikat. Aku sangat mencintainya dan bagiku
identitas apa pun yang dia kenakan, tidak akan mengurangi kecintaanku kepada
kekasih kencanaku itu. Bagiku Nicole saja sudah cukup. Tidak perlu ada manusia
lain di rumah kami.
”Kau tahu, Gabriel, semua busana dan
aneka sayap yang dikenakan para penari yang kau lihat malam ini lahir karena
aku membayangkan kita akan jadi malaikat indah jika di rumah kita ada bayi
mungil yang senantiasa kita timang bersama. Tapi kau tampaknya selalu tak
menginginkan Edgard, Sayang. Kau....”
Tak kuberi kesempatan Nicole meneruskan
kalimat yang masih menggantung itu. Kali ini kemarahanku benar-benar memuncak.
Kutinggalkan cahaya Lido dan Nicole yang takjub menatap ledakan kemarahanku.
Saat itu, kau tahu, aku tak peduli apakah rancangan-rancangan busana Nicole
kali ini menggetarkan Lido atau tidak. Tanpa kostum yang dia buat toh aneka
tubuh telanjang dan kabaret di Lido tetap ditonton orang.
MENINGGALKAN keriuhan Champs-Elysées, aku ingin
menancap gas menuju Rue Didot. Aku ingin segera sampai di apartemen, mandi di
bathtub dengan air hangat, menenggak Vodka, dan melupakan Nicole dan Edgard
sialan. Tetapi tak semua hasrat terwujud dengan mudah. Gerimis akhir musim
gugur kian mengguyur dan kabut menghambat laju mobilku. Ah, mengapa tak
sekalian saja badai tornado dari belahan dunia mana pun bertiup ke Paris,
mengacak-acak rumah sakit penuh orok, menerbangkan Edgard dan hantu-hantu
mungil itu ke langit berkabut, dan melesatkan mereka ke kegelapan?
Tak ada yang menjawab pertanyaan
konyolku. Aku justru merasa mobilku kian sarat beban. Aku merasa puluhan orok
dari masa depan menembus kaca, memenuhi mobil, dan menangis bersama-sama dalam
nada yang merusak pendengaran. Dalam keriuhan semacam itu, kau tahu, aku justru
merasa menjadi Adam yang menggigil, kesepian, dan diabaikan. Tak ada Eve. Tak
ada sesuatu yang dulu kusapa dengan sangat mesra: mon Dieu!
Tak ada...
Paris, Oktober 2012
Juru Gambar
Kompas Minggu, 23 Desember
2012 hlm.20
G Budi Subanar
Aku bukan seorang pelukis terkenal.
Hanya, setiap kali aku harus melakukannya untuk menyambung hidup. Ajaib, ada
saja orang yang berminat memiliki goresan tanganku. Memajangnya di
dinding-dinding rumahnya.
Kamu itu, setiap kali membuat gambar
selalu saja dimulai dengan membuat bulatan. Lingkaran macam apa itu? Ada yang
bulat, ada dua sejajar seperti buah kenari. Kali ini apa lagi? Aneh-aneh saja
kamu ini,” komentar istriku yang melongok dari balik punggungku.
Aku menoleh ke arahnya, dan menyerianginya
pasrah. Aku tidak sadar bahwa dia sedang mengamatiku. Jadi, aku diam tak
menyahut. Tak mau berbantah dengannya.
Memang, selalu saja aku memulai
gambarku dengan mata. Itu yang dimaksudkan istriku dengan bulatan itu. Entah
mata kayu, untuk mulai menggambar pohon. Dua bola mata, kalau mau menggambar
wajah orang. Atau, bulatan matahari untuk mulai menggambar alam. Dari situ
semua yang lain ditempatkan. Macam-macam benda, makhluk, atau manusia, semua
kutempatkan seturut imajinasiku. Entah dari mana aku mempelajarinya. Aku tak
ingat. Mungkin dari kedudukanku sebagai juru gambar waktu bekerja sebagai awak
kapal. Setiap kali, aku bertugas menggoreskan titik-titik dan garis sesuai
dengan arah-arah yang diperoleh dari petunjuk bintang. Setelah menjadi pelukis,
bulatan itu selalu yang mengawalinya. Bukannya titik, atau garis. Menggambar
mata, selalu saja dorongannya demikian.
Dari mata itu, tanganku bergerak
mengikuti imajinasi yang menuntun untuk melengkapinya di atas kanvas.
Melengkapi dengan bermacam-macam figur dan benda. Banyak tempat yang pernah
kusinggahi saat menjadi awak kapal, hadir sebagai imajinasi yang kutuang pada
kanvas berbagai ukuran. Orang-orang dari Benggala, sampai Ceylon, dan pantai
Malabar di India. Atau suasana pelabuhan di Bantam, pemandangan di Andanam.
Semua pernah kutuang pada kanvas, dan kuulangi berkali-kali. Kulakukan itu
dengan menggunakan pena dari bulu elang laut yang ujungnya dilengkapi dengan
buluh bambu. Kanvas itu kuwarnai dengan pewarna yang dipakai mencelup
benang-benang kain tenun. Merah, coklat tua, hitam, hijau, kuning, biru dan
kesumba. Itu warna-warna dari berbagai daun, akar, atau umbi kunyit.
Dikentalkan dengan campuran getah, menjadi warna-warna yang terhampar di
kanvasku. Kuoleskan pakai kuas yang dibuat secara khusus, atau dari sabut-sabut
kelapa sederhana. Dari sana aku menggantungkan hidupku sebagai juru gambar.
Sudah tiga hari ini, dua mata itu tidak
mendapat kelengkapan apa pun. Berlama-lama aku di sana. Hari pertama, berlalu.
Tak ada tambahan benda atau figur apa pun. Bahkan, satu garis pun tidak. Pada
akhir hari, kanvas itu kusembunyikan dan kututupi menggunakan kain bekas. Hari
kedua, kembali lagi seharian di depan kanvas itu. Tangan ini tidak juga
menambahkan hal apa pun. Hari ketiga pun sama. Sampai istriku memergokinya, dan
mengomentariku.
Aku berhenti dengan dua lingkaran buah
kenari. Dua kenari oval arahnya horizontal. Kuarahkan ke kanan dan ke kiri. Ini
memang tidak seperti biasanya. Dua benda oval yang tidak mengarah vertikal.
Biasanya, aku selalu menempatkan bentuk kenari dengan kedua ujungnya ke atas
bawah. Layaknya buah kenari di pohon-pohon tinggi menjulang. Kali ini, tidak.
Barangkali itu yang membuat berhentinya dua mata itu.
Aneh, rasanya. Aku sendiri tak
mengerti. Padahal, sudah sejak sebelum aku menyediakan kanvas, mata jiwaku
sudah menata lengkap semua imajinasi yang akan kugelar di atas kanvas. Dua
lingkaran kenari di kiri bawah, akan menjadi mata seseorang. Dan semua benda
yang lain berjajar menutupi seluruh permukaan kanvas. Setelah garis pantai,
mendatar ke arah kanan, perahu layar besar yang siap menuju samudera. Di
atasnya, ada gugusan bintang yang akan menuntunnya ke utara. Gugusan bintang
beruang besar. Komposisi tiga bagian itu sudah terbayang rapi dalam
imajinasiku. Dan untuk memulainya, kutempatkan dua mata itu ke arah mukaku.
Bukan sejalan kearah kapal yang akan berlayar, atau searah gugusan bintang yang
akan menuntunnya.
Tidak, aku tak akan mengarahkan dua
mata itu mengikuti ke mana kapal berlayar, dan ke mana bintang beruang besar
berjajar-jajar menunjuk arah utara. Mata itu tetap kuarahkan padaku. Ujung
penaku sudah menggoreskannya demikian. Aku tak mau mengganti dengan kanvas
lain, dan mengarahkan dua mata mengikuti arah kapal yang akan berlayar dan arah
gugusan bintang yang berjajar-jajar.
Aku bertahan sampai seminggu.
Istriku tak bertanya lagi sampai di
mana gambarku. Memang adat kebiasaannya tidak pernah berbuat demikian. Aku
sendiri yang jadi menunduk tiap kali berdua makan berhadapan di
atas tikar, atau berjajar di bangku. Ada keengganan untuk bicara. Beruntung,
dia memahami keadaanku.
Pada hari ketujuh, aku mencelupkan ibu
jariku pada cairan hitam, dan membubuhkan secara perlahan-lahan dan penuh
kehati-hatian lima sidik jari berjajar-jajar ke kanan. Imajinasi kapal layar
dan bintang-bintang tak jadi kugoreskan di kanvas.
Aku pernah menemuinya di wilayah Madras
sana, sebuah gambar berwarna keemasan, dengan figur seorang perempuan dan
seorang anak kecil dalam gendongannya. Ikon, aku pernah mendengar sebutan itu.
Tertempel di tempat ibadat yang menjadi tempatku berteduh di pelabuhan wilayah
Madras. Waktu itu uangku ludes karena lengah. Tak kukira seorang pencopet telah
berhasil menggaet kantong uangku. Entah di mana.
Seperti biasa, sebagai awak kapal, kami
turun berombongan. Mencari tempat minum-minum, entah aku lupa namanya di kota
pelabuhan itu. Tatkala beranjak pindah ke panti pijat, kantong uangku tak ada
lagi. Aku tak mau merepotkan teman-teman pelautku. Terpaksa, aku diam-diam
menyelinap memisahkan diri dari tengah-tengah mereka. Sampai akhirnya, aku
menemukan tempat ibadat yang bisa untuk membaringkan tubuh sampai seminggu
lamanya. Sampai saatnya, kapal bertolak kembali.
Di tempat itu, aku mengalami hidup
tidak seperti biasanya. Makan dan minum dari pemberian orang yang datang ke ke
tempat ibadat itu. Dan, waktu-waktu berikutnya, aku mendengarkan penjaga tempat
ibadat itu berkisah tentang ikon yang kukagumi itu.
”Lihat, gambar itu. Mandylion, bukan
yang digambar oleh tangan manusia. Terpapar pada sebuah kain wajah penuh
kelembutan pada orang yang berhadapan denganNya.” Kata penjaga tempat ibadat
itu menjelaskan. ”Di sebelahnya, hoditigria, Ibu dan Anak, yang ilahi sekaligus
manusiawi sekaligus menyatu,” katanya lagi.
Menurut kisahnya, beberapa benda itu
hadiah dari mereka yang datang dari pedalaman belahan lain di seberang benua
besar. Entah dari Konstantinopel atau dari pelabuhan-pelabuhan di jazirah
seberang yang aku belum pernah ke sana. Ikon itu ditempatkan di beberapa sudut.
Ada yang di dekat mimbar-mimbar, ada yang di samping kanan kiri. Menjadi
semacam tembok tempat ibadat itu.
Tempat ibadat itu selalu beraroma.
Dengan kemenyan, gaharu, dan damar semacam mur yang datang bersama kapal yang
kuawaki. Kuceritakan kepada penjaga tempat ibadat, tempat asal dari wewangian
yang mereka gunakan itu. Penjaga tempat ibadat mengangguk-angguk paham. Jadi
aku diberinya tempat untuk bisa meminta sedekah. Dan, malamnya aku bisa
membaringkan badan, sambil mengagumi bermacam gambar itu di tengah keremangan
cahaya yang ada.
Saat, tubuhku tak lagi mampu ikut
berlayar, aku turun kapal untuk selamanya. Tidak lagi menjadi pelaut yang
berpetualang ke sana ke mari. Jadi, kualihkan keahlianku sebagai juru gambar di
kapal, menjadi pelukis berbagai macam obyek dan pemandangan.
Sepekan setelah kuletakkan kanvas yang
kububuhi sidik ibu jariku, aku mulai menggunakan kanvas kayu. Aku memajang
bilah-bilah kayu yang disambung-sambung sebagai kanvas baru. Aku sudah
mengusahakan dan mempersiapkannya dengan seksama. Papan itu kuperoleh dari
tukang kayu kenalanku. Permukaannya digosok sangat halus, pori-porinya rapat.
Layak untuk menjadi sebuah kanvas. Bahan pewarnanya sebagian dengan bahan baru
yang kuperoleh dari orang-orang yang pulang berdagang dari India.
Aku mulai menggoreskan gambar seorang
perempuan dengan anak laki-laki di gendongannya itu. Lagi-lagi, aku memulainya
dengan menggambarkan mata. Kali ini, dua pasang mata. Mata perempuan itu, dan
mata anak lelaki yang ada di gendongannya. Sejak saat itu, aku menjadi pelukis
ikon di pinggiran kota Fansur, wilayah pelabuhan Barus, tanah kelahiranku.
ikon: lukisan dari tradisi Gereja
Katolik Ortodoks Ritus Timur di Byzantium dengan pusatnya di Konstantinopel
mandylion: wajah Kristus pada selembar kain hoditigria: gambar Maria dan
Kanak-kanak Yesus Fansur: nama lain dari Barus, kota kuno di wilayah Pantai Barat
Sumatera, Sumatera Utara.
Yogyakarta, 2012
Angin Kita
Kompas
Minggu, 30 Desember 2012 hlm.20
Dewi Ria Utari
Kau bercerita tentang Angin pertama
kali saat aku berusia 18 tahun. Kau 19 tahun. Cerita itu kau tuturkan setelah
kita lulus SMA. Sebelum kita berpisah.
Aku ingin menjadi Angin,” katamu sambil
menyeruput es kelapa di belakang sekolah.
”Kenapa?”
”Kakekku pernah bercerita tentang Angin
yang sering datang ke kampungnya setiap sepuluh tahun sekali. Dan setiap
sepuluh tahun sekali itulah penduduk desa bersiap menyambut kedatangannya.”
”Kenapa harus disambut?”
Kamu mengedipkan sebelah matamu, ciri
khasmu jika kamu mulai iseng dan bersemangat memberitahu sesuatu yang menurutmu
menarik.
”Di kampungnya tidak pernah ada Angin.
Semuanya diam. Tak bergerak. Hanya manusia yang bergerak. Bayangkan kehidupan
yang semuanya membeku. Meski Angin tak datang, kampung kakekku tetap sejuk.
Tapi itu pun tidak mempengaruhi kerinduan warga kampung itu untuk melihat
Angin. Karena saat Angin itu datang, semuanya menjadi bergerak. Daun-daun di
pepohonan berkesiur, rumput-rumput bergerak kiri kanan depan belakang, dan yang
lebih menyenangkan, anak-anak bisa bermain layangan.”
Aku setengah percaya mendengar
ceritanya. Namun aku tak bisa menghalangi imajinasiku membayangkan kampung
kakeknya. Sebuah kampung yang terletak jauh di pedalaman Sulawesi sana, tempat
leluhurnya berada. Rumah-rumah yang terbuat dari kayu, sebagian berbentuk rumah
panggung, dengan pohon-pohon kelapa di setiap halaman rumah. Sawah yang masih
menguarkan bau lumpur yang lembab. Sesekali ular pohon akan merambat turun
mencari tikus. Kehidupan yang selama ini hanya kudengarkan di buku-buku
pelajaran sekolah atau lukisan-lukisan realis.
Kemudian kau meneruskan ceritamu,
tentang persiapan para penduduk kampung itu. Mereka membersihkan kampung, menyiapkan
pakaian terbaik mereka, mengambil beras terbaik dari lumbung desa untuk ditanak
di dapur bersama yang terletak di balai desa. Ibu-ibu dan perawan kampung
berkumpul di dapur itu, mencuci beras, menanaknya, sambil bertukar cerita
tentang keluarga, tentang sawah, gunung yang tak lagi menyemburkan lahar,
tentang panen, tentang hantu, roh leluhur, tentang babi hutan yang menyelonong
masuk kebun, dan gadis-gadis yang mulai mengenal cinta.
Persiapan telah lengkap. Kini tinggal
menunggu Angin. Yang ditunggu pun datang saat pagi belum merekah. Saat gelap
belum terpercik warna kuning matahari. Perlahan Angin menyapa rumah pertama.
Pelan. Berembus dengan aliran yang tetap. Tak kencang, tak pelan. Satu per satu
penduduk keluar dari rumah dan menemui Angin yang telah menunggu di lapangan.
Anak-anak menghambur terhuyung-huyung keluar dari rumah dengan mata masih
berair dan bertahi di sudutnya. Salah satu dari mereka itu kamu, di usia lima
tahun. Perkenalan pertamamu dengan Angin itulah yang kemudian mengantarkanmu pada
keinginan untuk menjadi Angin. Kelak. Ketika dewasa.
Di mata bocahmu ketika itu, Angin
begitu keren. Begitu memukau. Sosoknya yang tinggi dan gagah dengan pakaian
warna putih yang terang, dan seluruh penduduk desa bergantian mencium
tangannya. Senyum Angin menyejukkan siapa pun yang memandangnya. Apalagi ketika
menyentuhnya, bahkan saat menyentuh pakaiannya sekalipun.
Kharisma Angin menyedot seluruh
inderamu. Kau begitu merekam kenangan pertemuan itu hingga bertahun-tahun
kemudian. Apalagi ketika Angin mulai memilih perawan tercantik di kampungmu
untuk menjadi ibu bagi penerusnya kelak. Ketika usiamu makin bertambah, kau
makin bertambah kekagumanmu pada sosoknya, terutama dari cerita-cerita yang kau
dengar tentangnya dari orang-orang tua di desamu. Keinginanmu menjadi Angin
makin bertambah ketika kau mendengar perempuan yang dipilih Angin tidak bisa
melahirkan keturunan bagi Angin. Saat itulah kau mendengar bahwa Angin akan
mencari penerusnya kelak dari pemuda di desamu kelak ketika mereka berusia 20
tahun.
Aku tak lagi mendengar tentangmu begitu
kita berpisah. Kudengar kamu kembali ke desamu dan menunggu usiamu menjadi 20
tahun. Namun ada pula teman yang bercerita kau menghabiskan sisa waktu setahun
untuk berkelana dan kemudian kembali ke kampungmu tepat ketika kau berulang
tahun ke-20. Aku tak tahu mana yang benar. Aku sendiri sudah disibukkan dengan
dunia kuliah dan kampus yang lebih menjanjikan nasib baik bagiku daripada
mempertahankan cerita absurd yang begitu kau pertahankan.
Ya, aku melupakanmu juga cerita yang
menurutmu hanya kauceritakan kepadaku di belakang sekolah waktu itu. Aku
menganggapnya tak serius karena aku tahu kau menceritakannya dalam pengaruh
ganja yang kau campur dengan tembakau yang kau linting sendiri. Kau sempat
menawariku seisap dua isap, tapi aku menolaknya. Ganja hanya membuatku doyan
makan, bukan pikiran melayang seperti yang kau yakini. Namun yang kuyakini
ketika itu bahwa ceritamu tak lebih dari khayalan semata.
Barulah 15 tahun kemudian, yaitu saat
ini, cerita itu kembali terngiang di otakku, ketika aku mendengar pemberitaan
di sejumlah media massa tentang kehancuran yang dialami sejumlah kampung di
Sulawesi. Salah satunya desa tempat kau lahir. Kondisinya sangat
memprihatinkan. Banyak rumah luluh lantak dan yang lebih menyedihkan, ada
sekitar puluhan anak lelaki hilang. Konon kabarnya situasi sangat mencekam di
sana. Jam malam diberlakukan, dan diadakan ronda keliling untuk menjaga
keluarga-keluarga yang memiliki anak lelaki. Pemberitaan ini memang tak ada
kaitannya dengan ceritamu tentang Angin, tapi entah mengapa aku teringat kamu
begitu membaca kampungmu ikut terkena musibah ini.
Kenanganku tentang ceritamu barulah
terangkai menjadi kisah lainnya ketika aku bertemu denganmu. Suatu malam kamu
datang ke rumahku tanpa kutahu dari mana kau mengetahui kediamanku. Kamu datang
dalam keadaan lusuh, letih, namun masih menyisakan kekonyolan kanak-kanakmu
yang dulu selalu menggelisahkan guru-guru. Sosokmu yang lebih legam dan kini
berambut cepak, pipi dan dagu yang dipenuhi bulu, membuatmu sangat terlihat
seperti musafir yang lama tak mengenal kasur dan air. Matamu yang masih setajam
dulu terlihat lelah. Malam itu kupandangi dirimu yang tertidur lelap di sofa
kamar tamuku.
Perlu kesabaran dan usaha keras untuk
memintamu bercerita keesokan harinya. Beberapa kali kulihat kau menghela napas,
dan matamu seolah mempertimbangkan sesuatu. Kau begitu bimbang, dan berulang
kali memandang langsung ke mataku seolah mencari sebentuk kepercayaan.
”Kau ingat tentang Angin?” akhirnya kau
membuka suara setelah aku bertahan membisu selama dua jam menunggumu bicara.
Aku mengangguk. Dan setelah sekitar
sepuluh menit terus menatapku mencari keyakinan.
Kemudian mengalirlah kisah tentang
perjalananmu selama 15 tahun. Kau berkelana mencari Angin. Mencari cara untuk
menjadi Angin. Bukan perkara gampang karena banyak ujian yang harus kau lewati
untuk bisa membuktikan kemampuanmu. Bahkan kau sempat lelah dan selama lima
tahunan terjebak dalam ujian yang sengaja dipasang Angin.
”Aku mencoba semua benda-benda itu yang
hanya kau dan Tuhan yang tahu kenikmatannya, Lan. Dan ketika kau memutuskan
berhenti, hanya kau dan Tuhan saja yang tahu kesakitannya. Aku kemudian kembali
ke Sulawesi, ke kampung kakekku. Selama beberapa tahun di sana, aku
menyembuhkan diri dan mulai mendapatkan ketenangan. Dan saat itulah aku
mendengar tentang keberadaan Angin.”
Tanpa merinci dengan detail, kau
menceritakan bahwa justru masa-masa ketika kau mencandu itulah Angin mendengar
tentangmu. Dan itu sudah cukup menjadi bekal bagi Angin untuk memilihmu.
Diantar oleh kaki tangannya yang berhasil menemukanmu, kamu bertemu dengan
Angin.
”Sejak itu aku menjadi bagian dari
Angin. Aku pergi ke tempat-tempat yang ia minta. Aku melakukan apa pun yang ia
ingin untuk kulakukan.”
”Apakah semua yang ia minta sesuai
dengan keinginanmu? Dengan bayanganmu selama ini tentang Angin?”
Kau terdiam cukup lama.
”Jujur, setelah bertahun-tahun kemudian
aku lelah. Namun itu sudah pilihan yang kuinginkan sejak kecil. Aku belajar
tentang pengabdian, loyalitas sebuah tugas. Apa pun konsekuensinya. Apa pun
jenis pekerjaan itu. Dengan Angin, aku bisa menjadi apa saja. Aku suatu hari
menjadi gembel, suatu hari kemudian menjadi satpam, bisa saja suatu hari aku
ada di tengah pesantren. Awalnya aku menikmati semuanya, tapi lama-lama aku tak
lagi tahu untuk apa Angin menyuruhku seperti itu.” Matamu menerawang jauh penuh
kelelahan.
Aku tak lagi bertanya lebih lanjut.
Sisa hari itu kita lebih banyak bercerita tentang masa lalu. Tentang
teman-teman kita, tentang pekerjaanku, tentang rencanaku, dan tentang keluarga
kita masing-masing. Kau mungkin akan kembali ke Sulawesi, ke kampung kakekmu.
Tapi kau tak terlalu yakin.
”Mungkin setelah aku bicara dengan
Angin, aku akan kembali ke sana,” ujarmu lirih.
Sore hari, kau mengajakku ke pantai.
Kita memandangi matahari yang tenggelam dengan cepat, menyisakan warna abu-abu
di air laut. Saat itulah kau memintaku untuk selalu menantimu setiap matahari
tenggelam.
”Aku akan menjadi angin untukmu, Ilan.
Angin yang mengalir pelan dan menenangkanmu. Yang tak kau sadari kehadirannya
tapi bisa kau rasakan. Aku akan menjagamu.”
Itulah saat terakhir aku bertemu
denganmu, Enzo. Tak lagi kudengar keberadaanmu. Apakah kau telah menjadi Angin?
Apakah kau kembali ke kampung halamanmu? Apakah kamu berkelana menyusuri setiap
pulau di negeri ini?
Setahun setelah kepergianmu aku telah
berhenti mempertanyakan kehadiranmu. Aku cukup mengikuti pemberitaan di surat
kabar atau televisi untuk mengikuti jejak-jejak keberadaanmu. Di tempat-tempat
itulah aku yakin kau tengah menjadi Angin yang kadang menderu, mengalir,
berputar, atau menghantam memporakporandakan.
Aku tak hendak mempertanyakan pilihan
hidupmu. Hanya keyakinan bahwa kau tahu mana yang terbaik buatmu. Karena selalu
ada kebaikan dalam dirimu yang selalu meyakini adanya kebaikan di setiap orang.
Entah tengah menjadi Angin seperti apa dirimu, aku yakin Enzo, kau akan
baik-baik saja, karena aku menunggumu di sini.
Setiap senja, menjelang matahari
terbenam, aku duduk di pantai ini. Pantai yang sama. Pasir yang sama. Air
berwarna abu-abu ketika terang mulai menyurut yang masih sama. Busa ombak yang
sama. Hanya kini ada yang tak sama lagi. Aku sudah memiliki Angin yang kadang
menderu, kadang pelan, kadang letih, kadang berhenti, kadang menangis, Angin
yang tak lagi membuatku terlalu kehilangan dirimu, atau merindumu terlalu
sangat. Angin yang berlarian menjejaki pasir, tertawa keras mempertontonkan
gigi-gigi kecilnya, dengan sepasang mata menatap tajam ke arahku, sama
sepertimu.
Angin kita, Enzo, kini menemaniku
setiap senja dan kami sama-sama menantimu pulang.
Jakarta, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar