Sepucuk Surat
Ketika Pakemon sedang
membaca koran pagi di teras depan rumahnya, sambil menikmati secangkir kopi
arabika, seorang kurir dari kantor tempatnya bekerja tempo hari datang. Kurir
itu mengabarkan, Pak Presdir baru saja meninggal dunia.
“Saya mengantar ini,
Pak,” kata kurir itu seraya mengajukan surat ke tangan Pakemon.
“Dari siapa?” tanya
Pakemon.
“Tidak tahu Pak. Saya
cuma disuruh antar.”
Pakemon mengira,
itulah sepucuk surat yang ditunggu-tunggunya dua puluh tahun. Ternyata surat
itu dari Pak Presdir almarhum.
“Apa Bapak ingin tidak
melayat?” kata sang kurir sebelum meninggalkan rumah Pakemon. “Jenazah beliau
disemayamkan di rumah duka.”
“Kapan dimakamkan?”
“Sore ini, Pak.”
Surat itu mengingatkan
Pakemon pada masa silamnya. Masa silam yang kelabu.
Pakemon telah menunggu
sepucuk surat sejak dua puluh tahun lalu. Namun, dua puluh tahun Pakemon
menunggu, dua puluh tahun pula ia menunggu sia-sia.
Kalau Pakemon bertanya
pada Bagian PSDM kantornya, selalu terdengar jawaban standar, “Sedang diproses,
Pak.”
“Jadi, kapan saya bisa
pensiun?”
“Terus terang, saya
juga tidak tahu, Pak. Saya cuma tukang tik, Pak. Kalau sudah ada perintah dari
atasan saya untuk mengetik es-ka pensiun dini Bapak, tentu segera saya kirimkan
kepada Bapak,” kata salah seorang pegawai PSDM.
“Maaf, dengan siapa
saya bicara ini?”
“Dengan Ani, Pak.”
Pada kesempatan lain,
yang menerima telepon Pakemon adalah Neni. Jawabannya serupa tapi tak sama,
“Es-ka-nya sedang diproses, Pak.”
“Jadi, kapan es-ka
pensiun dini saya keluar?” kata Pakemon dengan nada tinggi.
“Saya tidak tahu, Pak.
Pokoknya, saya sudah serahkan ke sekretaris Pak Presdir. Silakan tanya
sekretaris Presdir, Pak.”
Ketika Pakemon
bertanya pada Weni, sekretaris Presdir, muncul jawaban,
“Es-ka-nya sudah saya
masukkan Pak ke map ’Surat-Surat yang Harus Ditandatangani Presdir’, Pak.”
“Lantas?”
“Saya ’nunggu
ditandatangani Bapak Presdir. Setelah itu, baru saya kirim ke Bapak.”
Pakemon sudah
hafal jawaban itu semua.
“Sedang
diproses, Pak.”
“Sudah
diserahkan ke Pak Presdir, Pak.”
“Pak Presdir
belum menandatanganinya, Pak.”
“Pak Presdir
masih sibuk.”
“Pak Presdir
sedang rapat.”
“Pak Presdir
sedang ke luar kota.”
“Pak Presdir
sedang cuti.”
“Pak Presdir sedang
liburan ke Eropa.”
Ajaibnya, jawaban itu
sama dari bulan ke bulan. Sama dari tahun ke tahun. Lebih ajaib lagi, itu sudah berlangsung dua puluh
tahun. “Tidak masuk akal,” pikir Pakemon.
Salah satu yang
disukai Presdir pada Pakemon adalah kehematannya. Pakemon kesohor sebagai orang
yang superhemat. Dalam soal uang, ia selalu berpihak pada kepentingan
perusahaan. Kalau sudah soal hitung-hitungan, Pakemon mirip pemilik perusahaan.
“Setiap sen yang
dikeluarkan perusahaan sepertinya dikeluarkan dari kantong Pakemon sendiri,”
komentar para karyawan secara bisik-bisik.
Komentar lain pada
Pakemon, “Kita tidak tahu persis apakah Pak Pakemon itu hemat atau pelit….”
Dalam soal disiplin,
Pak Presdir juga salut pada Pakemon. Tak ada karyawan yang mampu menandingi
Pakemon. Meskipun jam kerja dimulai 7.30 pagi, Pakemon sudah berada di mejanya
pukul 6.30. Akibatnya bisa ditebak: para karyawan pun ikut-ikutan datang pagi
dan merasa malu kalau masuk lebih dari pukul 7.30.
Pulangnya pun begitu.
Meski jam kantor berakhir 16.30, Pakemon selalu pulang pukul 17.30. Akibatnya pun bisa diduga: para
karyawan pun ikut-ikutan pulang mendekati 17.30 dan merasa rikuh pulang pukul
16.30 teng.
Tak mengherankan kalau
Pakemon dipercaya Presdir menduduki jabatan direktur keuangan perusahaan MNC
itu pada usia 30 tahun.
Itu juga sebabnya,
Pakemon terpilih menjadi karyawan teladan selama beberapa tahun berturut-turut.
Namun, itu pula sumber protes para karyawan terhadap Presdir.
“Pemilihan karyawan
teladan tak perlu diteruskan, Pak,” kata mereka.
“Kenapa?” tanya
Presdir.
“Lha, kalau caranya
begitu, yang terpilih dari tahun ke tahun cuma Pakemon melulu, Pak,” kata yang
satu.
“Kalau begitu, Pakemon
saja yang kerja, Pak,” kata yang lain.
“Kita-kita ini
berhenti saja semua, Pak,” kata yang lain lagi.
Sejak itu, pemilihan
karyawan teladan pun ditiadakan.
Kalau bertemu dengan
Pakemon, pastilah kau akan iri secara diam-diam atau terang-terangan. Bukan
karena istrinya bekas peragawati. Bukan pula karena Pakemon mampu menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah-sekolah unggulan (bayarannya dengan dollar Amerika).
Bukan pula karena ia memiliki rumah bagus (Lt 1000m²/Lb 500 m²) di kompleks
perumahan paling bergengsi. Bukan pula karena ia memiliki vila di daerah
pegunungan (yang dikunjunginya setiap akhir pekan dan hari libur lainnya). Juga
bukan karena Pakemon memiliki mobil-mobil made in Germany (BMW paling gres
untuk dirinya sendiri; Mercy seri terbaru untuk kegiatan istrinya; Opel Blazer
untuk antar jemput kedua anaknya).
Bukan itu.
Pakemon mencapai semua
itu pada usia 40 tahun!
Itulah yang menyebabkan
Pakemon telah merasa di puncak kariernya. Pakemon rupanya sangat tahu diri. Tak
mungkin lagi ia naik ke atas….
“Menjadi salah satu
direktur saja sudah di luar impianku,” kata Pakemon pada suatu hari pada
istrinya.
Pakemon sangat
mensyukuri kedudukan yang diperolehnya di perusahaan MNC itu. Ia tidak ingin
lagi lebih dari itu.
“Tapi, kamu kan masih
muda, Mas,” sahut istrinya.
“Maksudmu?”
“Kamu masih mempunyai
peluang jadi presdir.”
“Jadi
p-r-e-s-d-i-r?”
“Ya, jadi
p-r-e-s-d-i-r!”
Pakemon yang tak
punya ambisi apa-apa ketika melamar di perusahaan MNC itu (“yang penting aku
dapat pekerjaan dan bisa hidup”), serasa berada di awang-awang. Jadi presdir?
Ah, tidak. Tidak!
Pakemon sangat
tahu diri.
“Ah, itu tak
mungkin, Pak,” kata Pakemon kepada Presdir pada suatu audienasi. Pakemon
sengaja minta waktu untuk menghadap.
“Lalu rencana
Saudara selanjutnya apa?”
“Kalau kita sudah di
atas, tentu tak ada jalan lain kecuali turun secara terhormat dan sopan.”
Rupanya, Presdir
kurang paham maksud Pakemon.
“Maksud Saudara bagaimana?”
“Saya ingin pensiun
saja, Pak.”
“P-e-n-s-i-u-n?”
“Ya, pensiun, Pak,”
kata Pakemon dengan kalem. “Pensiun dini….”
“Pensiun pada usia
empat-puluh tahun?”
“Betul, Pak.”
“Saudara sudah
yakin?”
“Yakin, Pak.”
Setelah membaca
basa-basi pada awal surat, Pakemon membaca inti surat Presdir itu.
Sebetulnya, saya
sangat senang dengan reputasi Anda di perusahaan.
Sayangnya, Anda
terlalu cepat berpuas diri. Buktinya, Anda meminta pensiun pada usia 40 tahun,
justru saat usia Anda sedang produktif.
Coba Anda
bayangkan. Kalau Anda saya perkenankan pensiun dini, tentu saja banyak orang
kelak yang akan meminta pensiun dini. Itu preseden buruk, Saudara! Apa jadinya
perusahaan yang saya bangun ini dengan susah payah?
Kini usia Anda
sudah 60 tahun. Saatnya untuk pensiun. Ya, pensiun normal.
Pensiunlah dengan
tenang. SK-nya
sudah saya tanda tangani. Silakan ambil di PSDM.
Di bawahnya masih ada
kata-kata berikut.
Jangan dendam
pada saya. Itu tak baik.
Dua baris
terakhir berbunyi:
Anda telah
menunggu 20 tahun.
Maaf.
Setelah tanda tangan
Pak Presdir, masih ada NB yang berbunyi: Saya ingin menyampaikan satu hal pada
Anda. Sebenarnya, saya menjagokan Saudara sebagai kandidat pengganti saya
kelak. Sayangnya, Saudara bersikukuh minta pensiun dini.
Istri Pakemon yang
mengetahui adanya surat Pak Presdir itu dan telah membacanya berusaha menghibur
Pakemon.
“Sudahlah, Pap. Nggak
usah dipikir lagi ulah Presdirmu itu.”
Pakemon tak bereaksi.
Ia masih merasa sakit hati pada Pak Presdir. Ia merasa diperlakukan tidak adil.
Dibiarkan menunggu dua puluh tahun. Tak digaji. Tak diberi pesangon. Cuma
dianggap non-aktif!
“Lupakah saja surat
pensiun dini itu, Pap.”
Pakemon menarik napas
panjang. Ia perhatikan surat Presdir itu. Dibacanya lagi. Namun, sakit hatinya
tak hilang-hilang jua; malah makin menancap lebih dalam. Kenapa dia biarkan aku
menunggu dua puluh tahun? Kenapa aku harus menanti dua puluh tahun tanpa kabar?
Kenapa aku dipingpong ke sana kemari hanya untuk sepucuk surat?
“Toh semua sudah
berlalu, Pap, buat apa dipikiri?”
Pakemon mengangkat
cangkir dari tatakannya, kemudian menyeruput kopi arabika kesukaannya.
Ditaruhnya surat Presdir di meja di hadapannya, kemudian diteruskannya membaca
koran pagi.
Ketika istri Pakemon
mengajak, “Ayo kita melayat, Mas!” Pakemon tampak bergeming. Pakemon belum tahu, apakah ia
akan melayat atau tidak.
Jakarta, 8-9-2003
Ing Ratri
Namaku Vampira
Suburbia. Gebyar gemerlap berikut semua cahaya kota besar yang menyala serentak
di akhir tahun dan suasana pesta pora yang bisa dirasa di mana-mana meremajakan
diriku sehingga tak menjadi tua-tua. Sebagai Nycteris javanica yang tergolong
berukuran kecil dibanding makhluk sejenisnya, aku bisa terbang lebih leluasa,
lebih bebas menjelajah ke mana-mana. Kini, aku memenuhi janjiku untuk menuju ke
sebuah kota, yang pesonanya hanya bisa dijangkau oleh kenangan….
Begitulah, sebab
dengan mata biasa-bukan mata Vampira Suburbia-apalah sebenarnya kota ini. Dia
hanya sebuah kota kecil dengan pasar tumpah di jalan raya karena bangunan pasar
yang telanjur menggusur rakyat tak kunjung jadi-jadi pembangunannya. Terminal
angkutan kota menjadi pusat paling semrawut, menduduki pusat lama yang pada
zamannya adalah pusat spiritualitas warga. Di manakah taman rinduku yang dulu,
dengan pohon-pohon kenari dan sawo manila, atau juga kembang sepatu dan kana
yang tumbuh di pinggir-pinggir parit berair jernih?
Tak semua ingatan mampu
menembus alam kota fantasi. Di dekat situ ada gereja tua yang dulu terpencil
seperti gunung tempat penyucian jiwa atau orang setempat menyebutnya “giri
sonta”, tetapi kini tak ubahnya bangunan biasa di tengah kota. Ah, tetapi
tunggu: ada juga yang belum terlalu berubah, yakni kapel tua di samping gereja,
di mana dulu kami belajar berdoa.
Mempelai itu
didudukkan di ujung kapel dengan pakaian tradisional Jawa. Mereka diapit
pasangan lumayan tua, orangtua masing-masing mempelai. Burung sriti berkelebat,
keluar dari kuda-kuda di langit-langit kapel. Aku terkesiap. Tak ada yang
memperhatikan burung yang belebar-beleber terbang ke sana ke mari itu kecuali
aku. Benar-benar belum berubah kapel ini….
Berapa tahun semua
berlalu? Ayah mempelai wanita memelukku erat-erat. “Kamu jangan pulang dulu,
jangan pulang dulu…,” katanya dengan nada tersendat dan mata berkaca-kaca. Ia
abaikan tamu-tamu lain yang antre hendak menyalaminya. Bahkan, dia keluar dari
“kompartemen” yang dikhususkan untuknya, melangkah menuju pasangan yang berdiri
beberapa meter darinya. “Ini tamu yang kita nanti-nanti, yang menghidupi mimpi
seluruh warga kota…,” katanya mengenalkanku kepada anak perempuan dan
menantunya.
Entah apa yang
diucapkannya. Tak ada yang paham maksudnya. Hanya saja, apa pedulinya-sama
seperti aku: apa peduliku? Aku-Vampira Suburbia-semata-mata tersedot ke alam
mimpi….
Mata banyak orang
boleh jadi memperhatikanku: wadag yang ditinggalkan roh yang tengah mengembara
bersama burung sriti yang terbang di atas ruangan, sesekali sayap-sayapnya
menyenggol tembok dan langit-langit karena mata sriti memang kurang awas di
siang hari. Vampira Suburbia yang sangat sadar ruang dan waktu-ia meruang dan
mewaktu di kota besar-kini seperti makhluk tolol. Ia linglung terpesona suasana
kapel tua yang mengembalikan seluruh dirinya pada kota lama yang pernah
dimilikinya.
Seseorang menepuk
pundaknya. Vampira Suburbia kaget. Dia membalikkan badan, dan melihat lelaki
menjelang tua yang terlihat jelas bagaimana mencoba memelihara penampilan,
meski dengan cara sederhana. Lelaki itu mengenakan baju batik, sepatu mengilap
habis disemir.
“Kamu pasti lupa
dengan saya…,” ucap lelaki di depannya.
Bayang-bayang masa
lalu berkelebatan di kepala tokoh kita. Ada yang bisa dia tangkap. “Tidak,
aku tidak lupa. Kamu Fred…,” katanya.
Ya, Fred-satu
dari sedikit Indo teman di masa lalu. Fred memeluk tak kalah erat dari ayah
mempelai wanita sebelumnya. “Puji Tuhan…,” bisik Fred, lumayan membikin Vampira
Suburbia terheran-heran. Kata itu, sejauh yang diingatnya, tak termasuk dalam perbendaharaan kata
Fred di masa lalu. Waktu, memang telah mengubah segala-galanya. “Eric, Eric
benar-benar telah berhasil mengumpulkan saudara-saudaranya…,” lanjut Fred penuh
muatan rasa syukur.
Eric yang disebutnya
adalah ayah mempelai wanita tadi. Indo atau blasteran juga-karena kota kami
dulunya adalah kota pensiunan para pegawai Belanda. Itu salah satu keunikan
yang bisa kuingat, sebelum zaman membuat semua hal meleleh, menjadi serba sama
saja apa-apa di mana-mana. Fred bercerita, bagaimana Eric berjanji: pada
pernikahan anaknya dia akan “mengumpulkan semua saudara-saudaranya”. Yang
disebut “saudara-saudara” adalah teman-teman yang selama enam tahun
bersama-sama menapaki sekolah dasar. Entah bagaimana, rupanya di antara kami,
penggalan masa itu menjadi masa paling tidak terlupakan.
“Yang paling susah
dicari adalah kamu,” ucap Fred. “Katanya, kamu telah menjadi siluman…,”
tambahnya berseloroh.
Aku cuma tertawa.
“Kamu tetap muda, tak
termakan usia,” kata Fred lagi. Khusus di sini-kalau itu merupakan pujian-maka pujian itu
membuatku risi. Tiba-tiba aku merasa tubuh wadagku mengasingkanku.
“Namamu pun konon kamu
ganti sehingga kami sulit sekali melacak kamu. Baru belakangan kami tahu bahwa
yang punya nama seperti hantu itu adalah kamu, saudara kami di masa lalu.”
Lagi-lagi Fred memeluk. “Kamu tahu, siapa yang di sana?” kata Fred sambil
menunjuk suatu tempat, di mana tampak berdiri lelaki tua, kurus, berkumis
panjang tak beraturan. Ketika lelaki itu tersenyum, tampak deretan gigi yang
sebagian telah ompong.
Lelaki itu mendekat.
Aku cuma menangkap getaran keakraban tanpa bisa mengingat siapa sebenarnya dia.
Hubungan roh mengatasi
gejala wadag. Kubahasakan seluruh gerakku untuk menangkap keakrabannya. Dia
tahu kalau aku lupa siapa dia. Fred tampak menikmati suasana ini.
“Dia Yik…,” kata
Fred.
Aku serasa
disambar petir. Yik, “pemimpin” kami di masa lalu. Dulu dia bertubuh paling
besar di antara kami-apalagi dibanding aku, yang bertubuh paling kecil. Kini,
aku serasa harus agak mengarahkan pandangan mataku ke bawah, karena dia
sepertinya lebih pendek dariku. Benarkah pandanganku? Tubuhnya menjadi
mengkeret dimakan waktu?
Ia menciumku.
Aku tak bisa menyembunyikan keharuan. Dunia benar-benar tidak bergerak ke mana-mana. Dulu
dialah yang menjadi “pelindung” teman-temannya. Sekilas aku teringat ketika
kami berombongan berjalan kaki ke luar kota menempuh jarak puluhan kilometer,
menjalani ajaran di sekolah agar kami berprihatin, berjalan kaki menuju goa di
mana terdapat patung Santa Maria.
Dalam bayanganku
muncul rawa sangat luas, rel kereta api di sampingnya yang kami susuri menuju
kota dimaksud, gunung-gunung, bukit, dan persawahan. Aku teringat dia sebagai
murid terbesar mengingatkan teman-temannya, mengulangi pesan guru agar kami
berjalan sambil membisikkan doa Salam Maria. Yang tadinya kami enggan, sebagian
dari kami barangkali waktu itu benar-benar mengucapkan doa, ketika di sawah di
pinggir rawa melintas ular sawah yang seingatku ukurannya sangat besar. Sejak
semula kami diingatkan, ketemu apa pun kami tidak boleh melakukan sesuatu
kecuali berdoa. Barangkali waktu itu aku berdoa dengan wajah pucat….
“Hidupku berat,
mencari uang untuk membesarkan anakku…,” kata Yik.
“Semua orang mencari
uang, kalau tidak untuk anak, ya, untuk menghidupi diri sendiri,” tukasku.
Dia tertawa. “Sejak
tadi aku sudah tahu bahwa yang kulihat itu pasti kamu. Kamu sama sekali tidak
berubah. Kamu tetap kanak-kanak yang dulu,” katanya menepuk-nepuk pipiku.
“Kamu bekerja di
mana?” tanyaku.
Dia menyebut tempat
kerjanya, hotel paling mewah di ibu kota provinsi. “Dua puluh tahun aku bekerja
di situ, tetap menjadi bell boy,” ujarnya sambil tertawa. Ia tiba-tiba
melambaikan tangannya. Seorang dara remaja mendekat. “Ini anakku,” katanya.
“Ayo, beri salam pada saudara Papa ini….”
Kuperhatikan wajah
remaja ini. Sangat manis. Segala berkah bagi Yik: itulah dara ini. Dia agak
malu ketika aku bukan hanya menangkap tangannya, tetapi memeluknya. Ternyata
dia sudah mahasiswa, bukan siswa SMP seperti kuduga. Ia tersenyum-senyum, tak
bisa menghindarkan diri dari apa yang barangkali dipandangnya sebagai
“ketololan”, di sekelilingnya.
“Kamu jangan pulang
dulu, jangan pulang dulu…,” Kata-kata itu kemudian kudengar dari siapa saja.
Ya, siapa ingin
meninggalkan ini semua….
Namaku Vampira
Suburbia, namun bagi lingkunganku kali ini tak ada yang peduli siapa atau hantu
macam apa itu Vampira Suburbia-kelelawar yang dijaga keremajaannya oleh cahaya
neon dan lampu-lampu kota besar. Kutinggalkan tubuh wadagku sebagai keluarga
Microchiroptera, keluarga kelelawar pemakan apa saja, termasuk darah yang
dilakukan oleh sejenisku, Desmodus rotundus alias vampir.
Rohku yang bergentayangan
di antara celah-celah cahaya kota besar dan pernah menyatakan rela tersesat di
kepalsuan dunia, kini merasa nyaman berada dalam kapel tua di mana dulu kami
belajar berdoa. Aku teringat dinding-dinding gedeg sekolah kami di masa
kanak-kanak dulu, di mana di pagi hari cahaya matahari menyusup lewat
lubang-lubang kecil di dinding gedeg anyaman bambu itu, menjadikannya seperti
bersitan panah-panah emas. Di situ, kalau tak salah, di akhir tahun seperti ini
kami diajari menyanyikan kidung Ing Ratri. Di telingaku, mendadak terngiang
lagu itu, dengan kata-katanya yang entah bagaimana bisa singgah di kepalaku
secara persis:
“Ing ratri, dalu
adi/Wus nendro donya sri/Kang wungu mung Brayat Mulya/Sumujud ngadhep kang
Putra/Sare ing makanan, sare ing makanan….”
Saudara-saudara, kalau
toh nanti tubuh wadag kelelawar Nycteris javanica ini kembali dihuni roh dan
jiwa, maka penghuninya bukanlah roh yang mencari keremajaan diri lewat gemerlap
cahaya kota besar, melainkan roh dari kapel tua dari kota kecil, dari sekolah di
masa kanak-kanak yang berdinding gedeg, yang membisikkan kidung Ing Ratri yang
teduh dan hening di malam Natal.
Jakarta, Desember 2003
Cakra Punarbhawa
(Kisah Lima Penjelmaan)
Aku lahir. Gajahmada
melepas jangkar. Melabuhkan armada tempur di pantai leluhurku. Malam biru.
Seperti jubah laut masa lalu.
Ayahku nelayan tua
bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk, dan perahu.
Ibuku dayang istana, perayu ulung, penakluk muasal kata, penadah titah yang
patah. Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu. Aku terjaga. Aku benih,
gabungan sudra dan ksatria, hanyut menggenangi gema genta pendeta. Aku putra
jadah. Rasi bintang yang sendiri. Terbuang, tak diakui. Meski raja mencintaiku,
namun takhta adalah utama, setelah titah. Ibu mengeluh. Aku pasrah. Maka,
nelayan tua bermata ungu itu, kupanggil ayah.
Aku belia dalam
kubangan janji-janji Gajahmada, sang penakluk terkutuk. Aku belajar memanah
tangis. Menebas air mata. Raja merestuiku jadi laskar. Di garis depan aku
bertempur. Demi leluhur, istana, dan raja-ayah yang dulu tak menghendakiku.
Namun lacur, aku gugur. Seperti pokok jati yang rubuh di musim kering.
Lambungku lebih mencintai tombak ketimbang ombak.
Ruh berputar. Cakra
punarbhawa. Ratusan
tahun kemudian, kembali aku menitis. Ibuku pelacur terhormat bagi serdadu
bermata biru. Dipuja dan dimuliakan, lantaran pinggul bulat, payudara kelapa
gading, dan suara merdu merayu. Bertahun kemudian ibu digilir lelaki kuning
bermata sipit. Tak tahu aku, siapa sesungguhnya yang pantas kusebut ayah? Apa
mungkin langit kupanggil ayah? Dalam tubuhku mengalir darah serakah penjajah.
Akhirnya, ibu mati gantung diri, setelah lelah meladeni serdadu ke seribu, yang
haus, ganas dan beringas.
Aku tumbuh menjadi
penjudi, centeng pelabuhan, pemain perempuan, sekaligus mucikari bagi priayi.
Hingga tiba suatu waktu, aku tersihir api revolusi yang menyembur dari mulut
Soekarno. Seakan mengenang masa silam, kembali aku mengasah naluri tempur. Pin
merah-putih di peci, sesuatu yang kubanggakan sebagai harga diri. Revolver di
pinggang dan senapan di tangan. Aku memimpin pasukan menyerbu tangsi dan gudang
senjata. Namun, seperti telah dinujumkan, aku gugur berselempang peluru musuh.
Ketika musim
pembantaian tiba, aku mekar kembali dalam keluarga buruh tani. Usiaku sepuluh
tahun saat ayah digorok dan dikuliti, persis di depan ibu. Darah ayah menghiasi
wajah ngeri ibu. Aku tumbuh seperti pohon tanpa daun. Ibu gila dan menghuni
rumah sakit jiwa, lalu mati dengan batin luka parah.
Aku menjadi juru
warta, mengabarkan sengkarut negeri. Aku menjadi musuh tirani. Suatu malam,
kelam gemetar di udara. Suara parau burung hantu membawa derap langkah sepatu
lars. Kepalaku dibungkus kain hitam, dipaksa masuk kendaraan yang melaju entah
ke mana.
Koran mengabarkan aku
lenyap, tanpa jejak. Mereka tak tahu aku dipaksa menjadi penghuni liar kerajaan
bawah laut. Aku belajar menyukai aroma garam yang menggelembungkan perut dan
jiwaku. Menari bersama ubur-ubur, menyanyi bersama penyu hijau yang terusir,
hiu kelabu, ganggang dan kerang. Dari suram bawah laut, ruhku berputar tak tahu
arah.
Aku lahir kembali di
lorong kumuh sebuah perkampungan kaum lanun, bromocorah, paria, begundal,
sundal dan bajingan. Ayahku turunan perompak. Kakekku sahabat ombak. Suka
mabuk. Pernah memerkosa perempuan bisu di geladak. Lalu lahirlah ayahku, pohon
palam yang mencintai malam.
Ayahku raja pasar
gelap. Penyelundup kayu. Juragan candu. Ketika aku bocah, ayah menguap. Jadi buron polisi dan preman.
Ada kabar ia mati di comberan. Tubuh bugil, putih-pucat, dan penuh rajah. Ada
tujuh lubang luka yang membiru di tubuh.
Aku dipelihara ibu,
penari telanjang termasyhur. Paha bercahaya, payudara berkilau. Ibu mengajariku
menenggak anggur bercampur abu ganja dan sedikit pil tidur. Ibu melatihku
bercinta. Ketika mabuk aku diperkosa. Aku meronta, aku berontak. Ibu menjerit:
“aku dahaga!” Ibuku itu bukanlah ibuku. Dia mengaku ibu tiri. Sebab dahaga
purba, sukarela aku menjalin asmara dengan ibu tiriku.
O, di mana rahim
hangat ibu yang melahirkanku?
Aku mengadu pada
senja. O, Pantai Kuta, ke mana kau usir jukung-jukung nelayan? Mataku silau
lampu-lampu hotel dan restoran. Seperti tukik, lahir dari kandungan pasir, aku
merayap pada hamparan pasir. Ibuku pasir Pantai Kuta. Pada dadanya yang putih
bersih aku menyusu. Belajar mencicipi air laut. Mencecap asin garam untuk kali pertama.
Di Pantai Kuta
aku menjelma gigolo belia. Usiaku tujuh belas tahun ketika mereguk cinta
pertama, seakan menyentuh batu mulia, pada mata jelita negeri salju. Rambut
yang separuh pirang, menyisakan gerak bayang pada siang. Mata seteduh lautan,
biru yang kurindu, yang memeram kelam topan.
Maka, cerita baru pun
kubuka:
Di pantai aku merayu,
seakan alpa akan duka masa lalu. Kubah langit jadi jingga. Biru laut mengental
pada kerling matamu. Perahuku oleng, arus mabuk. Pasir masih sisakan lokan,
bercampur uang kepeng bekas upacara dan tutup botol Coca Cola. Kau berlari
kecil dan tertawa renyah ke arah senja yang melindap harap. Buih putih meraba
mulus betismu yang ranum tangkai bunga leli. Seperti ibu yang setia, aku menunggu di
rindang pohon ketapang. Memandangmu memainkan senja yang ragu dan gemetar
meniti ombak liar. Seorang nenek renta bertopi caping memilin helai-helai
rambut kusutku jadi beribu warna pelangi, yang melulu sepi.
Agak ragu kau
membujuk, mengajakku menyulam malam dalam selimut kusam. Kau ingin aku
bernalam, beralaskan tilam, berkisah perihal silsilah masa silam leluhurku,
kawanan lanun yang kalah.
Malam melata. Dinding
kamar samar. Lampu biru. Cahaya gagu. Kau menawariku anggur. Kita bersulang,
untuk sesuatu yang mungkin hilang. Meski getir dan letih, aku telah berkisah.
Kini, izinkan aku membajak lekuk tubuh pualammu, hingga baris-baris sajak lumer
seperti roti kering tercelup cappucino hangat.
Upacara dimulai. Gaun
kau simpan. Kita berdansa perlahan. Irama sunyi nyanyi serangga menghiasi
malam. Setengah mabuk kita rebah di atas springbed, hamparan surga kelabu.
Beringas kau menyerbu, melumatku tanpa sisa. Ada hangat yang leleh di pangkal
paha. Cangkang kerang mengerang. Seribu pesona menganga. Kulit lembut teratai
merah muda. Di muka gapura permata camar- camar memekik lirih, meluncur dari
nganga bibirmu. Menghambur tak tentu arah. Sesat dalam lebat rimba bakau. Lalu
bau kambium melunak. Aroma ganggang meregang, setelah getar terakhir pinggulmu,
penakluk pertapa bisu yang menyepi di tengah teluk. Ada sedu sedan tertahan.
Dan pantai pun menjerit manja saat ombak pasang menyatukan dua benua.
Lalu, igaumu menyusur
malam, menjalar di atas kasur dingin. Uap garam pada kulit tembaga. Getar anggur di
pangkal lidah. Sebutir pasir di ujung puting. Lekukmu seindah teluk yang selalu
kelabu.
Usai upacara
kecil itu, kau memaksaku keluyuran. Seperti pejalan-tidur, mengukur Jalan
Legian yang bising, berisik, sesak, pikuk dan sibuk. Padahal aku telah nyaman
melipat tubuh dalam selimut. Seperti janin dalam rahim hangat ibu.
“Come on, honey! The night is very
nice!”
Setengah memaksa, setengah dipaksa,
bagai bocah dungu aku mengikutimu. Sambil menyambar syal, selinting mariyuana
kau nyalakan. Aku meraba bungkus kretek di saku jaket. Kau tertawa jenaka. Mata
birumu menuju bintang, yang bingung berebut cahaya dengan kerlap-kerlip lampu
pub.
Agak mengerak dalam benakku, waktu itu
puncak malam Sabtu. Udara dingin Oktober, merembes membasahi arus darah. Namun,
dalam pub itu, panas tubuh berbagi panas tubuh, tawa menyilang tawa. Piringan
hitam melantunkan I Started A Joke, lagu terakhir yang kau pesan dari DJ
berambuk ombak.
Mataku perih. Asap tembakau berbaur bau
tubuh bule, mariyuana dan uap alkohol. Tiba-tiba saja aku terkenang aroma karbol. Di sudut
remang, bibirmu meraba bibirku. Lidahmu yang panas- meski kau dari negeri
salju-memberangus lidahku yang bau hujan tropis.
Sedetik kemudian,
waktu tiba-tiba padam. Malam mendadak membara. Panas mengelupas mulus tubuhmu. Bagian tubuhku
seperti memasuki liang tanpa cahaya, lubang penuh lendir. Aku gugup. Kau gemetar.
Urat-urat darahmu coba meraba geletar asing yang mendedah ruh dan tubuh di
ruang pengap kamar yang terbakar.
Terasa ringan, aku
kapas diempas angin. Dari dalam udara, aku melihat tubuh-tubuh menyerpih. Ada
bau daging gosong. Orang-orang bingung. Sirine ambulance ngeri, meraung tak
henti.
Duhai, Ilahi, rahasia
cakrawala terbuka sebelum waktu. Seperti lokan buta yang meraba dengan sungut,
ruhku tertatih meraba kegelapan jalan terakhirku. Aku perlu peta, menyibak rute
pelayaran, menyusuri gelombang pinggul yang bagai badai. Napasku tercekik
belelai gurita raksasa, tepat saat jari-jari tanganmu ingin raih bulan di atas
samudra.
Pada parak pagi,
kutemukan tubuhku remuk di antara tumpukan puing dan abu. Bibirmu yang ranum
menganga, menadah derita di atas basah aspal jalan. Seribu camar tak henti
memekik dan berhamburan tak tahu arah.
Kemudian, hari,
minggu, dan bulan. Sesuatu yang disebut waktu, bergelantungan di pucuk-pucuk
pohon waru. Seorang gelandangan lusuh menyusur Jalan Legian. Aku terkesima!
Gelandangan lusuh itu, aku sendiri!
Hanya baju-baju kaus
pengabar duka, pamflet setengah hangus, seikat bunga layu, potret kekasih dan
orang tercinta berjajar pada pagar seng kusam. Saling berebut perhatian,
tertuju pada semua penjuru mata.
Mungkin pernah seorang
relawan menemukan biji mata biru pada sisa abu. Pinggul setengah matang. Atau mungkin
gema tangis dari sisa puing. Mengambang dalam malam bergerimis. Uap alkohol
bercampur sisa embun.
Kukenang bayangmu.
Sebentuk bibir yang sia-sia menempel di kaca jendela diskotek. Ada bekas
ganggang biru dan sedikit sengat ubur-ubur pada gambar naga di lengan kanan.
Sisa garam pada rambut yang separuh hangus. Betis mulus yang terkelupas seperti
mangga matang, yang pernah memukau lanun, membajak gelinjang yang terus
meradang, mengerang, menggasing dalam putaran sembilan bulan. Seperti kekunang
tersihir cahaya gemintang.
Tak ada lagi mantra
penolak bala atau sesaji penenang ruh. Pun karangan bunga muram. Mungkin hanya
sebutir aspirin, jarum suntik dan lima linting mariyuana, teronggok di sudut
kamar kusam.
Kaukah ruh, asal
segala keluh dan jenuh? Atau aku noktah yang akan terhapus dari kenangan. Atau
aku ruh, yang berkisah perihal waktu, yang menumbukku jadi debu?
Kau beri aku kembara
tanpa dangau kekal. Aku ulang-alik, berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh.
Seperti burung-burung yang diusir musim dingin. Pintu rahim siapa mesti kuketuk
lagi, demi ruh yang tak henti mengembara. Aku letih menyusuri garis edarku
sendiri. Aku bukan matahari, bukan bulan, bukan bumi. Aku noktah pada hamparan
semestaMu. Bila aku mengakui adaMu, apa harus aku mempercayaiMu?
Bila Kau titiskan aku
lagi, beri aku sebilah kelewang berkilau dan kuda putih. Aku hanya sudi
menjelma ketika usia bumi merapat tua. Itulah akhir titahMu, akhir kembaraku.
Itulah saat aku mengukur umurku sendiri, mengumpulkan remah-remah karma.
Atau titiskan aku lagi
666 tahun kemudian, ketika bumi menjadi lapisan es. Aku akan menjelma ikan-ikan
cahaya, yang menghuni lubuk paling kelam dari samudra membeku, dari jiwa paling
kelabu. Dan Kau? Kau membeku dalam istanaMu!
Kuta-Denpasar,
2003
Mawar dan Mbak Menik
Hari itu hari Minggu. Aku biarkan diriku
terduduk di beranda-ah, sebenarnya tak bisa disebut beranda. Bayangkan, hanya
50 kali 200 cm, bagaimana mungkin bisa disebut beranda? Mungkin emper adalah kata
yang tepat untuk ruang kecil di depan tembok rumahku ini. Tapi, sebenarnya emper, atau teras
adalah kata lain untuk beranda. Ah, entahlah, sering kali aku mengucapkan atau
memilih sebuah kata lebih kepada rasa daripada pertimbangan akal sehat.
Aku biarkan diriku
terduduk di kursi plastik berdua dengan istriku. Kami diam dan memandang
sesuatu yang kami sendiri sebenarnya tak tahu. Jika dilihat dari jalan, mungkin
kami ini seperti dua orang yang sedang ada konflik.
“Beli koran, dong
Mas,” tiba-tiba istriku nyeletuk. Pecah sudah kebekuan kami bermenit-menit lalu.
“Untuk apa?”
“Dibaca…”
“Di mana, belinya?”
“Di toko material…,”
jawabnya kesal.
Aku tertawa geli.
Senang rasanya bisa menggoda istriku.
“Kenapa kamu tidak
memandangi mawar kita ini saja?”
“Tiap hari sudah aku
pandangi, dan nggak ada istimewanya…”
“Masak?”
“Ya…, selain dia
tumbuh di closet duduk…”
“Terus…?
“…warnanya
merah…”
“Terus?”
Dia diam saja.
Aku pun paham…
jangan-jangan dia memikirkan sesuatu yang sebenarnya sangat kutakutkan. Anak
lagi. Mawar ini bisa tumbuh di tanah yang kurang subur, tapi dari rahim istriku
tak tumbuh janin. Tidak berhubungan memang, tapi sering kali yang begini ini
terhubung-hubungkan dengan sendirinya. Situasi memang sering kali berkelakuan
aneh pada perasaan orang.
“Dulu kamu
bilang… mawar itu adalah anakmu!”
“Bukan, Ma…
mawar itu akan jadi tanda kasih sayang, dan anak-anak kita akan menyaksikan
bukti hidup bahwa mereka tumbuh dari kasih sayang orangtuanya… Gitu.”
“Ya, pokoknya,
kau sayangi mawar itu seperti kau menyayangi anakmu sendiri…”
“Lho… kok, jadi
gitu?”
Aku lantas diam.
Mawar yang tumbuh subur dengan bunga merahnya berdompolan di antara hijaunya
daun dan putihnya porselen closet duduk itu, kini membangkitkan masalah lama.
Kami sudah periksa ke dokter, dan kami berdua dinyatakan sehat-sehat saja.
Istriku subur, aku pun subur. Tapi…, kami sampai saat ini, setelah sebelas
tahun menikah, belum juga dikaruniai anak.
Aku mencoba
bersabar, dia pun begitu. Kami menyibukkan diri dengan macam-macam
kegiatan-termasuk mengurusi mawar ini, tapi… masalah yang satu itu tak bisa
dihapus begitu saja. Aku sering memergoki istriku, di mal, di antrean loket
bioskop, tengah hanyut memandangi seraut wajah bulat bocah mungil yang-entah
mengapa-melemparkan senyumnya pada istriku. Dan setiap kali mataku menyaksikan
pemandangan itu, ada desiran aneh di hatiku, lalu meluap mencair dan
menggenangi pelupuk mataku.
AKU segera pergi
ke kios di persimpangan jalan, membeli koran, tentu saja. Di kios itu kulihat
majalah untuk keluarga muda dengan sampul sekeluarga artis muda yang baru saja
punya anak. Aku membayangkan, yang perempuan adalah istriku, dan artis sinetron
yang gagah itu adalah aku, tengah bahagia menggendong buah hati kami yang pertama.
Karena terlalu
memandangi sampul tabloid itu, si penjual berdehem dan itu membuatku kaget.
“Bagus, ya?” Komentarku sekenanya.
“Ya, bagus… wong
dirawat, Mas…”
“Apanya?”
Sesaat si
penjual diam, mungkin bingung. Tapi, tak lama kemudian dia jelaskan bahwa yang
dimaksudkan adalah tubuh si cantik yang tengah bergaya di sampul itu. Aku pun
senyum dan pura-pura setuju; padahal aku tidak berkomentar apa pun soal si
artis itu.
Sesampai di
rumah, istriku langsung menyambar tabloid yang kubawa. “Kok, yang ini, sih?
Karena ada ’dia’ ya,” ujarnya sambil terus membolak-balik halaman tabloid. Aku terbengong-bengong, lalu
kutimpali dengan “terima kasih, ya, Mas…”
Istriku tertawa, lalu
mengecup pipiku. Ah, mengapa yang satu ini masih saja memberikan desiran aneh
di jiwa?
“Eh, Mas… tadi Mbak
Menik telepon… katanya mau ke Jakarta..”
“Mbak Menik?”
“Iya…
sekeluarga.”
“Lho, ada apa?
Sekeluarga? Apa anak-anak liburan?”
“Kok, nadanya
nggak senang, sih, mau didatangi kakak sendiri…,” kata istriku menanggapi
perubahan wajahku.
Bagaimana
mungkin aku bisa gembira mendengar nama kakak perempuanku disebut-sebut, wong
dia adalah wanita pembenci mawar. Di rumah kami dulu, sewaktu kami masih
anak-anak, satu-satunya manusia penghuni rumah kami yang benci terhadap
tanaman, terutama mawar, adalah Mbak Menik. Dia selalu mencabuti tanaman hias
kami. Nggak bersih, repot, ada durinya… dan masih banyak lagi alasan untuk
“membersihkan” rumah dari berbagai jenis tanaman. Sayangnya, Mbak Menik adalah
kesayangan ayah jadi semua kemauannya dituruti. Sementara, kami semua sangat
takut pada ayah. Akhirnya, rumah kami adalah rumah paling gersang di seluruh
kampung.
Bayangkan, mawar
yang dengan susah payah kutanam, bahkan dengan pengorbanan yang tak bisa
dihitung dengan rupiah, akan menghadapi malapetaka. Dan bila hal itu terjadi,
bagaimana mungkin aku bisa diam saja?
Malamnya, terus
terang, aku tak bisa tidur. Aku sudah bisa membayangkan bahwa mulai dari
gerutunya, Mbak Menik akan mengintervensi mawarku. Maklumlah, di keluargaku,
dia adalah makhluk paling galak.
Haruskah mawar
itu kupindahkan sementara? Tapi ke mana? Kami tak punya halaman, dan kalau
hanya dipindahkan, dia tetap bisa menemukannya. Dia punya penginderaan yang
aneh atas apa pun yang tidak disukainya. Niat itu pun akhirnya kubatalkan
karena di samping tak mungkin melakukannya tengah malam, juga… ini kan rumahku,
rumah bagi mawarku, mengapa dia yang harus disingkirkan?
Ah, aku tak tahu
harus bagaimana melindungi mawarku. Aku terus saja berpikir, entah sampai mana,
sampai akhirnya aku terjaga karena ada suara ribut-ribut di luar.
Di luar?
Bukankah itu suara istriku yang riang gembira? Dan jika dia gembira, artinya…
ampuun Tuhanku, pasti itu keluarga Mbak Menik. Mataku masih mengantuk, entah
jam berapa semalam aku tertidur.
“Mana si pemimpi
itu?” gelegar suara Mbak Menik mencambukku untuk segera bangkit dari tempat
tidur. Istriku menjawab bahwa aku sebentar lagi akan…
“Hei…,” ucapanku
memotong pembicaraan mereka.
“Hei…, kurus,
kamu?” sergah Mbak Menik sambil menatap mataku yang merah. “Jangan begadang
melulu, dong… punya istri, kok, ditinggal begadang…,” sambungnya dengan nada
tinggi.
Aku hanya
tersenyum kecut. Aku khawatir istriku tertusuk ucapannya yang selalu
dimaksudkan untuk dihunjamkan ke perasaan orang lain.
Lalu
kemenakanku, yang ternyata sudah besar-besar dan pendiam itu, segera mencium
tanganku. Aku tersadar, ternyata kami sudah cukup lama tak bertemu. Aku
mencari-cari suami Mbak Menik, barangkali sedang membayar taksi atau…
“Masih suka
mawar, ya, Pong?” ucapan Mbak Menik membuatku tersengat.
Aku kehilangan
kata-kata.
“Masih benci
mawar?” jawabku sekenanya, akhirnya.
Mbak Menik diam.
Istriku segera mempersilakan kemenakannya untuk masuk kamar, yang sejak kemarin
dikosongkan.
“Apa
istimewanya, sih, mawarmu? Aku pingin lihat?” sambil berkata begitu, dia segera
beranjak dari tempatnya. Aku melompat dan menghalanginya.
“Jangan, Mbak.
Jangan coba-coba mengusik mawarku…”
Mbak Menik
tertawa, masih keras seperti dulu.
“Rosa, Cindy…
lihat, Om-mu adalah malaikat pelindung mawar…,” dilanjutkan dengan gelak
tawanya yang kian keras.
Aku terdiam
lagi. Terasa ada sesuatu pada diriku. Ya, aku telah lama sekali tidak mendengar gelak tawanya.
Aku telah lama sekali tidak mendengar teriakannya. Aku telah lama sekali tidak
bertemu dengannya. Aku rindu. Dialah pengganti bundaku, sejak bunda meninggal.
Entah mengapa, aku peluk dia dan air mataku tumpah ruah di pelukannya.
Mula-mula dia tertegun.
Tapi, rasanya, dia pun merasakan apa yang kurasakan. Dia peluk aku, dia ciumi
aku. Kurasakan pipinya hangat oleh air mata kerinduannya.
Lalu, entah bagaimana,
kami duduk di beranda dan menatap mawarku. Dia sama sekali tidak menyinggung
mawarku. Ini aneh. Dia bercerita bahwa dua tahun yang lalu, dia bercerai.
Persoalannya klise, sepele, dan klasik: ada orang lain. Namun, sebagaimana yang
aku bayangkan, dia tegar. Sebagai orang kuat sebuah perusahaan farmasi, dia
memang besi. Dari seorang penjaja obat dari satu rumah sakit ke rumah sakit
yang lain dengan upah komisi penjualan, atau dari satu dokter ke dokter lain,
lalu menjadi manajer area, kini dia… entah apalagi, dia memang layak hidup
berkecukupan. Namun, perkawinannya kandas; kadang aku berpikir, hidup memang
nggak fair.
“Anak-anak, ’gimana?”
tanyaku hati-hati.
“Mereka tegar. Mereka
tahu persoalannya. Mereka tahu bapaknya salah dan mereka sudah memaafkan.
Karenanya, mereka juga mendukung keputusanku untuk cerai dari bapak mereka.”
Ucapnya sambil menghisap sebatang rokok.
“Mulai kapan kamu
merokok?”
“Sejak semuanya
memanas, aku seperti menemukan kawan yang tak banyak bicara, tapi setia
mendengarkan kesepianku… Ini!” ucapnya mantap sambil mengangkat rokoknya, lalu
tertawa.
Kopi hangat terhidang.
Lalu kami ngobrol
ke sana-ke mari. Aku menanyakan sanak saudara. Dia menjawab bahwa si anu sudah
kawin, si itu sudah meninggal, si A anaknya lima, si B anaknya baru satu dan
seterusnya, sampai akhirnya dia menyadari bahwa ucapannya mungkin salah, dia
mendadak diam.
“Sori, pong…,” dia
selalu memanggilku dengan sebutan pong dari kata ompong-waktu kecil aku memang
ompong. Aku mengerti arah bicaranya, dia tak mau menyinggung soal anak di depan
istriku.
“Nggak apa-apa…,”
jawabku.
“’Gimana?” Bisiknya.
Aku mengerti, dia masih
kepingin tahu apakah aku dan istriku masih mungkin punya anak atau tidak. Aku
jawab mungkin. Dia hanya mendesah. “Aku punya kenalan ginekolog. Di Jakarta,
sini, tinggalnya… di bilangan Kebayoran Baru… Kalau, kau mau…”
Aku hanya tersenyum.
Ah, perhatiannya padaku memang tak berkurang.
“Mawarmu, aneh, pong…”
Mati aku. Kenapa
tiba-tiba dia membelokkan pembicaraan ke mawar? Lalu, seperti biasa, dia segera
mendekati mawarku. Kuburu dia, berusaha mencegah hal-hal yang tak kuinginkan
terjadi pada mawarku.
Sempat kulihat
mawar-mawar itu seakan menguncup ketakutan. Ah, kasihan kalian. Ini adalah bude
kalian, mengapa harus takut. Dia galak, tapi, kurasa dia tak akan mengutak-atik
kalian.
“A… aapanya yang
aneh?”
“Hmm… entahlah. Mawar
kampung, kan, ini?”
“Ya…”
“Banyak durinya, kan,
ini?”
“Jelas, wong, mawar…”
“Istrimu nggak pernah
kena durinya?”
“Mmm… nggak, tuh.”
“Hmmm. Aneh.”
“Apanya?”
Dia diam saja.
Aku tegang. Terus
terang, ini saat-saat paling mendebarkan dalam hidupku. Aku terpaku beberapa
saat, sampai akhirnya kusadar, Mbak Menik sudah menggenggam sekop. “Mau kau
apakan mawarku?” setengah berteriak aku melompat. Dia hanya tersenyum.
“Kamu kenapa,
sih, pong?”
“Aku tahu, mbak
nggak suka mawar, tapi, kali ini… kumohon… jangan kau ganggu mawarku…”
“Minggir!” Dia
mendorong tubuhku. Aku terhuyung, tak kusangka tenaganya luar biasa. Dengan
cekatan, dia mengeduk tanah di dekat pagar. Beberapa kali kemudian, sebuah
lubang besar menganga. Lalu, tanpa persetujuanku dia mengangkat closet dan
mulai mengeduk mawarku. Teriakan dan ketakutanku tak digubrisnya. Istriku dan
kemenakanku berlari ke depan dan tak berani melakukan apa-apa.
Sejam kemudian,
mawarku telah pindah ke sudut halaman. Aku diam. Indah sekali. Mbak Menik menyiramnya. Lalu, “…
tahu nggak, bunda sangat suka pada mawar. Ketika bunda meninggal, aku marah,
entah pada siapa. Lalu aku hancurkan semua yang berkaitan dengan bunda,
termasuk mawar.
Tapi, ketika sudah
cerai… aku sering rindu pada bunda. Aku jadi ingin bunda berada di antara
kehidupanku. Lalu aku tanami rumahku dengan mawar.”
Semuanya diucapkannya
dengan enteng, tanpa beban, apalagi didramatisir. Hanya saja, aku jadi
tercenung. Lukanya jauh lebih parah dari luka yang kuderita semenjak bunda
meninggal; ya, waktu bunda meninggal aku masih belajar jalan.
“Nah, gini, kan
bagus…” ucapnya bangga. Terus terang, diletakkan di sudut halaman, mawar jadi
tampak indah. “Bagus, nggak?”
Aku tersenyum. Rasanya
baru kali ini aku paham siapa Mbak Menik.
Pagi itu, aku disengat
situasi. Pagi hari, di meja makan, di sela-sela keriangan kemenakan, senyum
istri, dan suara Mbak Menik, aku saksikan sebuah vas bunga. Di tengahnya
sekuntum mawar merah merekah.
Jl Pinang 982