RENDAHNYA APRESIASI SISWA TERHADAP KARYA SASTRA (CERPEN) YANG BERDAMPAK PADA PENDIDIKAN KARAKTER
1. Konteks dan Latar Belakang Masalah
Ketika rancangan kurikulum 2003 disosialisasikan kepada publik muncul beragam tanggapan. Ada yang menghubungkan untuk membandingkannya dengan kurikulum sebelumnya (KTSP). Ada pula yang secara cermat melihat isinya yang syarat dengan rumusan yang merujuk pada persoalan karakter. Aspek karakter yang sebelumnya diposisikan pada tingkat ekor kini dijadikan sebagai gerbang menuju perumusan komptensi dasar mata pelajaran. Pergeseran posisi dimensi karaktrer ini tentu bukan sekadar variasi melainkan menghadirkan pilihan pergeseran paradigma tentang pembelajaran karakter itu sebagai tujuan akhir dari semua pembelajaran dan mata pelajaran di lembaga pendidikan atau sekolah. Kehadiran kurikulum baru ini diharapkan sebagai terapi bagi kondisi “sakit” masyarakat dalam aneka bentuknya.
Kehidupan masyarakat yang penuh persaingan menjadikan orang memilih hal yang tampak praktis tampa mengindahkan kaidah kehidupan yang bernuansa kemanusiaan. Sikap hidup pragmatis sebagian besar masyarakat terus menggerus nilai luhur budaya bangsa sehingga pelbagai nilai mengalami semacam atrisi yang melahirkan ekcemasan. Budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut sampai pada tingkat yang paling ektrem (terorisme) memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan-akan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Emosi masyarakat sangat mudah tersulut dan membuatnya tampil emosional, lekas marah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa kendali. Wujudnya tampak dalam perilaku para demonstran yang membakar kendaraan, rumah, merusak gedung atau fasilitas umum, serta berkata kasar, saat berunjuk rasa yang ditayangkan televisi. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa ini, yang terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi mulia.
Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi seperti itu jelas merugikan masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas, bijak, terampil, cendekia, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa. Untuk itu, diperlukan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memuaskan interese kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadikan pendidikan sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan dan pengembangan karakter ini termuat di dalam mata pelajaran baik yang dinyatakan secara implisit dalam kurikulum sebelumnya maupun yang dieksplisitkan pada kurikulum 2013. Sastra sebagai salah satu materi yang dibelajarkan di sekolah, meskipun terkesan masih menempel pada pelajaran bahasa Indonesia, juga memuat nilai-nilai bagi kehidupan manusia. Pembelajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat dengan berbagai persoalan. Tampaknya, pembelajaran sastra menjadi pembelajaran yang bermasalah sejak dahulu. Keluhan-keluhan para guru, siswa, dan sastrawan tentang rendahnya tingkat apresiasi sastra selama ini menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tidak beres dalam pembelajaran sastra pada lembaga pendidikan formal. Permasalahan itu muncul karena yang mengajarkan sastra juga mengajarkan bahasa, guru sastra sekaligus juga guru bahasa. Orang lalu mempertanyakan sosok sebuah karya sastra dan apresiasi atas karya sastra sebagai gejala umum awam (Saryono, 2009: 1-7)
Fakta menunjukkan keluaran (output) pendidikan belum matang secara kemanusiaan, labil secara kepribadian dianggap rentan terhadap hal-hal yang cenderung negatif yang datang baik dari dalam diri siswa maupun dari kondisi di luar diri dan lingkungannya. Selain itu, semangat belajar, sikap berdisiplin, beretika, bekerja keras, dan sebagainya kian menurun. Peserta didik banyak yang belum siap menghadapi kehidupan sehingga mudah meniru budaya luar yang negatif, terlibat di dalam amuk massa, melakukan kekerasan di sekolah, dan sebagainya. Meningkatnya kemiskinan, menjamurnya budaya korupsi, menguatnya politik uang, dan sejenisnya merupakan cerminan kehidupan yang tidak berkarakter. Semua kenyataan ini, ditengarai sebagai indikasi gagalnya proses pendidikan (terutama penedidikan karakter) bagi warga bangsa khususnya generasi muda di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.
Fakta-fakta tidak terpuji itu telah menjadi proposisi-proposisi yang pas untuk kesimpulan bahwa pendidikan gagal membentuk karakter siswa (Endraswara, 200:53). Selama ini pendidikan hanya berorientasi pada angka/nilai semata. Ungkapan “Non Scolae sed vitae discimus”(kita belajar bukan untuk mendapatkan nilai tetapi belajar untuk hidup sebagai prinsip cerdas manusia zaman Romawi kuno, belum sepenuhnya memberi spirit pada sistem pendidikan kita. Padahal, dalam UU Sisdiknas tahun 2003, Bab II, pasal 3, jelas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik seperti yang dijelaskan di atas.
Perlu disadari bahwa pendidikan bukanlah sekadar transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi menjadi wahana pembentukan kepribadian (character building), berkaitan dengan pola pikir, kejiwaan, dan pola tingkah laku (attitude). Oleh sebab itu, muncullah kesadaran tentang perlu dikembangkannya pendidikan karakter di sekolah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter adalah melalui pembelajaran apresiasi sastra.
Pembelajaran apresiasi sastra dijadikan sebagai pintu masuk menuju penanaman nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, pengorbanan, kepedulian sosial, cinta tanah air, nilai psikologis, nilai demokrasi, sikap dan perilaku santun, dan sebagainya, banyak ditemukan dalam karya-karya sastra baik puisi, cerita pendek, novel, maupun drama. Hal ini tentu dapat dikaitkan dengan fungsi utama sastra (1) memperhalus budi, (2) meningkatkan rasa kemanusiaan dan membentuk kepedulian sosial, (3) menumbuhkan apresiasi budaya, (4) menyalurkan gagasan, mengembangkan imajinasi, serta (5) meningkatan ekspresi secara kreatif dan konstruktif.
Kurikulum merumuskan bahwa tujuan pembelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia antara lain adalah menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Melalui apresiasi sastra, siswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan kehidupannya.
Dengan membaca sastra, pembaca akan bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalah. Melalui sastra, pembaca diajak berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya. Ruang yang tersedia dalam karya sastra itu membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Pribadi yang kritis dan bijaksana ini bisa terlahir karena pengalaman membaca sastra seseorang yang membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar serta berbagai manusia dengan beragam karakter. Sastra memberi ruang kepada pembaca untuk mengalami posisi orang lain (proses mengindentifikasikan diri dengan tokoh), yang menjadikannya berempati pada nasib dan situasi manusia lain. Melalui sastra, misalnya, seseorang dapat mengalami menjadi seorang dokter, guru, siswa, dosesn, mahasiswa, sopir, gelandangan, tukang becak, ulama, ronggeng, pencuri, pengkhianat, pengacara, rakyat kecil, pejabat, dan sebagainya.
Meskipun sifatnya fiktif, dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan: imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai. Melalui kegiatan apresiasi sastra (cerpen), kecerdasan siswa dipupuk hampir dalam semua aspek. Apresiasi sastra (cerpen) diarahkan pada upaya mengolah dan mengasah kecerdasan intelektual (IQ), misalnya dengan menggali nilai-nilai intrinsik karya sastra (tema, amanat, latar, tokoh, dan alur cerita). Melalui sastra siswa juga mengembangkan mengolah dan mengasah kecerdasan emosional (EQ), berkaitan dengan pilihannya untuk bersikap sabar, tabah, tangguh, berinisiatif, kreatif, gembira, optimis menghadapi kenyataan hidup dengan kompleksitas masalahnya. Dengan kata lain apresiasi berkaitan dengan olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa, dan karsa (bdk. Pendidikan Karakter Bangsa, dalam. http://chaidarwarianto.guru-indonesia.net)
Mempelajari sastra hakikatnya berarti berusaha mengenal aneka ragam kehidupan beserta latar dan watak tokoh-tokohnya. Membaca kisah manusia yang bahagia dan celaka, serta bagaimana seorang manusia harus bersikap ketika menghadapi masalah, akan menuntun siswa untuk memahami nilai-nilai kehidupan. Sastra juga dapat mengembangkan kecerdasan spiritual (SQ) yang dibuktikan dengan adanya karya sastra yang bertema religius. Contoh yang mungkin terksesan klasik tetapi tetap aktual dan relevan menawarkan pesan religius adalah karya Ali Akbar Navis melalui Cerpennya Robohnya Surau Kami. Karya sastra dengan tema-tema religius semacam ini akan menuntun siswa (pembaca) lebih memahami hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Dalam hal ini, sastra memampukan manusia menjadi lebih manusia: mengenal diri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan kehidupan (Sarumpaet, 2010:1).
Pembelajaran sastra yang relevan untuk pengembangan karakter peserta didik adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik bertumbuh kesadarannya dalam membaca, mengapresiasi karya sastra yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa, serta terbinanya watak dan kepribadian. Apresiasi sastra akan tumbuh sesuai dengan harapan jika pembelajaran sastra (apresiasi) mendapatkan porsi yang cukup dalam pembelajaran. Karya sastra yang dapat dijadikan bahan ajar hendaknya memenuhi kriteria yang sesuai untuk siswa baik berkaitan dengan bahasa yang digunakan serta nilai-nilai kehidupan yang akan ditemukan dalam karya sastra (cerpen) yang dipilih.
Sistem pengajaran sastra memerlukan pembenahan besar dengan kepentingan untuk pencapaian proses dan hasil maksimal. Sistem itu mengacu pada kurikulum dan strategi guru dalam pengajaran sastra. Suwardi Endraswara (2008: 47-59) menggambarkan secara dramatis betapa peliknya masalah pembelajaran sastra di Indonesia ibarat tubuh yang terserang virus penyebab “infeksi kronis”. Ada banyak hal yang ditengarai sebagai sebab kondisi suram dan pelik itu antara lain: sistem kurikum yang tidak berpihak pada pembelajaran sastra, ketersediaan buku teks sastra yang terbatas, sistem evaluasi tidak mengakrabkan siswa pada karya sastra tetapi beralih kepada lembaga bimbingan tes, pendekatan, strategi, dan metode yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra yang hanya mengarahkan siswa pada dimensi pengetahuan (hafalan) tentang sastra dan bukannya pengalaman mereka bersastra.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang digambarkan di atas sebagai konteks maka di sini dapat dirumuskan masalah pokok berkaitan dengan Hubungan antara Aktivitas mengapresiasi Sastra dan Pengembangan Karakter dalam pendidikan.Masalahnya adalah “Rendahnya Apresiasi Sastra Siswa dan Implikasinya pada Pendidikan Karakter”
3. Landasan Kebijakan dan Teori yang Relevan
3.1.1 Hakikat Sastra
Dalam bahasa-bahasa “Barat”, istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa Latin literature (littera=huruf atau karya tulis). Istilah itu dipakai untuk menyebut tatabahasa dan puisi. Istilah Inggris Literature, istilah Jerman Literatur, dan istilah Perancis litterature berarti segala macam pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Dalam bahasa Indonesia, kata 'sastra' diturunkan dari bahasa Sansekerta (Sas- artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, mengarahkan; akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana) yang artinya alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran (bdk.Prent, dkk.1969:500). Misalnya: buku petunjuk arsitektur (silpasastra).
Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Sastra pada dasarnya merupakan cabang seni. Seni sangat ditentukan oleh faktor manusia dan penafsirannya terkaita dengan persoalan perasaan, semangat, kepercayaan. Oleh karena itu sastra mempunyai cakupan yang sangat luas tergantung pada sisi mana manusia memandangnya. Dalam dunia pendidikan, kajian sastra mampu memberi sumbangan besar dalam pola kebudayaan, sejarah, sosial dan dalam sastra itu sendiri, sebab sastra mampu menjawab apa yang pernah ada di muka bumi, karena sastra berasal dari hasil pengamatan tentang apa yang terjadi di sekelilingnya, hasil pengalaman bathin. Sastra adalah hasil olah pikir rasa dan karsa manusia sehingga sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.
Para ahli mencoba memberikan batasan dan rumusan tentang hakikat sastra itu. Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (Esten, 2001: 9). Sastra suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993: 8). Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya (Sudjiman,1992 : 68).
Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alat, dan bersifat imajinatif (Badrun, 1993 : 16). Sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan, dibalikkan, dijadikan ganjil (Eagleton,1983 : 4). Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Luxemburg, 1986:15). Memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1984: 1).
3.1.2 Cerita Pendek
Sebagai salah satu bagian dari karya sastra, cerita pendek (cerpen) memiliki banyak pengertian. Sumardjo (2002: 91) mengungkapkan bahwa cerita pendek adalah seni, keterampilan menyajikan cerita, yang di dalamnya merupakan satu kesatuan bentuk utuh, manunggal, dan tidak ada bagian-bagian yang tidak perlu, tetapi juga ada bagian yang terlalu banyak. Semuanya pas, integral, dan mengandung suatu arti. Edgar Allan Poe dalam Eneste (2003) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam-suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk novel.
Pengertian cerpen adalah cerita fiksi (rekaan) yang memiliki tokoh utama yang sedikit dan keseluruhan ceritanya membentuk satu kesan tunggal, kesatuan bentuk, dan tidak ada bagian yang tidak perlu. Sifat umum cerpen ialah pemusatan perhatian pada satu tokoh saja yang ditempatkan pada suatu situasi sehari-hari, tetapi yang ternyata menentukan (perubahan dalam perspektif, kesadaran baru, keputusan yang menentukan). Akhir cerita seringkali tiba-tiba dan bersifat terbuka (open ending), kadang dialog, impian, flash-back, dan lain-lain sering dipergunakan dengan kemasan bahasa sederhana sugestif.
Cerpen sebagai salah satu jenis prosa fiksi memiliki unsur-unsur yang berbeda dari jenis tulisan yang lain. Stanton dalam Sugihastuti (2007) berpendapat bahwa unsur-unsur sebuah cerpen terdiri atas (1) permulaan/pengantar, tengah/isi, dan akhir cerita, (2) pengulangan atau repetisi, (3) konflik, (4) alur/plot, (5) latar/seting, (6) penokohan, (7) tema, dan (8) sudut pandang penceritaan. Cerpen yang baik memiliki keseluruhan unsur-unsur yang membangun jalan cerita yang memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, penokohan, alur/plot, latar/setting, gaya bahasa, dan sudut pandang penceritaan. Cerpen pada dasarnya dibangun atas unsur-unsur tema, amanat, perwatakan, latar, dialog, dan pusat pengisahan. Usur-unsur pembangun cerpen yang terdiri atas tema, perwatakan, setting, rangkaian peristiawa/alur, amanat, sudut pandang, dan gaya berjalinan membentuk makna baru.
3.1.3 Apresiasi
Secara etimologi, Apresiasi berasal dari bahasa inggris, kata appreciation yang berarti penghargaan. Dalam bahasa perancis appresier (appretiare) yang berasal dari kata berbahasa Latin pretium berarti price atau harga. Dengan demikian apresiasi dapat diartikan sebagai memahami karya sastra secara mendalam melalui cara pengamatan dan pengalaman secara kritis, sehingga timbul penghargaan terhadap karya sastra. Karya sastra mengangkat makna hidup dan kehidupan yang berarti seluruh aktivitas kehidupan akan tergambar pada isi sebuah karya sastra. Unsur sastra (intrinsik) berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari atau mencerminkan realitas. Sastra dianggap sebagai imitasi atau tiruan realitas, pengungkapan realitas kehidupan secara imajiner atau fiksi (Priyatni, 2010:12). Karena itu, memahami dan menikmati sebuah karya sastra berarti kita memiliki banyak pengetahuan serta pengalaman tentang persoalan kehidupan. Mengapresiasikan sastra dapat mengembangkan imajinasi. Imajinasi yang dimaksud adalah daya pikir untuk membayangkan (dalam angan) atau menciptakan sesuatu (gambar, karangan, dan sejenisnya) berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Apresiasi melahirkan sebuah intrepretasi terhadap sebuah karya sastra. Apresiasi karya sastra juga dapat meningkatkan keterampilan berbahasa.
Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasa. Apresiasi sastra didasarkan atas pemahaman. Dalam Kamus Istilah Sastra terdapat pengertian apresiasi sastra yaitu penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan dan peningkatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut (Sudjiman, 1992; Rusyana, 1984)
Apresiasi sastra dapat diartikan sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra yang dapat menimbulkan kegairahan terhadap sastra itu, serta menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu. Dalam mengapresiasi sastra, seseorang akan mengalami sebagian kehidupan yang dialami pengarangnya, yang tertuang dalam karya ciptanya. Hal ini dapat terjadi karena adanya daya empati yang memungkinkan pembaca terbawa ke dalam suasana dan gerak hati dalam karya itu. Kemampuan menghayati pengalaman pengarang yang dituliskan dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca. Kenikmatan itu timbul karena pembaca (1) merasa mampu memahami pengalaman orang lain; (2) merasa pengalamannya bertambah dalam menghadapi kehidupan yang lebih baik; (3) merasa kagum akan kemampuan sastrawan dalam memberikan, memadukan, dan memperjelas makna terhadap pengalaman yang diolahnya; dan (4) mampu menemukan nilai-nilai estetik dalam karya itu (bdk. http://id.wikisource.org/wiki/ Buku Praktis Bahasa Indonesia1/Sastra)
Apresiasi adalah usaha pengenalan suatu nilai terhadap nilai yang lebih tinggi. Apresiasi itu merupakan tanggapan seseorang yang sudah matang dan sedang berkembang ke arah penghayatan nilai yang lebih tinggi sehingga ia mampu melihat dan mengenal nilai dengan tepat dan menanggapinya dengan hangat dan simpatik. Seseorang yang telah memiliki apresiasi tidak sekadar yakin bahwa sesuatu yang dikehendaki menurut perhitungan akalnya, tetapi menghasratkan sesuatu itu dalam sikap yang penuh kegairahan untuk memilikinya. Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pada cipta sastra tersebut. Tarigan (1991: 233) mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah penafsiran kualitas karya sastra pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar serta kritis.
Menurut Gove via Aminuddin (2006:34) istilah apresiasi mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Squeire dan Taba berkesimpulan bahwa sebagai suatu proses, apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emostif, dan (3) aspek evaluatif. Apresiasi sastra melalui pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya.
Dari berbagai batasan di atas tampak jelas bahwa apresiasi sastra hakikatnya sikap menghargai sastra secara proporsional (pada tempatnya). Menghargai sastra artinya memberikan harga pada sastra sehingga sastra memiliki ”tempat” dalam hati seseorang. Dengan menyediakan ”tempat” dalam hati untuk sastra, seseorang secara spontan menyediakan waktu dan perhatian untuk membaca karya sastra. Lama kelamaan dari ”tempat” itu dapat bertumbuhan buah cipta sastra itu dalam berbagai bentuk dan wujudnya sebagai sikap apresiatif terhadap sastra. Pada tataran pertama, wujud sikap apresiatif berupa kegandrungan seseorang pada kata-kata ”yang indah” dalam arti yang luas, menjadi lebih peka akan nilai-nilai yang terkandung dalam teks sastra itu (bdk.Sumardjo, 2002: 14; ; Esten, 2001: 7). Seseorang seolah-olah mampu memberikan harga kepada teks sastra itu dalam arti dia memperoleh sesuatu yang berharga darinya. Setelah membaca teks sastra dengan penuh perhatian, seseorang dapat membayangkan kehidupan di luar dirinya yang sebelumnya tidak terbayangkan
3.1.4 Pendidikan Karakter (Budi Pekerti)
Kata karakter diambil dari kata Yunani Charassein yang berarti mengukir untuk membentuk sebuah pola Ini berarti karakter bukanlan sesuatu yang dibawa sejak lahir melainkan dibentuk dalam proses yang panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses mengukir). Karena itu,pendidikan karakter dapat diartikan sebagai usaha aktif untuk membentuk kebiasaan (habit) yang baik sehinga sifat seseorang terukir sejak kecil. (Bohlin, 2001; Megawangi, 2009:5).
Konsep pendidikan berkarakter yang diwacanakan dalam dunia pendidikan pada hakikatnya berkaitan dengan perilaku dan tindakan baik seseorang yang dikendalikan oleh akal budi. Budi sering diartikan sebagai nalar, pikiran, akal yang membedakan manusia dengan hewan. Budi inilah yang memepersatuakan kita semua sebagai manusia, entah mereka itu dari suku, golongan, kelompok atau umur apapun.Sejauh mereka adalah manusia, mereka memiliki kesamaan “budi”. Dengan nalar itulah, orang berpekerti = bertindak baik. Maka budi pekerti merupakan etika hidup bersama (bertindak baik) yang berdasarkan nalar sehat. Ada unsur kesadaran dan ada unsur melaksanakan kesadaran tersebut. Paul Soeparno (2006:29) mengungkapkan bahwa budi pekerti diartikan sebagai nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur proses pembentukan nilai tersebut dan sikap didasari pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu semua bertujuan membantu manusia menjadi manusia yang utuh. Nilai-nilai budi pekerti atau karakter itu berkaitan dengan sikap terhadap Tuhan, sesama, diri sendiri, dan alam.
Sebagai makhluk, manusia menghormati Sang Pencipta lewat penghayatan iman dan melaksanakan segala tata aturan agama, kepercayaan. Sikap dalam kaitan dengan sesama berupasikap menghargai, bersikap tengang rasa, bersikap demokratis, berlaku sopan, setia, menepati janji, jujur, berbanga dan mencintai negara dan tanah air. Dalam kaitanya dengan diri sensiri orang berkarakter akan tampak dalam sikap jujur, terbuka, memiliki harga diri, disiplin, bijaksana, mandiri, percaya diri, menguasai diri, bertanggung jawab. Wujud karakter yang baiki juga nyata dalam sikap mencintai lingkungan, memelihara dan melestarikan alam.
Karya sastra selain penting untuk penanaman nilai dan karakter, juga bisa merangsang imajinasi kreativitas peserta didik dalam berpikir kritis melalui rasa ‘penasaran’ akan jalan cerita dan metafora yang terdapat di dalamnya. Sastra berhubungan erat dengan kebudayaan. Sebab, karya sastra merupakan hasil kreasi dari seorang sastrawan yang terkait dengan tata kehidupan masyarakatnya. Sastra berada dalam hubungan antara kebebasan berkreasi pengarang dan lingkungan sosialnya, yang di dalamnya terdapat etika, norma, dan kepentingan ideologis, bahkan juga doktrin agama. Hubungan ini memungkinkan karya sastra menjadi pengubah kondisi sosial masyarakat yang diwarnai dengan atribut sosial negatif seperti disebutkan sebelumnya. Fungsi sastra dalam membangun karakter pendidikan tidak dimaksudkan menafikkan tanggungjawab jawab seluruh elemen bangsa (Noor, 2011). Melalui pelajaran sastra, mentalitas negatif tadi akan tereduksi. Pelajaran sastra membantu anak-anak memahami hidup. Ungkapan jiwa, nuansa kehidupan, keindahan, semuanya tercipta dalam sastra.
3.2 Manfaat Mengapresiasi Karya Sastra
Karya sastra sebagai produk budaya merupakan tanggapan (respon) sastrawan terhadap lingkungannya. Kemudian, sastrawan mewujudkannya secara estetis dan memiliki nilai keindahan. Oleh karena itu, kelahiran karya sastra selalu memiliki nilai guna bagi masyarakat. Kandungan nilai suatu karya sastra merupakan unsur yang esensial dari karya itu secara keseluruhan. Telaah yang mendalam terhadap suatu karya sastra, tidak saja memberi pengertian tentang latar belakang budaya pengarangnya tetapi juga mengungkapkan ide-ide dan gagasan sastrawannya dalam menanggapi situasi yang mengitarinya.
Kegiatan apresiasi dan kajian karya sastra pun menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Pembelajaran sastra di sekolah lebih banyak menyangkut apresiasi sastra. Rahmanto (1998: 16-24) menulis bahwa pembelajaran sastra membantu siswa minimal dalam empat aspek (a) membantu meningkatkan keterampilan berbahasa, (b) meningkatkan pengetahuan budaya, (c) mengembangkan cipta dan rasa, dan (d) menunjang pembentukan watak atau karakter, sebab karya sastra memiliki fungsi sebagai media etika (akhlak/ moral), estetika (kepekaan terhadap seni dan keindahan), dan didaktika (pendidikan).
3.2.1 Membantu Meningkatkan Keterampilan Berbahasa
Keterampilan berbahasa meliputi kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan mempelajari sastra, siswa dapat melatih kemampuan menyimak melalui kegiatan mendengarkan pembacaan suatu karya sastra. Siswa dapat berlatih kemampuan berbicara melalui kegiatan bermain peran atau menanggapi isi cerpen/ novel., berlatih kemampuan membaca dengan membacakan puisi atau membaca cerpen/ novel, berlatih kemampuan menulis melalui kegiatan menulis puisi, cerpen, atau naskah drama. Dengan begitu, belajar sastra sangat membantu meningkatkan keterampilan berbahasa.
3.2.2 Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Kaitan antara sastra dan budaya sangat erat. Sastra adalah bagian dari kebudayaan. Pada sisi lain sastra menjadi sarana untuk membentuk nilai-nilai budaya masyarakat. Seperti halnya nilai moral, nilai-nilai budaya pun memuat konsep-konsep tentang segala sesuatu yang dipandang baik dan berharga di dalam kehidupan. Nilai budaya ini sifatnya khusus, sebab dibatasi oleh suku bangsa dan bangsa. Artinya, sesuatu yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa tertentu belum tentu dipandang baik oleh yang lain.
Menurut Koentjoroningrat (1994: 5), budaya itu sendiri memiliki tiga tingkatan yang saling berinteraksi satu sama lain. Tingkatan yang pertama berupa benda-benda hasil kecerdasan dan kreasi manusia (artefacts dan creation). Tingkatan kedua adalah nilai-nilai dan ideologi yang merupakan aturan, prinsip, norma, nilai, dan moral yang menuntun organisasi dan merupakan harta kekayaan yang ingin mereka penuhi. Tingkatan ketiga adalah asumsi dasar yang tidak disadari mengenai keadaan kebenaran dan kenyataan, kemanusiaan, hubungan manusia dengan alam, hubungan antar manusia, keadaan waktu dan alam semesta. Dari tiga tingkatan budaya ini diturunkan variannya yang lebih spesifik yang disebut sebagai unsur kebudayaan seperti sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem teknologi dan peralatan., bahasa, kesenian, dan sistem mata pencaharian hidup.
Karya sastra biasanya memuat unsur-unsur tersebut sehingga kita dapat mengetahui budaya suatu masyarakat. Misalnya, kita dapat mengetahui budaya Suku Dayak di Kalimantan melalui novel Upacara dan Api Awan Asap karya Korie Layun Rampan, budaya Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, budaya Bali dalam Sukreni Gadis Bali karya AA. Pandji Tisna, budaya Minangkabau dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli atau dalam novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis.
Selain budaya Indonesia, kita juga dapat mendapat pengetahuan mengenai budaya luar. Beberapa karya sastra Indonesia memiliki latar luar negeri yang sekaligus memberikan gambaran tentang budaya masyarakatnya. Misalnya, novel Grotta Azzura karya Sutan Takdir Alisjahbana yang mengambil setting cerita di Italia, novel La Barka karya Nh. Dini berlatar di Paris, Perancis.
3.2.3 Mengembangkan kepekaan terkait Cipta dan Rasa
Mengapresiasi karya sastra dapat mengembangkan cipta dan rasa yang barkaitan dengan kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial, dan religius. Panca indra (penglihatan, pencecapan, pendengaran, dan peraba) kita dapat dilatih untuk mengenali berbagai pengertian dan kepekaan untuk membedakan satu hal dengan hal lainnya. Hal ini dapat terbina melalui pemilihan kata (diksi) yang digunakan pengarang yang umumnya lebih cermat dengan makna yang konotattif. Selain itu, sastra sering dikaitkan dengan kepekaan rasa dan emosi. Ada sebagian orang berkomentar ”Belajar matematika untuk mengasah otak (intelegensi), sedangkan belajar sastra untuk mengasah perasaan.” Sastra mengasah rasa dalam rumusan lain sastra menjadi instrumen penghalus rasa.
3.2.4 Menunjang Pembentukan Watak atau Karakter
Mengapresiasi karya sastra dapat memberikan bantuan dalam usaha mengem¬bangkan berbagai kualitas kepribadian kita. Kepribadian tersebut meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan (Rahmanto, 1988: 25). Kita dapat memahami berbagai karakter tokoh cerita. Kita juga dapat menentukan karakter yang baik dan buruk menurut ukuran-ukuran yang kita pahami. Tidak menutup kemungkinan karakter tersebut akan mempengaruhi kita. Berkaitan dengan manfaat mempelajari sastra, Jakob Sumardjo (1984:16) menge-mukakan bahwa membaca karya sastra bermanfaat untuk mendayagunakan pengetahuan, memperkaya rohani, menjadi manusia berbudaya, dan belajar mengung¬kapkan sesuatu dengan baik.
Pembelajaran sastra pun diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa. Dalam hal ini, sebaiknya siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang sastra, tetapi yang paling penting adalah pengalaman dalam mengapresiasi dan mencipta karya sastra. Dalam mengapresiasi sastra siswa biasanya dilibatkan ke dalam pengalaman agar siswa mengalami dunia fisik dan dunia sosial. Tujuan lanjutannya agar siswa mampu memahami, meng¬apresiasi nilai-nilai kidupan dalam kaitannya dengan orang lain dan Tuhan sebagai asal dan tujuan akhir hidupnya.
3.3 Tingkatan-Tingkatan dalam Apresiasi Sastra
Apresiasi terhadap karya sastra sebagai suatu usaha mengakrabi sastra dan memhamai karya dalam rangka menemukan nilai untuk kehidupan bukanlah hal yang mudah. Untuk itu, diperlukan tahap-tahap mengapresiasi sebuah karya sastra. Berkaitan dengan masalah ini, Djunaedi (1994:2-4) menyebutkan tingkat penerimaan seseorang terhadap karya sastra (novel) mencakup empat tingkat (1) tingkat reseptif adalah tahap penerimaan sastra apa adanya (2) tingkat reaktif; tahap pemberian reaksi terhadap kehadiran sebuah karya sastra (3) tingkat produktif; tahap pemberian reaksi terhadap karya sastra yang dibacanya (dinikmati) dan sekaligus dapat memproduksi dan menelaah karya sastra tersebut (4) tingkat implementatif adalah tahap memahami, mengevaluasi dan memproduksi sastra, serta dapat mewujudkan kebenaran yang diperolehnya dari bacaan sastra dalam kehidupan sehari-hari. Keempat tingkatan apresiasi ini bercorak hierarkhis gradual.
Mengingat tujuan apresiasi sastra sebagaimana telah diuraikan di atas adalah untuk mempertajam kepekaan terhadap persoalan hidup, membekali diri dengan pengalaman-pengalaman rohani, mempertebal nilai moral dan estetis; maka tingkatan dalam apresiasi sastra diukur dari tingkat keterlibatan batin apresiator. Untuk dapat mengetahui tingkat keterlibatan batin, seorang apresiator harus memiliki “patos”. Istilah “patos” berasal dari kata ‘patere’ (Latin) yang berarti ‘merasa’. Dengan kata lain, untuk dapat mencapai tingkatan-tingkatan dalam apresiasi, seorang apresiator harus dapat membuka rasa.. Patos merupakan salah satu unsur di samping unsur etos dan logos dalam pandangan Sokrates yang bertalian dengan inti proses komunikasi antara manusia. Etos mencakup karakter, Patos mencakup perasaan belas kasihan, dan Logos mencakup isi. Patos, atau perasaan belas kasihan, berkaitan dengan bagaimana komunikator membangkitkan semangat pendengar dan menggerakkan emosi-emosi mereka. Hal ini akan menghasilkan motivasi pendengar. Konsep ini dapat pula diaplikasikan pada komunikasi sastra dalam hal apresiasi.
Tingkatan pertama dalam apresiasi sastra adalah “simpati”. Pada tingkatan ini batin apresiator tergetar sehingga muncul keinginan untuk memberikan perhatian terhadap karya sastra yang dibaca/digauli/diakrabinya. Jika kita membaca karya sastra kemudian mulai muncul perasaan senang terhasdap karya sastra tersebut, berarti kita sudah mulai masuk ke tahap pertama dalam apresiasi sastra, yaitu simpati.
Tingkatan kedua dalam apresiasi sastra adalah ‘empati’ Pada tingkatan ini batin apresiator mulai bisa ikut merasakan dan terlibat dengan isi dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, jika kita membaca prosa cerita, kemudian kita bisa ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut, berarti tingkat apresiasi sastra kita sudah sampai pada tingkat kedua, yaitu empati.
Tingkat ketiga atau tingkat tertinggi dalam apresiasi sastra adalah ‘refleksi diri’. Pada tingkatan ini, seorang apresiator tidak hanya sekadar tergetar (simpati), atau dapat merasakan (empati) tetapi dapat melakukan refleksi diri atas nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu. Dengan kata lain, pada tingkat ketiga ini seorang apresiator dapat memetik nilai-nilai karya sastra sebagai sarana untuk berrefleksi, bercermin diri.
3.4 Penahapan dalam Kegiatan Apresiasi Sastra
Jika di atas telah diuraikan tentang tingkatan-tingkatan dalam apresiasi sastra yang didasarkan pada keterlibatan batin apresiator, berikut ini dipaparkan tahapan-tahapan dalam kegiatan apresiasi sastra. Pentahapan dalam kegiatan apresiasi sastra ini dilihat dari apa yang dilakukan oleh apresiator.
Pada tahap pertama, seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan daya khayalnya mengembara sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui pengarang karya sastra yang dibacanya. Pada tahap ini apresiator belum mengambil sikap kritis terhadap karya sastra yang dibacanya. Pada tahap kedua, seorang apresiator menghadapi karya sastra secara intelektual. Ia menanggalkan perasaan dan daya khayalnya, dan berusaha memahami karya sastra tersebut dengan cara menyelidiki karya sastra dari unsur-unsur pembentuknya. Ini berarti, apresiator memandang karya sastra sebagai suatu struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan unsur-unsur karya sastra oleh apresiator dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.
Pada tahap ketiga, apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya. Artinya, ia memandang karya sastra sebagai pribadi yang mempunyai ruang dan waktu. Dalam pandanganya, tidak ada karya sastra yang tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pada tahapan ini seorang apresiator mencoba memahami karya sastra dari unsur sosial budaya, situasi pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan. Apresiator yang baik adalah apresiator yang dapat menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra itu benar-benar ia pahami dengan membiarkan perasaannya, mencoba menyelidiki unsur-unsurnya, dan berusaha pula memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut diciptakan. Apresiasi sastra di sekolah semestinya diarahkan pada usaha menemukan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter seseorang.
4. Apresiasi Rendah Karakter Terbelah
Melalui pengajaran sastra Indonesia sekolah umumnya dan SMA khsusnya, guru dan masyarakat mengharapkan agar siswa memiliki wawasan yang memadai tentang sastra, bersikap positif terhadap sastra mampu mengembangkan wawasan, kemampuan dan sikap positifnya terhadap sastra serta mampu mengembangkan wawasan, kemampuan, dan sikap positifnya lebih lanjut. Harapan itu cukup beralasan karena SMA adalah lembaga pendidikan sebagai lanjutan dari sekolah menengah pertama (SMP) dan yang akan mempersiapkan siswanya untuk pendidikan yang lebih tinggi serta mempunyai program pendidikan yang lebih tinggi. Harapan seperti ini tidak mudah dijabarkan karena ada sederetan faktor penghambat. Dari aneka diskusi dan pandangan tentang masalah rendahnya kemampuan mengapresiasi sastra (cerpen) ini patut dicatat beberapa fakta yang ditengarai sebagai penyebab atau akar-akar masalah antara lain:
1. Pengajaran sastra di sekolah tidak berdiri sendiri (otonom) melainkan hanya menjadi bagian dari mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Kurikulum 1984 pernah mencantumkan unsur apresiasi sastra Indonesia sebagai salah satu pokok bahasan di samping pokok lainnya dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Selanjutnya kurikulum 1994, unsur (apresiasi) sastra dipadukan ke dalam pokok bahasan lainnya sehingga teks sastra tidak hanya dipakai untuk pembelajaran tata bahasa, pemekaran kosa kata, atau kegiatan berbahasa yang lain.
2. Proses pembelajaran sastra di sekolah dinilai belum optimal; berlangsung seadanya, kaku, tanpa bobot, dan membosankan, sehingga tidak mampu membangkitkan minat dan gairah siswa untuk belajar sastra secara total dan intens. Akibatnya, apresiasi sastra siswa tidak bisa tumbuh dan berkembang secara maksimal.
3. Buku-buku sastra yang disiapkan di perpustakaan sekolah dibiarkan tidak tersentuh bahkan menjadi sasaran ngengat dan kutu buku. Kurang membaca buku sastra akan berdampak pada kepekaan moral dan nurani yang rendah menipis. Tidaklah berlebihan kalau Danarto pernah berkomentar bahwa salah satu penyebab maraknya tawuran antarpelajar ialah karena siswa tidak pernah diajari bersastra dengan baik dan mengakrabi pelbagai buku sastra.
4. Kondisi siswa dan buku-buku sastra juga dibicarakan dalam kaitannya dengan masalah pengajaran sastra. Pelbagai survei melaporkan tentang rendahnya minat baca termasuk membaca karya sastra pada siswa dengan berbagai alasan. Minimnya jumlah buku sastra di banyak sekolah turut menciptakan kondisi yang kurang menguntungkan. Selain itu, kini bermunculan buku-buku “pegangan sastra” yang lebih menyesatkan daripada menumbuhkan apresiasi sastra siswa.
5. Guru sastra sering dituding sebagai penyebab hampanya atmosfir pengajaran sastra. Tidak dapat diingkari, ada guru yang tidak berpotensi (tidak berminat pada sastra). Mereka mengajarkan sastra sekadar memenuhi tuntutan kurikulum terpaksa “kawin paksa” dengan sastra, atau guru sastra yang hanya mengajarkan “takhayul sastra”.
6. Penyempitan makna pembelajaran sastra. Masalah-masalah sekitar pembelajaran sastra berawal dari kekurangpahaman bahkan ketidakpahaman akan makna penting mengajarkan sastra sehingga lahirlah sikap meremehkan dan mengabaikan pentingnya pengajaran sastra. Pemahaman keliru tentang sastra dan sikap tidak bersahabat terhadap sastra melahirkan pandangan yang melecehkan sastra. Akibatnya, pengajaran sastra dianggap tidak penting.
7. Gagasan butir 7 sampai 9 ini diambil dari pengamatan Kaswanti (1991). Pengajaran apresiasi sastra merupakan bagian dari pengajaran bahasa Indonesia. Selain itu, materi pengajaran lebih menekankan hafalan istilah dan pengertian sastra serta pengenalan sejarah sastra dalam jalur kronologi semata dari pada mengakrabkan diri dengan karya sastra itu sendiri sembari mendalami makna sejarah bagi perkembangan sastra.
8. Bahan pengajaran seorang guru bahasa Indonesia menjadi semakin membentuk lingkaran setan karena tuntutan pengajaran sastra. Jika yang pertama lebih mengarah kepada keterampilan, maka yang kedua mensyaratkan keakraban yang berlapang dada dalam rengkuhan pengetahuan yang melampaui batas-batas kebahasaan.
9. Pilihan materi pengajaran dihadapkan pada kenyataan yang menantang kebijakan pendidikan yang telah digariskan. Artinya penambahan ragam sastra yang terjadi dalam masyarakat berkecepatan jauh lebih tinggi daripada kemampuan penyesuaian kurikulum pendidikan yang sudah sarat dengan berbagai hambatan.
10. sistem kurikum yang tidak berpihak pada pembelajaran sastra; ketersediaan buku teks sastra yang terbatas; sistem evaluasi tidak mengakrabkan siswa pada karya sastra tetapi beralih kepada lembaga bimbingan tes; pendekatan, strategi, dan metode yang digunakan guru dalam pembelajaran sastra yang hanya mengarahkan siswa pada dimensi pengetahuan (hafalan) tentang sastra dan bukannya pengalaman mereka bersastra.
5. Pemecahan Masalah yang ditawarkan
5.1 Jadikan Sekolah sebagai Lahan Sastra
Tempat pertama yang paling baik dan terarah untuk menumbuhkembangkan minat sastra adalah sekolah. Melalui pengajaran sastra yang bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai sosial, atau pun gabungan keseluruhan nilai-nilai itu, maka guru yang akrab dengan sastra dapat menumbuhkembangkan minat sastra pada siswa. Dalam perkembangan selanjutnya, siswa yang telah berminat pada sastra niscaya akan terus mengembangkan minat sastranya secara mandiri.
Langkah kedua adalah “membaca, mempelajari, dan mendalami sastra”. Pada tingkat ini, pembaca mulai menghargai sastra, dan mengagumi sesuatu yang tidak terkatakan di balik relung-relung kehidupan yang tersirat dalam karya sastra yang dibaca. Dan ini akan menuntunnya kepada langkah ketiga, yaitu “keterlibatan jiwa”, lebih tepat disebut “keterlibatan segenap daya-daya roh” atau “keterlibatan segenap aspek-aspek spiritual” antara pembaca dan sastrawan, atau antara pembaca dengan tokoh tertentu maupun peristiwa tertentu yang dikisahkan dalam karya sastra yang dibaca.
Langkah-langkah ke arah mengakrabi sastra sebagaimana dijelaskan di atas ini merupakan suatu proses yang saling berhubungan secara aktif dan dinamis. Semakin tinggi minat sastra seseorang, semakin tekun pula orang itu membaca karya-karya sastra yang diminatinya. Dan bersamaan dengan itu, proses perkembangan segenap daya-daya roh atau aspek-aspek spiritual orang itu semakin baik dari waktu ke waktu. Langkah keempat adalah “mengungkapkan penghayatan dan pengalaman sastra” yang diperoleh dari ketekunan mengakrabi sastra. Langkah ini dapat dilakukan melalui forum pembacaan karya sastra (cerpen, novel, puisi), dialog dan diskusi dan seminar sastra. Forum-forum ini merupakan kegiatan yang positif dalam menumbuhkembangkan minat sastra ke arah semakin mengakrabi sastra. Dan menulis artikel-artikel yang bercorak kontemplasi sastra, kritik sastra, kemudian dipublikasikan di koran-koran yang menyediakan rubrik sastra, merupakan aktivitas yang secara positif menunjang upaya menumbuhkembangkan minat sastra ke arah mengakrabi sastra bagi masyarakat pembaca secara luas.
5.2 Dibutuhkan Pembelajaran yang Efektif, Kontekstual, dan Inovatif
Selama ini, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah yang lebih mementingkan tata bahasa, struktur kalimat serta teori-teori lainnya memang terasa membosankan dan kurang menarik bagi siswa. Kreativitas guru diperlukan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang memungkinkna siswa lebih tertarik mempelajari sastra. Caranya, siswa-siswa sekelas dibagi menjadi 4-5 kelompok. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk memilih satu judul novel yang terkenal.
Masing-masing kelompok diminta untuk membuat ringkasan isi novel, mulai isi cerita, karakter para tokohnya, hingga konflik yang terjadi. Selanjutnya, dalam pertemuan berikutnya ringkasan tersebut dipresentasikan secara bergantian oleh masing-masing kelompok. Dengan cara demikian, siswa-siswa menjalin komunikasi interaktif dan pengajaran di ruang kelas pun tidak akan membosankan. Tidak hanya itu, nilai-nilai positif, kata-kata motivasi dan pesan moral yang ada dalam karya sastra tersebut juga akan lebih mudah tertanam dalam pribadi anak-anak.
Ini sekaligus menjawab wacana perlu tidaknya pelajaran budi pekerti dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Sesungguhnya jika apresiasi sastra berlansung dengan baik di sekolah, pendidikan budi perkerti tidak diperlukan lagi karena karya sastra pada dasarnya berisi contoh-contoh pelajaran budi pekerti.
Sastra diajarkan di sekolah bagi Moody (1971) karena ada yang dapat diperoleh dari belajar sastra, yaitu untuk memupuk keterampilan berbahasa, untuk melatih kepekaan akan keindahan, untuk mampu menghayati tema kemanusiaan, moral, budi pekerti yang luhur, dan untuk memahami watak sesama manusia, perbedaan antara satu dengan yang lain sehingga melatih solidaritas, dan untuk melatih kepekaan sosial dalam arti memahami penderitaan sesama manusia.
Terkait efek yang diperoleh dari belajar sastra, pembelajaran sastra hendaknya efektif, kontekstual, dan inovatif. Dalam mewujudkan pembelajaran ini diperlukan modal bagi guru pengetahuan tentang sastra dan mengajarkan sastra, minat senang terhadap sastra, dan mengetahui strategi yang efektif, kontekstual, dan inovatif dalam pembelajaran sastra. Di samping itu harus diikuti pemahaman yang baik terhadap kurikulum, karakteristik peserta didik, dan sarana prasana yang dimiliki sekolah.
Pembelajaran sastra yang efektif, kontekstual, dan inovatif adalah pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selain itu, diusahakan untuk mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia konkret dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran menciptakan suasana pembelajaran yang berbeda dengan suasana yang sudah ada, dan memanfaatkan model pembelajaran mutakhir (role play, jigsaw, problem-based learning) (Zaini, dkk, 2007).
5.3 Membelajarkan sastra dengan Pendekatan Pragmatik Sastra
Kurikulum pembelajaran sastra bukan sekadar formalitas dan menekankan hafalan saja tetapi diharapkan sastra memiliki peranan bagi kehidupan peserta didik. Ketika belajar sastra, peserta didik melibatkan totalitas kejiwaan dan memiliki target tertentu yang ditentukan sendiri oleh peserta didik. Untuk itu dibutuhkan kejelian guru dalam memilih tema karya sastra yang sesuai dengan kemampuan siswa pada tahapan tertentu. “Pelaksanaan pembelajaran sastra sebelumnya gagal karena tidak menyentuh esensi apresiasi sastra. Peserta didik dan diajak menggauli langsung karya sastra, mengoptimalkan pengalaman hidup, mendayagunakan sumber-sumber belajar dari lingkungan peserta didik dan sebagainya.” (Endraswara,2008:191)
Pemilihan tema pembelajaran sastra bersumber dari lingkungan dan kebutuhan peserta didik akan memudahkan peserta didik dalam mengapresiasi karya sastra secara optimal berdasarkan pengalaman hidupnya. “Arah pembelajaran sastra tidak hanya sebagai teori sastra, melainkan pembelajaran mengarah pada aspek pragmatik atau aspek kegunaan (Endraswara, 2008:192). Peserta didik akan termotivasi mempelajari karya sastra karena peserta didik merasa membutuhkan. Dengan demikian peserta didik akan belajar sastra lebih humanis dan menyenangkan dalam rangka mencapai kompetensi dasar.
“Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tujuan pengajaran sastra tidak lain adalah memberikan kesempatan pada siswa untuk memperoleh pengalaman sastra, sehingga sasaran akhirnya dalam wujud pembinaan apresiasinya dapat tercapai”. “Belajar sastra harus memiliki kriteria yang jelas ke arah pragmatik dan mendukung masa depan peserta didik. Pemilihan bahan ajar sangat penting dan harus sesuai (link dan match) dengan dunia kerja atau masa depan peserta didik agar pendidikan tidak sia-sia” (Gani,1988:49).
5.4 Bergerak dari Praktik Bersastra ke Teori Bersastra
Berusaha menghadirkan sastra yang menarik minat peserta didik dalam mengapresiasi karya sastra. Fakta membuktikan bahwa banyak siswa yang kurang berminat pada karya sastra, karena cara guru mengajar yang kurang menarik. Diperlukan angkah-langkah berikut untuk sampai pada sikap mencintai dan mengapresiasi sastra. Langkah pertama adalah menumbuhkan minta. Cara yang ditempuh misalnya membaca karya sastra (cerpen, puisi, teks drama) karya peserta didik, dari majalah atau koran. Hal ini dilakukan agar karya sastra sungguh-sungguh bersentuhan dan berkaitan dengan dunia peserta didik, segingga mereka mudah berinteraksi atau berpartisipasi. Cara lain misalnya menghadirkan sinetron, film, atau lagu yang sering mereka saksikan atau nyanyikan. Dengan demikian mereka berpeluang untuk berbicara sebagai wujud apresiasi mereka.
Langkah kedua, setelah minat bertumbuh barulah menanamkan konsep teori melalui kegiatan bersastra. Cara ini ditempuh agar peserta didik tidak merasakan belajar secara teoretis sebagaimana yang telah dilakukan banyak guru selama ini. Ketika peserta didik dihadapkan pada salah satu cerpen misalnya Robohnya Surau Kami (A.A.Navis) atau Pelajaran Mengarang (Seno Gumira Adjidarma) maka peserta didik akan secara langsung dan interaktif mengapresiasi cerpen tersebut. Di situlah guru bertanya jawab sekaligus menanamkan konsep teori. Pelaku dikaitkan dengan tokoh, jalan cerita dikaitkan dengan alur, dst.
Jika langkah ini berjalan dengan menyenangkan, maka langkah ketiga, guru membawa peserta didik pada karya sastra yang ringan, diambil dari karya peserta didik sendiri. Bisa yang dimuat di majalah dinding atau tugas yang diberikan guru, sastra koran atau majalah. Hal ini dilakukan agar perubahan suasana yang peserta didik telah tertarik tadi setahap dibawa pada suasana karya yang sesungguhnya, namun karya ringan yang mudah diapresiasi peserta didik.
Langkah keempat mengaitkan nilai karya sastra dengan kehidupan. Agar kebermaknaan karya sastra diperoleh maka nilai-nilai yang dapat ditemukan dalam proses mengapresiasi karya itu dikaitkan dengan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Dalam langkah ini diharapkan peserta didik merasakan adanya sesuatu yang berguna untuk kehidupannya sebagai bekal berupa kehalusan budi, moral, berkepribadian, dst. Hal ini dilakukan dalam rangka membekali peserta didik dengan life skill (kecakapan hidup).
Langkah kelima memvariasikan strategi pembelajaran yang dengan strategi itu peserta didik interaktif dalam pembelajaran. Dengan strategi kooperatif, jigsaw, misalnya, siswa berkesempatan dapat bekerja sama dalam kelompk. Setiap kelompok diberi satu karya sastra (cerpen/prosa) dengan tugas menganalisis salah satu unsur intrinsik karya sastra tersebut.
Langkah keenam, setelah hasil diperoleh, setiap individu peserta kelompok bertukar ke kelompok lain sehingga masing-masing kelompok mendapat materi dari seluruh kelompok yang ada. Selanjutnya individu tadi kembali ke kelompoknya semula dan merangkum hasil diskusi, maka setiap kelompok sudah mendapatkan hasil analisis seluruh unsur intrinsik dengan cara bekerja sama dengan kelompok lain. Kegiatan akhir sebagai langkah ketujuh adalah mempresentasikan hasil diskusi, kelompok lain hanya menanggapi karena pada prinsipnya hasil seluruh kelompok sudah terangkum pada satu kelompok. Kegiatan ini akan memupuk kerja sama, saling menghormati, kreatif berpikir, berperan serta aktif.
5.5 Tradisi Rekreasional menggantikan Tradisi Pedantis
Dalam pembelajaran sastra umumnya dikenal dua tradisi yang berbeda yaitu tradisi tradisi pedantis dan rekreasional. Kedua tradisi tersebut merupakan pendekatan yang berbeda dan sangat berpengaruh dalam pengajaran sastra (Silviani & Tri Lestyowati, 1990:126-127). Dua tradisi ini menghasilkan dua model dan gaya pembelajaran sastra. Tradisi pedantis menempatkan karya sastra sebagai objek yang dapat diamati berdasarkan kerangka teoretis dan metode yang telah dirumuskan sebagai sebuah kaidah standar. Pembelajaran sastra oleh sebagian guru sastra cenderung menitikberatkan pada tradisi pedantis (menonjolkan bidang keilmuan) dengan menekankan pada metode pembedahan yang menghasilkan pengetahuan tentang struktur dan teknik. Karya sastra dijadikan ibarat seekor kodok di tangan peneliti bidang biologi yang membedahnya lalu menghasilkan rumusan tentang bagian-bagian tubuh kodok dan bagaimana hubungan antarbagian tubuh kodok itu. Tradisi pedantis inilah yang mendominasi pembelajaran sastra yang dipenuhi teori tentang sastra yang umumnya merujuk pada unsur intrinsik karya sastra.
Tradisi pedantis ini menyumbang kegagalan cukup besar dalam perkara rendahnya kemampuan apresiasi terhadap karya sastra. Tak heran kalau timbul keluhan bahwa pengajaran sastra hanya membebani siswa dengan menghapal judul-judul buku, nama-nama pengarang, dan gramatika sastra lainnya, agar bisa menjawab pertanyaan dalam ujian dengan mengabaikan kesempatan bagi siswa untuk menikmati kesusastraan itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya tradisi Rekreasional yang menekankan pada upaya “menikmati” dan “menyelami” lautan kesusastraan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bagi penganut tradisi rekreasional ini melihat sastra tidak hanya sebatas kodok yang dijadikan objek tetapi bagaimana menjadikan dan mengolah bagian-bagian kodok itu menjadi menu santapan yang pantas dan patut dinikmati.
Untuk dapat menerapkan dan terutama menghidupkan tradisi rekresional, guru sastra harus bisa bersastra. Tidak usah dan tidak berarti guru sastra harus menjadi sastrawan. Namun, sebagai model pengajaran sastra pun sudah cukup. Artinya, guru sastra menjadi teladan bagi siswa dalam hal bersastra. Sebagai contoh kecil; guru sastra tidak hanya “pandai” menyuruh siswa membaca puisi tetapi ia sendiri pandai membaca puisi dengan baik di depan murid-muridnya. Tradisi pedantis terbukti mengerdilkan minat apresiasi sastra sehingga perlu dikembangkan tradisi rekreasional yang intinya menyenangkan untuk dinikmati.
5.6. Otonomi sekolah sebagai peluang
Konsep otonomi sekolah hendaknya dimaknai sebagai peluang bagi setiap sekolah untuk menerapkan kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan siswa di sekolah. Dalam kaitannya dengan masalah sastra sebagai unsur tempelan pada materi pelajaran bahasa Indonesia sekolah dapat membalikkannya menjadikan sastra sebagai spirit, jiwa dari pembelajaran keterampilan berbahasa lainnya. Perlu pergeseran posisi dari materi sastra yang sebelum ditempelkan pada bahasa menjadikan sastra sebagai unsur ditempeli materi bahasa. Pembelajarannya bukan lagi berpusat pada bahasa tetapi berpusat pada sastra.
5.7 Tugas guru dan Sekolah
Guru harus disadarkan atau lebih tepat “dipaksakan” untuk memahami sastra sebagai sesuatu yang penting dalam pembentukan karakter karena itu guru harus mampu menjadikan sastra sebagai instrumen pemanuisaan manusia. Guru harus sampai pada kesadaran bahwa dengan bersastra ia mendidik siswa. Konsekuensinya, guru harus mampu menemukan metode, strategi dan pendekatan yang efektif dan relevan.
Guru dalam koordinasi dengan kepala sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan cerdas cermat secara rutin dan terprogram. Materi yang dilombakan berkaitan dengan karya sastra yang disipkan di sekolah. Kegiatan ini, tentu akan lebih bermakna jika guru mata pelajaran mewajibkan semua siswa untuk membaca dan meringkas sejumlah buku dan diperhitungkan sebagai bagian penilaian belajar. Lomba dan cerdas cermat sastra harus menjadi budaya sekolah. Untuk mengatasi kekurangan jumlah buku sekolah dapat bekerja sama dengan penerbit dan lembaga donor lainnya.
5.8 Peran Lembaga Penyedia Guru dan Pemberdayaan Berkelanjutan
Untuk menghindari kesan “kawin paksa” pada pembelajaran sastra karena guru kurang berminat pada sastra maka lembaga penyedia tenaga guru dalam hal ini perguruan tinggi hendaknya lebih selektif dalam merekomendasikan seseorang untuk menjadi guru. Akta mengajar untuk guru bahasa Indonesia hendaknya ditambah dengan akta atau sertifikat yang berkaitan dengan komptensi bidang sastra. Akta sastra ini diperoleh dalam pendidikan formal maupun oleh lembaga yang dapat dipercaya.
Wawasan guru berkaitan dengan sastra harus selalu disegarkan baik melalui pendidikan dan latihan (diklat) pertemuan dalam forum MGMP, menghadirkan para pakar pembelajaran sastra, para praktisi dunia sastra, para pekerja pada sanggar-sanggar sastra. Juga secara periodik komptensi sastra guru dievaluasi.
5.9. Sistem Evalauasi Khusus Sastra
Untuk mendorong semangat apresiasi siswa terhadap karya sastra maka sistem evaluasi Sastra harus menggunakan bentuk atau pola yang lain menghindari kebiasaan sastra diuji dalam bentuk tees pilihan ganda yang sifatnya hafalan. Sistem evaluasi sastra harus menggunakan kriteria produk dan unjuk kerja. Apresiasi sastra harus dapat diukur dengan kriteria seberapa banyak siswa dalam waktu tertentu (semester) membaca dan membuat ringkasan, menyusun resensi, mengomentari karaya sastra, menulis sastra (cerpen, puisi). Produk dalam bentuk portofolio harus dijadikan pilihan dalam sistem evaluasi.
6 Penerapan dalam Konteks di Sekolah
Tujuan pengajaran sastra sebenarnya memiliki dua sasaran, yaitu agar siswa memperoleh pengetahuan dan pengalaman sastra. Pertama, pengetahuan sastra diperoleh dengan membaca teori, sejarah, dan kritik sastra. Kedua, pengalaman sastra dengan cara membaca, melihat pertunjukan karya sastra, dan menulis karya sastra. Dengan melihat kompleksitas atau tali-temali masalah berkaitan dengan pembelajaran sastra pada umumnya dan apresiasi sastra pada khususnya, sampailah kita pada pertanyaan apakah persoalan itu dapat diatasi? Dengan kata lain apakah gagasan-gagasan yang digambarkan berkaitan dengan masalah dapat memberi solusi bagi peningkatan aktivitas mengakrabi sastra bagi kalangan siswa di sekolah?
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, mata pelajaran Bahasa Indonesia merumukan tujuan pelajaran bahasa Indonesia agar peserta didik memiliki kemapuan (1) Berkomunikasi secara efektif dan efesien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara; (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) Menggunakan bahasa Indonesia unutk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (Depdiknas, 2006).
Dari keenam tujuan itu, tujuan nomor lima dan nomor enam langsung menyebut karya sastra. Tujuan nomor lima diawali dengan kata kerja “menikmati dan memanfaatkan” dan tujuan nomor enam diawali dengan kata kerja “menghargai dan membanggakan”. Keempat kata kerja itu merupakan kata kunci untuk mencapai mata pelajaran sastra Indonesia di sekolah. Melalui pembelajaran sastra, peserta didik dapat menikmati, memanfaatkan, menghargai, dan membanggakan karya sastra. Dengan demikian, semua aktivitas pembelajaran sastra hendaklah mendukung pencapaian tujuan itu. Dukungan itu akan dapat diawali dengan membaca dan memahami standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar) sastra. Untuk mewujudkan hal ini, setiap pendidik berkewajiban membuat perencanaan pembelajaran. Peraturan Menteri ini memberi ruang bagi apresiasi sastra yang lebih leluasa dan kreatif. Apa yang dirumuskan ini sesungguhnya terarah pada konsep pembelajaran sastra yang didaktis dan humanis untuk (a) membantu keterampilan berbahasa, (b) meningkatkan pengetahuan budaya, (c) mengembangkan cipta rasa, dan (d) menunjang pembentukan watak siswa (Rahmanto, 1988:16).
Penguasaan empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dibantu oleh pengajaran sastra. Keterampilan menyimak siswa dilatih dengan mendengarkan suatu bentuk karya sastra (imajinatif atau nonimajinatif) yang dibaca nyaring oleh guru sastra. Dengan bercerita di depan kelas atau bermain drama, siswa melatih keterampilan berbicara. Siswa melatih keterampilan membaca dengan membacakan puisi, cerpen, atau artikel. Dengan menulis berbagai bentuk karya sastra dan mendiskusikan suatu karya sastra lalu menuliskan hasil diskusi tersebut, siswa berlatih keterampilan menulis.
Karya sastra senantiasa menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal, yang apabila dihayati benar-benar, akan semakin menambah pengetahuan. Pengajaran sastra tidak hanya membantu meningkatkan pengetahuan siswa, tetapi juga menanamkan pemahaman budaya pada diri siswa. Pemahaman budaya menumbuhkan rasa bangga, percaya diri, dan rasa ikut memiliki.
Setiap siswa adalah individu dengan kepribadian yang unik, kemampuan, masalah, dan kadar perkembangannya masing-masing. Pengajaran sastra berfungsi membantu proses pengembangan individu secara keseluruhan. Berbagai kecakapan siswa seperti kecakapan yang bersifat indra, penalaran, perasaan, sosial, dan religius dikembangkan melalui pengajaran sastra
Sehubungan dengan upaya menunjang pembentukan watak (kepribadian) siswa melalui pengajaran sastra, ada dua hal yang diharapkan. Pertama, pengajaran sastra mampu membina perasaan yang lebih tajam. Pengajaran sastra bila dibandingkan dengan pelajaran-pelajaran lainnya mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kekalahan, kebencian, dan lain-lain. Dengan pengajaran sastra, siswa mempunyai perasaan yang lebih peka untuk memilih hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Kedua, pengajaran sastra dapat mendukung upaya mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa seperti ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. Melalui pengajaran sastra siswa dipertemukan dengan berbagai kesempatan untuk menelusuri semacam arus pengalaman segar yang terus mengalir. Pengalaman bersastra itu merupakan persiapan yang baik bagi kehidupan siswa di masa depan, terutama dalam profesinya di mana ia harus selalu siap menilai dan mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai masalah.
7 Dampak Pembelajaran Apresiasi yang Gagal
Jika apa yang digambarkan dan digharapkan dalam keseluruhan tulisan ini tidak dapat dilaksanakan, dalam arti, apresiasi sastra tetap berada pada kondisi yang stagnan maka pelbagai masalah yang berkaitan dengan karakter tetap saja menjadi masalah klasik dalam dunia pendidikan. Jika pendidikan apresiasi sastra gagal maka sama artinya dunia pendidikan kehilangan momen dalam pembentukan karakter generasi masa depan karena negara sudah memberi ruang untuk itu kepada sekolah dan guru yang terlibat langsung dalam pendidikan karakter. Jika keinginan untuk memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum terus dipaksakan maka hal itu juga menjadi indikasi kegagalan dalam bidang apresiasi sastra. Argumentasinya sangat jelas karena karya sastra selalu menawarkan nilai-nilai kehidupan yang bisa menghaluskan rasa, mempertajam nurani. Kepekaan rasa dan ketajaman nurani dapat diolah dengan cara memahami dan mengapresasi sastra. Hanya dalam kepekaan rasa dan ketajaman nurani seseorang dapat hidup, bertindak selaras dengan tunutan moral dan etika kehidupan masyarakat.
8 Simpulan dan Saran
Masalah pendidikan umumnya dan pendidikan karakter khususnya adalah masalah sepanjang kehidupan manusia sehingga perlu penanganan yang komprehensif dengan seluruh konteks perkembangan manusia. Dari apa yang telah diurakan terdahulu, dapatlah dirumuskan beberapa kesimpulan berikut ini.
Pertama, pendidikan selalu diarahkan pada pembentukan diri manusia. Arah pembentuk diri itu secara konkret dituangkan dalam rumusan umum tujuan pendidikan dan kemudian dijabarkan secara lebih spesifik pada setiap mata pelajaran. Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga memberi ruang bagi pembentukan diri, watak, dan karakter manusia- dalam hal ini- para siswa melalui materi pelajaran.
Kedua, karya sastra pada umumnya termasuk cerpen merupakan media potensial dimanfaatkan dalam pembelajaran bagi pendidikan sikap, watak, dan karakter peserta didik. Karya sastra dengan muatan nilai kehidupan menjadi lahan potensial untuk dimanfaatkan dalam pembentukan sikap.
Ketiga, karya sastra bermuatan nilai kehidupan itu hanya akan tampak jika proses pembelajaran di sekolah memberi ruang dan mengondisikan semua stake hoder untuk mengakrabi sastra secara lebih maksimal. Untuk itu, peran guru menjadi sangat sentral dalam mendorong dan motivasi peserta didik untuk mengakrabi, menggauli, dan menghargai semua karya sastra. Sikap seperti inilah yang dipandang sebagai sikap apresiatif.
Keempat, minat peserta didik dalam mengapresiasi sastra mengharuskan guru untuk mengembangkan proses pembelajaran yang memberi ruang kepada para siswa mengakrabi sastra. Hal ini dapat dilakukan guru dengan pemanfaatan strategi dan metode pembelajaran yang manarik dan menyenangkan. Pemafaatan media dan teknologi dalam pemblajaran sastra menjadi tuntutan pada era teknogi dan multimedia zaman ini.
Akhirnya sebagai saran kiranya sekolah menciptakan suasana kondusif sarana yang mendukung terwujudnya proses pendidikan karakter melalui apresaisi sastra.
Daftar Pustaka
Hubungi penulis 0813 3934 6015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar