Kupu-Kupu untuk Bunga
Ratna Indraswari Ibrahim
Kompas, Minggu, 19/4/1998 hlm. 13.
Tepat di saat-saat usianya 18 tahun, Kembang selalu mengalami kesakitan luar biasa di sekujur tubuhnya. Begitu sakitnya penderitaan itu, sehingga harus meredamnya dengan bentur-benturkan badan di setiap dinding rumahnya.
Anehnya, kesakitan yang luar biasa itu selalu disertai adanya dorongan dari dalam dirinya untuk mengejar-ngejar setiap lelaki yang dijumpainya.
Pada saat seperti itulah dokter keluarga akan segera menyuntiknya sehingga Kembang bisa tertidur pulas di kamar. Sejak peristiwa itu, Bunga suka menyelinap masuk ke kamar Kembang, menunggui mbak-nya sampai terjaga dari tidurnya. Sebab, kalau mbak-nya terbangun, dia pasti akan berkata begini, "Kau mau kuceritai apa, Malinkundang atau Cinderella lagi?" Bunga selalu ingin mbak-nya menceritakan lagi tentang Cinderella, sebab setiap kali mbak-nya bercerita dibarengi dengan peragaan bagaimana Cinderella dan Pangeran yang sedang jatuh cinta itu berdansa.
Peragaan dansa Cinderella dan Pangeran itu sangat mempesona Bunga. Mbak Kembang persis kupu-kupu cantik yang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain.
Namun, suatu hari orangtuanya memasukkan seluruh pakaian Kembang ke dalam koper selanjutnya dimasukkan ke bagasi mobil. Dan Kembang dibawa pergi! Besoknya orangtuanya pulang tidak bersama Kembang lagi!
Mama memberi keterangan sangat singkat, "Mbak-mu Kembang harus dirawat di rumah sakit jiwa di Malang, dia akan kembali ke rumah, kalau sudah sembuh dari depresinya!"
Sejak saat itu (sepuluh tahun lampau), Bunga tidak pernah bertemu lagi dengan mbak-nya, Kembang. Namun, dua minggu setelah ulang tahunnya yang ke-21, Bunga mengatakan kepada orangtuanya akan mengunjungi mbak-nya, Kembang, yang minggu depan juga berulang tahun ke-28. Mama bilang, "Setahun yang lewat, ketika aku mengunjunginya dokternya bilang, kalau lagi sehat, mbak-mu suka menyulam. Oleh karena itu, saya akan memberikan kado seperangkat alat sulam. Papa akan memberikan kado CD yang baru, iya kan Pa? Kau sendiri kalau memberi mbak-mu kado harus yang diperlukan saja olehnya."
"Bunga, saya menyangka kelompok diskusimu menyuruh kau menjadi pahlawan, bagi gelandangan, orang miskin dan gila. Itu yang sering kau sebut-sebut padaku sebagai kelompok pinggiran yang paling terpuruk dalam masa ini kan? Non, Papa mau tanya sudah berapa jauh pemahamanmu tentang ekonomi, sosial, dan politik. Saya anjurkan kau menghabiskan liburan semester ini sesuai dengan rencanamu semula yakni liburan ke Bali bersama teman-temanmu.
Perjalanan dari Jakarta ke Malang begitu panjang. Bunga merasa asing di kota yang sudah banyak berubah ini. (Dia dan Mbak dilahirkan dan bermasa kecil di kota ini). Oleh karena itu, ketika Bunga merasa berjalan ke sembarang arah, yang pada akhirnya berdiri di sebuah mal. Bergegas Bunga memasukinya. Ia merasa harus membeli kado yang istimewa untuk Mbak Kembang. Sesungguhnya, dia sudah mengaduk-aduk dan menjelajahi seluruh sudut mal ini. Akhirnya matanya tertumbuk pada sepasang sepatu kaca (mirip sepatu Cinderella).
Bunga selalu ingat cerita mbak-nya tentang Cinderella. Di suatu pesta dansa Cinderella meninggalkan sepatunya. (Tertinggal?). Sebab itu Pangeran mencari pemilik sepatu itu untuk dijadikan permaisuri. Saat itu Mbak Kembang selalu bilang dengan telak "Kalau Bunga nanti sudah berusia 21 tahun jangan meninggalkan sepatu ya, agar tidak dicari oleh Pangeran."
Bunga, tergagap-gagap. Dia tak pernah meninggalkan sepatu agar dicari oleh lelaki mana pun. Namun, dia sudah memastikan Indralah yang akan menjadi suaminya. Akhirnya Bunga memutuskan kado yang tepat bagi mbak-nya adalah baju yang bermotifkan kupu-kupu yang sedang menari.
Di dalam taksi yang membawanya ke rumah sakit, tiba-tiba Bunga merasakan bayangan mbak-nya berkelebat. Sungguh, orangtuanya tak rnemiliki foto Kembang. Kala para wartawan memuat wawancara dengan papanya yang ahli analisa ekonomi itu, foto keluarga yang terpampang di koran cuma dialah sebagai satu-satunya anak mereka.
Bunga sudah sampai di rumah sakit. Seorang perawat membawanya ke sebuah kamar. Tiba-tiba dia merasa berada di muka cermin yang berdiri di mukanya, "Mbak Kembang yang sangat serupa dengan dirinya." Bunga berlari dan menciumnya. "Mbak, saya Bunga adik sampeyan. Selamat ulang tahun Mbak, ini kado dari Papa, Mama, Bude Tin, Tante Nin, Om Nano juga dari saya dan pacarku Indra. Saya tadi sudah minta izin dokter akan merayakan ulang tahun Mbak dengan makan di restoran. Buka dong kadonya Mbak."
Kembang seperti tercenung melihat kado-kado itu dan pelan-pelan dibukanya kado itu satu per satu. Kemudian Kembang berteriak, "Mama, Papa dan Indra semua impoten... saya mau pakai bajumu yang kau pakai itu sekarang juga."
"Mbak Kembang, Indralah yang menyemangati saya untuk bertemu dengan sampeyan. Dia yang bilang begini kepadaku, "Rasa malu karena punya saudara gila adalah persepsi masyarakat. Karenanya, mengapa kita harus selalu bersikap seperti anggapan masyarakat yang normatif itu!...
Kembang melihatnya lekat-lekat dan tertawa cekikikan.
Sambil menikmati makanan, Bunga melihat mbak-nya yang tampaknya sehat dan cantik. Bunga merasa perlu bercerita, "Mbak, saya ingat cerita sampeyan, jangan menaruh sepatu kalau kita sudah berusia 21 tahun, sebab akan dicari oleh sang pangeran untuk dijadikan permaisurinya. Tapi, saya tidak pernah menaruh sepatu! Sekalipun, saya sudah memutuskan Indralah yang akan jadi ayah dari anak-anakku."
Kembang, melihatnya lekat-lekat, "Pikirlah dirimu, sendiri nanti sakit perut ... aduh saya pusing. Ada banyak anjing, babi dan kerbau di sini. "
BUNGA merasa perlu menanyakan kepada dokter apakah Kembang punya kemajuan setelah dirawat selama sepuluh tahun di sini.
Dokter cuma berkata begini. "Kemajuannya ada, sekalipun dia masih panik kalau lagi haid. Sebaiknya kau coba membawanya pulang ke rumah, barang sebulan, agar bisa bersosialisasi dengan keluargamu. Kau harusnya bangga dengannya karena pagi ini saya mendapat faks dari organisasi yang memamerkan hasil sulaman Kembang. Mereka menganggap sulaman hasil karyanya memiliki nilai seni tinggi. Yah, setiap tahun kami mengirim hasil kerajinan para pasien kami untuk berpameran ke mancanegara. Organisasi tersebut memamerkan setiap hasil karya para penyandang cacat mental dari seluruh dunia. Sebab itu, bagi setiap pasien, kami tidak pernah menyebutnya sebagai orang gila. Karenanya, kemungkinan untuk sembuh selalu kami harapkan dari setiap pasien kami. Sekarang, lihatlah kakakmu di ruang senam. Cobalah berbicara sebanyak-banyaknya agar dia bisa kembali ke lingkungan masyarakat secepat-cepatnya."
Bunga melihat perempuan yang sangat langsing itu sedang senam. Kalau saja mereka bisa, tentu sangatlah asyiknya untuk bisa mengobrol kembali dengan Mbak Kembang, seperti dahulu!
Kemudian, ia melihat Mbak menghampiri dan mengajak duduk di sebuah pohon, "Mbak, saya ingat waktu kita kecil dulu kita bersama ingin tahu sebesar apa bayi semut. Yang kita ketemukan adalah sepasang kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya. Saya sering berpikir Mbak akan seperti kupukupu itu suatu hari, yang bisa keluar darikepompongnya."
Mbak Kembang melihatnya dan tersenyum. Dia seperti semua perempuan muda yang sehat dan cantik.
"Mbak, saya akan minta izin Papa, Mama, untuk mengajak sampeyan kembali pulang. Dan saya akan memperkenalkan sampeyan kepada Indra. Mbak pasti suka kepadanya. Selain itu, saya akan berusaha untuk mencarikan orang yang mau memamerkan hasil sulaman Mbak. Saya kira hal seperti ini belum pernah dilakukan oleh organisasi-organisasi sosial di negeri kita. Karena kita sering menganggap orang yang sakit seperti Mbak dan para penyandang cacat mental lainnya, tidak punya potensi untuk mengaktualitaskan diri di masyarakat."
Kembang melihatnya, dan kemudian menangis dengan sangat keras. "Aku mau pulang. Aku kangen sama Papa dan Mama!"
Seperti yang diduga Bunga, Papa dan Mama tidak setuju untuk membawa pulang Mbak Kembang, sekalipun cuma sebulan. Papa bilang lewat telepon, "Kita semua sibuk, siapa yang akan menjaga mbak-mu? Apa perawat? Apa tidak sulit mencari perawat yang mau merawat orang seperti mbak-mu? Bilang pada dokter, jangan main coba-coba begitu, kalau sudah sembuh ya sembuh. Apa kau bilang kami tidak mencintainya? Kami menaruhnya di rumah sakit yang mahal dan mewah itu agar dia mendapat perawatan dokter yang terbaik di negeri ini."
Ketika akan berpamitan dengan Mbak-nya Bunga tak bisa menahan air mata. Tiba-tiba Kembang memeluknya. "Adik jangan menangis, ini kupu-kupu hidup untukmu. Simpanlah karena ini kenang-kenangan untukmu."
Bunga menangis keras. Dan tiba-tiba Kembang mendorongnya, "Pulang-pulang sana, pikirlah dirimu sendiri. Aku jadi pusing! Awas ada babi, anjing dan keledai."
Bertahun-tahun semenjak itu, Bunga, Indra dan anaknya berada di negeri ini. Pagi ini, Bunga merasa Indra sulit diajak bersahabat dengannya. Oleh karena itu, dia mengajak anaknya ke taman kupu-kupu, tempat kupu-kupu dari daerah tropis singgah dan bermukim di sini.
Di bangku taman dia duduk dan membaca faks yang datang kemarin dari orangtuanya. Mereka mengabarkan Mbak Kembang sudah meninggal dunia dan diistirahatkan di dekat rumah sakit itu.
Dalam faks itu Mama juga menulis, "Saya kaget; dia mirip kamu waktu meninggalnya. Dan setelah upacara penguburan selesai kami melihat sepasang kupu-kupu, senantiasa berputar-putar di atas pusaranya. Anakku yang malang itu sudah berbahagia di sisi-Nya. Oleh karena itu, jangan terlampau bersedih dan dipikirkan. Dalam situasi yang seperti ini sebaiknya kau dan Indra cepat-cepat menyelesaikan kuliahmu, agar kita tak kehabisan dana untuk kalian. Lebih baik mari kita doakan bersama agar mbak-mu diterima di sisi-Nya
Tiba-tiba anaknya menariknarik lengannya, "Mama kupukupu itu dari tadi mengitari Mama. Ayo, Ma, kita tangkap. "
Anaknya mencoba menangkapnya, namun sepasang kupu-kupu itu terbang dan menjauh yang tampak seperti menari-nari. Dan tarian itu mirip tarian mbak-nya, Kembang, saat memperagakan bagaimana Cinderella dan Pangeran yang sedang jatuh cinta berdansa.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar