GAYA BAHASA CERITA PENDEK
Alun-Alun Seribu Patung
Karya Danarto
Cerpen Alun-Alun Seribu Patung ini memiliki karakteristik yang dominan dari segi bentuk, khususnya gaya bahasa. Gaya bahasa dalam cerpen ini diteliti untuk menentukan “kekuatan efek atau citraan”, situasi yang dimunculkan, dan makna peristiwa dan sekuen yang dilukiskan dalam gaya bahasa. Tulisan ini menyimpulkan bahwa gaya bahasa yang muncul seperti, perumpaman, perbandingan, personifikasi, metafor, litotes, repetisi, polisemi, oksimoron, dan hiperbol tersebut mendukung penciptaan situasi, suasana, dan peristiwa yang terjadi untuk mempekuaat citraan terhadap teks ketika dibaca.
Sarana retoris itu mampu menciptakan efek dan kesan yang mendukung dan membungkus makna, yakni pertentangan hakikat makna hidup dalam dunia pemikiran, filsafat, epistemis, dan mistis. Melalui gaya bahasa, cerpen ini mengajak pembaca untuk mengalegorikan dunia sufistik, mistis, dan hakiki yang esensial dengan alegori penyeretan Drupadi.
1. Pengantar
Penelitian gaya bahasa yang terdapat dalam kaya sastra sampai saat ini masih jarang dilakukan atau masih sedikit (Pradopo, 2000:263). Studi ini umumnya masuk kedalam dua bidang kajian yakni linguistik dan sastra. Tulisan ini akan menelaah salah satu cerpen dalam sastra Indonesia karya Danarto yang berjudul Alun-Alun Seribu Patung. Cerpen ini dimuat dalam kumpulan cerpen Danarto yang berjudul Setangkai Melati Di Sayap Jibril dan diterbitkan oleh Bentang pada tahun 2001. Cerpen ini berisi cerita penyeretan Drupadi oleh Kurawa yang terjadi di alun-alun dan ditonton oleh ksatria dan ribuan rakyat karena Pandawa kalah judi di Istana Astina. Meskipun cerita penyeretan Drupadi, istri Pandawa, tersebut tidak sesuai dengan versi pada umumnya, hal ini tidak dipemasalahkan. Dalam hal ini, teks dianggap memiliki nilai yang sama untuk diteliti dari prespektif manapun (Barthes, 1981: 37-38).
Dengan demikian, teks mempunyai perlakuan yang sama untuk diinterpretasikan. Setelah dilakukan pembacaan terhadap cerpen ini, cerpen ini tampaknya menarik untuk diteliti dari sudut stilistika. Hal ini disebabkan gaya yang ada dalam cerpen ini sekilas menujukkan kekhasan gaya bahasa yakni munculnya dominasi gaya perumpaman, personifikasi, dan metafor. Selain itu, gaya tersebut dijadikan sarana pembungkus makna sehingga layak dilakukan pembongkaran guna mengetahui makna, efek, dan citraan yang ditimbulkan dari penggunaan gaya tersebut.
2. Ruang Lingkup Stilistika
Kridalaksana (1982:157), dalam Kamus Linguistik, memberikan batasan stilistika. Menurutnya, stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispiliner antara linguistik dan kesusastraan (2) penerapan lingustik pada penelitian gaya bahasa. Tuner (1977:7) juga memberikan pengertian tentang stilistika. Menurutnya, stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama dalam kesusastraan. Fowier (1987:237) mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang dari studi sastra. Menurutnya, para ahli mengatakan bahwa stilistik meneliti sastra pada aspek bahasanya, yakni imaji, stuktur suara, sintaksis, dan lain-lain. Umar Junus (1989:xvii) mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah pemakaian dan penggunaannya dalam karya sastra, tetapi kemunculannya sudah ada dalam linguistik. Menurutnya, stilistika dipakai sebagai gabungan, yakni ilmu sastra dan ilmu linguistik.
Lebih lanjut, Umar Junus (1989:xviii) mengusulkan bahwa stilistika itu menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari linguistik ataupun sastra.Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa. Gaya bahasa sendiri adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur dan menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982:49-50). Enkvist (dalam Junus, 1989:4) mengatakan bahwa gaya bahasa ada enam pengertian khasnya, yakni (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya, (2) pilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin, (3) sekumpulan ciri pribadi, (4) penyimpangan norma atau kaidah, (5) sekumpulan ciri kolektif, dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas dari pada kalimat.
Untuk mengkaji karya sastra dari sudut stilistika, ada dua kemungkinan dalam mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh. Kedua, penelitian stilistika ini dilakukan dengan mengamati variasi dan distorsi terhadap pemakian bahasa yang normal dan menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990:226). Dari kedua pendekatan tersebut terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya tidaklah saling bertentangan.
3. Analisis Cerpen Alun-Alun Seribu Patung
Selain, karya Danarto terkenal di dunia kesenian international (Kleden, 2004:388), karya-karya Danarto umumnya menujukkan gaya yang khas (Suwondo, 2003:153). Danarto dalam karya-karya berusaha memanfaatkan citraan dalam membungkus dan menciptakan makna. Pilihan kata atau diksi, kelompok kata, kalimat-kalimat, dan wacana saling mendukung untuk mengungkapkan tema-temanya.
Penggunaan bahasa dalam karya Danarto membawa dampak pada kekuatan bahasa dan makna dalam karyanya. Tema-tema seperti dunia mistis dan sufistik menjadi “segar dan berirama” dengan pemanfaatan gaya seperti metafor, pertentangan, dan perumpaman. Salah satu karya tersebut adalah cerpen Alun-Alun Seribu Patung. Pembacaan terhadap cerpen Alun-Alun Seribu Patung menimbulkan efek kengerian dan keganasan. Efek-efek tersebut diketahui dari penggunan kata dan bunyi-bunyi yang terangkai dalam kata demi kata, kalimat demi kalimat. Metafor, hiperbol, dan personifikasi yang digunakan mampu menciptakan efek yang kuat terhadap medan semantik dari kata-kata tersebut. Sebagai contoh adalah judulnya. Judul ini terdiri dari “alun-alun”, “seribu”, dan “patung”.
Dari ketiga kelompok tersebut telah menimbulkan kesan semantis. Jika judul tersebut diartikan, judul itu mengandung arti suatu tempat publik di tengah kota yang mempunyai seribu patung. Yang muncul adalah pertanyaan mengapa harus alun-alun yang mempunyai seribu patung. Kata “seribu” yang bermakna banyak menimbulkan efek tertentu, misal kekaguman, penasaran, dan kemegahan terhadap sesuatu.Cerpen ini dimulai dengan situasi yang ngeri dan ganas. Citraan yang muncul pertama kali dalam cerpen ini adalah keterbalikan nasib dan keadaan. Dengan memanfaatkan gaya bahasa hiperbol, perumpamaan, metafor, dan personifikasi, cerpen ini dalam situasi awal mampu memberikan suatu suasana yang menakutkan, menegangkan, dan dinanti-nantikan oleh pembaca. Kecemasan pembaca dan keingintahuan terhadap apa yang terjadi sebelumnya dan selanjutnya mampu tercipta melalui penggunan gaya bahasa metafor dan personifikasi. Gaya bahasa yang terdapat pada situasi awal cerpen ini adalah hiperbol, personifikasi, metafor, dan perumpaman. Gaya-gaya tersebut telah mampu menciptakan efek keingintahuan, suasana yang mencekam, dan suasana yang patut untuk diperhatikan, dicermati, dan diamati.
“Drupadi diseret dan digiring ke alun-alun oleh para ksatria Kurawa. Bagai Peladuk yang ditekam singa, Drupadi terkulai. Cakar elang Dursasana mencengkeram selendang yang melilit pinggang Drupadi sehingga istri Puntadewa itu terhuyung-huyung bagai perahu nelayan diombang-ambingkan ombak. Busanya mencium cakrawala. Sedang air matanya berlelehan menyapu bedak pipinya yang telah jadi lumpur. Rambutnya yang legam mengibar-ngibarkan debu menyerupai sorak-sorai tangan-tangan yang dahulu pernah menyambutnya sebagai putri agung Kerajaan Pancala. Panas matahari mencorong persis di atas ubun-ubun yang mendadak dicipta Batara Wisnu yang menyobek malam menjadi siang. Angin berebut menerbangkan ujung kainnya yang penuh berita duka ke seluruh pelosok Kerajaan Astina. Segalanya mampus”.
Dari kutipan tersebut diketahui adanya beberapa gaya bahasa. Kata-kata “bagai (bagai peladuk, bagai perahu) dan menyerupai” menujukkan gaya bahasa perumpamaan. Kata-kata “cakar elang” menunjukkan gaya bahasa metafor. Gaya bahasa personifikasi ditunjukkan dengan kata-kata seperti ”mencium (busanya mencium), menyapu (air matanya menyapu), menerbangkan (angin menerbangkan). Gaya-gaya tersebut telah menciptakan efek yang melebih-lebihkan suatu kejadian atau juga hiperbol dari suatu kejadian. Hal ini menujukkan bahwa peristiwa dan situasi pada tahap awal tersebut sangat penting untuk diketahui. Situasi penyeretan Drupadi tersebut adalah suatu peristiwa besar, penting, dan tidak disangka-sangka. Orang yang mengenal Drupadi tidak akan percaya mengapa hal itu terjadi.
Dengan alasan inilah, gaya-gaya bahasa seperti yang disebutkan dimunculkan untuk mendukung medan sematis dari makna dan kehadiran situasi awal ini. Bagian berikutnya dari cerpen ini menujukkan suatu perbuatan yang mengerikan dan kekejaman yang melampaui batas. Suasana yang kejam dan mengerikan tersebut dilukiskan dengan menggunakan gaya perbandingan atau perumpaman. Perbuatan Dursasana dan para ksatria lainnya digambarkan sebagai perbuatan yang kasar, tidak bermoral, tidak beretika, kejam, dan memalukan bagi seoang ksatria dan bangsawan. Selain itu, perbuatan tersebut dicitrakan untuk menujukkan kekuatan, kekuasaan, dan keganasan dari para ksatria Kurawa. Dengan disaksikan oleh ribuan rakyat dan lelaki yang terkesima dengan perlakuan tersebut, suasana yang tercipta juga menujukkan kekaguman dan keheranan dari para penonton.
Kemolekan tubuh Drupadi dan kekuatan para ksatria untuk menelanjangi dan melempar-lemparkan tubuh Drupadi seperti piala bergilir di tengah alun-alun tersebut diciptakan dengan suasana yang ngeri, haru pilu, dan menimbulkan emosi pembaca terhadap peristiwa tersebut. Tampaknya, suasana itu dilukiskan dengan membungkus maksud atau makna dari peristiwa tersebut dengan memanfaatkan gaya bahasa perumpaman dan hiperbol. Kedua gaya bahasa ini dimanfaatkan untuk mendukung suasana tersebut sehingga memperkuat kesan dan efek yang ada. Berikut ini adalah contoh kutipan yang menujukkan kedua gaya bahasa tersebut. Contoh pertama adalah gaya bahasa perumpaman sedangkan contoh kedua adalah gaya bahasa hiperbol.
“Tubuh Drupadi dibetot ke sana, digelandang kemari, seperti layang-layang yang sedang dimainkan”. “…..alun-alun yang semakin ramai dikunjungi rakyat yang berbondong-bondong datang dari mana-mana. Ratusan. Ribuan. Para lelaki terkesima”.
Usaha penelanjangan Drupadi terus dilakukan oleh Dursasana. Namun, setiap usaha yang dilakukan olehnya selalu gagal. Dursasana pun meminta bantuan dari para ksatria, tetapi mereka juga gagal. Bahkan, para lelaki yang hadir pun juga ikut menelanjangi Drupadi, tetapi mereka gagal. Kegagalan yang berulang-ulang tersebut semakin memperkuat balutan selendang atau kain pada tubuh Drupadi. Dengan segala kekuatan dan kesombongannya, usaha yang dilakukan oleh Dursasana dan para ksatria lainnya juga gagal. Kegagalan yang berulang dan kain Drupadi yang semakin rapat juga dibungkus dengan sarana retorika repetisi. Peristiwa kegagalan usaha yang dilakukan oleh para ksatria Kurawa yang berulangan-ulangan tersebut juga terlihat dalam gaya bahasa yang digunakan.
Gaya bahasa repetisi yang digunakan bukan semata-mata menyesuaikan peristiwa kegagalan yang berulang-ulang. Gaya repetisi yang muncul dalam bagian ini lebih difokuskan pada usaha mempertajam maksud dan menimbulkan efek tertentu. Efek tesebut berupa efek ketidakmampuan dan kekalahan dari setiap perbuatan jahat dan tidak beretika yang dilakukan oleh pelaku. “Semakin wanita itu berusaha ditelanjangi, semakin kain pnutupnya itu bertambah mengatup rapat. Udara mengumbar wangi dari gelar-gelar rumputan. Sarana retorika repetisi yang digunakan terlihat pada pengulangan kata “semakin”. Sarana retoris ini juga diikuti oleh sarana retoris yang lain yakni hiperbol.
Perpaduan antara dua sarana retoris tersebut dihadirkan untuk mendukung dan memperkuat situasi. Dengan terciptanya hal tersebut, kesan, dan efek yang termunculkan mampu memperkuat dan membungkus makna yang tercipta. Jika kehadiran sarana retoris tersebut diartikan, arti tersebut adalah usaha yang dilakukan atau sesuatu yang dilakukan selalu gagal jika sesuatu tersebut tidak benar atau salah. Kegagalan terus dialami jika usaha tersebut tidak sesuai dengan hukum, etika, dan melanggar nilai-nilai kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan usaha penelanjangan Drupadi.Sarana retoris repetisi juga muncul kembali pada bagian berikutnya. Gaya ini rupanya muncul untuk memperkuat makna bahwa usaha atau sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran universal akan selalu gagal. Hal ini terlihat dari upaya mempermalukan dan menelanjangi Drupadi yang gagal.
Peristiwa penelanjangan Drupadi merupakan simbol dari usaha untuk meruntuhkan dan mengalahkan nilai etika, moral, kebenaran, dan tata susila yang berlaku pada zamannya. Meskipun usaha itu dilakukan berbagai orang dan kelompok orang, usaha tersebut selalu gagal dan semakin memperkuat posisi kebenaran, moral, dan etika yang ingin dihancurkan. Hal ini tampak direspon dan diwujudkan melalui gaya bahasa repetisi. Berikut ini adalah kutipan hal yang menerangjelaskannya.
“Namun makin ditarik beramai-ramai persis adu tarik tambang, makin panjang dan panjang, tak habis juga kain yang melilit tubuhnya”. Gaya bahasa personifikasi juga dimanfaatkan dalam cerpen ini. Gaya bahasa tersebut masih memberikan gambaran tentang sosok Drupadi yang sedang ditelanjangi. Fisik dan keadaan Drupadi ketika berusaha dipermalukan oleh Drusasana, para ksatria, dan laki-laki cenderung menggunakan bahasa personifikasi. Hal ini dimaksudkan bahwa meskipun Drupadi ketika itu diam, tak bergerak, dan lemah, jiwa dan batin mengutuki perbuatan tersebut. Hal ini disimbolkan dengan selendang atau kain yang bergerak, udara yang berkeringat, dan diibaratkan dengan benteng yang melalap segala musuhnya.
Selain itu, suasana yang tercipta juga didukung oleh gaya bahasa personifikasi, seperti udara yang berkeringat. Kalimat ini menunjukkan bahwa suasana yang tercipta sungguh memilukan, sesak, dan penuh ketakutan sehingga udara yang ada disekitarnya menjadi gerah dan berubah. Gaya bahasa personifikasi ini mampu mendukung terciptanya suasana yang berkesesuaian dengan peristiwa yang berlaku. Dengan demikian, penggunaan gaya bahasa personifikasi tidak hanya untuk menciptakan efek puitis yang indah, tetapi juga mendukung suasana yang tercipta. Berikut ini adalah contoh kutipan yang membuktikan hal tersebut.
“Kain itu seolah terurai dan tubuh Drupadi memutar bagai gasing”. “Benteng yang menjulurkan lidah melahap musuh satu per satu. Udara berkeringat kental”.
Kutipan tersebut juga menunjukkan sarana retoris perbandingan, yakni dengan kata “bagai”. Kalimat-kalimat yang terdapat dalam cerpen ini juga banyak yang menggunakan gaya bahasa perbandingan yang dirangkai dengan gaya bahasa yang lain ataupun sebaliknya. Perumpamaan-perumpamaan yang muncul dalam kalimat-kalimat di cerpen ini memberikan interpretasi bahwa untuk menyatakan sesuatu yang lebih agar maksudnya “lebih padat”. Cerpen ini sengaja menggunakan bahasa perbandingan. Hal ini dimaksudkan agar nada dan ritme yang ada dalam kalimat mendukung konteks. Atau dengan kata lain, diksi yang digunakan diusahakan juga mendukung konteks peristiwa, maksud peristiwa, dan suasana. Berikut ini adalah kutipan yang dapat menerangjelaskan hal tersebut. Kutipan berikut ini membuktikan bahwa Drupadi tidak berhasil ditelanjangi dianggap sebagai pahlawan. Usaha penelanjangan Drupadi sendiri dapat disimbolkan sebagai usaha menghancurkan nilai etika, kebenaran, dan norma masyarakat ketika itu. Keberhasilan Drupadi dalam mengemban tugas tersebut dianggap sebagai pahlawan sehingga gaya bahasa yang muncul juga mengisyaratkan hal tersebut.
“Bagai seorang pahlawan, Drupadi dielu-elukan rakyat penontonya. Menyaksikan keadaan yang berbalik itu, Dursasana dan saudara-saudaranya hanya melongo”.
Gaya bahasa metafor yang muncul dalam cerpen ini pada bagian berikutnya dimaksudkan untuk memberikan tekanan pada suasana yang tercipta. Suasana yang tercipta tersebut menujukkan suasana yang relatif statis, diam, dan penuh ketenangan. Dalam suasana ketenangan tersebut terdapat pertentangan yang hebat dalam batin para pelaku. Selain itu, dengan metafor yang mendukung suasana ini juga terdapat suatu ajakan untuk merenungi kembali tentang hakikat hidup, eksistensi hidup, fungsi hidup dalam kerangka fungsi dari keberadaan setiap mahluk. Hal ini ditunjukkan oleh Puntadewa dalam suasana permainan dadu. Meskipun suasana tersebut sedikit menegangkan, efek yang muncul justru suasana yang relatif tenang.
Gaya bahasa metafor yang muncul mampu mendukung penciptaan efek yang tenang untuk perenungan dan pemikiran yang dalam bagi setiap ksatria yang hadir. Hal ini menunjukkan bahwa pengunaan dan redefinisi terhadap eksistensi manusia diperlukan dan dibutuhkan kembali. Kehadiran untuk memimikirkan ulang hal tersebut haruslah dalam suasana yang tenang batin dan lahirnya. Dalam ketenangan batin dan lahir tersebut sebenarnya terdapat pertentangan batiniah, epistemis, ideologis, dan hakiki dari dalam para pelakunya. Peristiwa permaian judi atau dadu dengan segala taruhannya adalah simbol dari ini semua. Dalam peristiwa tersebut ada ketenangan, tetapi hakikatnya adalah pertaruhan.
Kehadiran gaya metafor ini mampu menciptakan hal tersebut. Metafor sebagai sarana retorika teks mampu menempatkan kehadirannya dan tepat dalam penggunaannya. Berikut ini adalah kutipan yang menerangjelaskan hal tersebut. “Dunia ini cuma maya, apa salahnya menghibur diri sedikit dari kedahsyatan alam semesta, “guman Puntadewa sambil melempar dadu-dadu gading ke nampan perak, melakukan pembenaran diri-sendiri untuk menghibur tubuh yang fana itu”. Guna mendukung konteks kejadian dan suasana yang diinginkan oleh alur cerita, gaya bahasa metafor muncul disusul oleh gaya bahasa yang lain, misal gaya bahasa oksimoron. Bagian selanjutnya dalam cerpen ini di dominasi oleh gaya bahasa personifikasi. Meskipun gaya bahasa metafor muncul dan disusul dengan gaya bahasa oksimoron, personifikasi tetap lebih dominan. Hal ini menujukkan bahwa konteks memang peran penting dalam menyajikan cerita. Dalam keadaan malam yang tenang, hati Drupadi gelisah. Kegelisahan ini digambarkan dengan melukiskan dan menghidupkan benda mati agar suasana hening dan tenang tersebut terasa hidup dan berdialog dengan Drupadi. Meskipun hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat antitesis dari suasana, tetapi gaya bahasa antitesis tidak ditemukan pada bagian ini.
“Sementara itu di peraduannya, Drupadi tidak dapat tidur meski keadaan sekelilinginya tentram. Serangga malam menghembuskan napas hangat ke kamar tidurnya. Rembulan menghiburnya dengan mengirim perahu malam dan berlayarlah sejenak Drupadi menyibak langit biru jernih dengan kerdipan bintang-bintang yang merayunya untuk tak kembali kepada hidup yang tidak sepertinya itu. Setiap kali Drupadi menjenguk bumi, tak terasa rembulan menghadang pandanganya dengan segumpal awan tebal. Sang Dewi tidak menghiraukannya, meloncat dia turun tergesa-gesa. Mondar-mandir di kamar tidurnya, gelisah dia. Berbuncah perasaanya bagai kawah Gunung Garubah yang hutannya belum terjamah. Begitu resahnya sampai Dewi Drupadi berubah menjadi macam kumbang. Legam bagai pekat malam, binatang yang suka menyingai itu meloncat dari ranjang. Berlari dia keluar kamar. Bintang-bintang mengintip mencoba melunturkan malam”.
Kutipan tersebut juga menunjukkan beberapa gaya bahasa. Gaya bahasa oksimoron ditunjukkan pada kalimat pertama. Kalimat pertama tersebut, selain menggunakan gaya bahasa metafor dengan kata “peraduannya”, dapat dikatakan juga gaya bahasa okisimoran dengan mempertentangkan keadaan yang ada, yakni ketenangan dan ketidaktentramaan malam dengan kekacauan hati Drupadi. Memanusiakan benda mati dan binatang terlihat juga dalam kutipan tersebut. Kata-kata seperti “menghempaskan, menghibur, merayu, mengintip, dan menghadang” adalah gaya bahasa personifikasi. Gaya metafor juga ditemukan dalam kutipan tersebut. Seperti munculnya penyebutan sang dewi bagi Drupadi. Gaya bahasa hiperbol juga terdapat dalam cerpen ini. Hiperbol muncul juga sesuai dengan konteks peristiwa, yakni melebih-lebihkan peristiwa yang terjadi. Hal ini kelihatan ketika para ksatria Kurawa dan para lelaki tidak berhasil menarik kain yang mrembalut tubuh Drupadi. Mereka dilukiskan seperti kehilangan harga diri dan disoraki rakyatnya. Mereka juga mengatakan bahwa rakyat adalah pengkhianat bagi mereka. Pada puncaknya, mereka dilukiskan seperti memakan duri dalam tenggorokan. Bahkan, meja dan kursi yang ada berubah menjadi api. Tiang-tiang pendapa digambarkan meleleh.
Lukisan yang berlebihan tersebut hadir untuk memperkuat dan mengambil asosiasi dari peristiwa yang terjadi. Rasa malu dan kegagalan para ksatria Kurawa untuk mempermalukan Drupadi harus dibayar dengan “rasa sakit”. Hal ini diibaratkan dengan tenggorokan yang dipenuhi duri. Kesombongan, keangkuhan, dan kekuatan yang semula ganas yang dimiliki ksatria Kurawa, terutama Dursasana, harus hilang seperti tiang-tiang pendapa yang kuat meleleh. Tiang pendapa Astina Pura yang kuat adalah simbol dari kekuatan dan kekuasaan Kurawa. Akan tetapi, tiang-tiang tersebut akhirnya hancur dengan cara meleleh. Dengan demikian, melelehnya tiang pendapa dan meja kursi menjadi api tersebut adalah simbol dari peristiwa kerberhasilan Drupadi dan kegagalan pihak ksatria Kurawa. Berikut ini adalah kutipan yang menujukkan hal tersebut.
“Para ksatria Kurawa lainnya kelimpungan merasa tenggorokannya dicocoki duri. Meja kursi berubah jadi api. Tiang-tiang pendapa meleleh”.
Hiperbol dari kejadian kegagalan tersebut tidak hanya melukiskan pihak Kurawa, tetapi juga keadaan dalam alun-alun. Ribuan rakyat yang menyaksikan peristiwa tersebut juga dilukiskan secara hiperbol. Hal ini terlihat dari kemampuan Drupadi yang bangkit yang membentuk “gumpalan hitam menganga”. Hal itu diinterpretasikan sebagai suasana yang mendukung “kebangkitan” Drupadi akibat dari peristiwa tersebut. Berikut adalah kutipannya.“Sorak-sorai rakyat Kerajaan Astina sambil mengacung-acungkan tangannya mengelu-elukan Drupadi yang tegak berdiri, mampu menghimpun awan-gemawan di angkasa untuk membentuk gumpalan hitam yang menganga”.
Polisemi juga muncul dalam cerpen ini. Polisemi ini terjadi untuk melukiskan kehancuran dan kehilangan martabat dan kerhomatan para ksatria Kurawa. Kata yang digunakan untuk mengantikan kehilangan dan kehancuran martabat dan kehormatan ksatria Kurawa adalah kata “jatuh”. Polisemi tersebut diikuti dengan situasi kemarahan Dursasana. Lukisan kemarahan dari Dursasana sangat hiperbol. Kiasan-kiasan yang digunakan adalah kata-kata seperti “ribuan nyiur, mengapung menjadi pulau, masa kini, masa datang, tangan-tangan”. Kehadiran bahasa kiasan seperti “ribuan nyiur” tersebut digunakan untuk menciptakan efek yang kuat dari kemarahan Dursasana. Hal ini mendukung makna bahwa kemarahan Dursasana adalah kemarahan yang luar biasa dan besar. Rasa malu dan kekalahannya adalah hal yang luar biasa. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut. “Seketika martabat Dursasana, Katomama, dan saudara-saudaanya, jatuh sudah. “Rakyat pengkhianat!” teriak Dursasana sambil mencabut keris dan melemparkannya ke arah penonton yang terus bersorak-sorak memuja Drupadi. Gelombang pasang menghembaskan pantai dari ribuan nyiur yang buahnya mengapung menjadi pulau. Hutan Astina di masa kini, hutan Amata di masa datang, diolah oleh tangan-tangan yang tidak diketahui datang dari mana”.
Dominasi gaya hiperbol dan personifikasi tampak dalam bagian terakhir dari cerpen ini. Hal ini menunjukkan bahwa cerpen ini menciptakan kekuatan efek situasi untuk mendukung makna yang ada. Kata-kata seperti “pahlawan sejati”, “menunjuk”, dan “hampa” memberikan gambaran hal tersebut. Bagian terakhir ini adalah rangkaian penciptaan situasi. Situasi yang digambarkan adalah situasi yang hampa dan hambar. Ketiadaan hidup dan keheningan segala hiruk-pikuk telah berakhir. Akhir dari kekacauan tersebut sangat cepat dan singkat. Hal ini terlihat dari bangkit Drupadi meninggalkan alun-alun dan seluruh orang dan ksatria yang ada di situ menjadi patung. Untuk melukiskan suasana ini digunakan gaya bahasa litotes, hiperbol, dan personifikasi.Gaya bahasa hiperbol tampak dalam kata-kata ”terurai terus memanjang tak ada habisnya” dan “alun-alun menjadi seribu patung”.
Gaya personifikasi ditunjukkan dengan kalimat “waktu telah menunjuk jarum jam”. Personifikasi ditunjukkan dengan klausa seperti “gumpalan hitam yang menganga itu bertindak”. Kehadiran gaya bahasa itu secara tidak langsung telah menciptakan efek dari situasi akhir. Berikut ini adalah kutipan situasi akhir dari cerpen ini. “Seperti seorang pahlawan sejati, tak hendak berpikir berulang-ulang untuk menepis segala gegap-gempita yang menyanjung itu, dari mana pun datangnya, Drupadi terus berjalan entah dengan kain yang melilit tubuhnya, terurai terus memanjang tak ada habisnya. Waktu telah menunjuk pada jarum supaya begulir, gumpalan awan hitam yang menganga itu bertindak dengan penuh rasa baktinya denagn menyedot seluruh darah daging yang terhampa tanpa pengawal di alun-alun itu. Para ksatria Kurawa yang ditinggalkan, juga ribuan rakyat jelata yang menjadi saksi, tiba-tiba berubah jadi batu. Alun-alun telah menjadi museum seribu batu”.
Dari keseluruhan gaya bahasa yang muncul seperti, perumpaman, perbandingan, personifikasi, metafor, litotes, repetisi, polisemi, oksimoron, dan hiperbol, gaya bahasa tersebut mendukung penciptaan situasi, suasana, dan peristiwa yang terjadi. Selain itu, sarana retoris tersebut juga mampu menciptakan efek dan kesan yang mendukung dan membungkus penciptaan makna. Secara keseluruhan makna yang terhubungan dengan gaya bahasa adalah penciptaan antara dunia pemikiran, filsafat, epistemis, dan mistis. Dari gaya yang muncul, juga ditemukan situasi ataupun efek yang berusaha mengarahkan pembicaraan pada perenungan mistis, sufistik, dan ideologis terhadap hakikat manusia melalui sarana peristiwa dan pelakunya. Selain itu, penggunaan gaya bahasa tersebut juga mengalegorikan satu kejadian hingga memunculkan anggap bahwa korban itu (Drupadi) adalah pahlawan sejati.
4. Penutup
Kehadiran gaya bahasa atau sarana retoris seperti perbandingan, perumpaman, metafor, litotes, oksimoron, hiperbol, personifikasi, repetisi, dan polisemi memperlihatkan hubungan yang erat terhadap efek, situasi, dan peristiwa. Melalui gaya bahasa, cerpen ini mengarahkan kepada pembaca untuk melakukan perenungan terhadap hakikat kehadiran pelakunya. Selain itu, lebih khususnya, gaya bahasa dalam cerpen ini memberikan arah dan langkah untuk memikirkan ulang hal-hal yang esensial, hakiki, epistemis, mistis, dan juga sufistik terhadap nilai dan makna dibalik realitas dan peristiwa. Hal ini dialegorikan dengan kehadiran dan peristiwa penyeretan Drupadi dan kekalahan ksatria Pandawa dalam permainan judi dengan ksatria Kurawa.
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 1987. “Theory of The Text” dalam Unitying The Text: A Post-Structuralist Reader dalam Robert Young. London dan New York: Routledge and Kegan Paul.
Danarto. 2001. “Alun-Alun Seribu Patung” dalam Setangkai Melati Di Sayap Jibril. Yogyakarta: Bentang.
Fowier, Roger. 1987. Modern Critical Terms. London and New York: Routledge & Kegan Paul.
Junus, Umar. 1989. Stilistika: Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Freedom Institute
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra: Beberapa Altenatif. Yogyakarta: Hanindita.
Turner, G.W. 1977. Stylistics. Harmondsworth: Penguin Books.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar