1.
Pendahuluan
Dalam introduksi awal perkuliahan
tentang analisis wacana, telah dipahami bahwa Analisis wacana (selanjutnya
disingkat AW) merupakan kajian kebahasaan (linguistik) yang difokuskan pada unit bahasa khusus yang
lebih tinggi dari kalimat ( lht.Schiffrin, 1987:1; dalam Syukur, 2007:24-25) Wacana diartikan sebagai “organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa
yang berwujud percakapan (lisan) atau teks-teks tertulis” (lht.Stubbs, 1983: 10; Crystal, 1985:96) Penerapan AW yang diangkat Soseno
Kartomihardjo (1993:21-50) pada dasarnya mau menegaskan dimensi aksiologis
analisis wacana, di samping dimensi ontologis dan epistemologisnya sebagai
sebuah disiplin ilmu. Dengan kata lain, apa yang dibahas dalam tulisan
Kartomihardjo ini sesungguhnya menjadi sebuah argumentasi yang tidak
terbantahkan tentang penting dan manfaat AW dalam kehidupan manusia terutama
dalam penggunaan dan pemaknaan bahasa.
Pelbagai bentuk dan ekspresi bahasa yang
digunakan dalam praksis kehidupan, terbukti tidak dapat dijelaskan secara
tuntas dengan kajian linguistik seperti
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Kajian dan AW hadir untuk
memberikan penjelasan terhadap masalah bahasa yang tidak terpecahkan dalam
kajian linguistik sebelumnya. Analisis wacana dalam penerapannya pada dasarnya
terkait erat dengan masalah pragmatik.
Mengingat batasan Wacana sebagai tataran
linguistik yang melampaui kalimat, proses analisis wacana dengan sendirinya
berbeda dibandingkan dengan proses menganalisis kalimat. Analisis kalimat
(sintaksis) diarahkan pada upaya memaknai kalimat dari aspek linguistiknya
(menganalisis unsur-unsur pembentuk kalimat) berdasarkan kategori, fungsi, dan
peran kata yang membentuk kalimat. Analisis kalimat tidak menyertakan konteks,
sedangkan Analisis wacana menuntut kontkes sebagai unsur yang menentukan
kebenaran makna sebuah tuturan.
2.
Wujud Wacana
2.1. Wacana Lisan dan Tulis
Berdasarkan saluran yang digunakan dalam
berkomunikasi, wacana dibedakan atas wacana tulis dan wacana lisan. Wacana
lisan berbeda dari wacana tulis. Wacana lisan cenderung kurang terstruktur
(gramatikal), penataan subordinatif lebih sedikit, jarang menggunakan piranti
hubung (alat kohesi), frasa benda tidak panjang, dan berstruktur topik-komen.
Sebaliknya, wacana tulis cenderung gramatikal, penataan subordinatif lebih
banyak, menggunakan piranti hubung, frasa benda panjang, dan berstruktur
subjek-predikat.
Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat
pembicaraan dalam komunikasi, ada tiga jenis wacana, yaitu wacana monolog,
dialog, dan polilog. Bila dalam suatu komunikasi hanya ada satu pembicara dan
tidak ada balikan langsung dari peserta yang lain, maka wacana yang dihasilkan
disebut monolog. Dengan demikian, pembicara tidak berganti peran sebagai
pendengar. Bila peserta dalam komunikasi itu dua orang dan terjadi pergantian
peran (dari pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya), maka wacana yang
dibentuknya disebut dialog. Jika peserta dalam komunikasi lebih dari dua orang
dan terjadi pergantian peran, maka wacana yang dihasilkan disebut polilog.
Dilihat dari sudut pandang tujuan berkomunikasi,
dikenal ada wacana dekripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, dan narasi.
Wacana deskripsi bertujuan membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu
hal pada penerima pesan. Wacana
eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima agar yang
bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan
logika yang harus diikuti oleh penerima pesan.. Wacana argumentasi bertujuan
mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan
didasarkan pada pertimbangan logika. Wacana persuasi bertujuan mempengaruhi
penerima pesan agar melakukan tindakan sesuai yang diharapkan penyampai pesan.
Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Oleh karena itu,
unsur-unsur yang biasa ada dalam narasi adalah unsur waktu.
3. Makna dalam AW terikat Konteks
Ilustrasi
yang diangkat Kartamihardjo dalam tulisannyan pada dasarnya mau menjelaskan
betapa sebuah wacana dalam pemaknaannya bisa bervariasi karena bergantung dan
ditentukan konteks yang menyertainya. Ujaran: “Mobil saya mogok” dalam kajian linguistik (sintaksis) termasuk
sebuah kalimat berita yang berisi informasi. Dalam kajian wacana atau AW ujaran
“ Mobil saya mogok” dapat berarti
sebagai pertanyaan dari pemilik kendaraan tentang tempat penjualan bahan bakar
dan bengkel perbaikan. Dalam konteks masyarakat Amerika ujaran itu merujuk pada
kondisi kendaraan kehabisan bahan bakar dan kondisi kendaraan yang rusak.
Tangapan mitratutur untuk ujaran itu berarti pemilik kendaraan mencari tempat
pengisian bahan bakar yang sekaligus tempat reparasi. Dalam konteks Indonesia
tuturan itu, dapat saja dimaknai sebagai bentuk atau cara meminta bantuan
kepada mitra tutur yang dapat diketahui dari
rumusan tutuaran mitratuturnya: “didorong,
ya Pak?” Jika konteks tuturan itu terjadi di daerah terpencil yang memang
tidak menyediakan bahan bakar maka kemungkinan pembicara mendapatkan tanggapan
dari lawan mitratutur dalam tuturan:”Aku
bisa pergi membelinya di kota Pak!”
Contoh
lain tuturan si Boy berikut
Si Boy: “Semalam ibuku masuk rumah
sakit”
Tuturan
ini, jika tidak diketahui konteksnya hanya bisa dimaknai sebagai sebuah kalimat
berita yang menginformasikan ekpada mitratutur bahwa ibu pembicara malam
sebelumnya masuk ke rumah sakit. Jika ujaran Boy ini diujarkan ketika gurunya marah
saat pelajaran karena Boy kelihatan mengantuk, maka ujaran Boy menjadi peredam
kemarahan guru karena Boy mengantuk karena semalam ia menemani ibunya ke rumah
sakit. Jika tuturan itu sisampaikan Boy kepada gurunya saat semua temannya
mengumpulkan tugas, pekerjaan rumah dan Boy tidak mengerjakan tugasnya maka
ujaran itu merupakan bentuk perhomnan keringanan agar tugasnya dikumpulkan
demikian. Kalau ujran itu diujarkan Boy kepada teman-temannya, setelah
pelajaran ujaran itu dapat bermakna sebagai ajakan untuk menjenguk ibunya di
rumah sakit. Kalau ujaran itu disampaikan Boy saat berhadapan dengan penagih
rekening listrik, maka ujaran itu berarti mau mengatakan bahwa Boy tidak
memiliki uang untuk melunasi rekening listrik
Wujud Tuturan
|
Konteksnya
|
Maknanya
|
Semalam
Ibuku masuk rumah sakit
|
Boy
dimarahi gurunya karena ia ngantuk saat pelajaran berlangsung
|
Meredam kemarahan sang guru
|
Boy
tidak mengumpulkan tugas, pekerjaan rumah
|
Memohon
agar diberi kelonggaran untuk menunda mengumpulkan tugas
|
|
Boy
bercerita kepada temannya setelah pelajaran berakhir dan melintas di dekat
rumah sakit
|
Mengajak
temannya untuk menjenguk ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit
|
|
Boy
mengujarkannya saat berhadapan dengan petugas PLN yang datang menagih
rekening listrik
|
Memohon
kepada petugas PLN untuk dibebaskan dari denda karena keterlambatan membayar;
Boy tidak memilki uang untuk melunasi
|
|
Boy
mengujarkannya saat temannya mengajaknya mengikuti kegiatan piknik ke luar
kota
|
Menolak
ajakan untuk mengikuti teman berpiknik ke luar kota
|
|
Boy
mengujarkannya ketika berhadapan dengan penyelidik dari kepolisian
karena rumah Boy kemasukan pencuri
|
Alasan
mengapa rumahnya kemasukan pencuri.
|
4.
Konteks Situasional
Konteks dapat dibatasi
sebagai segala sesutau yang yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan
atau situasi penggunaan bahasa. Secara garis besar, konteks wacana dibedakan
atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Konteks Linguistik mencakup fonologi
dan fonemik – melibatkan aspek hentian atau kesenyapan bunyi, intonasi,
tekanan, nada; morfologi, dan sintaksis
– melibatkan aspek perujukan, pengguguran, pautan leksikal, penggantian dan kata hubung; semantik – melibatkan hubungan sebab-akibat,
sebab-tujuan, sebab-hasil, latar-kesimpulan, perbandingan. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau
bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat
disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa,
seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan
peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog,
monolog, atau polilog). Dalam berbahasa pengguna bahasa dituntut
untuk memperhatikan konteks secara tepat dalam rangka menentukan makna secara
tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam
menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik
dan konteks ekstralinguistik.
Konteks ekstralinguistik
adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa yang mencakup praanggapan,
partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan
adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi
berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar
adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah
ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah
bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.
Dalam AW
konteks mencakup seluruh lingkungan baik
itu lingkungan tutur maupun lingkungan teks. Berkaitan dengan itu penafsiran
teks harus diikuti dengan pemahanan tentang konteks situasi dan konteks budaya.
Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan
konteks budaya (Buttetal., 1999:11). Mengkaji bahasa secara fungsional pada
hakikatnya mengkaji tiga aspek yang saling terkait, yakni teks, konteks situasi
(context of situation), dan konteks
budaya (context of culture).
Pandangan Halliday tersebut dieksplisitkan oleh
Fairclough dalam memandang wacana dan analisis wacana. Wacana dalam pandangan
Fairclough harus dilihat secara simultan sebagai tiga serangkai yang dialogis
(i) teks-teks bahasa, baik lisan atau tulisan, (ii) praksis kewacanaan, yaitu
produksi dan interpretasi teks, dan (iii) praksis sosiokultural, yakni
perubahan-perubahan masyarakat, institusi, kebudayaan, dan sebagainya yang
menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Ketiga unsur itu menurut Fairclough
disebut dengan dimensi wacana. Menganalisis wacana hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi
wacana tersebut secara integral.
Persoalan
konteks nonlinguistik atau ekstra linguistik ini kemudian dirumuskan Dell Hymes
dalam sebuah akronim SPEAKING ( Setting –
tempat/situasi formal atau tidak formal; Participants
– pemeran yang terlibat (penutur, pendengar, penonton, penulis, pembaca); Ends,
purpose, goals – tujuan akan menentukan corak perlakuan dan akan menghasilkan
kesan daripada tujuan tersebut; Act-sequence
– giliran bertutur tidak ditentukan tetapi difahami masa giliran diambil; Keys – tone or spirit of act; cara yang
dipengaruhi situasi; Instrumentalities
– bentuk wacana lisan atau bertulis; Norms
– norma kebiasaan atau peraturan dalam penggunaan bahasa dari segi pemilihan
kata, susunan kata, intonasi; dan Genre
– jenis / ragam wacana yang melibatkan struktur, gaya dan isi yang tersendiri.
Sasaran utama dalam
AW bukan pada struktur kalimat
tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks
linguistik ataupun konteks ekstralinguistik. Konteks dikatakan
penting dalam AW karena (1)
dengan konteks mudah mencari acuan, yaitu pembentukan acuan
berdasarkan konteks linguistik (2) konteks dapat menentukan
maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks
wancana (3) konteks
bermanfaat dalam mencari bentuk tidak
terujar yaitu bentuk yang memiliki unsur tidak terujar atau bentuk eliptis
adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks.
5.
Persoalan Interpretasi
Dalam AW berlaku
dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan prinsip analogi. Prinsip
interpretasi lokal dalam konteks AW merujuk pada wujud wacana atau teks yang
memiliki struktur tertentu yang umumnya bermakna karena wacana itu terikat oleh
unsur kesatuan bentuk dan kesatuan makna yang dalam bahasa disebut sebagai
piranti kohesi dan koherensi. Dalam AW
konteks yang dipilih hanyalah yang mendukung atau dinilai relevan dalam
proses analisis. Konteks nonlinguistik yang merupakan konteks lokal tidak hanya
berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan
partisipan.
Dalam prinsip ini hal yang diperhitungkan berkaitan
dengan kedekatan keseluruhan latar wacana itu (baik berkaitan dengan tempat,
waktu, maupun suasana). Prinsip interpretasi analogi adalah
prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama
atau yang sesuai. Dengan interpretasi analogi itu, analis sudah dapat memahami
wacana dengan konteks yang relevan saja. Hal itu berarti bahwa analis tidak harus
memperhitungkan semua konteks wancana.
6.
Persoalan Skemata; Pengetahuan tentang Realitas
Ketepatan interpretasi dalam Analisis Wacana sangat
bergantung pada Skemata. Skemata adalah pengetahuan yang
terkemas secara sistematis dalam ingatan manusia. Skemata itu memiliki struktur
pengendalian, yakni cara pengaktifan skemata sesuai dengan kebutuhan. Ada dua
cara yang disebut pengaktifan dalam struktur itu, yakni (1) cara pengaktifan
dari atas ke bawah dan (2) cara pengaktifan dari bawah ke atas. Pengaktifan
atas ke bawah adalah proses pengendalian skemata dari konsep ke data atau dari
keutuhan ke bagian. Pengaktifan bawah ke atas adalah proses pengendalian
skemata dari data ke konsep atau dari bagian ke keutuhan.
Skemata berfungsi baik bagi pembaca/pendengar
wacana maupun bagi analis wacana. Bagi pendengar/pembaca, skemata berfungsi
untuk memahami wacana. Bagi analis wacana, di samping berfungsi untuk memahami
wacana, skemata juga berfungsi untuk melakukan analisis berbagai aspek wacana:
elemen wacana, struktur wacana, acuan kewacanaan, koherensi dan kohesi wacana,
dan lain-lain.
Kegagalan pemahaman wacana terjadi karena tiga
kemungkinan. Pertama, pendengar/pembaca mungkin tidak mempunyai skemata yang
sesuai dengan teks yang dihadapinya. Kedua, pendengar/pembaca mungkin sudah
mempunyai skemata yang sesuai, tetapi petunjuk-petunjuk yang disajikan oleb
penulis tidak cukup memberikan saran tentang skemata yang dibutuhkan. Ketiga,
pembaca, mungkin mendapatkan penafsiran wacana secara tetap sehingga gagal
memahami maksud penutur.
7.
Persoalan Pragmatik: (Implikatur, Praanggapan,
Inferensi, Referensi)
Istilah Implikatur,
Praanggapan, Inferensi, dan Referensi merupakan istilah yang selalu dikaitkan
dengan kajian pragmatik. Secara etimologis kata
‘implikatur’ dibentuk dari kata bahasa Latin im- berarti di dalam plicare
berarti melipat di dalam. Implikasi
berarti menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu yang lain. Dalam konteks percakapan
atau tuturan implikatur berarti sesuatu yang tersembunyi di dalam tuturan atau
percakapan yang dinyatakan. Jelasnya, implikatur berarti tuturan yang
tersembunyi.
“Baru hari ini Ani terlambat
masuk kuliah”,
Bagian
tuturan yang tersembunyi di dalam tuturan seperti ini adalah “sebelumnya Ani
tidak pernah terlambat masuk kuliah”. Ani tidak pernah terlambat merupakan
implikasi dari tuturan “Baru hari ini Ani terlambat masuk kuliah”. Implikatur
pada dasarnya merupakan proses inferensi pernyataan berdasarkan pernyataan yang
dituturkan. Proses inferensi penyataan dalam implikatur mengandaikan pelibat tutur memiliki keangka referensi atau
skemata yang sama berkaitan dengan wacana yang yang dituturkan. Jika tidak, tuturan penutur yang semula
berimplikasi tidak akan dimaknai sebagai sesuatu yang berimplikasi bagi lawan
tuturnya. Demikian sebaliknya jika tuturan mitra tutur tidak dianggap sebagai
implikatur dari apa yang disampaikan sebelumnya maka dua pernyataan itu menjadi
seakan-akan tidak berhubungan, tidak bermakna.
Praanggapan dapat
diartikan sebagai pengetahuan bersama yang dimiliki antara pembicara dan
pendengar atau antara penulis dan pembaca. Sumber praanggapan adalah
pembicara/penulis karena pembicara atau penulis itulah yang berpraanngapan
bahawa pendengar atau pembaca memahami
apa yang dipranggapan.
Contoh: A: Kemarin Paman baru tiba dari Yogjakarta
B: Wah, dia pasti membawa hadiah seperti
tahun lalu.
Dalam dialog ini A berpraanggpan bahwa B mengetahui
atau minimal masih mengingat apa yang menjadi kebiasaan paman yaitu membawa
hadiah.
Inferensi adalah
kesimpulan yang dibuat sendiri oleh pendengar atau pembaca berdasarkan
informasi yang didapatnya dari pembicara atau penulis.
Contoh A: Kapan Andri berangkat ke Jakarta?
B: Setelah mengikuti Upacara HUT Kemedekaan
ke-67
Dari jawaban B itu, A bisa menarik kesimpulan bahwa Andri berangkat ke Jakarta tepatnya 17
Agustus 2012 (dengan pengandaian A masing ingat dan mengetahui persis bahwa
upacara apel HUT kemederkaan itu terjadi 17 Agustus. Inferensi atau kesimpulan
yang yang dilakukan A tidak selalu otomatis karena sangat bergantung pada pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam kasus
tertentu inferensi sebagai relasi yang non-otomatis. Inferensi itu dilakukan
pendengar atau pembaca karena menyadari adanya wacana/teks yang tidak lengkap.
Semakin tidak lengkap sebuah wacana semakin
banyak usaha pendengar, pembaca melakukan inferensi. Dalam kegiatan AW
hal-hal seperti ini penting untuk diperhatikan.
Referensi dalam
konteks AW merujuk pada benda, binatang,
orang yang dimaksudkan pembcara/penulis. Tugas pendengar atau pembaca adalah
mengindetifikasi apa yang menjadi rujukan pembicara dalam ujaran/teksnya.
Contoh: Paman membeli sebuah sepeda (referensinya
sepeda sebagai benda)
8.Analisis Kohesi dan Koherensi
Seperti yang disinggung
pada persoalan interpretasi (butir 5) masalah kohesi dan koherensi bertalian
dengan praktik analisis wacana.
Persoalan kohesi dan koherensi
sebuah teks menjadi karateristik
yang dipersyaratkan sebuah teks.
Selain memenuhi syarat kohesi dan
koherensi sebuah teks juga harus bermakna (memiki tujuan atau alasan
penglahirannya). Kebermaknaan sebuah teks juga ditentukan oleh bagaimana teks itu dipahami, berkaitan muatan
inforamsi yang ditawarkan.
Beaugrande dan Dressler
(1986:3-11) merumuskan persoalan kohesi dan koherensi ini dalam kaitannya
dengan kriteria sebuah teks yang harus memenuhi tujuh syarat wajib untuk
sesuatu yang dikategorikan sebagi teks yaitu kohesi, koherensi, bertujuan,
dapat diterima, memuat informasi, ada konteks situasi yang menyertai
penglahirannya, dan berkaitan dengan teks yang lain. Batasan kohesi menurut Alwi (1998:484)
adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain
dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang koheren. Konsep kohesi berkenaan dengan hubungan bentuk dan koherensi
berkenaan dengan hubungan
makna. Relasi adalah hubungan antara konsep yang muncul bersama-sama dalam
dunia tekstual.
***
Daftar
Rujukan
Alwi, H., Dardjowidjojo, D., Lapoliwa, H., &
Moeliono, A.M. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi kedua.
Jakarta: Dep. P dan K
Republik Indonesia.
Beaugrande, R.A. de & W.U. Dressler
1986. Introduction to Text Linguistics. Third Edition. Harlow-Essex:
Longman Group Limited.
Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and
Phonetics. Third edition. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Fairclough, N.
1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.
Harlow-
Halliday, M.A.K.
1985/1994. An Introductionto Functional Grammar. London: Edward Arnold
Publishers Ltd.
Halliday, M.A.K.
& Hasan, R. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam
Pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan oleh BaroriTou. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Kartomihardjo,
Soeseno. 1993. “Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana” dalam
PELLBA 6. Yogyakarta: Kanisius.
Schiffrin,
Deborah. 2007. Ancangan Kajian Waca.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Stubbs, Michael.
1984. Discourse Analisis: The Sociolinguistic Analisis of Language.
Oxford: Basil Blackwell Publisher.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar