1. Catatan Awal
Masalah
Gender dan Feminisme yang dijadikan judul dalam tulisan ini sesungguhnya berkaitan dengan persoalan Sosiolinguistik berkaitan dengan bahasa, gender, dan seksualitas. Makalah ini sesungguhnya
mengangkat masalah yang sama hanya dalam perspektif dan sisi tilik yang
berbeda. Berbeda, karena problem gender, feminisme yang akan diuraikan dalam
tulisan ini dkaitkan dengan karya sastra berbentuk cerita pendek (cerpen).
2.
Duduk Persoalan
“Maukah Kau Menghapus Bekas Bibibirnya,
di Bibirku dengan Bibirmu?” adalah judul panjang untuk sebuah cerita pendek.
Cerita pendek ini merupakan karya Hamsad
Rangkuti yang pernah dipublikasikan Harian Kompas dan terpilih
menjadi salah satu cerpen terbaik versi Kompas tahun 1998/1999.
Sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas, cerpen ini dimuat di dalam Derabat
buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas tahun 1999. Pertanyaan mendasar yang
harus dikedepankan sebelum berbicara panjang lebar tentang problem gender dan
feminisme di dalam cerpen ini adalah
apakah cerpen Hamsad Rangkuti ini memuat masalah gender dan bertalian dengan
feminisme? Untuk menjawab pertanyaan pokok ini, salah satu cara yang ditempuh
adalah dengan cara menafsirkan teks itu
sebagai sebuah tanda yang memberi pesan dan makna. Ini berarti memerlukan jasa
dan cara pandang kajian semiotik dan hermeneutik.
3.
Gender dan Feminisme
Gender adalah
perbedaan peluang, peran, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan
sebagai hasil konstruksi sosial dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Gender = sociological term (sphare), Sex = biological term (sphare).
Gen : inti kromosom dominan dari laki-laki atau perempuan menentukan jenis
kelamin anaknya. Jadi gender merupakan konsep tentang sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural
yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Ciri dari sifat itu sendiri
merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Istilah gender merupakan
rekayasa sosial, tidak bersifat universal tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat,
golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Seks sama
dengan jenis kelamin, mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan
laki-laki; dibawa sejak lahir dan tidak bisa diubah. Seks atau jenis
kelamin secara biologis bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara
laki-laki dan perempuan), natural dibawa sejak lahir dan melekat pada sebagai
kodrat (Wareing, 2007:105-107; Fakih, 2012:7-12; Protei, 2005: 237-240). Melalui penentuan
jenis kelamin seseorang disebut berjenis kelamin laki-laki dan berjenis
kelamin perempuan yang ditandai dengan ciri fisik yang berbeda yang tidak
bisa dipertukarkan. Kesalahan pemahaman
akan konsep gender seringkali muncul, ketika konsep gender yang
merupakan rekayasa sosial budaya direduksi sebagai “kodrat”. Reduksi
yang salah ini mewujud dalam sikap menomorduakan kaum perempuan.
Feminisme bukanlah wacana baru karena pembicaraan feminisme telah mewarnai pelbagai diskusi
manusia dalam pelbagai ranah kehidupan. Feminisme telah menjadi sebuah narasi
besar yang mulai mewarnai jagat pemikiran manusia mulai abad ke-20. Ide-ide
feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk
Perempuan pada tahun 1975–1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam
berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun
lokal.
Kutha Ratna (2007: 184) dalam Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra mendefinisikan feminisme secara etimologis berasal
dari kata femme (woman), yang berarti perempuan (tunggal) yang
bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas
sosial. Dalam teori-teori sastra
kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh
dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan
sama dengan kaum laki-laki. Melalui penjelasan ini dijelaskan bahwa kaum
perempuan merasa tidak disejajarkan dengan laki-laki sehingga melahirkan
keinginan kesetaraan gender.
Dominasi laki-laki terhadap wanita, telah mempengaruhi
kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan konvensi sastra sering didominasi
oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita selalu berada pada posisi bejuang
terus-menerus ke arah kesetaraan gender; (2) penulis laki-laki sering berat
sebelah, sehingga menganggap wanita adalah objek fantastis yang menarik; (3)
wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi
tindak asusila, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita
pada posisi lemah.
Untuk meneliti karya sastra dari aspek feminis, peneliti
perlu membaca teks sebagai wanita (reading a woman) dalam istilah
Culler. Uraian di atas menjelaskan bahwa perlunya pembaca misalnya laki-laki
menempatkan diri sebagai wanita agar aspek feminisme dalam karya sastra dapat
dirasakan. Harus diakui bahwa perempuan
punya tempat tersendiri dalam karya sastra yang menempatkannya pada nilai-nilai
kultural. Karya sastra tidak hanya menyajikan kekerasasan maupun berusaha
menjadikan perempuan sebagai objek. Pembicaraan tentang perempuan dari segi
teori feminis akan melibatkan masalah gender. Analisis feminis pasti akan
mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak,
dengan kata lain tuntutan emansipasi.
4.
Persoalan Gender dan Feminis dalam
Cerpen Hamsad Rangkuti
Perosalan gender dan feminisme hampir ditemukan pada
keseluruhan cerpen ini. Judul cerpen dan bagian awal cerpen sudah menggambarkan
posisi tokoh perempuan sebagai tokoh yang tidak berdaya. Judul Cerpen “Maukah
Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu?” Judul ini diambil dari penggalan dialog tokoh
perempuan dengan tokoh lain (laki-laki) dalam hal ini Hamsad Rangkuti sendiri.
Kutipan dialognya sebagai berikut:
"Ternyata
tidak segampang itu membuang segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang
tak bisa dibuang begitu saja." dia diam sejenak, memandang bercak hitam di
kejauhan samudera. Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam:
"Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." dia
berpaling ke arahku. Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan agak lama mata itu
memandang dalam tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas
bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu.
Judul cerpen
Hamsad Rangkuti ini menggambarkan
ketidakberdayaan tokoh perempuan berkitan dengan dengan situasi yang telah
menimpa dirinya sebagai perempuan. Pertanyaan tokoh perempuan yang dijadikan judul ini menggambarkan
ketergantungan tokoh perempuan pada laki-laki. Pernyataan tokoh perempuan yang
mengungkapkan ketidakmampuannya membuang segalanya dapat dimaknai sebagai cara
Hamsad Rangkuti menampilkan kelemahan tokoh perempuan. Deskripsi dalam
penggalan di atas juga sekaligus menyiapkan peluang bagi tokoh lain, dalam hal
ini Hamsad sendiri sebagai pengarang untuk memberikan jawaban atas harapan
tokoh perempuan yang tengah mengalami masalah putus cinta. Penggambaran tokoh
perempuan sebagai tokoh yang lemah ditampilkan sejak awal cerpen. Tokoh
perempuan digambarkan sebagai pribadi yang berkarakter putus asa dan membunuh
diri dipilih sebagai jalan pembebasan.
SEORANG wanita muda dalam sikap yang mencurigakan
berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang
bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal
itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah
perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau
sampai anak buah kapal itu mendekat.
Tindakan nekad tokoh perempuan muda yang digambarkan pada awal cerpen ini
sesungguhnya dipicu oleh kondisi relasinya
yang dapat diduga mengalami disharmoni dengan tokoh yang tidak
disebutkan. Posisi tokoh perempuan yang bermasalah itu selanjutnya dijadikan
sebagai objek oleh tokoh laki-laki dalam hal ini Hamsad Rangkuti yang bertindak
sebagai juru potret atau wartawan yang ingin mengabadikan momen langka itu. Ada
kesan postif atau niat baik ketika tokoh
laki-laki ini mendekati tokoh perempuan yang berusaha membunuh diri. Paling
kurang dengan itu memperlambat usaha si perempuan menjalankan keputusannya membuang
diri ke laut. Perempuan itu digambarkan sebagai tokoh yang tidak mau memberi
jawaban atas pertanyaan sang laki-laki. Apakah ini mau menegaskan bahwa
perempuan yang bermasalah sulit diajak berbicara? Tendensi Hamsad sebagai tokoh
laki-laki menjadikan tokoh perempuan sebagai objek terbukti dari pemintaannya
agar si perempuan berkisah. Kisah itu akan dijadikan bahan cerita untuk si
penulis seperti terlihat pada kutipan berikut:
Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil
membawa kamera. Aku berhasil memperpendek
jarak dengannya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar.
"Tolong
ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri?" kataku memancing perhatiannya.
Dia tak
beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada sebuah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah
dan sudah tak bisa lagi untuk direkat.
"Tolong
ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk kutulis."
Deskripsi tentang
tokoh perempuan yang menjadi objek Hamsad Rangkuti ini semakin mendisposisikan
tokoh perempuan sebagai tokoh yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan
tinggi pada tokoh anonim yang menjadi sumber masalah bagi perempuan muda ini.
Pengarang cerpen menggambarkan bahwa segala sesuatu yang dikenakan tokoh
perempuan itu berasal dari orang yang “dibencinya”. Kebencian tokoh perempuan
terhadap tokoh anonim itu digambarakan sedemikian dramatisnya. Pengarang
tampaknya ingin mengambil jarak dengan berlaku sebagai pengamat yang
mendengarkan dan mencatat apa yang
dikatakan tokoh perempuan ketika hendak membuang segala yang telah diterimanya dari tokoh anonim.
Pengarang bertindak sebagai wartawan yang mengamati tingkah laku tokoh
perempuan dengan merekam semua perkataannya berkaitan dengan apa yang diterima
dan yang akan dibuangnya. Gambaran itu tampak dalam kutipan berikut:
Tiba-tiba dia
melepas sepatunya, menjulurkannya ke laut.
"Ini dari
dia," katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam
kamera.
Kemudian dia
meraba jari tangan kirinya. Di
sana ada sebentuk cincin. Sinar
matahari memantul mengantar kilaunya. Mata berliannya membiaskan sinar tajam.
Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya melampaui terali. Ombak
yang liar menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat
mencemaskan.
"Ini dari
dia," katanya, dan melepas cincin itu. "Semua yang ada padaku, yang
berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang
pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak
satu pun benda-benda itu yang kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah
menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya.
Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah
membuat sejarah pertemuan kami."
Wanita muda
itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, melepaskan pakaiannya, dan
membuangnya satu persatu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di
tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya
ke laut.
"Apa pun
yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku; saat aku sudah
menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain
pembungkus mayat. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang
penyekat."
Klimaks
penggambaran tentang lemahnya posisi tokoh perempuan tampak dalam bagian yang
menggambarkan adanya inkonsistensi sikap tokoh perempuan yang sebelumnya tidak
mau berkomunikasi kini berubah. Perubahan sikap itu, tampaknya dimanipulasi
pengarang cerpen dalam rangka menyelamatkan tokoh perempuan di satu sisi,
tetapi pada sisi lain justru membawa tokoh perempuan itu jatuh ke dalam pelukan
sang pengarang. Klimaks kisah justru tercipta ketika tokoh perempuan yang tanpa
busana itu menoleh kepada laki-laki yang membidiknya. Perempuan itu kini
digambarkan sebagai tokoh yang menaruh harapan pada tokoh laki-laki yaitu
Hamsad Rangkuti.
Permohonan yang
berulang-ulanga dari tokoh perempuan itu
kepada sang pengarang cerpen juga menggambarkan betapa ia menggantungkan nasibnya
pada tokoh laki-laki yang sedang membidiknya. Tokoh laki-laki (pengarang) berusaha menghindari kesan bahwa
ia akan melakukannya dengan senang hati. Karena itu, tokoh laki-laki lain
dihadirkan pengarang. Tooh-laki-laki yang lain itulah yang tampaknya ”memaksa”
pengarang untuk melakukannya. Ada desakan dan teriakan agar pengarang segera
memenuhi kerinduan tokoh perempuan untuk menghapus bekas bibir seseorang pada
bibir perempuan itu. Hal itulah yang terjadi. Perempuan muda yang telanjang itu
jatuh ke dalam pelukan sang pengarang. Untuk menghindari kesan vulgar yang
melanggar etika sopan santun dan moral, pengarang menghadirkan tokoh laki-laki
yang membawa selimut melindungi tokoh perempuan dan sang pengarang dalam aksi
penghapusan bekas bibir dengan bibir. Bahkan, tokoh laki-laki (pengarang) masih
menginginkan sesuatu yang lebih. Pengarang yang mendapat kesempatan untuk
melakukan itu tidak saja melakukan apa
yang diminta sang tokoh perempuan melainkan meminta dan menginginkan yang
lebih. "Masih adakah bekas darinya di
bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?" bisikku.
Adegan ini mengakhiri puncak keteganagn cerita, karena dengan ini pembaca
bisa menarik kesimpulan bahwa tokoh perempuan yang diangkat dalam kisah ini
tidak sampai meneruskan usahanya membunuh diri. Di sini tokoh perempuan
dijadikan sebagai inrrumen kisah yang memungkinkan pengarang bisa menciptakan
suspens yang memukai pembaca. Dari segi penciptaan ketegangan cerpen ini memang
mendapat apresiasi yang luas dari kalangan pembaca tetapi dari segi gender dan
feminis cerpen ini tampaknya mewacakan sesuatu yang mendispisisikan perempuan
pada tempat yang kurang menguntungkan. Hal ini didukung pula, dengan
ketidakterusterangan pengarang menarasikan tokoh yang menyebabkan sang perempuan
berputus asa dan memilih membunuh diri. Siapapun pembaca, hampir pasti akan
menarik kesimpulan bahwa sang tokoh perempuan telah dikhianati seseorang yang
sengaja disembunyikan pengarang. Di sinilah kita bisa mengatakan bahwa cerpen
ini berbias gender dan kontra terhadap perjuangan kelompok feminis. Cermati
saja kutipan berikut:
Wanita muda, dalam ketelanjangannya, berdiri di tepi
geladak dengan latar ombak dan burung camar. Sebelum melompat, dia menoleh ke
arahku. Seperti ada sesuatu yang terbersit di benaknya yang hendak dia
sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
"Ternyata tidak segampang itu membuang
segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu
saja." Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: "Bekas
bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." dia berpaling ke
arahku.. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang.
"Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?"
katanya dalam nada ragu.
"Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar
laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di birku dengan bibirmu? Tolonglah.
Tolonglah aku melenyapkan segalanya."
Orang-orang yang terpaku di pintu
lantai geladak berteriak kepadaku.
"Lakukan! Lakukan!"
Seorang muncul di pintu geladak
membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
"Tolonglah. Tolonglah aku
menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat dibibirku dalam
kematianku di dasar laut. Tolonglah."
"Lakukanlah! Lakukanlah!" teriak orang-orang yang menyaksikan
dari pintu lantai geladak.
Aku hampiri wanita itu. Orang yang
membawa selimut itu berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang
terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.
"Masih adakah bekas darinya di
bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?" bisikku.
Kuatnya isu gender dan isu feminis dalam cerpen Hamsad Rangkuti ini semakin
dipertegas dengan penggalan lain dalam cerpen itu. Kehadiran tokoh perempuan
muda yang diidentifikasi sebagai mahasiswi semester ketujuh bernama Chechen
menegaskan betapa cerpen ini lebih banyak mengobjekkan perempuan. Chechen yang
kebetulan hadir dalam kegiatan pembacaan cerpen yang dilakukan Hamsad
digambarkan sebagai perempuan yang sedemikian mudahnya terpikat pada laki-laki
(Hamsad). Perjumpaan dan dialog singkat setelah pembacaan cerpen tampaknya
sengaja disederhanakan pengarang untuk melukiskan karakter tokoh perempuan
Chechen yang sedemikian sentimentalnya, terpikat bermula dari kesukaan akan
cerpen karya Hamsad. Dialog singkat melahirkan keterikatan dan keterpikatan.
Chechen tampaknya digambarkan sebagai tokoh yang terhipnotis oleh gaya
cerita Hamsad. Chechen dijadikan objek yang memungkinkan pengarang (laki-laki)
ini menjadi muda kembali meskipun usia bilogisnya melewati setengah abad.
Perempuan seperti Chechen yang berusia dua puluh dua tahun digambarkan sebagai
perempuan yang tempramental jatuh cinta pada pengarang. Sedemikian singkat
kisah keakraban itu terjadi. Sedemikian singkat kisah pertemuan Hamsad dan
Chechen yang membawa keduanya menjelajajahi semua tempat wisata yang romantis.
” Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam
kampus Kayutanam maupun ke Danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar,
Bukittinggi, Lembah Harau, Tabek Patah, Kota Gadang, Danau Maninjau, Ngalau
Indah, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana Pagaruyung.
Kisah keakraban Hamsad dan Chechen yang sedemikian singkat tampaknya juga
sarat dengan masalah gender dan feminis. Kisah petualangan Hamsad dengan
mahasiswi, Chechen yang mendtangai semua tempat romantis secara tidak langsung
mau menggambarkan karakter tokoh Chechen
sebagai perempuan (mahasiswi). Dalam imajinasi kepengarangan Hamsad Chechen
dijadikan objek yang dapat dibawa ke mana-mana dalam dalam waktu yang relatif
lama. Lima-hari lima malam tidak pernah berpisah adalah gambaran betapa tokoh
perempuan Chechen berada dalam kuasa sang laki-laki.
Gambaran yang sedemikian romantis pada akhir cerpen yang melukiskan
kebersamaan kedua tokoh dalamnya ada dominasi laki-laki atas tokoh perempuan
seperti tampak pada kutipan berikut.
"Kita pergi ke Lubang Jepang.
Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam tanpa seorang pengunjung pun
mengawasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pengantin dan
kau meminta lampu dipadamkan”.
Kita
benar-benar berdua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu dengan
dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang kening kita bersentuhan
pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana
milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak
menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya
sekaligus, bergantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap
tepat ke matamu.
Aksi yang dilakukan Hamsad di geladak kapal terhadap perempuan yang berniat
membunuh diri dilakukannya pula terhadap perempuan bernama Chechen. Bedanyanya,
dalam kasus perempuan di geladak kapal si tokoh perempuan tampaknya putus asa
sedangkan perempuan Chechen berada dalam kondisi yang amat romantis. Kondisi
dan situasi tokoh perempuan ini memang berbeda tetapi sama-sama digambarkan
sebagai tokoh yang berada dalam dominasi laki-laki. Keduanya sama-sama
dijadikan objek yang dikuasai.
"Kenangan
itu akan kubawa pulang."
"Maukah
kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" Aku mendekat
kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami
terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatu pun dalam jarak dua
meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami
berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
"Masih
adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian
tubuhku?" bisikku.
Dia menggeliat
di dalam kabut. Dicarinya telingaku. "Tak ada bekas yang lain, yang perlu
dihapus, Sayang," bisiknya.
5. Hamsad dan Sang Pangeran
dalam Sleeping Beauty
Dongeng
tentang Putri Tidur The Sleeping Beauty adalah dongeng klasik mengisahkan seorang raja yang cantik yang tersihir oleh
kekuatan roh jahat. Putri yang cantik itu tak sadarkan diri selama setatus
tahun setelah jarinya tertusuk alat pemintal. Putri itu kemudian sadar dari
tidur setelah seorang Pangeran tampan menciumnya. Penggalan akhir cerita itu
kami kutipkab berikut ini.
"Pangeran, engkau telah berhasil menghapus kutukan
atas istana ini. Sekarang pergilah ke tempat sang Putri tidur," katanya.
Pangeran menuju ke sebuah ruangan tempat sang Putri tidur. Ia melihat seorang
Putri yang cantik jelita dengan pipi semerah mawar yang merekah. "Putri,
bukalah matamu," katanya sambil mengenggam tangan sang Putri. Pangeran
mencium pipi sang Putri. Pada saat itu juga, hilanglah kutukan sang Putri.
Setelah tertidur selama seratus tahun, sang Putri terbangun dengan kebingungan.
"Ah… apa yang terjadi…? Siapa kamu…? Tanyanya. Lalu Pangeran menceritakan
semua kejadian yang telah terjadi pada sang Putri.
"Pangeran, kau telah mengalahkan naga yang
menyeramkan. Terima kasih Pangeran," kata sang Putri. Di aula istana,
semua orang menunggu kedatangan sang Putri. Ketika melihat sang Putri dalam
keadaan sehat, Raja dan Permaisuri sangat bahagia. Mereka sangat berterima
kasih pada sang Pangeran yang gagah berani. Kemudian Pangerang berkata,
"Paduka Raja, hamba punya satu permohonan. Hamba ingin menikah dengan sang
Putri." Raja pun menyetujuinya. Semua orang ikut bahagia mendengar hal
itu. Hari pernikahan sang Putri dan Pangeran pun tiba. Orang berbondong-bondong
datang dari seluruh pelosok negeri untuk mengucapkan selamat (http://prabareta.blogspot.com/2009/01/dongeng-putri-tidur.html)
Dongeng tentang
Putri Tertidur ini ada pada hampir semua negara dan busaya dengan gaya dan
versi yang berbeda. Kisah ini memuat banyak pesan bagai kehidupan manusia
sehingga tidak mengherankan kalau kisah ini diangkat ke dunia layar lebar.
Kisah ini menggambarkan secara singkat tentang kekuatan dahsyat yang ada dalam
sebuah ciuman. Kedahsyatan kekuatan ciuman inilah yang tampaknya digambarkan
dalam cerpen Hamsad Rangkuti dengan menyebutkan bibir sebagai kekuatan.
Kekuatan ciuman itulah yang menjadikan tokoh perempuan yang ingin membunuh diri
akhirnya terselamatkan karena adanya tokoh laki-laki dalam hal ini pengarang
yang merelakan diri untuk menghapur bekas bibir seseorang pada bibir tokoh
perempuan dengan bibir tokoh laki-laki yaitu Hamsad Rangkuti.
Kisah tentang Putri
Tidur ini dalam gerakan feminisme sering digunakan sebagai penyangga setiap
argumentasi dalam rangka menafikkan semua bentuk dominasi laki-laki atas
perempuan. Tiga pemikir berkebangsaan Prancis Helena Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva yang banyak
dipengaruhi gagasan psikoanalisis Lacan memilki kerangka pemahaman yang hampir
sama berkaitan dengan masalah subjektivitas, seksualitas, bahasa, dan hasrat
manusia (Sarup, 2004:191-222). Gagasan yang sama juga turut mewarnai perjuangan
mereka berkaitan dengan persoalan oposisi dan dikotomi dalam kehidupan
masyarakat yang melahirkan adanya dominasi. Konsep oposisi yang terjadi dalam
kehidupan seperti budaya-alam, kepala-hati, bentuk-isi, dll. cenderung
melahirkan dominasi. Hal ini akan semakin jelas ketika masyarakat menghubungkan
konsep oposisi ini dengan oposisi laki-laki dan perempuan.
Kelompok pejuang
feminisme Prancis umumnya berpendapat bahwa Dongeng tentang Putri yang Tertidur
sunggung menggambarkan oposisi berjenis kelamin laki-laki berhadapan dengan
perempuan. Perjuangan kaum feminis yang ingin membebaskan kaum perempuan dari
dominasi laki-laki umumnya menjadikan kisah ini sebagai rujukan. Dasar
pertimbangan mereka karena dalam kisah itu tokoh perempuan digambarkan sebagai
makhluk yang tidur, tidak berdaya, sebagai makhluk yang dirasuki kekuatan
(subjektivitas) negatif sampai pada
akhirnya harus mendapatkan perlakuan, dicium pangeran (laki-laki). Ciuman sang
pangeran tampan itu terkesan ingin memberikan eksistensi, mengembalikan kondisi
normal sang perempuan, tetapi sesungguhnya pemberian eksistensi, hak hidup itu
hanya dalam proses yang medisposisikan dirinya sebagai pribadi yang ditaklukkan
demi pemuasan keinginan sang Pangeran. Fakta serupa inilah yang diperjuangkan
kaum feminis. Bagi mereka kisah dan dongen Putri Tidur adalah kisah yang
diminati kaum laki-laki untuk melanggengkan dominasinya atas kaum perempuan.
Merujuk pada kisah
Putri Tidur yang dibangunkan, hidup kembali oleh ciuman sang Panegaran membawa
kita pada simpulan yang mirip berkaitan dengan kisah Hamsad Rangkuti dalam
cerpen yang dinalisis dalam tulisan ini. Hamsad Rangkuti, ibarat sang Panegeran
yang mau menyelamatkan sang putri, berusaha menyelamatkan tokoh perempuan yang
ingin membunuh diri. Sang Pangeran berhasil mengembalikan konsisi sang Putri
untuk dijadikan permaisurinya dan Hamsad menyelamatkan tokoh perempuan untuk
memuaskan hasratnya. Minimal dalam imajinasi kreatifnya sebagai pengarang.
Karena itu, cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu? Tergolong berbias gender dan
kontra terhadap perjuangan kaum feminis.
***
Daftar Rujukan
Fakih, Mansur. 2012. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Jogjakarta: Pustaka Pelajar. R.A. Hudson,R.A. 1986. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge
University Press.
Kutha Ratna,
Nyoman. Teori, Metode dan Teknik
Penelitian Sastra. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurhan, Kenedi (Ed.). 1999. Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999. Jakarta: Kompas
Media.
Protei, John. 2005. (Ed)., The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy, Edinburgh
University Press.
Sarup, Madan.2004. Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah
Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela.
Wareing, Shan. 2007. “Bahasa dan Gender” dalam Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan, Linda Thomas & Shan Wareing, Jogjakarta:
Pustaka Pelajarar.
(http://prabareta.blogspot.com/2009/01/dongeng-putri-tidur.html)
diunduh Sabtu, 15 Desember 2012.
http://www.surlalunefairytales.com/sleepingbeauty/index.html,
diunduh Sabtu, 15 Desember 2012
Lampiran Cerpen
Maukah Kau
Menghapus
Bekas Bibirnya Di
Bibirku
Dengan Bibirmu?
Cerpen:
Hamsad Rangkuti
SEORANG wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri
di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap
hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja
ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah
perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau
sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam
posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek
jarak dengannya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar.
"Tolong
ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri?" kataku memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada sebuah pulau. Mungkin impiannya yang telah
retak menjadi pecah dan sudah tak bisa lagi untuk direkat.
"Tolong ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan
untuk kutulis."
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermainkan ujung
lengan bajunya. Dan tampak kalau dia telah berketetapan hati untuk mengambil sebuah
keputusan yang nekat. Tiba-tiba dia melepas sepatunya, menjulurkannya ke laut.
"Ini dari dia," katanya dan melepas sepatu itu.
Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam kamera.
Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada sebentuk cincin. Sinar matahari memantul mengantar kilaunya. Mata
berliannya membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya.
Diulurkannya melampaui terali. Ombak yang liar menampar dinding kapal. Tangan
yang menjulurkan cincin itu sangat mencemaskan.
"Ini dari dia," katanya, dan melepas cincin
itu. "Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut.
Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka
dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu yang kuizinkan
melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku
tanpa bekas sedikit pun darinya. Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke
laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami."
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, melepaskan
pakaiannya, dan membuangnya satu persatu ke laut. Upacara pelepasan benda yang
melekat di tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya.
Membuangnya ke laut.
"Apa pun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang
melekat pada jasadku; saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut
membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya
menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat."
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya
melampaui terali, bersiap-siap membuang dirinya ke laut. Kamera kubidikan ke
arahnya. Di dalam lensa terhampar pemandangan yang pantastis! Wanita muda,
dalam ketelanjangannya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan burung
camar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam di kejauhan samudera terlukis di
sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melompat, dia menoleh ke arahku.
Seperti ada sesuatu yang terbersit di benaknya yang hendak dia sampaikan
kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
"Ternyata tidak segampang itu membuang
segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu
saja." dia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudera.
Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: "Bekas bibirnya.
Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." dia berpaling ke arahku.
Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam
tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku
dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu.
Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat mengejutkan,
dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu terasa datang dari
orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa kamera yang
mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan warna emas, memoles
bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas bibir.
"Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar
laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di birku dengan bibirmu? Tolonglah.
Tolonglah aku melenyapkan segalanya."
Orang-orang yang terpaku di pintu
lantai geladak berteriak kepadaku.
"Lakukan! Lakukan!"
Seorang muncul di pintu geladak
membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
"Tolonglah. Tolonglah aku
menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat dibibirku dalam
kematianku di dasar laut. Tolonglah."
"Lakukanlah!
Lakukanlah!" teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai
geladak.
Aku hampiri wanita itu. Orang yang
membawa selimut itu berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang
terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.
"Masih adakah bekas darinya di
bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?" bisikku.
SAYA Chechen, Pak," kata wanita
itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan
berada kembali di antara penonton. "Saya menggemari cerpencerpen Bapak.
Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu
dengan Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca."
"Terima kasih. Namamu Chechen?
Tidak nama seorang Minang."
"Bagaimana kelanjutan cerpen lisan
itu?"
"Kau yang harus melanjutkannya.
Kalian. Para pendengarnya."
Sejak itu kami akrab. Aku seperti
muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam kampus Kayutanam maupun ke Danau
Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Bukittinggi, Lembah Harau, Tabek Patah,
Kota Gadang, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Lembah
Anai dan Istana Pagaruyung.
Besok adalah hari terakhir aku di
Kayutanam. Aku
harus kembali kekehidupan rutin di Jakarta. Perpisahan itu kami habiskan di
kawasan wisata di luar kota Padangpanjang. Sebuah kawasan semacam taman, berisi
rumah gadang dari berbagai daerah di Minangkabau. Kawasan itu bersebelahan
dengan lokasi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Tempat
itu sejuk diliputi kabut, terkenal sebagai kota hujan. Sebentar-sebentar kabut
tebal melintas menutup kawasan itu. Kami mencari tempat kosong di salah satu
bangunan berbentuk payung dengan meja bulat dan kursi sandar melingkar, yang
disediakan untuk para pengunjung duduk-duduk memandang sungai kecil berbatu
yang terhampar di bawah dan memandang puncak Gunung Merapi. Kami berkeliling
mencari tempat kosong, tetapi semua-bangunan-bangunan kecil itu
telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka duduk memandang lembah dan lereng
gunung yang terus menerus diselimuti kabut yang datang seperti asap hutan
terbakar.
Kami akhirnya duduk di hamparan
rumput berbukit, di antara rumah gadang pajangan dalam ukuran yang sebenarnya.
"Selama lima hari, siang dan malam kita tak pernah berpisah. Malam kita
duduk berdekatan di warung-warung membiarkan kopi dingin sambil kita
berpandangan. Aku mendengar proses kreatifmu sedang kau mendengarkan riwayat
dan asal-usul tempat-tempat yang akan kita kunjungi besok pagi. Kita tidak
menghiraukan mata-mata yang memandang kita. Kita biarkan percakapan-percakapan
mereka tentang kita. Tanganku kau pegang dan aku merebahkan kepala ke bahumu
dalam udara dingin Kayutanam. Semua itu akan menjadi kenangan. Besok kau akan
pulang dan aku akan kembali ke kampus.
"Kita pergi ke Lubang Jepang.
Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam tanpa seorang pengunjung pun
mengawasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pengantin dan
kau meminta lampu dipadamkan. Kita duduk di puncak pendakian di Lembah Harau.
Kita duduk berdua memandang ke bawah mengikuti arah air terjun. Lembah kita
lihat dari ketinggian dan tempat itu sangat sunyi. Kita biarkan kera-kera mendekat dan
kita tidak merasa terganggu. Kita biarkan pedagang kelapa muda itu meletakkan sebutir kelapa dengan
dua penyedot di lubang tempurungnya. Kita tidak hiraukan dia turun meninggalkan
kita dan membiarkan kita berdua menikmati kelapa muda yang kau pesan. Kita
benar-benar berdua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu dengan
dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang kening kita bersentuhan
pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana
milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak
menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya
sekaligus, bergantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap
tepat ke matamu. Aku yakin, hal itu kita lakukan semacam isyarat yang tak
berani kita ucapkan.
"Kelapa itu kita belah. Kau sebelah dan aku sebelah.
Alangkah indahnya semua itu"
"Kenangan itu akan kubawa pulang."
"Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku
dengan bibirmu?" Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami.
Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak
tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari
pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
"Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang
harus kuhapus dengan bagian tubuhku?" bisikku.
Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku.
"Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang," bisiknya.
Serpihan kabut menyapu wajah kami bagaikan serbuk embun
dipercikkan.
"Apakah kita akan keluar dari kepompong kabut ini
sebagai sepasang kupu-kupu?"
"Bekas ini akan kubawa pulang dan akan ada yang
menghapusnya. Bagaimana denganmu?"
"Akan kutunggu bekas yang baru di bekas yang lama,
darimu."
"Apakah itu mungkin?" "Mungkin."
"Aku lima empat dan kau dua-dua. Itu. tidak
mungkin." "Mungkin."
"Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam
usia. Apa yang memaksamu?"
"Entahlah. Aku pun tak tahu."
Kami turun dari puncak bukit itu berpegangan tangan. Dia memegang erat jari-jariku. Dan aku memegang erat
jari-jarinya. Seolah ada lem perekat di antara jari-jari kami. ***
Sumber: DERABAT: Cerpen Pilihan KOMPAS
1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar