Minggu, 20 Desember 2015

Opini: Kekuasaan dan Demokrasi Superfisial



Kekuasaan dan Demokrasi Superfisial 

Bone Rampung
Keprodi Pendidikan Bahasa Indonesia
STKIP Santu Paulus Ruteng


Perhelatan akbar pemilihan serentak telah berakhir. Rakyat yang kebetulan diundang untuk memberi hak demokratisnya telah memberi mandatnya pada orang pilihannya dan rakyat yang betul tidak diundang dilupakan saja. Semuanya seakan-akan tanpa masalah, aman, tertib, dan terkendali.  Pertarungan wacana perihal kekuasaan telah usai. Perebutan kekuasaan untuk sementara berhenti tetapi strategi dan trik mengamankan kekuasaan diam-diam diperkukuh untuk periode selanjutnya agar kata petahana (incumbent) tidak terhapus dari kamus politik, demokrasi, dan kekuasaan di tanah air. 
Pasangan yang terpilih secara demokratis akan berlangkah tegap, wajah terangkat, berbangga karena ia yakin sungguh bahwa rakyat memberinya mandat. Pasangan yang terpilih dalam demokrasi semu tentu saja berlangkah tegap, tetapi mungkin akan agak tertuntuk berwajah sembab mendengarkan apa kata hatinya ketika hak rakyat dikondisikan untuk dimandatkan kepadanya. Liputan seputar pilkada merupakan menu pencerdasan masyarakat dari pihak media untuk mengkritisi pemimpin yang betul-betul dipilih rakyat atau yang betul kebetulan dipilih rakyat. 
Flores Pos Rabu (16/12) menurunkan berita rajutan wawancara wartawan senyornya, Frans Obon, dengan pimpinan STKIP Santo Paulus Ruteng Senin (14/14) seputar  pilkada. Salah satu  kata kunci, sekaligus benang merah yang sepantasnya dicermati dari liputan Flores Pos  yakni pemakaian istilah “superfisial” yang dikorelasikan dengan pilkada sebuah perhelatan yang menghabiskan daya miliaran rupiah. “Pilkada  langsung telah menjadi sesuatu yang superfisial” yang dapat dicermati dari perubahan orientasi pemilihan rakyat yang terkesan  berubah dalam waktu yang cepat. Kesan superfisial atau semu ini didasarkan pada kondisi beberapa hari sebelum pemilihan dan hasil penghitungan suara. Narasi seperti penculikan, pembakaran kotak suara, kasus dugaan kecurangan pembukaan segel kotak suara, dan parade masyarakat menuntut hak demokrasi di jalanan  karena merasa haknya dirampas di beberapa daerah akan tercatat sebagai sejarah kelam demokrasi yang ditengarai sedang mati suri.

Kekuasaan itu Relasi dan Integrasi
Politik dan demokrasi yang dilakoni secara superfisial dalam konteks mendapatkan kekuasaan akan melahirkan  kekuasaan yang rapuh dan keropos dari sisi paling dalam. Kekuasaan yang didapatkan dalam suatu permainan semu cenderung defensif dan otoriter. Tendensi perilaku defensif dan otoriter kekuasaan itu akan bermetamorfosis  ke dalam sandiwara kekuasaan yang memaksakan kepatuhan pada kelompok yang sejalan dan dianggap saja loyal terhadap kekuasaan yang sama. Berbagai kepentingan yang diletakkan pada kekuasaan yang diperebutkan dengan sendirinya menodai hakikat demokrasi.
Kepatuhan yang dikondisikan seperti ini melahirkan dan menghadirkan warga masyarakat yang menjadi boneka di tangan penguasa dan akan mudah dijinakkan. Bentuk terburuk dari kekuasaan yang melahirkan kepatuhan yang dipaksakan seperti ini membawa kita pada gagasan Gramsci (Gramsci’s Political Thought) perihal hegemoni kekuasaan. Semua orang tahu bahwa pemikiran kritis Gramsci semakin kuat dirujuk ketika reformasi ditiupkan untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang berakar dalam semangat politik yang korup,  kotor, dan koersif.
Perihal kekuasaan, Gramsci menegaskan bahwa kekuasaan harus dipahami dalam relasi termasuk relasi sosial dengan masyarakat sipil. Hanya dalam pemahaman kekuasaan berperspektif relasi seperti ini kekuasaan itu dapat didistribusikan secara merata kepada masyarakat sipil dan bukan secara total dimandatkan kepada aparat negara yang cenderung koersif. Konsep negara yag integral bagi Gramsci pada dasarnya menegaskan konsep baru tentang watak kekuasaan bahwa perjuangan politik tidak terbatas pada perebutan kekuasaan tetapi terutama dan pertama merujuk pada perluasan kekuasaan itu kepada masyarakat sipil. Perluasan karena kesadaran bukan kesadaran yang diarahkan untuk kemudian dikuasai
Implikasi dari gagasan seperti ini semestinya mendorong semua orang untuk berpartisipasi bebas tanpa tekanan dalam menentukan pilihan politiknya. Warga seharus dan semestinya tidak dijadikan pemain sandiwara yang harus berakting seturut arahan sang sutradara yang akan mempertahankan kekuasaan. Lebih tidak bermartabat lagi jika warga yang akan menentukan pilihannya diimingi berbagai janji finansial dan posisi dalam jabatan basah.
Demokrasi semestinya menjadi tarian massal yang mempertontonkan ekspresi yang spontan tetapi tetap harmonis sehingga menyenangkan untuk dinikmati.  Upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan cara melanggengkan kepatuhan pada sejumlah subjek yang dapat dimanipulasi menafikkan konsep relasi dan integral dalam kehidupan bermasyarakat. Hal seperti inilah yang menjadikan kehidupan warga tidak dinikmati sebagai sebuah tarian massal yang melepaskan beban kehidupan. Hal seperti ini pula yang menjadikan momen pilkada bukan sebuah pesta demokrasi tetapi justru menjadi sandiwara yang semu alias superfisial. Ini jelas menyembunyikan api dalam sekam yang akan memberangus demokrasi yang lagi bertumbuh sebagai salah satu wujud revolusi mental.
Resistensi dan Seni Kebohongan
Kekuasaan superfisial pada gilirannya menimbulkan resistensi. Resistensi terhadap kekuasaan akan hadir ketika kelompok yang merasa haknya disampahkan mengetahui skenario sang sutradara yang menduduki kekuasaan. Menghadapi resistensi sebegini, sang sutradara tentu saja akan menggunakan pelbagai jurus sekadar menyembunyikan semua skenario dan membungkusnya secara apik. Di sinilah kehidupan demokrasi semakin rapuh karena sandiwara dibangun di atas sandiwara dan begitu seterusnya mata rantai sandiwara tidak terpustuskan. Jadi, benarlah adagium lama bahwa dunia ini panggung sandiwara karena di atasnya penguasa membangun suatu kebersamaan di atas dasar yang rapuh, merancang kebohongan untuk kebohongan.
Politik dan demokrasi bukan lagi sebagai seni yang mengeskprsikan kebermartabatan seorang warga melainkan seni merangkai kebohongan untuk kebohongan. Seni, kata Picasso adalah kebohongan untuk menyampaikan kebenaran. Karya-karya sastra boleh dianggap kebohongan (fiksi) tetapi bertendensi menyampaikan kebenaran tetang perilaku manusia yang tentu saja berlawanan arah dengan narasi politik dan demokrasi yang nyata untuk membahasakan kebohongan. Masalah pilkada dan tuntutan akan demokrasi yang jujur, adil, bermartabat,  yang disuarakan di jalan-jalan raya sudah menjadi rujukan betapa politik kita menjadi narasi kebohongan yang menopang masa depan yang lebih rapuh.
Kekuasaan Diberi atau Direbut
Aesop, budak Yunani yang hidup 20 abad silam secara sederhana membahasakan betapa kekuasaan itu akan membentuk perilaku seseorang  seperti nyata dalam sebuah kisah (narasi fiktif ) perjumpaan Srigala dan Domba di pinggir sungai. Srigala secara naluri ingin menerkam domba yang sedang melepas dahaga itu di tepi sungai. Srigala masih pura-pura paham hukum karena itu ia mencari soal sebagai alasan menerkam sang domba. Srigala membentak domba yang katanya membuat air keruh dan srigala tidak bisa meminum air. Domba membela diri, “Itu tidak mungkin,  karena tuan  minum di bagian hulu, aku di bagian hilir dan air mengalir dari hulu ke hilir”. Srigala kembali menuduh, “Tetapi lima tahun lalu kamu mengkritik saya sebagai binatang buas”. “Wah, itu tidak mungkin karena aku baru dilahirkan tiga tahun lalu”, kata domba membela diri. “Kalau kau baru dilahirkan, tetapi ibumu yang lakukan itu”, kata srigala sambil menerkan domba itu.
Ini kisah dongeng (fabel) ada unsur kebohongannya tetapi menunjukkan kebenaran tentang kenyataan kekuasaan yang cenderung otoriter. Orang lemah selalu menjadi korban kekuasaan. Ada ajakan dan kebenaran dalam dongeng ini tidak saja ajakan untuk kekuasaan konteks politik tetapi juga untuk semua jenis kekuasaan. Pemimpin terhadap rakyat, orangtua terhadap anak, pendidik terhadap peserta didik, majikan terhadap buruh, polisi terhadap ojek, pemilik supermarket terhadap pelanggan. Persoalan pokoknya terkait bagaimana kekuasaan itu didapatkan. Diberikan karena orang percaya ataukah  diperebutkan dari orang dengan cara yang tidak bisa dipercaya? Tidak perlu dijawab, tetapi cermatilah yang berkuasa itu selama berkuasa! Hal yang tidak kalah pentingnya untuk rakyat adalah berdoa bagi pemimpin yang jujur agar berbuat baik kepada rakyat dan untuk pemimpin yang belum jujur agar pada waktunya mereka berdamai dengan hati mereka sendiri.*(br)
(Dipublikasikan dalam Flores Pos, Rabu, 23 Desember 2015 hlm.12--13)