1.
Pengantar
Macam dan nama-nama
bahasa pada umumnya dihubungkan dengan penuturnya dan di mana penutur itu
hidup. Orang Inggris yang hidup di Inggris menggunakan bahasa Inggris. Orang
Jepang hidup di Jepang menggunakan
bahasa Jepang. Orang Arab hidup di Arab menggunakan bahasa Arab, orang Jerman
hidup di Jerman menggunakan bahasa Jerman, orang Jawa hidup di Jawa menggunakan
bahasa Jawa, dst. Kita bisa menambah
deretan seperti ini sebanyak jumlah bahasa yang ada di dunia. Kenyataan seperti
ini jelas membawa kita pada satu kesadaran bahwa bahasa itu ada hubungan dengan
pentur dan tempat hidup penutur. Dalam bahasa yang lebih teknis, bisa dikatakan
bahwa bahasa berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat penggunanya.
Diskusi ini akan
membawa kita semua ke dalam satu kesadaran bersama bahwa perbedaan masyarakat
dan lingkungan tempat suatu bahasa digunakan menghadirkan kenyataan kemajemukan
bahasa manusia. Selanjutnya, kodrat sosial manusia mengharuskannya
berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lain dengan bahasa yang
berbeda. Perbedaan bahasa disadari pula menjadi kendala komunikasi
antarmanusia. Untuk itulah, orang
berupaya memahami orang lain melalui usaha memahami bahasanya. Usaha itu dapat
terjadi secara alamiah karena tuntutan komunikasi yang praktis dapat pula dilakukan
secara sadar, terencana. Dari sini
muncullah istilah pemerolehan bahasa dan pembelajaran bahasa. Dua proses ini
akan berjalan dengan baik kalau ditempatkan dalam konteks pembicaraan tentang
Bahasa dan Lingkungannya
Menurut
Taylor[1] pemerolehan
bahasa dipengaruhi tiga variabel penting,
(a) bahasa
yang diperoleh, (b) anak
yang memperoleh
bahasa, dan (c)
lingkungan tempat bahasa
itu diperoleh. Seorang
anak bisa memperoleh bahasa karena dilengkapi dengan
keadaan fisik yang memungkinkannya
menggunakan bahasa serta kemampuan kognitif yang dimilikinya. Di samping itu,
anak juga tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan kebahasaan yang
digunakan penuturnya secara
aktif.
Cakupan pembicaran ini berkaitan dengan
pengertian Lingkungan Bahasa,
Jenis Lingkungan
Lingkungan bahasa, dan bagaimana Relevansi pembicaraan tentang Lingkungan
bahasa dengan praksis pembelajaran bahasa kedua (B2) di sekolah.
2.
Pengertian Lingkungan Bahasa
Definisi,
pengertian Lingkungan Bahasa yang relevan dengan masalah pemerolehan dan
pembelajaran bahasa kedua (B2) dirumuskan Dulay sebagai segala sesuatu yang
didengar dan dilihat oleh pembelajar tentang bahasa baru yang dipelajari (everything
the language learner hears and sees in the new language).[2]
Segala sesuatu yang didengar dan dilihat pembelajar tentang bahasa baru yang
dipelajari ini bisa mencakup berbagai situasi seperti percakapan di restoran
dan di toko-toko, percakapan dengan teman, menonton televisi, membaca rambu
lalulintas, membaca surat kabar, termasuk aktivitas di dalam kelas yang memberi
kesempatan kepada para pembelajar untuk mendengar dan melihat berbagai hal yang
berkaitan dengan bahasa baru yang akan dipelajarinya.
Kualitas lingkungan bahasa amat menentukan dalam mencapai
keberhasilan pembelajaran bahasa baru (B2) yang dipelajari, mungkin mereka
mendapatkan sedikit keterampilan membaca tetapi keterampilan mendengar dan
berbicara akan tetap rendah karena berhadapan dengan bahasa yang baru. Para
pembelajar bisa saja mengalami kesulitan dan merasa kecewa bila hanya
mendapatkan pajanan dalam bentuk dialog
dan drill yang terus menerus di dalam kelas. Pajanan dalam bentuk dialog dan
cara drill seperti itu membuat mereka hanya menguasai keterampilan komunikasi
di dalam kelas tetapi masih mengalami kesulitan pada kondisi sosial lainnya,
ketika berada di luar kelas. Tanpa pajanan sama sekali pembelajaran tidak
mungkin dapat dilakukan. Oleh karena itu lingkungan bahasa yang baik adalah
lingkungan yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pembelajar
untuk mendapatkan pajanan yang berkaitan dengan bahasa yang sedang
dipelajarinya.
Lingkungan bahasa adalah keseltuhan kondisi yang
memungkinkan pembelajar bahasa mendapatkan berbagai masukan tentang bahasa yang
hendak dipelajarinya. Masukan-masukan itu bisa bersifat formal dan informal (alamiah).
Dari sudut padang ini Dulay, menjelaskan dua lingkungan bahasa yang
memungkinkan pembelajar bahasa mendapatkan masukan tentang bahasa yang
dipelajarinya yaitu lingkungan bahasa yang bercorak formal dan lingkungan
bahasa yang bercorak alamiah (natural).[3]
Ellis pengaruh ini
lingkungan formal dapat dilihat pada dua aspek, (1) Urutan pemerolehan bahasa
kedua (2) Kecepatan atau keberhasilan dalam menguasai bahasa kedua[4].
Percakapan yang berlangsung
wajar dan normal antara dua orang bercorak alamiah bisa dilihat dalam
percakapan di toko, bank, atau tempat-tempat
orang berpesta. Dalam kondisi seperi itu orang yang terlibat dalam
percakapan akan bertukar
informasi ketika mereka berbahasa meskipun dalam keadaan terbatas. Pada saat
mereka berbicara seperti itu, mereka melakukannya secara alamiah meskipun di
balik struktur bahasa percakapan itu ada struktur bahasa yang diandaikan sudah
diketahuinya. Bahasa yang digunakan dalam konteks ini hanya untuk kepentinmgan
komunikasi atau yang bercorak fungsional. Pada saat orang berbicara kaidah,
struktur kebahasaannya dikesampingkan. Dulay mengangkat sebuah ilustrasi terkait pajanan pada lingkungan bahasa formal
ketika melatih pembelajar B2 dengan kalimat: Mary has a white blouse ; John
has a blue shirt (Maria memiliki blus putih; John memiliki kemeja biru).
Dalam contoh ini yang dipentingkan
bukan soal kebenaran Maria memiliki blus putih atau John sungguh memiliki
kemeja biru. Hal yang dipentingkan dalam contoh ini, pembelajar bisa
menggunakan kata putih dan biru itu dalam pola kalimat yang
benar.
Lingkungan bahasa alamiah baik lingkungan
asing (forreign environment) maupun lingkungan yang sudah dikenali (host
environment) diyakini dapat memberikan sumbangan dalam meningkatkan
keterampilan komunikasi (B2). Meskipun demikian berbagai keterbatasan tentu
tidak terhindarkan misalnya keterbatasan pembicara untuk berbicara seperti
halnya penutur asli (B2), ketidakpahaman akan komunikasi yang sedang terjadi,
keterbatasan masa diam (silent period) yang membuat pembelajar B2 hanya
bisa menyerap (B2) dan belum bisa menggunakannya.
Dulay, dkk. mempertanyakan peran
lingkungan formal (pembelajaran formal) dalam upaya membantu pembelajar B2
menguasai bahasa yang hendak dipelajari. Penelitian mereka memperlihatkan bahwa
lingkungan bahasa formal bukanlah lingkungan terbaik dalam membantu pembelajar
bahasa dengan lancar. Meskipun demikian, tetap diakui bahwa lingkungan bahasa formal memberikan beberapa keuntungan (1) pembelajar
dapat memodifikasi, merekonstruksi bentuk bahasa baru dengan bantuan kaidah
yang telah dikuasinya sehingga bahasa
itu dapat digunakan secara tepat sesuai dengan situasinya (2) Memperlajari
kaidah atau pengetahuan tentang B2 dapat memberi kepuasan kepada pembelajar
sekaligus mendorongnya untuk terus mempelajari B2
Dalam kenyataan, keterbatasan lingkungan
bahasa formal membuat pembelajar B2 bersikap ganda. Di satu sisi ada kenyataan
dan klaim bahwa pengetahuan kebahasaan seseorang tidak selalu menjamin seseorang
menggunakan bahasa itu secara benar
dalam kumunikasi yang
sebenarnya, di sisi lain pembelajar yang menyadari kaidah akan merasa aman
ketika berkomunikasi. Terlepas dari keterbatasan seperti ini, yang perlu disadari adalah proses belajar
dan proses pemerolehan bahasa selalu menuntut adanya lingkungan bahasa.
Lingkungan bahasa mutlak diperlukan dalam proses belajar dan pemerolehan B2.
3.
Jenis Lingkungan Bahasa
Dilihat
dari perspektif luas cakupannya Lingkungan bahasa dibedakan menjadi Lingkungan
bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro. Sementara, berdasarkan bagaimana proses memperoleh
dan mempelajari B2.
Lingkungan Bahasa itu dibedakan menjadi Lingkungan Alamiah dan Lingkungan
Buatan. Pemerolehan alamiah terjadi di pasar, di toko ketika orang beriteraksi
sosial. Lingkungan buatan merujuk pada pembelajaran. Pembedaan ini memberi corak pemerolehan
bahasa sebagai sesuatu yang informal sementara pembelajaran bercorak formal.
3.1
Lingkungan Bahasa Makro
Pembicaraan
Lingkungan Bahasa dalam konteks Makro berkaitan dengan empat hal penting yang
berpengaruh terhadap kualitas pemerolehan B2 yaitu (1) Kealamiahan (naturalness) bahasa yang didengar (2)
peran pembelajar dalam komunikasi (3) ketersediaan pelbagai referensi yang
konkret untuk menjelaskan makna B2 dan (4) persoalan siapa figur yang menjadi model untuk B2 yang
dipelajari sebagai bahasa target.
3.1.1
Kealamiahan
Kealamiahan bahasa yang didengar diasumsikan turut
meningkatkan perkembangan keterampilan
komunikasi B2. Pajanan alamiah pada bahasa baru memicu pemerolehan bawah sadar
keterampilan komunikasi pada B2 itu. Pengaruh positf dari pajanan terhadap
komunikasi alamiah pada B2 dibuktikan dengan tiga penelitian yang pernah
dilakukan. Dua penelitian melibatkan orang dewasa dan satu penelitian
melibatkan anak-anak.
Carroll, misalnya, telah melakukan survey terhadap mahasiswa
jurusan bahasa seperti yang dikutip Dulay. Penelitian ini memperlihatkan
kelebihan lingkungan bahasa alamiah
dibandingkan dengan lingkungan bahasa formal dalam pemerolahan B2. Survey Carroll
terhadap 2.784 mahasiswa senior jurusan
bahasa Prancis, Jerman, Rusia,
dan Spanyol pada perguruan tinggi di Amerika. Carroll menemukan bahwa
mahasiswa jurusan bahasa asing rata-rata
lebih buruk. Carroll juga menemukan keterkaitan antara waktu yang dihabiskan di
luar negeri di lingkungan bahasa target (B2) dan hasil tes. Mereka yang setahun
berada di luar negeri nilainya terbaik, yang berada di luar negeri hanya selama
musim panas atau untuk suatu kunjungan memperlihatkan nilai terbaik berikutnya;
dan yang terakhir adalah mereka yang hanya belajar di lingkungan bahasa asing.
Salah satu karakteristik yang membedakan
lingkungan alamiah dari lingkungan formal adalah ada tidaknya kesempatan
mendapatkan pajanan alamiah (natural exposure). Lingkungan B2 memungkinkan
pembelajar berbicara dengan teman
penutur asli menyangkut pelbagai persoalan kehidupan mereka pada lingkungan
yang baru. Situasi lingkungan bahasa
asing biasanya membatasi pembelajar untuk mendiskusikan pelbagai persoalan yang
berkaitan dengan interese, minat mereka. Yang dibicarakan biasanya justru terfokus pada pelbagai
masalah formal bahasa yang dipelajari. Sesungguhnya interese pembelajar itu
penting untuk diperhatikan dan dipertimbangkan dalam proses pemerolehan dan
pembelajaran B2.
Temuan yang sama
dilaporkan Saegert, Scott, Perkins dan Tucker[5] yang menyelidiki 114 mahasiswa di universitas
Amerika di Kairo Mesir dan 71 orang di Universitas Amerika di Beirut, Lebanon.
Sebagian besar mahasiswa itu mengukiti kuliah dalam bahasa Inggris. Saegert
mengumpulkan berbagai informasi
berkaitan dengan kemahairan berbahasa Inggris, berapa lama memperlajari
bahasa Inggris formal, dan apakah mereka juga berpengalaman kuliah dalam bahasa
Inggris atau bahasa asing lainnya.
Peneliti tidak menemukan adanya peningkatan berarti berkaitan dengan
kemahiran berbahasa Inggris seiring dengan bertambahnya masa belajar bahasa
Inggris sebagai B2. Peneliti menyimpulkan bahwa alat prediksi yang lebih baik
untuk kemahiran bahasa Inggris adalah penelitian yang berkaitan langsung dengan
pengalaman pembelajar. Apakah subjek penelitian berpengalaman menggunakan
bahasa Inggri sebagai media pengajaran. Pajanan bahasa Inggris untuk mahasiswa
dalam pelajaran biologi misalnya, menunjukkan hubungan yang lebih sistematis
terhadap tingkat kemahiran berbahasa dibandingkan dengan lamanya waktu yang
digunakan dalam kelas bahasa Inggris.
Jane Willis[6]
merumuskan kenyataan ini dalam pernyataannya
bahwa mempelajari bahasa
(terutama bahasa asing)
yang terpenting adalah menggunakan bahasa
itu. Dia menunjuk orang-orang
yang sering bepergian ke luar negeri, orang-orang
yang bekerja di
luar negeri, dan orang-orang
yang menjalin kerja sama dengan
penutur asli bahasa target sebagai contoh. Mereka memperlihatkan kemampuan
komunikatif yang memadai meskipun mereka tidak pernah secara formal mempelajari
kaidah bahasa target tersebut di sekolah. Mereka memiliki kemampuan komunikatif yang
cukup baik karena
mereka memiliki motivasi
yang tinggi untuk dapat
berkomunukasi dengan menggunakan
bahasa target, menerima
pajanan (exposure)
yang cukup memadai,
dan memiliki kesempatan
untuk menggunakan bahasa target tersebut.
Menurutnya tanpa pengajaran
formal pemelajaran dapat berlangsung karena pengajaran bukan
satu-satunya fungsi pemelajaran.
3.1.2
Peran Pembelajar dalam Komunikasi
Dulay dkk.menampilkan tiga tipe komunikasi
yang memeprlihatkan pembelajar terlibat yaitu (a) komunikasi satu arah (one
way); (b) kmunikasi dua arah
terbatas (restricted two-way (c) komunikasi dua arah yang penuh (full
two-way). Dalam model satu arah pembelajar mendengarkan atau membaca bahasa
target (B2) tanpa merespon. Contoh komunikasi satu arah ini mendengarkan
pembicaraan dan mendengarkan
siaran radio, menonton film, tayangan televisi,
membaca buku atau majalah.
Dalam komunikasi model kedua, dua arah
terbatas, pembelajar merespon secara oral pada seseorang tetapi pembelajar tidak
menggunakan B2 (bahasa target). Respon dengan menggunakan B1 atau cara komunikasi lain yang
bukan B2 termasuk respon nonverbal misalnya menganggukkan kepala. Dalam
komunikasi model ketiga dua arah penuh, pembelajar berbicara dalam B2 bertindak
sebagai pengirim dan penerima pesan-pesan verbal.
Ketiga model kmunikasi ini dinilai penting
karena masing-masing mempunyai tempatnya dalam memfasilitasi pemerolehan B2.
Kebanyakan penelitian empiris yang dilakukan menekankan keuntungan komunkasi
satu arah atau dua arah terbatas pada
awal pembelajaran dan menanti siswa siap memproduksi B2 sebelum menekankan
komunikasi dua arah penuh. Hal seperti ini menurut Kaswanti[7]
harus menjadi bahan pertimbangan guru yang berkencenderungan mengoreksi setiap
kesalahan siswa.
3.1.3
Ketersediaan Referensi
Materi bahasa yang akan diajarkan kepada
pembelajar pemula hendaknya disampaikan sedemikian rupa sehingga pembelajar
dapat dengan mudah menangkap makna meskipun dalam batas-batas tertentu. Dalam
konteks ligkungan bahasa makro hal ini penting karena berpengaruh terhadap
keberhasilan perkembangan B2 yaitu ada atau tidak unsur luar bahasa yang juga
turut membantu pembelajar saat
menangkap makna bunyi-bunyi aneh dari sebuah bahasa baru yang dipelajarinya.
Lingkungan bahasa yang mendukung seperti in disebut lingkungan bahasa yang
mempunyai referensi konkret dalam arti subjek dan peristiwa dapat diindrai,
dilihat dan didengar ketika bahasa itu sedang digunakan. Guru B2 dituntut
menyadari pentingnya menyediakan konteks bagi B2 melalui alat bantu visual, kegiatan-kegiatan
motorik, dalam konteks kini dan di sini agar makna bahasa baru itu dipahami
secara jelas oleh para pembelajar awal.
Dulay memberikan contoh yang jelas tentang
lingkungan bahasa yang kaya akan referensi konket dengan mengacu pada apa yang
dilakukan para ibu atau pengasuh anak ketika mereka berbicara dan berhadapan
dengan anak-anak di sekitar mereka dalam konteks nyata kini dan di sini. Dalam
semangat keibuan seorang ibu atau pegasuh anak biasanya berbicara tentang hal
konkret yang terjadi atau yang dilakukan anak-anak. Mereka akan menggmabarkan
apa yang dilakukan anak atau apa yang baru saja dilakukan anak. Awas, susumu
tumpah, Itu bukit pasir yang indah, minumlah jusmu, hentikan itu! Atau bisa
juga bertanya tentang apa yang dilakukan anak-anak misalnya di mana kaus
kakimu?[8]
Penutur yang bersifat keibuan biasanya
berbicaa tentang kegiatan yang tidak memisahkan waktu dan tempat. Mereka tidak
membahas apa yang akan terjadi minggu depan, bulan depan apalagi tahun depan, tidak berbicara tentang
apa yang terjadi di tempat lain atau tentang peristiwadi negara lain. Seperti
halnya para peneliti yang memfokuskan perhatiannya pada konteks kini dan di
sini. Praktik seperti ini dilakukan untuk menampilkan merujuk pada referensi yang dapat dilihat
secara konkret oleh anak.
3.1.4
Model Bahasa Target (B2)
Di
samping pengaruh positif lingkungan bahasa yang menjadi aturan di mana
pembelajar tidak dipaksa untuk berbicara dengan bahasa baru sebelum mereka
siap, terdapat lingkungan makro keempat yaitu sumber bahasa yang didengar
pembelajar. Ada kemungkinan banyak model, contoh penutur (sebagai model yang
potensial dan setiap mereka bisa berbicara denga menggunakan bahasa target (B2)
tetapi setiap pembelajar tentu saja tidak memperlakukan mereka dalam cara yang
sama. Perlu disadari bahwa meskipun banyak pajanan yang ditampilkan pembelajar
tentu tidak seluruhnya belajar dari
pajanan yang mereka dapatkan itu. Hasil pembelajaran yang tidak diharapkan
kemungkinan terjadi sebagai hasil perhatian mereka yang cukup selektif terhadap
model pembicara yang berbeda-beda dan bukan hasil dari persoalan-persoalan
pembelajaran yang mereka miliki.
(a) Teman sebaya dan
Guru
Ada banyak contoh yang dilakukan para
peneliti pembelajaran bahasa Inggris perihal model pembicara yang lebih disukai
pembelajar dari pada pembicara lainnya. Hal ini jelas berpengaruh pada
kemampuan dan kualitas berbicara mereka. Ilustrasi berikut memberi gambaran tentang bagaimana
pembelajar lebih menyukai satu model pembicara dibandingkan dengan pembicara
lainnya. Teman sebaya dan Guru terlibat dalam tindakan berbicara. Keduanya,
baik guru maupun teman sebaya berbicara dengan menggunakan B2 (bahasa target).
Saat keduanya bericara dengan bahasa
target, berdasarkan observasi, ternayata pembelajar bahasa target lebih
menyukai teman sebayanya sebagai model. Penelitian Milon menampilkan seorang
anak usia tujuh tahun yang berbicara menggunakan bahasa Jepang dan berpindah ke
Hawai ia lebih suka menggunakan bahasa Inggris versi Hawai yang digunakan oleh
anak-anak berusia tujuh tahun daripada menggunakan bahasa Ingggris standar yang
dipakai gurunya selama tahun pertama dia bersekolah. Ketika kemudian anak itu
berpindah ke lingkungan kelas menengah dia lebih mudah dan dengan cepat
menggunakan bahasa Inggris standar yang digunakan oleh teman-temanya.
Dulay juga mencatat adanya temuan yang
sama berkaitan dengan hasil studi B2 dalam program Imersi (penceburan) yang
dilakukan di Kanada dan Amerika. Dalam program penceburan seperti ini
satu-satunya yang berbicara B2 adalah guru. Tidak ada siswa yang berbicara
menggunakan bahasa target. Mereka diceburkan saja. Satu-satunya sumber yang
memberi pajanan adalah guru. Dalam program imersi ini semua pembelajar
memperlajari ilmu dalam bahasa target. Mereka hanya bisa menggunakan bahasa
pertama (B1) saat mereka berada di luar kelas.
Program Imersi ini sebenarnya mau
menggambarkan bahwa kemampuan berbicara pembelajar bukanlah hasil perbaikan
terhadap masalah yang dihadapi anak berkaitan dengan B2 sebagai bahasa target.
Juga tidak memberikan gambaran tentang kualitas bahasa target yang digunakan
guru di dalam kelas. Hasil dari program ini hanya mau memperlihatan tendensi
atau kecenderungan pembelajar terhadap model
B2 atau bahasa targetyang lebih diminati.
(b) Teman Sebaya dan
Orangtua
Dalam
pemebalajaran bahasa pertama ditemukan bahwa kalau karakteristik pembicaraan
antara orangtua dan teman sebaya itu berbeda, anaka-anak cenderung mengikuti
karakteristik pembicaraan teman sebayanya. Ada penelitian yang melaporkan bahwa
anak-anak kulit hitam yang diteliti di Washington DC lebih suka menggunakan
dialek teman sebayanya (dialek Inggris kulit hitam yang jauh berbeda dari
dialek Inggris standar) daripada menggunakan dialek yang dipakai orang oragtua
mereka. Kenyataan yang sama ditemukan bahwa baik anak kulit hitam maupun anak
berkulit putih pada kelas menengah di daerah Timur Laut New Jersey lebih senang
belajar mengucapkan r’s sebelum konsonan seperti kebiasaan temannya di
Jerse daripada menghilangkan bunyi r’s itu seperti yang dilakukan
orangtua mereka yang dibesarkan di New
York. Penelitian ini mau menegaskan
bahwa anak-anak belajar tentang tingkah laku berbahasa lebih banyak dari teman
mereka daripada dari orangtua.
(c) Kelompok sosial sendiri dan kelompok sosial lain
Selain tendensi
umum, anak lebih menyukai teman sebaya daripada orang dewasa sebagai model
dalam belajar bahasa, bebara anak juga mempunyai kencenderungan terhadap dialek
atau bahasa yang digunakan oleh anggota kelompok etnisnya sendiri. Salah satu penelitian yang
dicatat Dulay mengungkapkan kenyataan bahwa anak-anak Maori lebih senang
belajar dialek bahasa Inggris mereka sendiri daripada bahasa Inggris standar
yang berlaku di Selandia Baru yang digunakan anak-anak. Dalam beberapa kasus
tendensi ini secara sadar disampaikan guru. Seorang guru melaporkan bahwa
seorang anak Maori berkata kepadanya seperti ini:” Orang Maori mengatakan
”Who’s your name?, jadi saya mengataka seperti itu. Bahasa Inggris orang Maori sering dijadikan
simbol penting bagi keanggotaan kelompok dan sumber keamanan bagi anak-anak
ini. Dalam hal ini, pembelajar dengan
mudahnya mengatakan bahwa dia ingin
kedengaran seperti etnik yang diasosikan
pada drinya.
Dengan ini mau
dikatakan bahwa pentingnya bahasa sebagai penanda identitas kelompok sosial
yang lebih disukai jangan dan tidak boleh diremehkan di dalam kelas. Pelbagai
kecenderungan seperti yang digambarkan di atas, secara signifikan akan
berpengaruh terhadap kualitas bahasa yang dihasilkan. Perbedaan karakteistik pembicaraan pembelajar
yang dihasilkan berdasarkan pilihan model jelas bukan karena mereka kesulitan memepelajari
B2 tetapi keanggotaan sosial yang disenangi. Di sini jelas implikasinya bahwa
ketersediaan model penutur yang berbeda
menjadi kunci penentu kualitas bahasa yang dihasilkan pembelajar.
3.2 Lingkungan Bahasa Mikro
Faktor Lingkungan
Mikro merupakan karakteristik struktur
bahasa yang lebih khusus atau spesifik yang didengar pembelajar. Mungkin orang
bertanya seberapa sering pertanyaan Ya/Tidak muncul dalam lingkungan pembelajar atau apakah guru melakukan perbaikan ketika
pembelajar melakukan kesalah terkait penggunaan kata yang membedakan jenis
kelamin?
Tercatat ada tiga
faktor mikro untuk lingkungan bahasa yang telah diteliti dengan sudut pandang
pengaruhnya tehadap tingkat dan kualitas pemerolehan bahasa yaitu Salience,
Feedback, dan Frequency. Salience merujuk pada sesuatu yang paling
menonjol. Feedback mengacu pada
tanggapan pendengar atau pembaca terhadapa ucapan, dan atau tulisan
pembelajar. Frequency merujuk
pada jumlah berapa kali
pembelajar mendengar atau melihat sebuah struktur. Faktor lingkungan mikro tampaknya
tidak terlalu berpengaruh terhadadap pembelajaran seperti yang diharapkan.
3.2.1
Yang Dipentingkan yang Menonjol
Apa yang menonjol biasanya menarik
perhatian. Hal yang menonjol
biasanya mudah dilihat dan didengar. Kemenonjolan ini merujuk pada kemudahan
suatu struktur dilihat atau didengar.
Sebagai contoh kebanyakan orang mengenal penggunaan artikel the
dalam bahasa Inggris daripada penggunaan
bentuk lampau yang ditandai dengan penambahan –ed yang ditempatkan
begitu saja pada akhir kata kerja.
Para psikolinguis mendefinisikan Salience
dengan merujuk pada karakteristik tertentu yang kelihatanya membentuk sebuah
artikel yang kelihatan dan kedengaran lebih menonjol dibandingan dengan hal
lainnya. Karakteristik seperti ini bisa saja mencakup sejumlah unsur fonetik
apakah artikel itu sebuah suku kata atau bukan. Apa yang paling menonjol
didengar pembelajar itulah yang lebih
menarik mereka. Sebaliknya apa yang
belum pernah didengar tidak mungkin dipelajar.
3.2.2 Umpan Balik
Faktor lingkungan mikro yang kedua adalah umpan balik. Dalam
penelitian yang berkaitan dengan pemerolehan bahasa Feetback umumnya
merujuk pada tanggapan pendengar dan penutur yang diberikan atas ucapan atau
atas tulisan pembelajar. Jenis umpan balik itu berupa pembetulan, persetujuan,
atau umpan balik positif. Cara lainnya
adalah memperluas atau memodifikasi ucapan pembelajar tanpa sadar memberikan perhatian
pada modifikasi itu. Respon seperti ini dikenal sebagai ekspansi.
(a)
Koreksi
Penelitian menghasilkan pandangan yang
kurang positif terhadap pengaruh koreksi pada kesalahan pembelajar. Guru yang
berpengalaman telah mengetahui cukup lama bahwa mengoreksi ucapan dan
penguasaan grammar siswa mengatakan mereka menginginkan koreksi dan guru menyiapkan koreksi
sebanyak yang mereka bisa, nyatanya baik pada guru maupun siswa kesalahan
sering tidak terpengaruh oleh koreksi. Pada sebuah studi yang dirancang untuk
menentukan pengaruh koreksi kesalahan yang berbeda pada karangan siswa dewasa
ditemukan bahwa baik koreksi terhadap semua kesalahan maupun koreksi terhadap
kesalahan secara selektif tidak membuat perbedaan yang berarti untuk kemahiran siswa dalam hal menulis
(b)
Ekspansi
Ekspansi melibatkan model yang sistmatis
apakah versi yang benar atau yang lebih lengkap dari ucapan anak tanpa mengusik
perhatian anak pada aktivitas itu. Pengaruh ekspansi pada perkembangan ucapan
anak telah diuji sejauh ini pada pemerolehan bahasa pertama. Misalnya, jika
seorang anak mengatakan Mommy eggnog orangtuanya mungkin mengatakan
dalam meresponnya Mommy had her eggnog.
Pengaruh ekspansi pada pembelajaran bahasa
Inggris tidak seleuruhnya jelas.
Hipotesis penelitian mengatakan bahwa model yang sistematis dari koreksi
yang benar secara gramatikal dari ucapan anak-anak bisa menjadi kekuatan utama
dalam kemajuan pemerolehan ternyata ditolak. Penelitian iani menemukan bahwa
ekspansi yang diberikan satu jam per hari selama periode tiga bulan hampir
tidak ada pengaruhnya pada ucapan anak-anak ang ditelitinya. Namun demikian
penelitian yang lebih kemudian menemukan bahwa anak-anak yang secara sistematis
disiapkan ekspansi kalimat selama 13 minggu agak lebih maju secara linguistik dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan atau treatmen. Oleh
karena itu, pengaruh yang pasti dari
ekspansi pada perkembangan bahasa anak masih belum jelas.
3.2.3 Frekuensi
Dalam penelitian berkaiatan dengan masalah pemerolehan
bahasa Frekuensi kemunculan sebuah struktur merujuk pada berapa kali pembelajar
mendengar sebuah struktur yang diberikan. Seorang misalnya bisa menghitung
berapa kali w-h questins muncul dalam ucapan seorang ibu pada anaknya
pada suatu situasi yang bisa mempresentasikan apa yang didengar anak secara
keselruhan. Hitungan itu bisa dianggap frekuensi dari w-h questions di
lingkungan bahasa anak.
Umumnya diasumsikan bahwa semakain banyak
pembelajar mendengar struktur tertentu,
semakin cepat struktur itu diperolehnya. Walaupun sebuah penelitian mendukung
keyakinan ini, penelitian lain ternyata tidak. Dalam sebuah penelitian yang
berlangsung selama empat tahun terhadap tiga anak yang tidak dikenal yang
belajar bahasa Inggris sebagai bahasa pertama ditemukan bahwa anak-anak semua
belajar 14 struktur grammar dengan urutan tertentu. Peneliti kemudian melihat frekuensi digunakannya struktur
itu oleh orangtua anaka-anak itu selama percakapan antara anak dengan orangtua. Peneliti beranggapan
bahwa frekuesi munculnya struktur itu berhubungan dengan urutan yang mereka
pelajari. Kenyataan justru terbalik, ditemukan bahwa struktur yang mereka
pelajari lebih awal tidak merupakan struktur yang digunakan paling sering oleh
orangtua mereka. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
frekuensi orangtua mengucapkan sebuah struktur dengan urutan pemerolehan bahasa
pada anak.
4. Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa di Sekolah
Sungguh disadari, Lingkungan
bahasa menurut Dulay,
et all. (1982) merupakan
salah satu komponen
penting karena
secara signifikan berperan meningkatkan
motivasi dan
penguasaan belajar B2. Pertanyaan
yang perlu dikemukakan adalah
siapakah yang bertanggungjawab untuk menciptakan
dan mengembangkan lingkungan B2. Dulay,
et all. (1982) menegaskan bahwa
tanggungjawab penciptaan lingkungan
bahasa untuk B2 di kelas
adalah guru bahasa.
Mengajarkan B2 atau
bahasa asing berarti menciptakan
sebagian atau seluruh lingkungan bahasa sasaran bagi siswa.
Dalam
implementasinya di sekolah,
bentuk lingkungan yang dapat dikembangkan dapat berupa
lingkungan verbal dan visual. Lingkungan B2 dalam bentuk
verbal dapat dikembangkan
melalui aktivitas komunikasi
lisan di kelas maupun di luar kelas misalnya tegur
sapa antarteman dengan menggunakan B2, penyampaian pegumuman
secara lisan dengan B2, lomba
pidato B2, debat B2,
atau aktivitas-aktivitas lain
yang memberikan kesempatan kepada siswa
menggunakan B2 secara kreatif
sebagai alat komunikasi
lisan. Sementara itu, pengembangan lingkungan dalam
bentuk visual dapat
dilakukan Majalah dinding
ber-B2, pengumman tertulis ber-B2; slogan-slogan ber-B2; Petunjuk-petunjuk
tertulis ber-B2.
Untuk
meningkatkan motivasi belajar
B2, aktivitas pemerolehan B2 itu hendaknya
diciptakan sedemikan rupa.
Dalam implementasinya, guru diharapkan membiasakan
penggunaan B2
di kelas maupun
di luar kelas
secara proporsional, bertahap,
dan fungsional. Selain
itu, guru juga
membelajarkan siswa untuk membiasakan penggunaan B2 sebagai
alat komunikasi, bukan
hanya membelajarkan aturan-aturan
kaidah B2 atau pengetahuan tentang B2 secara
analitis yang rumit,
membosankan, dan membebani
siswa. Beberapa lembaga pendidikan yang menekankan pembiasaan
penggunaan bahasa B2 membuktikan bahwa pembelajaran melalui pemerolehan
menunjukkan hasil yang maksimal.
Allwright seperti dikutip Ellis (1994: 565) menyatakan
bahwa pembelajaran merupakan “the
fundamental fact of classroom pedagogy” karrena karena di dalam kelas
terjadi interksi langsung antara manusia yang berada di dalam kelas, yaitu
komunikasi langsung antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa
dengan guru. Hal ini, menyatakan bahwa interaksi dalam proses belajar di kelas
khususnya proses pembelajaran bahasa kedua (B2) sangatlah penting.
Steinberg (1993)[9]
menyebutkan karakteristik lingkungan pembelajaran bahasa di kelas ada lima segi
yaitu (1) Lingkungan pembelajaran bahasa dikelas
sangat diwarnai oleh faktor psikologi sosial kelas yang meliputi
penyesuaian-penyusaian, disiplin, dan prosedur yang digunakan (2) Di lingkungan kelas dilakukan praseleksi
terhadap data linguistik, yang dilakukan guru berdasarkan kurikulum yang
digunakan (3)
Di lingkungan sekolah disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit untuk
meningkatkan kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di lingkungan alamiah (4) Di lingkungan kelas sering disajikan data
dan situasi bahasa yang
artifisial (buatan), tidak seperti dalam lingkungan kebahasaan alamiah (5) Di lingkungan kelas disediakan alat-alat
peraga
seperti buku teks, buku penunjang, papan tulis, tugas-tugas yang harus
diselasaikan,dan sebagainya.
BUKU RUJUKAN
Dulay,
Heidi, dkk..
1982.
Language Two. New York: OxfordUnivesitiy Press.
Ellis,
Rod. 1986.
Understanding Second
Language Acquisition. Oxford:
Oxford University Press.
Kaswanti, Bambang Purwo 1984. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, Yogyakarta: Kanisius.
Insup, Taylor,. 1990.
Psycholinguistiks: Learning and
Using Language. Englewood Cliffts:
Prentice-Hall.Inc.
Steinberg, D. Denny. 1993. An Introduction to Psycholinguistic, Longman: London & New
York.
Willis, Jane, 1996. A Framework
for Task-Based Learning.
England: Longman.
[1] Insup Taylor, Psycholinguistiks: Learning
and
Using Language. Englewood Cliffts:
Prentice-Hall.Inc. 1990, hal.230.
[2] Heidi Dulay, Marina Burt dan Stephen Krashen, Language Two,
New York: Oxford University Press, 1982 hal.13.
[4] Rod Ellis, Understanding Second
Langguage Acquisition, New York: Oxford University Press, 1986, hal..215-218
Tidak ada komentar:
Posting Komentar