1. Pengantar
Perkembangan linguistik pada saat ini sangatlah pesat.
Dalam perkembangannya, terutama yang berhubungan dengan aliran linguistik,
tentu saja akan menimbulkan masalah-masalah dalam linguistik atau yang
berkaitan dengan linguistik. Berawal dari permasalahan-permasalahan tersebut,
banyak sekali ilmuwan yang mengemukakan ide-idenya tentang cara memahami
lingusitik lebih lanjut. Namun tanpa pengetahuan yang memadai mengenai
linguistik, tentu saja akan banyak kendala dalam memahaminya. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai hakikat dan objek kajian linguistik merupakan pintu masuk
untuk mendalami aliran-aliran linguistik.
Secara umum, perkembangan kajian linguistik tersebut dapat
dilihat dari banyaknya teori dan penelitian yang telah dihasilkan serta
munculnya bermacam gerakan dan aliran. Perkembangan teori-teori tersebut merata
pada berbagai cabang-cabang linguistik, seperti pada fonetik, fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, juga pragmatik. Bukan itu saja,
penelitian-penelitian yang dilahirkan dari perkembangan teori tersebut juga melahirkan
teori baru, sehingga penelitian yang dihasilkan tidak terlepas dari gerakan dan
aliran yang memayungi dunia linguistik.
Teori linguistik
adalah apa yang dikemukakan aliran linguistik tertentu dan aliran linguistik
yang memiliki corak teori tertentu. Kriteria yang dipakai untuk membedakan dan
mengelompokkan teori/aliran linguistik adalah kekhususan cara memahami bahasa
dan corak analisisnya. Ada empat teori besar yang dikategorikan berdasarkan
kriteria tersebut, (1) teori/aliran tradisional yang berdasarkan pada pola
pemikiran filosofis dan bermula dari Plato dan Aristoteles, (2) teori/aliran
struktural yang berlandaskan paham behaviorisme yang beranggapan bahwa jiwa
seseorang dan hakikat sesuatu hanya bisa dideteksi lewat tingkah laku dan
perwujudan lahiriahnya yang tampak, sehingga aliran struktural mengamati bahasa
dan hakikatnya dalam perwujudan sebagai ujar (3) teori/aliran transformasional
yang dipelopori oleh Noam Chomsky dan ini merupakan aksi penolakan atas konsep
strukturalisme bahwa bahasa adalah faktor kebiasaan (4) aliran/teori tagmemik
dan berangkat dari konsep tagmem yang merupakan bagian dari konstruksi
gramatikal dengan empat macam kelengkapan spesifikasi ciri, yakni: slot, kelas,
peran, dan kohesi.
Diskusi ini
membataskan diri pada persoalan yang berkaitan dengan aliran struktural. Hal
yang akan disinggung di sini antara lain (a) Sejarah Singkat Strukturalis (b) Ciri-Ciri
Strukturalis (c) Keunggulan Strukturalis (d) Kelamahan Strukturalis (e) Doktrin
Pokok Strukturalis (f) Perkembangan Lanjut
Strukturalis
Linguistik
strukturalis berusaha mendiskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat
khas yang dimiliki bahasa itu. Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dianggap
sebagai bapak linguistik modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat
dalam bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun dan
diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915. Dalam kaiannya
denga bahasa Saussure menegaskan bahwa
bahasa sebenarnya dapat dikaji dengan teori yang mandiri yang disebutnya “Linguistique”[3] untuk mengimbangi kajian
bahasa melalui disiplin psikologi, filologi, dan filsafat.
Strukturalisme
merupakan arus penting dri pemikiran Eropa tahun 1960-an. Perhatian utma
ditujukan pada penelitian berkaitan dengan cara dan mekanisme berbahasa yang
mencakup tutur kata dan bunyi dalam kaitannya dengan sejarah, institusi sosial,
dan konteks di mana sebuah bahasa berkambang.[4] Aliran Strukturalis atau
Strukturalisme merupakan suatu pendekatan ilmu humanis yang mencoba untuk
menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem kompleks yang
saling berhubungan. Ferdinand de Saussure (1857-1913)[5] dianggap sebagai salah
satu tokoh penggagas aliran ini, meskipun masih banyak intelektual Perancis
lainnya yang dianggap memberi pengaruh lebih luas. Aliran ini kemudian
diterapkan pula pada bidang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi,
psikoanalisis , teori sastra dan arsitektur. Ini menjadikan
strukturalisme tidak hanya sebagai sebuah metode, tetapi juga sebuah gerakan
intelektual di Perancis tahun 1960-an.
Menurut Alison
Assiter[6], ada empat ide umum
mengenai strukturalisme sebagai bentuk ‘kecenderungan
intelektual’. Pertama, struktur menentukan posisi setiap elemen dari
keseluruhan. Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki
struktur. Ketiga, kaum strukturalis tertarik pada ‘struktural’ hukum yang
berhubungan dengan hidup berdampingan bukan perubahan. Dan terakhir
struktur merupakan ‘hal nyata’ yang terletak di bawah permukaan atau memiliki
makna tersirat.
Strukturalisme
memiliki berbagai tingkat pengaruh dalam ilmu sosial, dan pengaruh sangat kuat
dapat terlihat di bidang sosiologi. Aliran Strukturalis menyatakan bahwa budaya
manusia harus dipahami sebagai sistem tanda (system of signs). Robert
Scholes mendefinisikannya sebagai reaksi terhadap keterasingan modernis dan
keputusasaan. Para kaum strukturalis berusaha mengembangkan semiologi
(sistem tanda). Ferdinand de Saussure adalah penggagas strukturalisme abad
ke-20, dan bukti tentang hal ini dapat ditemukan dalam Course in
General Linguistics, yang ditulis oleh rekan-rekan Saussure setelah
kematiannya dan berdasarkan catatan para muridnya. Saussure tidak memfokuskan
diri pada penggunaan bahasa (parole, atau ucapan), melainkan pada sistem
yang mendasari bahasa (langue). Teori ini lalu muncul dan disebut
semiologi. Namun, penemuan sistem ini harus terlebih dahulu melalui
serangkaian pemeriksaan parole (ucapan).
Dengan demikian,
Linguistik Struktural sebenarnya bentuk awal dari linguistik korpus
(kuantifikasi). Pendekatan ini berfokus pada bagaimana sesungguhnya
kita dapat mempelajari unsur-unsur bahasa yang terkait satu sama lain
’sinkronis’ daripada ‘diakronis’. Akhirnya, dia menegaskan bahwa
tanda-tanda linguistik terdiri atas dua bagian, sebuah penanda (pola suara dari
sebuah kata, baik dalam proyeksi mental – seperti pada saat kita membaca puisi
untuk diri kita sendiri dalam hati – atau sebenarnya, realisasi fisik sebagai
bagian dari tindak tutur) dan signified (konsep atau arti
kata). Ini sangat berbeda dari pendekatan sebelumnya yang berfokus pada
hubungan antara kata dan hal-hal di dunia dengan referensinya.
3. Ciri-ciri Aliran Struktural
(a)
Berlandaskan pada
paham behaviourisme. Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap (stimulus-response).
(b)
Bahasa berupa ujaran.
Ciri ini menunjukkan bahwa hanya ujaran saja yang termasuk dalam bahasa. Dalam pengajaran bahasa teori struktural melahirkan
metode langsung dengan pendekatan oral. Tulisan statusnya sejajar dengan
gersture.
(c)
Bahasa merupakan
sistem tanda (signifie dan signifiant) yang arbitrer dan konvensional. Berkaitan
dengan ciri tanda, bahasa pada dasarnya merupakan paduan dua unsur yaitu
signifie dan signifiant. Signifie adalah unsur bahasa yang berada di balik
tanda yang berupa konsep di balik sang penutur atau disebut juga makna.
Sedangkan signifiant adalah wujud fisik atau hanya yang berupa bunyi ujar.
(d)
Bahasa merupakan
kebiasaan (habit). Berdasarkan sistem habit, pengajaran bahasa diterapkan
metode drill and practice yakni suatu bentuk latihan yang terus menerus dan
berulang-ulang sehingga membentuk kebiasaan.
(e)
Kegramatikalan
berdasarkan keumuman.
(f)
Level-level
gramatikal ditegakkan secara rapi. Level gramatikal mulai ditegakkan dari level
terendah yaitu morfem sampai level tertinggi berupa kalimat. Urutan tataran
gramatikalnya adalah morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat. Tataran di atas
kalimat belum terjangkau oleh aliran ini.
(g)
Analisis dimulai dari
bidang morfologi.
(h)
Bahasa merupakan
deret sintakmatik dan paradigmatik
(i)
Analisis bahasa
secara deskriptif.
(j)
Analisis struktur
bahasa berdasarkan unsur langsung. Unsur langsung adalah unsur yang secara
langsung membentuk struktur tersebut. Ada empat model analisis unsur langsung
yaitu model Nida, model Hockett, model Nelson, dan model Wells.
4. Keunggulan Aliran Struktural
(a)
Aliran ini sukses
membedakan konsep grafem dan fonem.
(b)
Metode drill and
practice membentuk keterampilan berbahasa berdasarkan kebiasaan
(c)
Kriteria
kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga mudah diterima masyrakat awam.
(d)
Level kegramatikalan
mulai rapi mulai dari morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat.
(e)
Berpijak pada fakta,
tidak mereka-reka data.
5. Kelemahan Aliran Struktural
(a)
Bidang morfologi dan
sintaksis dipisahkan secara tegas.
(b)
Metode drill and
practice sangat memerlukan ketekunan, kesabaran, dang sangat menjemukan.
(c)
Proses berbahasa
merupakan proses rangsang-tanggap berlangsung secara fisis dan mekanis padahal
manusia bukan mesin.
(d)
Kegramatikalan
berdasarkan kriteria keumuman , suatu kaidah yang salah pun bisa benar jika
dianggap umum.
(e)
Faktor historis sama
sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa.
(f)
Objek kajian terbatas
sampai level kalimat, tidak menyentuh aspek komunikatif.
6. Pernyataan Pokok Aliran Strukturalis
Asumsi Saussure yang terkenal dan merupakan dasar kajiannya adalah bahwa
bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realisasi asumsi tersebut, kajian
pertama yang dilakukan Saussure adalah kajian terhadap struktur bahasa. Hal ini
dilakukan karena Saussure menganggap bahwa bahasa sebagai satu struktur
sehingga pendekatannya sering disebut Structural Linguistics. Kedua,
Saussure mengembangkan pikirannya ke dalam enam dikotomi tentang bahasa, yaitu
(a) dikotomi sinkronik dan diakronik, (b) dikotomi bentuk (form) dan substansi,
(c) dikotomi Signifian dan signifie, (d) dikotomi langue dan Parole, (e)
dikotomi individu dan sosial, dan (f) hubungan sintagmatik dan hubungan
paradigmatik.
Saussure mengistilahkan bahasa-bahasa sebagai fakta-fakta sosial. Fakta
sosial adalah istilah dari pendiri sosiologi, Émile Durkheim, dalam Rules of
Sociological Method (1895),[7] untuk mengacu pada
fenomena gagasan-gagasan dalam ‘minda kolektif’ dalam suatu masyarakat, yaitu
yang di luar fenomena psikologis dan maupun fisikal. Fakta sosial bisa berupa
konvensi dan bisa aturan-aturan. Contoh fakta sosial yang konvensional adalah
kecenderungan orang Amerika mengambil jarak fisik dengan lawan bicara. Contoh
fakta sosial yang berupa aturan-aturan adalah sistem hukum suatu masyarakat.
Bahasa bisa disetarakan dengan sistem hukum atau struktur konvensi. Datanya
berupa fenomena-fenomena fisikal atau parole, sedangkan sistem umumnya adalah
langue atau ‘bahasa’. Data konkret parole diproduksi oleh pengujar-pengujar
secara indivual. Karena penguasaan bahasa setiap orang berbeda-beda, suatu
bahasa tidak pernah lengkap pada diri seseorang; keberadaan lengkapnya secara
sempurna hanya di dalam kolektivitas. Jadi, fakta sosial menurut Saussure bukan
berupa minda kolektif maupun gagasan kolektif seperti yang diterangkan oleh
Durkheim. Akibat perbedaan tersebut, muncul dua pendekatan, yaitu pendekatan
‘individualisme metodologis’ yang berseberangan dengan pendekatan Durkheim
‘kolektivisme metodologis’.
6.1 Sinkronik-Diakronik
Gagasan Saussure dapat dipakai sebagai acuan baru dalam studi bahasa, bahwa
kajian linguistik hendaknya dilakukan secara diakronik dan sinkronik karena
untuk dapat memotret pada suatu waktu tertentu diperlukan pemahaman tentang
bahasa itu untuk satu rentangan waktu. Sebagai pemakai, bahasa dapat ditelaah
dari “keberadaan” bahasa itu sendiri tanpa terikat oleh rentangan waktu yang
berbeda. Kajian diakronik dianggap terlalu sederhana karena hanya
mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah, sedangkan kajian
sinkronik dipandang lebih rumit karena harus mendeskripsikan bahasa itu
sendiri.
6.1.1 Sinkronik
Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan,
dan khronos yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, linguistik
sinkronis mempelajari bahasa sezaman. Fakta dan data bahasa adalah rekaman yang
diujarkan oleh pembicara, atau bersifat horisontal. Linguistik sinkronis adalah
mempelajari bahasa pada suatu kurun waktu tertentu, misalnya mempelajari bahasa
Indonesia di masa reformasi saja.
Saussure mengemukakan bahwa kajian bahasa secara sinkronis amat perlu,
meskipun beliau banyak berkecimpung dalam kajian diakronis. Baginya, kajian
sinkronis bahasa mengandung kesistematisan tinggi, sedangkan kajian diakronis
tidak. Bagi penggunanya, sejarah bahasa tidak memberikan apa-apa kepada
pengguna bahasa mengenai cara penggunaan bahasa. Ada yang perlu bagi pengguna
bahasa, yaitu état de langue atau suatu keadaan bahasa. Suatu keadaan
bahasa terbebas dari dimensi waktu dalam bahasa yang justru memiliki watak
kesistematisan.
Kajian sinkronis justru lebih serius dan sulit. Sistem keadaan bahasa
‘sinkronik’ seperti sistem permainan catur. Setiap buah catur (setara dengan
suatu unit bahasa) memiliki tempat tersendiri dan memiliki keterkaitan tertentu
dengan buah catur lain, dan kekuatan serta pola gerak/jalan tersendiri.
Suatu keadaan bahasa (État de langue)
adalah jaringan keterkaitan yang menentukan nilai suatu elemen benar-benar
tergantung, langsung atau tak langsung pada nilai elemen-elemen yang lain.
6.1.2 Diakronik
Kata diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia yang berarti melalui,
dan khronos yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan linguistik diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki
perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa.
Linguistik diakronis adalah semua yang memiliki ciri evolusi. Ada
berbagai contoh untuk melukiskan dualisme intern (sinkronis dan diakronis),
(a)
Kata Latin “cripus” (berombak, bergelombang,
keriting), menimbulkan kata dasar Perancis crép-, yang membentuk kata kerja
crépir ‘melepa’, dan décrépir, ‘mengupas lepa’. Pada suatu waktu, bahasa
Perancis meminjam kata Latin décrepitus, ‘usang karena usia’, untuk membentuk
décrépit; tetapi ternyata orang melupakan asal kata ini.
(b)
Bupati dari kata Sansekerta bhu = bumi atau tanah dan
kata Sansekerta patti = kepala atau penguasa sehingga bupati berarti
kepala tanah, penguasa tanah, tuan tanah, kepala daerah
(c)
Kalkulasi: dari kata bahasa Latin Calculus = kerikil atau
batu kecil, batu kecil untuk menghitung. Dahulu orang menghitung dengan
menggunakan krikil kemudian berkembang menjadi sipoa atau sempoa dan yang
paling modern orang menghitung dengan menggunakan kalkulator. Jadi, kalkulasi, kalkulator dilihat secara
diakronis merupakan kata yang latin calculus yang mengalamai evolusi.
Jika seseorang hanya melihat sisi diakronis bahasa, maka yang ia lihat
bukan lagi langue, melainkan sederet “peristiwa” yang notabene merupakan
parole. Linguistik diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara
unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang
sama, dan yang satu menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara
mereka. Sebaliknya, linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan logis
dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan membentuk
sistem, seperti dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama.
6.2 Bentuk-substansi
Dikotomi antara bentuk dengan substansi, Saussure menekankan bahwa kajian
linguistik harus ditinjau dari segi bentuk dan substansi. Bagi Saussure,
substansi penting, namun bentuk lebih penting. Oleh karena itu, dalam kajian
bahasa, nilai suatu unsur (langsung atau tidak langsung) sangat bergantung pada
nilai unsur lain.
6.3 Signifie-signifiant
Bahasa adalah alat
komunikasi di dalam masyarakat yang menggunakan sistem tanda yang maknanya
dipahami secara konvensional oleh anggota
masyaraat bahasa tersebut. Tanda bahasa terdiri atas dua unsur yang tak terpisahkan
yaitu unsur citra akustik (bentuk) (signifiant/petanda) dan unsur konsep
(signifie)/penanda). Hubungan kedua unsur ini didasari konvensi dalam kehidupan sosial. Kedua unsur ini terdapat di
dalam pikiran atau kognisi pemakai bahasa.
Saussure berpendapat bahwa bahasa meliputi suatu himpunan tanda satu
lambang yang berupa menyatunya signifiant (signifier, bagian bunyi ujaran)
dengan signifie (signified, bagian makna). Kedua bagian itu tidak dapat
dipisahkan karena ujaran dan makna ditentukan oleh adanya kontras terhadap
lambang-lambang lain dari sistem itu. Bahasa tanpa suatu sistem tidak akan ada
dasar yang dapat dipergunakan untuk membedakan bunyi-bunyi yang ada ataupun
konsep-konsep yang ada.
6.3.1 Signifie
Signifie merupakan kandungan mental atau citra mental suatu bahasa. Yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah makna suatu bahasa. Signifie (penanda)
merupakan pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Setiap tanda
tidak dapat dipisahkan dari tanda yang lain karena baik lafal maupun maknanya
dipahami atas perbedaanya dari yang lain.
Dari segi mental, bahasa merupakan suatu totalitas pikiran dalam jiwa
manusia. Dari segi fisik, bahasa adalah getaran udara yang lewat suatu tabung
dalam alat bicara manusia. Jadi, bahasa merupakan pertemuan antara totalitas
pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat manusia melalui alat-alat bicaranya.
Misalnya gambar meja dilambangkan dengan meja (Indonesia), table (Inggris), Mensa
(Latin).
Apabila ada orang berujar meja dan kita mendengar rentetan bunyi /m, e, j,
a/ itulah yang disebut signifiant, sedangkan bayangan kita terhadap sebuah meja
disebut signifienya, yaitu sebuah prabot rumah tangga/kantor berkaki,
permukaannya datar, bisa berbentuk bundar, atau bersegi, dan deskripsi lainnya
tentang meja.
6.3.2 Signifiant
Bahasa adalah sistem lambang dan lambang itu sendiri adalah kombinasi
antara bentuk (signifiant) dan arti (signifie). Signifiant merupakan bentuk
bahasa yang terkandung dalam sekumpulan fonem. Signifiant juga sebagai
perwujudan akustik suatu bahasa atau wujud dasar sistem fonologi suatu bahasa.
Jadi, signifiant (penanda) merupakan citra bunyi atau kesan psikologis bunyi
yang timbul dalam pikiran kita.
6.4 Individu-sosial
Dikotomi antara individu dan sosial, Saussure mengatakan bahwa perilaku
berbahasa anggota masyarakat sangat ditentukan oleh kelompoknya, meskipun ciri
perilaku berbahasa masing-masing anggota berbeda antara satu dan lainnya.
Perbedaan perilaku individu tidak akan menyimpang dari perilaku kolektif yang
ada pada kelompok.
6.5 Langue-parole
Dikotomi antara langue dan parole dan dikotomi antara sintakmatik dan
paradigmatik sebagai bukti bahwa bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realitas sosial bahasa sangat terikat oleh collective
mind bukan individual mind. Sebagai collective mind, bahasa
merupakan perpaduan antara parole dan langue. Parole mengacu pada tindak ujar
dalam situasi yang sesungguhnya oleh masing masing individu. Langue ialah
sistem bahasa yang dipakai secara bersama-sama oleh masyarakat penuturnya.
Gagasan Saussure tentang fakta sosial,
langue, dan parole, menjadi pilar-pilar konsepnya mengenai struktur gagasan
yang amat kontroversial. Para bahasawan tertarik berkomentar. Pendekatan
Saussure kembali mengemuka ketika dihadapkan pada pandangan Noam Chomsky.
Pandangan Chomsky (1964) yang amat berpengaruh adalah yang membedakan
kompetence dari performance. Pembedaan tersebut tampak ada kemiripan dengan
pembedaan langue dan parole oleh Saussure. Bahkan, Chomsky sendiri menyamakan
konsep linguistic competence yang diperkenalkannya dengan konsep langue. Namun,
sesungguhnya kedua konsep tersebut berbeda.
Konsep langue dan parole menyisakan
masalah besar dalam sintaksis. Meskipun tidak disebut dalam bukunya, unit-unit
(abstrak) yang bermakna sepeti morfem dapat dimasukkan ke dalam langue, masuk
dalam sistem, disediakan untuk dipakai dengan jumlah terbatas. Morfem
disediakan dalam langue dan dapat digunakan untuk membedakan suatu morfem
dengan morfem yang lain. Sintaksis juga unit abstrak bermakna. Kita perlu
membedakan dan memilih sintaksis satu dari sintaksis yang lain ketika hendak
berkomunikasi. Bedanya dari morfem adalah bahwa jumlah struktur kalimat –
sintaksis – tidak terbatas dan bisa terus bertambah. Jika demikian, sintaksis
tidak masuk dalam langue, melainkan dalam parole.
6.5.1 Langue
Langue mengacu pada sistem bahasa yang
abstrak. Sistem ini mendasari semua ujaran dari setiap individu. Langue
bukanlah suatu ujaran yang terdengar, tulisan yang terbaca, melainkan suatu
sistem peraturan yang umum dan mendasari semua ujaran nyata. Langue adalah
totalitas dari sekumpulan fakta bahasa yang disimpulkan dari ingatan pemakai
bahasa dan merupakan gudang kebahasaan yang ada dalam otak setiap individu.
Saussure mengatakan bahwa langue merupakan
keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam
masyarakat bahasa dan memungkinkan para penutur saling memahami dan
menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue adalah pengetahuan
dan kemampuan berbahasa yang bersifat kolektif dan dihayati bersama oleh semua
warga masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami.
Eksistensi langue memungkinkan adanya parole merujuk pada cara pembicara
menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, masyarakat merupakan
pihak pelestari langue.
Dalam langue terdapat batas-batas negatif
(misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, asosiatif dan
sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya apabila seseorang
mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode,
suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi
yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penutur terdahulu. Langue telah dan
dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda
bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda bahasa tersebut dapat menjadi
lambang tulisan yang konvensional.
Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi
dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa lambang-lambang bahasa konkret;
tulisan-tulisan yang terindera dan teraba (terutama bagi tuna runggu). Langue
adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh: Pergi! Dalam kata
ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi! dapat juga
kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol
atau dengan tanda-tanda militer.
Langue seperti permainan catur, apabila
buah caturnya dikurangi akan berubah dan bahkan permainan akan kacau, demikian
halnya dalam langue. Jika struktur (sistem) kita ubah, maka akan kacau balau
juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini diubah menjadi: nasi makan
saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal.
Langue perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar
langue terbentuk. Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu
mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!” adalah parole, tetapi ia juga termasuk
langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya pun ada. Langue hadir
secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak;
kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi
di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap
individu.
Langue bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya:
1 + 1 + 1 + 1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan
secara sama oleh orang banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat
bahasa tahu. Menurut Alwasilah[8], langue adalah tata
bahasa + kosakata + sistem pengucapan. Langue bersifat stabil dan sistematis.
Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya:
penjajahan (bahasa) Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh
Saussure berpendapat bahwa langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan
dari mana langue tersebut berasal. Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu
mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita tidak perlu tahu dari bangsa
(suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua masyarakat bahasa.
Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk
mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah, tetapi para penutur tidak
mungkin mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi, tetapi terbuka
bagi perkembangan. Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi, melainkan
benda konkret. Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan
“pohon” yang lain adalah bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita
artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena ada kerjasama antara penanda dan
petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari substansi bunyi
seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah,
putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud
bahasa jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga
dalam bentuk bunyi).
6.5.2 Parole
Parole adalah bahasa tuturan, bahasa sehari-hari[9]. Intinya, parole
adalah keseluruhan dari apa yang diajarkan orang, termasuk
konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur dan
pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi
ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole adalah perwujudan langue pada
individu. Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Parole bukan fakta
sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar, termasuk kata
apapun yang diucapkan oleh penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat
diteliti. Dalam parole harus dibedakan unsur-unsur berikut.
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan
penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya, perang, kataku,
perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia
menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama
dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua). Kedua, mekanisme
psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut.
Parolelah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap pada saat
kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara
langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole.
Bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan
merupakan perilaku pribadi. Parole dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ +
1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun akan dilafalkan secara berbeda, baik
orang yang sama maupun oleh banyak orang.
6.6 Sintakmatik-paradigmatik
Selanjutnya, hubungan paradigmatik merupakan hubungan yang menyatakan
adanya kemampuan mengganti unsur dalam suatu lingkungan yang sama, sedangkan
hubungan sintakmatik adalah hubungan yang menyatakan adanya kemampuan
mengombinasikan ke dalam konstruksi yang lebih besar.
Bagi Saussure bahasa
menggunakan tanda yang dimaknai secara konvensional. Tanda-tanda bahasa itu
disusun dalam rangkaian yang disebutnya rangkaian sintagmatik. Dalam hal ini
tanda bahasa ada dalam rangkaian sintakmatik yaitu rangkaian tanda yang berada
dalam ruang dan waktu yang sama atau relasi in praesenstia.
6.6.1 Sintakmatik
(Horizontal)
Hubungan sintakmatik
adalah hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam satu
tindak bicara. Unit-unit kebahasaan dapat digabungkan menjadi bangun yang lebih
panjang.
Contoh. Budi
menendang bola adalah deretan Budià menendangà bola. Urutan ketiga kata
ini bukan bersifat manasuka tanpa berpatokan pada kaidah (langue) bahasa
Idonesia. Arah panah pada contoh tidak hanya
memperlihatkan urutan (bahasa
yang linear) tetapi hubungan
sintaksis subjek—predikatà objek. Meskipun
urutan itu diubah, fungsi gramatikal tetap misalnya Bolaà Budià tendang; Tendangà bolaà Budi. Terlihat di
sini bahwa fungsi gramatikal bahasa tidak selalu terikat pada aspek linearitas.
Kata-kata dalam sebuah bahasa berada dalam relasi sintagmatik tersusun dalam
sebuah struktur.
Pada kalimat Budi
menendang bola terbentuk dari unsur Budi,
menendang, bola yang masing-masing menempati ruang kosong yang
kemudian disebut gatra. Kaidah (langue) bahasa Indonesia gatra dapat diisi
dengan unsur bahasa tertentu saja. Jadi, gatra adalah ruang kosong yang terdapat sebelum, di tengah, dan
sesudah panah. Pada contoh kita sebut
gatra [1] Ã [2] Ã [3]. Dalam sintaksis
[1], [2], [3] disebut fungsi sintaksis dan dalam hal ini setiap fungsi itu
dapat diisi oleh kata tertentu sesuai dengan kaidah. Dalam contoh yang sama
Budià menendangà bola, gatra [1] yang
diisi Budi bisa diisi Ali, Candra, Damar, Dia, Mereka, Adik, dll. Tetapi
kata-kata itu tidak dapat berada di ruang dan waktu yang sama. Kata-kata itu
hanya bisa diasosiasikan secara in
absentia. Hubungan itu dikatakan
hubungan asosiatif atau kata-kata itu berada dalam relasi asosiatif. Kata-kata yang mengisi gatra tergolong kata
sejenis atau disebut berada dalam paradigma yang sama. Hal yag sama bisa
berlaku untuk kata menendang bisa diisi kata mengambil, melempar,
menyembunyikan, membuang; bola bisa isi
dengan kata batu, kelapa, piring. Relasi asosiatif ini kemudian disebut relasi
paradigmatik. Pada tataran langue stiap penutur
bahasa menguasai semacam piranti
atau jejaring unsur-unsur bahasa yang tergolong-golong dalam paradigma dan unsur-unsur itu saling membedakan.
Jejaring inilah ang disebut sebagai sistem bahasa.
6.6.2 Paradigmatik
(vertikal)
Hubungan paradigmatik
adalah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan
bentuk dasar dari unit bahasa. Hubungan paradigmatik adalah hubungan
antarelemen yang dapat saling menggantikan dalam slot yang sama dalam struktur
kebahasaan, seperti yang tampak pada matriks dibawah ini.
Budi (S)
|
Menendang (P)
|
Bola (O)
|
|||
S
|
Ali
|
P
|
memotong
|
O
|
kayu
|
S
|
Candra
|
P
|
memukul
|
O
|
kucing
|
S
|
Damar
|
P
|
menendang
|
O
|
Batu
|
S
|
Dia
|
P
|
mengambil
|
O
|
roti
|
S
|
Mereka
|
P
|
melempar
|
O
|
mangga
|
S
|
Ibu
|
P
|
menjahit
|
O
|
baju
|
S
|
......
|
P
|
.......
|
O
|
......
|
7.
Aliran Lain yang mengembangkan Konsep Struktural
Pendekatan ini juga
diikuti oleh sarjana-sarjana pada dekade berikutnya, seperti Franz Boas
(1858–1942) sarjana Antropologi Amerika kelahiran Jerman; Edward Sapir (1884 –
1939) sarjana Antropologi dan Linguistik; dan Leornard Bloomfield (1887 – 1949)
sarjana Linguistik yang akhirnya tergabung dalam aliran linguistik struktural.
Para sarjana tersebut mengembangkan kajian bahasa pada bahasa lain yang belum
pernah diselidiki sebelumnya, bahkan mengembangkannya dengan membentuk
aliran-aliran baru dalam kajian linguistik. Aliran yang berafiliasi pada aliran
stuktural ini antara lain
Aliran Praha
Aliran praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang
tokohnya, yaitu Vilem Mathesius (1882 – 1945). Dalam bidang fonologi aliran
Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan
fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi
mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem. Sumbangan aliran ini
dalam dalam bidang fonologis (mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu
sistem) dan bidang sintaksis dengan menelaah kalimat melalui pendekatan
fungsional.
Aliran Glosematik
Aliran Glosematik lahir di Denmark,
tokohnya antara lain : Louis Hjemslev (1899 – 1965), yang meneruskan ajaran
Ferdinand de Saussure. Hjemslev juga menganggap bahasa sebagai suatu sistem
hubungan, dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.
Namanya menjadi terkenal karena usahanya untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu
yang berdiri sendiri, bebas dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis, dan
terminologis sendirian.
Aliran Firthian
Aliran firthian, nama John R. Firth (1890
– 1960) guru besar pada Universitas London sangat terkenal karena teorinya
mengenai fonologi prosodi. Karena itulah, aliran yang dikembangkannya dikenal
dengan nama aliran Prosodi. Nama John R. Firth
terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi prosodi adalah
suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis.
Linguistik Sistemik (Sistemic
Linguistics)
Aliran linguistik
sistemik tidak dapat dilepaskan dari nama M.A.K Halliday, yaitu salah seorang
murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa, khususnya yang
berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Sebagai penerus Firth dan
berdasarkan karangannya Categories of the Theory of Grammar,
maka teori yang dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama Neo-Firthian
Linguistics atau Scals and Category Linguistics.
Namun kemudian ada nama baru, yaitu Systemic Linguistics (SL). Pokok
pandangan aliran ini adalah: (1) SL memberikan perhatian penuh pada segi
kemasyarakatan bahasa (2) SL memandang bahasa sebagai pelaksana (3) SL
mengutamakan pemerian ciri-ciri bahasa tertentu beserta variasinya (4)SL
mengenal adanya gradasi/kontinum (5)SL menggambarkan tiga tataran utama bahasa.
Aliran Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Faktor yang
menyebabkan berkembangnya aliran strukturalisme ini (1) masa itu para linguis
di Amerika menghadapi masalah yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian di
Amerika yang belum diperlukan (2) Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik
sejalan dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu
filsafat behaviorisme (3) Di antara linguis-linguis itu ada hubungan
yang baik, karena adanya The Linguistics Society of America,
yang menerbitkan majalah Language; wadah tempat
melaporkan hasil kerja mereka. Ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara
kerja mereka yang sangat menekankan pentingnya data yang objektif untuk
memberikan suatu bahasa. Disebut aliran Bloomfield karena bermula dari gagasan
Bloomfield. Disebut juga sebagai aliran taksonomi karena aliran ini
menganalisis dan mengklasifikasikan unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan
hierarkinya.
Aliran Tagmemik
Aliran ini dipelopori
oleh Kenneth L. Price, seorang tokoh dari Summer Institute of Linguistics, yang
mewarisi pandangan-pandangan Bloomfeld, sehingga aliran ini juga bersifat
strukturalis, tetapi juga antropologis. Menurut aliran ini satuan dasar dan
sintaksis adalah tagmem (susunan). Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau
slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling diperlukan untuk
mengisi slot tersebut.Tagmem ini tidak dapat dinyatakan dengan fungsi-fungsi saja.
Seperti subjek + predikat + objek dantidak dapat dinyatakan dengan
bentuk-bentuk saja, seperti frase benda + frase kerja + frase benda, melainkan
harus diungkapkan kesamaan dan rentetan rumus seperti: S : FN + P : FV + O : FN
artinya, fungsi subjek diisi oleh frase
nominal diikuti oleh fungsi predikat yang diisi oleh frase verbal dan diikuti
pula oleh fungsi objek yang diisi oleh frase nominal.
***
Sumber Rujukan
Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap
Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chaedar A. Alwasilah.1993.
Linguistik
Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta:
Rineka Cipta
Fayyadl, Muhammad Al. 2011. Derrida.
Yogyakarta: Lkis.
Giddens Anthony, 2009. Problematika Utama dalam Teori
Sosial: Aksi, Struktur dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial. Dariyatno
(Pentj.), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Hoed Benny H. 2008. Semiotik dan
Dinamika Sosial Budaya, Jakarta: FIB UI.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar
Linguistik Umum. Terjemahan Cours de Linguistique Generale oleh
Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Verhaar, JWM. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum,
Jogyakarta: Gadjah Mada University Press.
[1]
Bahan ini disipakan untuk diskusi dalam Kuliah Linguistik
Lanjut, Senin, 22 Oktober 2012, pada Program Pascasarjana UM.
[2] Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, .Jogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1993, hal. 1-55
[3] Persoalan ini secara lebih
rinci diulas Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Jakarta: FIB
UI, 2008, hal.45-73.
[4] Muhammad Al Fayyadl, “ Melampaui
Strukturalisme, Menuju Emansispasi Teks” dalam Derrida, Yogyakarta: Lkis,
2011, hal.29-71
[5] Ferdinand de Saussure, Op.Cit., Loc.,
Cit.
[6] Gagasan Alison Assiter ini dapat
ditemukan pada artikelnya “ Althusser dan Strukturalisme” dalam jurnal British Sociology, vol.35
no.2, Blackwell Publishing, 1984.
[7] Beryl Langer, “Emile Durkheim” dalam Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial:
Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2002, hal.101-110.
[9] Bandingkan Verhaar,JWM. Asas-Asas Linguistik Umum,
Jogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010, hal.3-4.