Lingua Maledicta Sicut Vipera Virus Mortiferum Promit: Bahasa Jelek Ibarat Ular Penyembur Bisa Mematikan
Selasa, 26 Maret 2013
ANALISIS WACANA DENGAN PENERAPANNYA PADA BEBERAPA WACANA
1. Pendahuluan
Dalam introduksi awal perkuliahan tentang analisis wacana, telah dipahami bahwa Analisis wacana (selanjutnya disingkat AW) merupakan kajian kebahasaan (linguistik) yang difokuskan pada unit bahasa khusus yang lebih tinggi dari kalimat ( lht.Schiffrin, 1987:1; dalam Syukur, 2007:24-25) Wacana diartikan sebagai “organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa yang berwujud percakapan (lisan) atau teks-teks tertulis” (lht.Stubbs, 1983: 10; Crystal, 1985:96) Penerapan AW yang diangkat Soseno Kartomihardjo (1993:21-50) pada dasarnya mau menegaskan dimensi aksiologis analisis wacana, di samping dimensi ontologis dan epistemologisnya sebagai sebuah disiplin ilmu. Dengan kata lain, apa yang dibahas dalam tulisan Kartomihardjo ini sesungguhnya menjadi sebuah argumentasi yang tidak terbantahkan tentang penting dan manfaat AW dalam kehidupan manusia terutama dalam penggunaan dan pemaknaan bahasa.
Pelbagai bentuk dan ekspresi bahasa yang digunakan dalam praksis kehidupan, terbukti tidak dapat dijelaskan secara tuntas dengan kajian linguistik seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Kajian dan AW hadir untuk memberikan penjelasan terhadap masalah bahasa yang tidak terpecahkan dalam kajian linguistik sebelumnya. Analisis wacana dalam penerapannya pada dasarnya terkait erat dengan masalah pragmatik.
Mengingat batasan Wacana sebagai tataran linguistik yang melampaui kalimat, proses analisis wacana dengan sendirinya berbeda dibandingkan dengan proses menganalisis kalimat. Analisis kalimat (sintaksis) diarahkan pada upaya memaknai kalimat dari aspek linguistiknya (menganalisis unsur-unsur pembentuk kalimat) berdasarkan kategori, fungsi, dan peran kata yang membentuk kalimat. Analisis kalimat tidak menyertakan konteks, sedangkan Analisis wacana menuntut kontkes sebagai unsur yang menentukan kebenaran makna sebuah tuturan.
2. Wujud Wacana
2.1. Wacana Lisan dan Tulis
Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, wacana dibedakan atas wacana tulis dan wacana lisan. Wacana lisan berbeda dari wacana tulis. Wacana lisan cenderung kurang terstruktur (gramatikal), penataan subordinatif lebih sedikit, jarang menggunakan piranti hubung (alat kohesi), frasa benda tidak panjang, dan berstruktur topik-komen. Sebaliknya, wacana tulis cenderung gramatikal, penataan subordinatif lebih banyak, menggunakan piranti hubung, frasa benda panjang, dan berstruktur subjek-predikat.
2.2 Wacana Monolog, Dialog, dan Polilog
Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi, ada tiga jenis wacana, yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. Bila dalam suatu komunikasi hanya ada satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari peserta yang lain, maka wacana yang dihasilkan disebut monolog. Dengan demikian, pembicara tidak berganti peran sebagai pendengar. Bila peserta dalam komunikasi itu dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya), maka wacana yang dibentuknya disebut dialog. Jika peserta dalam komunikasi lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, maka wacana yang dihasilkan disebut polilog.
2.3 Wacana Deskripsi, Eksposisi, Argumentasi, Persuasi, dan Narasi
Dilihat dari sudut pandang tujuan berkomunikasi, dikenal ada wacana dekripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, dan narasi. Wacana deskripsi bertujuan membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal pada penerima pesan. Wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima agar yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh penerima pesan.. Wacana argumentasi bertujuan mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan didasarkan pada pertimbangan logika. Wacana persuasi bertujuan mempengaruhi penerima pesan agar melakukan tindakan sesuai yang diharapkan penyampai pesan. Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Oleh karena itu, unsur-unsur yang biasa ada dalam narasi adalah unsur waktu.
3. Makna dalam AW terikat Konteks
Ilustrasi yang diangkat Kartamihardjo dalam tulisannyan pada dasarnya mau menjelaskan betapa sebuah wacana dalam pemaknaannya bisa bervariasi karena bergantung dan ditentukan konteks yang menyertainya. Ujaran: “Mobil saya mogok” dalam kajian linguistik (sintaksis) termasuk sebuah kalimat berita yang berisi informasi. Dalam kajian wacana atau AW ujaran “ Mobil saya mogok” dapat berarti sebagai pertanyaan dari pemilik kendaraan tentang tempat penjualan bahan bakar dan bengkel perbaikan. Dalam konteks masyarakat Amerika ujaran itu merujuk pada kondisi kendaraan kehabisan bahan bakar dan kondisi kendaraan yang rusak. Tangapan mitratutur untuk ujaran itu berarti pemilik kendaraan mencari tempat pengisian bahan bakar yang sekaligus tempat reparasi. Dalam konteks Indonesia tuturan itu, dapat saja dimaknai sebagai bentuk atau cara meminta bantuan kepada mitra tutur yang dapat diketahui dari rumusan tutuaran mitratuturnya: “didorong, ya Pak?” Jika konteks tuturan itu terjadi di daerah terpencil yang memang tidak menyediakan bahan bakar maka kemungkinan pembicara mendapatkan tanggapan dari lawan mitratutur dalam tuturan:”Aku bisa pergi membelinya di kota Pak!”
Contoh lain tuturan si Boy berikut
Si Boy: “Semalam ibuku masuk rumah sakit”
Tuturan ini, jika tidak diketahui konteksnya hanya bisa dimaknai sebagai sebuah kalimat berita yang menginformasikan ekpada mitratutur bahwa ibu pembicara malam sebelumnya masuk ke rumah sakit. Jika ujaran Boy ini diujarkan ketika gurunya marah saat pelajaran karena Boy kelihatan mengantuk, maka ujaran Boy menjadi peredam kemarahan guru karena Boy mengantuk karena semalam ia menemani ibunya ke rumah sakit. Jika tuturan itu sisampaikan Boy kepada gurunya saat semua temannya mengumpulkan tugas, pekerjaan rumah dan Boy tidak mengerjakan tugasnya maka ujaran itu merupakan bentuk perhomnan keringanan agar tugasnya dikumpulkan demikian. Kalau ujran itu diujarkan Boy kepada teman-temannya, setelah pelajaran ujaran itu dapat bermakna sebagai ajakan untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Kalau ujaran itu disampaikan Boy saat berhadapan dengan penagih rekening listrik, maka ujaran itu berarti mau mengatakan bahwa Boy tidak memiliki uang untuk melunasi rekening listrik
Wujud Tuturan Konteksnya Maknanya
Semalam Ibuku masuk rumah sakit Boy dimarahi gurunya karena ia ngantuk saat pelajaran berlangsung Meredam kemarahan sang guru
Boy tidak mengumpulkan tugas, pekerjaan rumah
Memohon agar diberi kelonggaran untuk menunda mengumpulkan tugas
Boy bercerita kepada temannya setelah pelajaran berakhir dan melintas di dekat rumah sakit Mengajak temannya untuk menjenguk ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit
Boy mengujarkannya saat berhadapan dengan petugas PLN yang datang menagih rekening listrik Memohon kepada petugas PLN untuk dibebaskan dari denda karena keterlambatan membayar; Boy tidak memilki uang untuk melunasi
Boy mengujarkannya saat temannya mengajaknya mengikuti kegiatan piknik ke luar kota Menolak ajakan untuk mengikuti teman berpiknik ke luar kota
Boy mengujarkannya ketika berhadapan dengan penyelidik dari kepolisian karena rumah Boy kemasukan pencuri Alasan mengapa rumahnya kemasukan pencuri.
4. Konteks Situasional
Konteks dapat dibatasi sebagai segala sesutau yang yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Secara garis besar, konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Konteks Linguistik mencakup fonologi dan fonemik – melibatkan aspek hentian atau kesenyapan bunyi, intonasi, tekanan, nada; morfologi, dan sintaksis – melibatkan aspek perujukan, pengguguran, pautan leksikal, penggantian dan kata hubung; semantik – melibatkan hubungan sebab-akibat, sebab-tujuan, sebab-hasil, latar-kesimpulan, perbandingan. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog, atau polilog). Dalam berbahasa pengguna bahasa dituntut untuk memperhatikan konteks secara tepat dalam rangka menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa yang mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.
Dalam AW konteks mencakup seluruh lingkungan baik itu lingkungan tutur maupun lingkungan teks. Berkaitan dengan itu penafsiran teks harus diikuti dengan pemahanan tentang konteks situasi dan konteks budaya. Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Buttetal., 1999:11). Mengkaji bahasa secara fungsional pada hakikatnya mengkaji tiga aspek yang saling terkait, yakni teks, konteks situasi (context of situation), dan konteks budaya (context of culture).
Pandangan Halliday tersebut dieksplisitkan oleh Fairclough dalam memandang wacana dan analisis wacana. Wacana dalam pandangan Fairclough harus dilihat secara simultan sebagai tiga serangkai yang dialogis (i) teks-teks bahasa, baik lisan atau tulisan, (ii) praksis kewacanaan, yaitu produksi dan interpretasi teks, dan (iii) praksis sosiokultural, yakni perubahan-perubahan masyarakat, institusi, kebudayaan, dan sebagainya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Ketiga unsur itu menurut Fairclough disebut dengan dimensi wacana. Menganalisis wacana hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara integral.
Persoalan konteks nonlinguistik atau ekstra linguistik ini kemudian dirumuskan Dell Hymes dalam sebuah akronim SPEAKING ( Setting – tempat/situasi formal atau tidak formal; Participants – pemeran yang terlibat (penutur, pendengar, penonton, penulis, pembaca); Ends, purpose, goals – tujuan akan menentukan corak perlakuan dan akan menghasilkan kesan daripada tujuan tersebut; Act-sequence – giliran bertutur tidak ditentukan tetapi difahami masa giliran diambil; Keys – tone or spirit of act; cara yang dipengaruhi situasi; Instrumentalities – bentuk wacana lisan atau bertulis; Norms – norma kebiasaan atau peraturan dalam penggunaan bahasa dari segi pemilihan kata, susunan kata, intonasi; dan Genre – jenis / ragam wacana yang melibatkan struktur, gaya dan isi yang tersendiri.
Sasaran utama dalam AW bukan pada struktur kalimat tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik. Konteks dikatakan penting dalam AW karena (1) dengan konteks mudah mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik (2) konteks dapat menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wancana (3) konteks bermanfaat dalam mencari bentuk tidak terujar yaitu bentuk yang memiliki unsur tidak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks.
5. Persoalan Interpretasi
Dalam AW berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal dalam konteks AW merujuk pada wujud wacana atau teks yang memiliki struktur tertentu yang umumnya bermakna karena wacana itu terikat oleh unsur kesatuan bentuk dan kesatuan makna yang dalam bahasa disebut sebagai piranti kohesi dan koherensi. Dalam AW konteks yang dipilih hanyalah yang mendukung atau dinilai relevan dalam proses analisis. Konteks nonlinguistik yang merupakan konteks lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan.
Dalam prinsip ini hal yang diperhitungkan berkaitan dengan kedekatan keseluruhan latar wacana itu (baik berkaitan dengan tempat, waktu, maupun suasana). Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai. Dengan interpretasi analogi itu, analis sudah dapat memahami wacana dengan konteks yang relevan saja. Hal itu berarti bahwa analis tidak harus memperhitungkan semua konteks wancana.
6. Persoalan Skemata; Pengetahuan tentang Realitas
Ketepatan interpretasi dalam Analisis Wacana sangat bergantung pada Skemata. Skemata adalah pengetahuan yang terkemas secara sistematis dalam ingatan manusia. Skemata itu memiliki struktur pengendalian, yakni cara pengaktifan skemata sesuai dengan kebutuhan. Ada dua cara yang disebut pengaktifan dalam struktur itu, yakni (1) cara pengaktifan dari atas ke bawah dan (2) cara pengaktifan dari bawah ke atas. Pengaktifan atas ke bawah adalah proses pengendalian skemata dari konsep ke data atau dari keutuhan ke bagian. Pengaktifan bawah ke atas adalah proses pengendalian skemata dari data ke konsep atau dari bagian ke keutuhan.
Skemata berfungsi baik bagi pembaca/pendengar wacana maupun bagi analis wacana. Bagi pendengar/pembaca, skemata berfungsi untuk memahami wacana. Bagi analis wacana, di samping berfungsi untuk memahami wacana, skemata juga berfungsi untuk melakukan analisis berbagai aspek wacana: elemen wacana, struktur wacana, acuan kewacanaan, koherensi dan kohesi wacana, dan lain-lain.
Kegagalan pemahaman wacana terjadi karena tiga kemungkinan. Pertama, pendengar/pembaca mungkin tidak mempunyai skemata yang sesuai dengan teks yang dihadapinya. Kedua, pendengar/pembaca mungkin sudah mempunyai skemata yang sesuai, tetapi petunjuk-petunjuk yang disajikan oleb penulis tidak cukup memberikan saran tentang skemata yang dibutuhkan. Ketiga, pembaca, mungkin mendapatkan penafsiran wacana secara tetap sehingga gagal memahami maksud penutur.
7. Persoalan Pragmatik: (Implikatur, Praanggapan, Inferensi, Referensi)
Istilah Implikatur, Praanggapan, Inferensi, dan Referensi merupakan istilah yang selalu dikaitkan dengan kajian pragmatik. Secara etimologis kata ‘implikatur’ dibentuk dari kata bahasa Latin im- berarti di dalam plicare berarti melipat di dalam. Implikasi berarti menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu yang lain. Dalam konteks percakapan atau tuturan implikatur berarti sesuatu yang tersembunyi di dalam tuturan atau percakapan yang dinyatakan. Jelasnya, implikatur berarti tuturan yang tersembunyi.
“Baru hari ini Ani terlambat masuk kuliah”,
Bagian tuturan yang tersembunyi di dalam tuturan seperti ini adalah “sebelumnya Ani tidak pernah terlambat masuk kuliah”. Ani tidak pernah terlambat merupakan implikasi dari tuturan “Baru hari ini Ani terlambat masuk kuliah”. Implikatur pada dasarnya merupakan proses inferensi pernyataan berdasarkan pernyataan yang dituturkan. Proses inferensi penyataan dalam implikatur mengandaikan pelibat tutur memiliki keangka referensi atau skemata yang sama berkaitan dengan wacana yang yang dituturkan. Jika tidak, tuturan penutur yang semula berimplikasi tidak akan dimaknai sebagai sesuatu yang berimplikasi bagi lawan tuturnya. Demikian sebaliknya jika tuturan mitra tutur tidak dianggap sebagai implikatur dari apa yang disampaikan sebelumnya maka dua pernyataan itu menjadi seakan-akan tidak berhubungan, tidak bermakna.
Praanggapan dapat diartikan sebagai pengetahuan bersama yang dimiliki antara pembicara dan pendengar atau antara penulis dan pembaca. Sumber praanggapan adalah pembicara/penulis karena pembicara atau penulis itulah yang berpraanngapan bahawa pendengar atau pembaca memahami apa yang dipranggapan.
Contoh: A: Kemarin Paman baru tiba dari Yogjakarta
B: Wah, dia pasti membawa hadiah seperti tahun lalu.
Dalam dialog ini A berpraanggpan bahwa B mengetahui atau minimal masih mengingat apa yang menjadi kebiasaan paman yaitu membawa hadiah.
Inferensi adalah kesimpulan yang dibuat sendiri oleh pendengar atau pembaca berdasarkan informasi yang didapatnya dari pembicara atau penulis.
Contoh A: Kapan Andri berangkat ke Jakarta?
B: Setelah mengikuti Upacara HUT Kemedekaan ke-67
Dari jawaban B itu, A bisa menarik kesimpulan bahwa Andri berangkat ke Jakarta tepatnya 17 Agustus 2012 (dengan pengandaian A masing ingat dan mengetahui persis bahwa upacara apel HUT kemederkaan itu terjadi 17 Agustus. Inferensi atau kesimpulan yang yang dilakukan A tidak selalu otomatis karena sangat bergantung pada pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam kasus tertentu inferensi sebagai relasi yang non-otomatis. Inferensi itu dilakukan pendengar atau pembaca karena menyadari adanya wacana/teks yang tidak lengkap. Semakin tidak lengkap sebuah wacana semakin banyak usaha pendengar, pembaca melakukan inferensi. Dalam kegiatan AW hal-hal seperti ini penting untuk diperhatikan.
Referensi dalam konteks AW merujuk pada benda, binatang, orang yang dimaksudkan pembcara/penulis. Tugas pendengar atau pembaca adalah mengindetifikasi apa yang menjadi rujukan pembicara dalam ujaran/teksnya.
Contoh: Paman membeli sebuah sepeda (referensinya sepeda sebagai benda)
8.Analisis Kohesi dan Koherensi
Seperti yang disinggung pada persoalan interpretasi (butir 5) masalah kohesi dan koherensi bertalian dengan praktik analisis wacana. Persoalan kohesi dan koherensi sebuah teks menjadi karateristik yang dipersyaratkan sebuah teks. Selain memenuhi syarat kohesi dan koherensi sebuah teks juga harus bermakna (memiki tujuan atau alasan penglahirannya). Kebermaknaan sebuah teks juga ditentukan oleh bagaimana teks itu dipahami, berkaitan muatan inforamsi yang ditawarkan.
Beaugrande dan Dressler (1986:3-11) merumuskan persoalan kohesi dan koherensi ini dalam kaitannya dengan kriteria sebuah teks yang harus memenuhi tujuh syarat wajib untuk sesuatu yang dikategorikan sebagi teks yaitu kohesi, koherensi, bertujuan, dapat diterima, memuat informasi, ada konteks situasi yang menyertai penglahirannya, dan berkaitan dengan teks yang lain. Batasan kohesi menurut Alwi (1998:484) adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang koheren. Konsep kohesi berkenaan dengan hubungan bentuk dan koherensi berkenaan dengan hubungan makna. Relasi adalah hubungan antara konsep yang muncul bersama-sama dalam dunia tekstual.
***
Daftar Rujukan
Alwi, H., Dardjowidjojo, D., Lapoliwa, H., & Moeliono, A.M. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: Dep. P dan K Republik Indonesia.
Beaugrande, R.A. de & W.U. Dressler 1986. Introduction to Text Linguistics. Third Edition. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Third edition. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-
Halliday, M.A.K. 1985/1994. An Introductionto Functional Grammar. London: Edward Arnold Publishers Ltd.
Halliday, M.A.K. & Hasan, R. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan oleh BaroriTou. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Kartomihardjo, Soeseno. 1993. “Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana” dalam PELLBA 6. Yogyakarta: Kanisius.
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Waca.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stubbs, Michael. 1984. Discourse Analisis: The Sociolinguistic Analisis of Language. Oxford: Basil Blackwell Publisher.
BAHASA SEBAGAI INSTRUMEN KEKUASAAN:MENGKRITISI PENGGUNAAN BAHASA REZIM ORDE BARU
1. Pengantar
Aktivitas berbahasa merupakan ciri khas manusia. Sesunguhnya bahasa itu apapun ragamnya harus diakui dapat memainkan peran sangat besar dalam kehidupan manusia. Para tokoh hermeneutik mengatakan bahwa hermenetik adalah cara baru untuk bergaul dengan bahasa, karena disini bahasa tidak lagi diperlakukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi justru sebagai subjek yang memiliki teleologi dalam dirinya sendiri. Bahasa lebih dari sekedar alat, ia adalah cara berpikir, karena kita tidak mungkin berpikir tanpa menggunakan bahasa. H.G. Gadamer mengatakan: Bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. (Sumaryono: 1993; hal. 26).
Peran bahasa untuk kehidupan manusia ini dalam konteks makalah untuk diskusi ini dibatasi pada persoalan bahasa dalam konteks penggunaannya yang terbatas yaitu bahasa yang digunakan semasa rezim Orde Baru (selanjutnya lebih banyak disingkat menjadi Orba) berkuasa. Melalui makalah ini, dipapaskan seluk beluk penggunaan bahasa lebih tepatnya daloam kaiatannya dengan kekuasaan. Uraian ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari tulisan Mely G.Tan dengan menambah dan memperkaya perspektif dengan harapan kita mendapatkan gambaran yang relatif utuh (harapannya demikian) berkaitan dengan corak dan model bahasa yang digunakan semasa Orba.
2. Mely .G.Tan: Suara Golongan Minoritas
Tulisan Mely G.Tan, “Bahasa dan Politik Rekayasa pada Zaman Orde Baru Soeharto” (Kaswanti, 2000:86-97) terkesan singkat, sederhana, dan lugas. Meskipun singkat, sederhana tulisan ini dapat dilihat sebagai titik api yang berkekuatan luar biasa dalam memahami kiprah sebuah rezim yang berkuasa bernama Orde Baru yang dikamandani Soeharto. Sebagai sebuah titik api, tulisan Tan mewacanakan teks yang merepresentasikan kegundahan sebuah kelompok minoritas Tionghoa dalam perangkap rajutan rezim Orba.
Memperbincangkan keberadaan etnis Tionghoa tetap menarik meskipun sesungguhnya dalam entitas Indonesia, tidak ada lagi identitas mayoritas ataupun minoritas,yang ada hanyalah identitas Indonesia. Bipolaritas konsep mayoritas dan minoritas secara teoretis harus dijauhkan dari konsep keindonesiaan masa kini tetapi dalam praksis kehidupan bagaimanapun konsep itu tetap mendominasi cara pikir dan cara tindak sebagian masyarakat Indonesia. Wacana yang diangkat Tan dalam tulisannya memang tidak mesti diinterpretasikan dan dimaknai dalam konteks kekinian Indonesia tetapi pembaca dibawa ke sebuah konteks masa lalu dengan kultur cara pikir dan cara tindak dalam bingkai rezim Orba.
Tulisan Tan memberi gambaran kepada pembaca bahwa kehadiran (eksistensi) etnis Tionghoa memiliki tempat tersendiri dalam dinamika historitas, sejarah bangsa Indonesia. Kelompok ini tidak hanya memiliki andil dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, melainkan juga berkontribusi bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Pertanyaan yang relevan untuk diwacanakan dalam konteks sekarang adalah bagaimana eksistensi etnis Tionghoa dalam konteks keindonesiaan dan kekinian (hic et nunct; kini dan di sini)? Pertanyaan ini tetap relevan diajukan mengingat etnis Tionghoa masih memiliki identitas kultural yang tidak mungkin lenyap begitu saja. Seperti halnya identitas Jawa yang tidak bakal hilang ketika seorang Jawa melebur dalam kenyataan Indonesia. Sama halnya dengan identitas etnis lain di Indonesia yang tidak akan hilang ketika setiap etnis itu menyatakan diri sebagai bagian dan menjadi anak sah dari Indonesia. Persoalan tentang etnisitas ini secara panjang lebar diuraikan Mark Aloysius (2010: 131-147) dalam artikelnya berjudul “Masalah Etnisitas, Ras dan Bangsa; Suatu Pendekatan Cultural Studies”. Problem bahasa, budaya dan identitas seperti ini juga diuraikan (Mary Delargi dalam Craith, 2007:123-143).
3. Bahasa, diksi, dan Etnisitas
Inti gagasan Tan dalam tulisannya sesungguhnya juga mempersoalkan penggunaan bahasa, pemilihan kosa kata dalam tindak berkomunikasi masyarakat semasa kekuasaan rezim Orba pada umumnya dan penggunaan bahasa oleh aparatus pemerintah yang berkuasa dalam genggaman Soeharto yang boleh dikatakan sebagai ikon sebuah orde pemerintahan yang disebut Orba itu.
Tak seorang dapat menyangkal bahwa sejak diproklamasikan sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia telah mengalami dinamika historis politis yang cukup panjang. Bahasa Indonesia telah berkembang dari bahasa politik untuk menggalang kekuatan mengusir penjajah, sebagai pernyataan keyakinan dan tekad bangsa Indonesia untuk hidup sebagai bangsa merdeka menjadi bahasa negara yang akhirnya juga terjerat menjadi bahasa penguasa, khususnya Orba. Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia mampu menjadi perantara dan bahasa pergaulan antarsuku dan antardaerah.
Bahasa Indonesia juga berkembang seiring dengan lahirnya sastrawan-sastrawan terkemuka di negeri ini, seperti Marah Rusli, Ahdijat Kartamihardja, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, dan sebagainya. Bahasa Indonesia telah menjadi piranti yang tergolong andal bagi para penyair untuk memperkaya kemampuan ekspresif dan imaginatif dalam melahirkan karya-karya sastra berbobot dalam memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia. Pada tataran ini, bahasa Indonesia telah berhasil dan diterima menjadi bahasa kebudayaan nasional.
Jika kita merunut dan merujuk pada sejarah kehaliran Bahasa Indonesia, maka Bahasa Indonesia menampilkan dua keistimewaan yaitu (1) sejak 1928 Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa nasional. Konsekuensi logis dari kenyataan ini, bahasa Indonesia bermakna secara politik dan memiliki dampak politik. Bahasa Indonesia menjadi alat persatuan bangsa Indonesia yang beraneka ragam ras, agama, dan suku bangsa. (2) Sejak 18 Agustus 1945 Bahasa Indonesia menjadi bahasa negara. Bahasa Indonesia dalam bahasa lain telah menjadi bahasa “administrasi negara”. Dilihat dari dua sisi ini bahasa Indonesia memiliki nilai strategis. Posisi Bahasa Indonesia yang strategis sebagai bahasa negara pada dasarnya memosisikan Bahasa Indoensia dalam kaitannya dengan rezim yang berkuasa.
Bahasa dalam setiap rezim kekuasaan memiliki warna dan gaya, ragam yang berbeda. Bahasa Indonesia ragam politik dan birokrasi memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan ragam bahasa sosiolek lainnya. Sejarah ejaan bahasa Indonesia yang telah mengalami perubahan menunjukkan bahwa setiap rezim kekuasaan memiliki kepentingan terhadap keberperanan bahasa selaras dengan tendensi atau kecenderungan kekuasaan saat ini. Bahkan bahasa dalam beberapa hal dipolitisasi baik makna (semantis) maupun bentuk (sintaksis) agar secara sinergis mendukung berlangsungnya kekuasaan.
Hooker (1996:72) melakukan penelitian secara intensif terhadap teks pidato Hari Kemerdekaan pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Teori yang dikembangkan memugkinkan diketahuinya interaksi antara teks dan konteks, yang meliputi tiga konsep dasar, yaitu medan wacana (field of discource), penyampaian wacana ( tenor of discource), dan mode wacana (mode of discource). Hasil penelitian Hooker tampak dalam matriks Perbandingan Pidato-pidato Hari Kemerdekaan Orde Lama dan Orde Baru
Aspek Orde Lama Orde Baru
Bidang/
Wilayah Komentar dan apologi Rumusan umum Bisa ditawar Waktu: Jauh dari masa lalu Masa lalu Tinjuan dan rencana mendatang Rumusan detil Tak bisa ditawar Waktu: Sekarang Mendatang
Tenor Dialog Kerangka rujukan pembicara: kita, saya, Bung Karno, Presiden Soekarno Monolog Kerangka rujukan pembicara: kita, pada umumnya saya
Cara/
Mode Pribadi, emosional, perpaduan formal dan informal, empati, eksistensi, acak Impersonal, bahasa yang sederhana, formal, berwibawa, terencana, terarah, berulang-ulang
4. Bahasa sebagai Instrumen Kekuasaan
Batasan dan definisi bahasa yang paling banyak ditemukan selalu dikaitkan dengan peran dan fungsi bahasa dalam kaitannya denga pemenuhan kebutuhan manusia dalam berkomunikasi. Sebagai contoh terlihat pada beberapa definisi bahasa berikut ini (a) A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social group co-operates. (Bloch and Trager, dikutip Lyons 1981: 4). (b) Language is the institution whereby humans communicate and interact with each other by means of habitually used oral--auditory arbitrary symbols. (Hall, dikutip Lyons 1981: 4) (c) Languages are symbol systems... almost wholly based on pure or arbitrary convention. (Robins, dikutip Lyons, 1981: 6); (d) A language is a system of conventional vocal signs by means of which human beings communicate. This definition has several important terms, each of which is examined in some detail... Those terms are system, signs, vocal, conventional, human, communicate (Algeo, 2005: 2)
Inti gagasan Mely .G.Tan dalam tulisannya secara pada dirangkum dalam kalimat: “bahasa digunakan dan dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah dan elite berkuasa sehingga tejadilah rekayasa bahasa dan apa yang dinamakan hegemoni makna kata” (Kaswanti, 2000:87). Konsep rekayasa dan dan manipulasi seperti ini dapat dilihat pada varian penggunaan dan pertukaran sebutan antara Cina, Tionghoa dengan sederetan muatan beban sejarah yang menyertai pilihan nama itu oleh rezim dan elite yang berkuasa. Penggunan sebutan yang bervariasi ini pada gilirannya juga bersinggungan dengan dimensi keberimanan, keyakinan kelompok etnis minoritas itu pada kekuatan yang disembah dalam agama yang dianut (Kaswanti, 2000:88-89). Dalam konteks dan dalam pengertian inilah sebenarnya tulisan Tan ingin mengkritisi (untuk tidak mengatakan mengutuk) prilaku diskriminatif versi rezim Orba.
Tulisan Tan juga memperlihatkan adanya korelasi bahasa dan kekuasaan yang dilakonkan elite politik semasa Orba. Ekspresi kekuasaan dengan menggunakan bahasa sebagai instrumen dicatat Tan dalam sederetan fenomena kebahasaan yang secara umum dikemas dalam bentuk eufenimisme, pelahiran dan penciptaan akromin dengan maksud mengaburkan pesan makna dan menghilangkan informasi yang sebenarnya (disinformasi dan misinformasi). Pilihan kata dan penggunaan ragam bahasa elite politik masa itu tampaknya “menghalalkan” semua rumusan yang pada dasarnya membingungkan masyarakat sebagai instrumen pelanggengan kekuasaan. Konsep dan penggunaan istilah pembauran, asimilasi yang wajar, integrasi, dalam tulisan Tan (Kaswanti, 2000:95-96) sesungguhnya menjadi contoh dan bukti pilihan bahasa dan kata para elite politik masa Orba yang tidak berpihak atau kontra-minoritas.
Apa yang digambarkan di sini membuktikan bahasa tidak saja sebagai media komunikasi antarmanusia tetapi juga menjadi simbol yang dipakai penguasa. Sebagai simbol di tangan penguasa, bahasa dapat direkayasa. Seorang Sosiolog, Antropolog dan Filsuf asal Prancis, Pierre Bourdieu [buʁdjø] menegaskan relasi antara bahasa dan kekuasaan dan bahasa menjadi alat kekuasaan. Potongan idenya tentang keterkaitan bahasa dan kekuasaan terlihat dalam kutipan berikut:
Bourdieu takes language to be not merely a method of communication, but also a mechanism of power. The language one uses is designated by one's relational position in a field or social space. Different uses of language tend to reiterate the respective positions of each participant. Linguistic interactions are manifestations of the participants' respective positions in social space and categories of understanding, and thus tend to reproduce the objective structures of the social field. This determines who has a "right" to be listened to, to interrupt, to ask questions, and to lecture, and to what degree.
Bourdieu berpendapat bahwa dalam penyampaian pesan berupa wacana/kode bahasa orang bukan hanya menerima kumpulan tanda yang harus dipahami. Sebagai kumpulan tanda wacana juga merupakan tanda kesejahteraan (signs of wealth) yang perlu dinilai dan di apresiasi, juga merupakan penunjuk otoritas( signs of authority) yang harus diyakini dan dipatuhi. Bourdieu memperlihatkan bahwa bahasa/wacana merupakan bagian dari aktivitas yang memungkinkan sebagian orang mendominasi yang lain (Bourdieu, 1991:163-170).
Lebih lanjut diuraikan Bourdieu mengalogikan kekuatan bahasa pengasa dengan kekuatan modal penguasaha. Seperti halnya pelaku sosial yang memiliki modal finansial mampu mengontrol mereka yang tidak memiliki, begitupun pelaku sosial yang mampu mengakulmulasi modal linguistiknya. Karena itu, bahasa/wacana berperan penting untuk mendefinisikan suatu kelompok, memberi otoritas bagi pelaku sosial serta menghadirkan kekuasaan untuk berbicara atas nama kelompok itu. Otoritas untuk dipercayai dan dipatuhi menjadi tujuan dari setiap pelaku sosial dalam kaitannya dengan kekuasaan. Benang merah gagasan Pierre Bourdieu memperlihatkan cara kerja (modus operandi) kekuasaan dalam praktik bahasa/wacana bukan sekadar mempertahankan kekuasaan melainkan juga untuk meresproduksi kekuasaan.
Menurut Bourdieu untuk memperbesar kekuasaan diperlukan dua hal. Pertama, wacana performatif, kekuasaan simbolis, didasarkan pada kepemilikan modal simbolis (symbolic capital). Semakin besar kepemilikan modal simbolis seseorang atau sekelompok, semakin besar peluangnya untuk menang karena modal simbolis itu dijadikan kredit bagi terbentuknya otoritas sosial yang diperoleh dari pertarungan. Kedua, efektifitas simbol di mana strategi ivestasi simbolis beroperasi atau bekerja (Bourdieu, 1991: 170). Efektivitas ini bekerja atas dasar pandangan yang ditawarkan. Dalam pandangan ini, kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan menyembunyikan atau menampakkan sesuatu lewat kata-kata, bahasa.
Dalam konteks cara pandang Bourdieu ini, kita menjadi sadar dan paham mengapa Orba yang dikawal Soeharto dapat tegak berdiri selama 32 tahun. Modal simbolis berupa kuasa, jabatan memungkinkan rezim Orba berjalan tanpa badai dan kalaupun ada badai semuanya teratasi dengan kekuatan modal kedua yaitu bagimana bahasa direkayasa dan dimanipulasi.
5. Orde Baru dan Wujud Rekayasa Bahasa
5.1 Merunut Istilah Orde Baru
Awal masa kekuasaan Sohearto tidak bisa dipisahkan dari situasi dunia pada umumnya. Peralihan kekuasaan yang terjadi di Indonesia semasa awal Soeharto juga dialami di negara-negara lain. Tempat dan negaranya boleh berbeda tetapi kondisi peralihanh kekuasaan hampir mirip di antara banyak negara. Generasi pasca-Soeharto lebih mengenal masa kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun itu dengan istilah pemerintahan Orba. Mengapa kata Orba begitu disukai ketika zaman Soeharto sehingga istilah tersebut menjadi lambang dari supremasi kekuasaan Soeharto? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, diperlukan usaha merunut kemunculan istilah itu. Kata Orde Baru pertama kali digunakan oleh Benito Mussolini (1883 – 1945), dengan sebutan Nuovo Ordine yang artinya ordo yang baru atau new ordo (Dhakidae, 1999: 100). Soeharto menggunakan istilah Nuovo Ordine selama masa kekuasaanya yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Orde Baru. Istilah Orba pertama kali digunakan di Indonesia oleh Soeharto. Istilah tersebut digunakan Soeharto untuk membedakan pemerintahanya dengan pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Soekarno yang mau tidak mau harus diberi nama sebagai Orde Lama (Orla) meskipun istilah Orde Lama tidak pernah diwacanakan sebelumnya.
Merunut kelahiran istilah ini penting dan relevan dalam rangka membantu pemahaman kita akan seluruh kiprah rezim Soeharto, termasuk yang dikritisi Tan dalam tulisan yang menginspirasi tulisan ini. Kenyataan menampilkan adanya kesamaan, kesejajaran, kemiripan antara Musollini dan Soeharto. Di Italia Musollini berkuasa dengan memperkenalkan sistem fasisme yang merupakan sistem militerism, totalitarian, dan elitisme. Di Indonesia saat Soeharto berkuasa, ia cendrung menggunakan pendekatan militer, pendekatan keamanan sebagai alat kontrol untuk mempertahankan posisinya. Soeharto juga menggunakan orang-orang yang ia percaya untuk jabatan strategis seperti (menteri, gubernur bupati, dll.), sehingga ia dengan mudah mengontrol orang-orang yang ia posisikan. Dengan demikian dalam menjalankan pemerintahanya Soeharto membentuk negara korporasi, sebagaimana disebutkan Georg Sorrel dengan istilah sindikalisme di mana pemimpin mengontrol perekonomian negara dengan membangun hubungan dengan para pemilik produksi dan pekerja. Dengan demikian negara berpeluang besar mengintervensi kebijakan perusahaan, baik produksi, harga, hingga kebijakan pekerja.
Harus dan mesti diakui, selama Soeharto berkuasa militer menjadi sosok yang sangat menakutkan bagi masyarakat. Unsur legislatif dan yudikatif menjadi lemah karena Soeharto menggunakan kekuasaanya menjadi totalitarian yang membuat dua lembaga negara tersebut bersifat formalitas adanya, dan peran Eksekutif yang menjalankan kebijakan negara korporasi menjadi ciri dari kepemimpinan Orba di bawah Suaharto, yang juga memiliki kesamaan dengan Musollini di Italia ketika berkuasa pada masa Perang Dunia I dan II.
5.2 Wujud Rekayasa Bahasa Orde Baru
Kata rekayasa menurut kamus merujuk pada dua arti yaitu (1) Penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan (seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien) dan (2) Rencana jahat atau persekongkolan untuk merugkan pihak lain. Dalam konteks tulisan ini kata rekayasa merujuk pada pengertian kedua. Rekayasa bahasa dalam konteks ini lebih mengarah pada makna negatif karena dipertalikan dengan sebuah rezim (Orba) yang terbukti memanipulasi bahasa untuk pemertahanan kekuasaan secara politis.
Berdasarkan uraian terdahulu nyata bahwa antara bahasa dan kekuasaan itu berkaitan meskipun dari disiplin kajian ilmiah bahasa berada pada domain linguistik dan kekuasaan berada pada domain politik. Perjumpaan dan pertautan keduanya, tidak bisa dipisahkan dari peranan kaum postsrukturalis seperti Jurgen Habermas, Jean Baudrillard, Antonio Gramsci, Michel Foucault yang menegaskan betapa pentingnya relasi antara bahasa dan kekuasaan. Bahkan dalam rumusan yang bernada ekstrem Jean Baudrillard menegaskan bahwa “The real monopoly is never that of technical means, but that of speech”. Sejak saat itu, diskusi tentang relasi antara bahasa dan kekuasaan sangat semarak (bdk.Latif dan Ibrahim, 1996). Sebelumnya kehadiran karya Fairclough (1989) “Language and Power”, Benedict Anderson (1990) “Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia”, Pierre Bourdieu (1991) “Language and Symbolic Power” membuka ruang diskusi ilmiah tentang relasi bahasa dan kekuasaan.
Pemanfaatan bahasa untuk kelanggengan kekuasaan seperti pada era Orba menyadarkan kita tentang fungsi bahasa. Perspektif fungsionalisme tampaknya tidak lagi terbatas pada kajian bahasa, tetapi juga wacana (discourse), yaitu bahasa dalam multikonteks untuk memahami maknanya. Jika tidak, akan terjadi kesalahpahaman karena bahasa yang digunakan makin terserap oleh pergaulan antarbudaya. Akibatnya, bahasa bukan lagi objek tunggal, malainkan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Bahasa Orba harus dapat dipahami dalam konteks rezim masa itu.
Teori wacana menegaskan bahwa tidak ada produk linguistik yang hadir dalam ruang hampa dan tiba-tiba, apalagi tanpa makna. Produk linguistik hadir dengan tujuan tertentu dan bahkan dengan dan memiliki kuasa tertentu. Tidak ada kata yang tidak bermakna. Dalam konteks Orba, wacana merupakan arena beroperasinya kekuasaan dan relasi kekuasaan yang dikemas dalam bahasa. Pola seperti ini mirip dengan konsep kekuasaan yang dilansir Antony Gramsci tentang kekuasaan koersi dan hegemoni, atau dua model piranti penguasaan menurut Althusser, aparat represif kekuasaan (Repressive state apparatus), dan aparat ideologis kekuasaan (Ideological state apparatus) (bdk.Simon, 2004: 33-53). Dalam kaitannya dengan konsep hegemoni kebanyakan kekuasaan beroperasi dan dipelihara melalui praktik wacana (discursive practice). Untuk memahaminya diperlukan analisis interteks yang hanya mungkin lewat kajian wacana untuk melihat jenis kekuasaan yang beroperasi.
Memahami konsep politik rekayasa bahasa Orba sebagaimana dilansir Tan dalam tulisannya mengharuskan kita mendisposisikan diri pada konteks beroperasinya rezim Orba dengan segala hal yang melingkungi dan mewarnai orde itu selama berkuasa. Untuk itu, diperlukan skemata pengetahuan (boleh jadi sebagai rekaman sejarah masa lalu) tentang kekuasaan Soeharto dan bagaimana bahasa dimanipulasi rezim itu yang menjadi pilar penopang keutuhana kekuasaan selama 32 tahun. Politik rekayasa bahasa dapat dimaknai sebagai bentuk politisasi terhadap bahasa sebagai fungsi bahasa yang disengaja diciptakan.
Karya Peter Lewuk Kritik Filosofis Atas Pembangunan, Beberapa Serpihan Pemikiran dapat dirujuk di sini karena di dalam termuat buku terdapat empat kategorisasi ideologi kebahasaan yang umunya digunakan kelompok elite kekuasaan. Keempat kategori tersebut, yaitu (1) bahasa berdimensi satu, (2) orwelianisme bahasa, (3) jaringan bahasa takut-takut, dan (4) bahasa yang menyembunyikan pikiran (Lewuk,1995:186).
Bahasa berdimensi satu mengharuskan seseorang menyatakan sikap dan pernyataan yang sama (satu), sesuai dengan kemauan penguasa. Dalam kontek ini tidak ditemukan logika protes, tidak ada tempat bagi para oposisi di masa Orba. Pemikiran dan rumusan dialektis-negatif: digantikan dengan pemikiran dan rumusan positif yang hanya mengafirmasikan dan menyesuaikan diri dengan realitas. Di masa Orba setiap pemikiran harus relevan dan tidak boleh berbeda dengan konsep pembangunan. Bagi mereka yang anti-pembangunan, dilabeli antipembangunan atau anti-Pancasila.
Orwelianisme teknik penyatuan dua pengertian yang sebenarnya bertentangan, dengan tujuan mengaburkan makna, perbedaan antara yang benar dengan yang salah menjadi kabur. Ungkapan-ungkapan tentang kebebasan mengeluarkan pendapat, diartikan sebagai kepatuhan terhadap instruksi yang dikeluarkan pihak penguasa. Untuk menunjukkan sikap demokratis, dipakai istilah kritik konstruktif atau kritik membangun yang maknanya setiap kritik tidak boleh menyinggung kebijakan dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak kekuasaan.
Bahasa takut-takut adalah bahasa yang digunakan masyarakat yang memiliki monoloyalitas terhadap berbagai perintah, instruksi yang dilambangkan melalui simbol bahasa. Ungkapan “Golput haram” atau “Golput berarti tidak bertanggung jawab terhadap demokrasi” menjelang Pemilu adalah contoh bahasa takut-takut ini. Dalam konteks ini kepatuhan dan ketaatan tamp-aknya dipaksakan karena karena rumusan bahasa seakan-akan menghukum orang yang melanggarnya.
Model dan corak bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi sebagai alat menyatakan pikiran. Di balik pikiran itu terdapat kepentingan yang memanipulasi bahasa sendiri. Wacana-wacana kampanye dan aneka idiom beerisi janji-janji partai dengan mudah diwacanakan untuk mengisi sebanyak mungkin ruang dan wacana rakyat yang awam politik. Jenis bahasa terakhir ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa propaganda. Bahasa-bahasa propaganda ditebar untuk menyiarkan kebencian. Propaganda dilakukan dalam rangka pembusukan nama baik orang lain, menyulut permusuhan dan konflik dalam masyarakat.
Bahasa politik Orba merupakan bahasa para elite politik dan elite birokrasi rezim itu dalam menyampaikan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Bahasa politik ditandai dengan (1) terjadinya politisasi makna atas bahasa-bahasa yang dipergunakannya (2) terjadi penghalusan makna, dalam bentuk eufimisme bahasa yang dalam terminologi Mochtar Lubis sebagai “penyempitan makna”. Fenomena eufimisme (3) terjadinya bentuk-bentuk bahasa propaganda dalam rangka meyakinkan pihak lain, terutama masyarakat. Sesungguhnya ada banyak contoh penggunaan bahasa yang direkayasa pada rezim Orba dan beberapa di antaranya diuraikan berikut ini:
(a) Labeling; eufemisme, sarkastis, vulgaristis
Politisasi bahasa yang paling kentara dan sering dipergunakan oleh penguasa dan masyarakat adalah penjulukkan atau labeling. Pola semacam ini juga berlaku pada era Orba di mana kita kerap mendengar istilah-istilah seperti ekstrim kanan, ekstrim kiri, antipancasila, subversif, anti pembangunan, provokator, SARA, OTB, GPK. Penggunaan label-label itu secara masif disebarluaskan media massa yang pada akhirnya membius masyakat secara psikologis dan dalam ketakutan menunjukkan kepatuhan (meskipun semu) pada penguasa. Penggunaan kata-kata ini semasa Orba biasanya diberikan kepada mereka yang tidak sehaluan dengan kebijakan pemerintah, penguasa. Kelompok-kelompok yang kontra pemerintah secara sepihak diberi label dengan kata-kata itu.
Selain teknik labeling muncul pula berbagai gaya bahasa penguasa dalam kemasan eufimisme atau penghalusan. Eufemisme sebagai gaya bahasa secara objektif penting dalam kehidupan dalam rangka penglahiran cara berwacana yang baik dan pantas dari ukuran norma kehidupan. Di tangan penguasa, majas ini dimanipulasi dan diperalat dalam rangka mempertahankan kekuasaan dengan pilihan kata yang terkesan santun tetapi sesungguhnya merupakan bentuk hegemoni. Kita mengenal penggunaan istilah penyesuaian harga untuk menghaluskan kata (kenaikan); negara berkembang untuk menyamarkan negara miskin; dibersihkan untuk menghaluskan (membunuh); bersih lingkungan untuk menyamarkan sebutan kelompok yang kontra-pemerintah. Penggunaan eufemisme ini dalam konteks mempertahankan posisi para elite secara ekstrem dirumuskan Mochtar Pabottinggi sebagai bencana yang menimpa dan menghilangkan etos revolusioner bahasa Indonesia (Latif dan Ibrahim, 1996:154). Bahasa Indonesia ditengarai mengalami Kramanisasi sebagai kondisi bahasa terperangkap dalam imaji orang Jawa tentang politik di mana topeng (mask) menjadi penting. Klaim Mochtar ini tampaknya senada dengan hasil penelitian Clifford Geertz yang mendeskripsikan Kramanisasi sebagai penekanan terpadu pada prinsip kehalusan dan anggapan tentang kebutuhan sosiologis akan topeng. Di sini kehalusan dan topeng seakan-akan menyatu. Bahasa digunakan secara tidak langsung, bertele-tele (Geertz, 1960:245-246 dalam Latif dan Ibrahim, 1996154-155;).
Upaya melestarikan kekuasaan di samping menggunakan cara yang halus (eufemisme) dapat juga disampikan dalam cara yang kasar, sarkastis (dikasar-kasarkan), bombastis (dibesar-besarkan), vulgaristis (dijijik-jijikkan), feodalistis atau stratifikatif dan sloganistis dijadikan gaya bahasa pemerintah Orba. Pemakaian kata subversif, anti pembangunan, provokator, pembangkang, SARA, OTB, GPK. Adalah pilihan kata yang bernada sarkastis.
Sebuah Tulisan berjudul “Orde Baru Peristilahan 1975-1995” dalam karya Jerome Samuel (2008: 307-314) secara lebih khusus menyoroti kekuasaan Orba yang juga merambah ke dalam domain bahasa. Pembentukan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menuai pelbagai tafsiran karena kata “Pembinaan” itu ternyata bermakna ganda dan membawa agenda idelogis rezim Orba. Pembinaan yang semula dimaknai sebagai usaha dan kegiatan mengenai mperencanaan, pengorganisasian, pemiyaaan, penyusunan program, koordinasi pelaksanaan dan pengawasan berubah menjadi wujud indoktrinasi, konstruksi, penghelolaan. Konsep pembinaan menekankan mobilisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan negara (elite politik). Untuk konteks Orba, kepentingan kekuasaan itu dapat dikemas dalam berbagai rumusan yang pada dasarnya “membisukan” masyarakat melalui rekayasa penggunaan bahasa. Sekadar contoh perhatikan beberapa konsep berikut ini:
(b) Konsep dwi fungsi ABRI Masyarakat Madani
Gerakan prodemokrasi dengan konsep Masyarakat Madani (Civil Society); masyarakat sipil (lht. Gamble, 1988: 47-48): Konsep ini merupakan wacana tandingan terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan melawan dominasi ABRI sebagai penyangga utama Orba. ABRI tidak hanya sebagai unsur pertahanan dan keamanan tetapi juga mencampuri urusan sipil, berperan dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Akibatnya, Orba menjelma menjadi rezim yang bersifat bureaucratic authoritarian .
Untuk menarik simpati masyarakat pemerintah berupaya menggunakan istilah masyakat madani untuk mempertahankan kekuasaan. Buktinya jelas --meskipun tidak disadari mayarakat-- Habibie menerbitkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu komite dengan tugas merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Keppres ini sesungguhnya menjadi bentuk hegemoni terhadap gerakan anti-ABRI.
Pilihan pemerintah untuk ikut menggunakan bahasa masyarakat luas ini (masyarkatan madani) sebetulnya merupakan langkah untuk menenangkan masyarakat. Cara dan strategi ini yang dipilih pemerintah ini menunjukkan bahwa elit penguasa mengikuti sebagian dari rambu-rambu bahasa politik yang diusulkan Kawulusan (1998:5 dalam Santoso, 2006:95-96) yang mengaskan bahwa bahasa politik harus dijaga supaya tetap merupakan bagian dari bahasa yang hidup di dalam masyarakat.
(c) Ekomi sebagai Panglima
Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Orientasi kebijakan Orba tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas dalam mendukung program pembangunan ekonomi. Jargon Ekonomi sebagai Panglima juga tanpa disadari membius kesadaran masyarakat karena dalam kondisi kenyang masyarakat tidak mungkin memberontak. Ekonomi sebagai panglima boleh dikatakan sebagai strategi hememogi “perut”. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, yang amat berperan modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis akan berdampak positif sampai pada lapisan rakyat bawah.
(d) Golongan dan Partai Politik
Sejak diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang jelek pada politik yang cenderung ideologis. Untuk itu rezim Orba membuat pemisahan antara kelompok yang nonideologis dan yang ideologis. Kelompok nonideologis disebut sebagai Golongan sedangkan yang ideologis terjelma dalam partai politik. Satu-satunya yang nonidelogis adalah Golongan Karya (Golkar) yang ditengarai sebagai kelompok yang lebih mementingkan pada program. Kalau dilihat fungsinya, Golkar sebenarnya masa Orba merupakan partai politik karena ikut kompetisi dalam pemilu 1971 dan justru menjadi pendukung rezim Orba. Keberhasilan Golkar pada pemilu 1971 tidak lepas dari peranan militer yang berjalur komando teritorial dari pusat sampai ke tingkat kecamatan. Koran Tempo edisi 3 Juli 1971 mencatat kemenangan Golkar sekaligus kemenangan Suharto (March Tempo Magazine founded, July 3 Golkar wins 2/3 of seats in Assembly in elections. PNI and Nahdlatul Ulama trail far behind. Elections are marred by violence between Golkar and NU supporters). http://gimonca.com/sejarah/sejarah10.shtml
Kemenangan Golkar erat kaitannya dengan kebijakan Soeharto menunda pelaksanaan pemilu dari tahun 1967 sampai tahun 1971, dan selama waktu itu mesin politiknya melakukan kampanye terselubung yang ditentang berbagai partai politik, terutama Partai NU. Golkar menguasai mayoritas kursi parlemen dan berhasil memaksakan berbagai kebijakan untuk mendukung rezim Orba dan membatasi pengaruh partai politik. Hegemoni kekuasan ini dikukuhkan dengan terbitnya Keluar Keputusan MPR tahun 1971 tentang massa mengambang yang membatasi kegiatan partai hanya sampai tingkat kabupaten. Kemudian tahun 1973 keluar kebijakan deideologisasi yang menggabungkan partai-partai politik ke dalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam PPP; sedangkan partai-partai lainnya bergabung ke dalam PDI. Akhirnya keluar UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, untuk menegasikan partai politik dan menekankan pada golongan fungsional yang dibentuk Golkar (Sitompul, 1989: 127).
6. Wacana Tandingannya (Counter Discorse)
Hegemoni bahasa yang dimainkan penguasa Orba selama 32 tahun tampaknya sulit digempur dan dilawan mengingat rezim Orba memiliki “mesin politik” difungsikan secara masif. Suara-suara masyarakat yang bernuansa perlawanan sebagai wacana tandingannya tampaknya kurnag nyaring untuk mengusik rezim. Kelompok masyarakat yang tidak berdaya bisanya melakukan perlawanan (counter) dengan cara menciptakan wacana tandingan berupa: akronim dan plesetan bahasa. Kita bisa mencatat beberapa plesetan bahasa yang berkaitan dengan rezim Orba anatara lain
(a) ketika Supersemar dipersoalkan bekaitan dengan praktik kekuasaan Soeharto muncul plesetan untuk Sepersemar menjadi Suharto persis seperti Marcos
(b) Ketika muncul Stasiun Televisi RCTI dan banyak kalangan mengetahui pihak istana menanamkan modalnya di sana , RCTI diplestkan menjadi Ratu Cendana Titip Investasi)
(c) Ketika pemerintah ingin memajukan dunia olah raga di tanah air dan memerlukan biaya muncul program SDSB (Sumbangan Dana Sukarela Berhadiah). Masyarakat mencugai sumbangan berhadiah itu dan masyarakat banyak yang jatuh miskin karena memperrauhkan nasibnya pada judi kupon berhadia itu. Melihat dampak program yang merusak masyarakat itu SDSB diplesetkan menjadi Soeharto Dalang Segala Bencana.
(d) Menjelang akhir kukuasaan Rezim Orba tampak jelas praktik Korupsi yang dilakukan elite pengasa merajalela. Praktik pemilihan dan penentuan menjadi pejabat diwarnai dengan praktik Kolusi dan hanya mengutamakan keluarga atau Nepotisme, maka KKN yang semula merupakan istilah dunia Kampus diplesetkan menjadi (Korupsi, Kolusi, Nepotisme),
(e) Ketika BJ Habibie menduduki posisi wakil presiden dan berbicara dengan gaya retotika yang khas meskipun ia sendiri tampak kurang yakin akan apa yang dibicarakannya, maka nama BJ Habibie diplesetkan menjadi (bicara jago, habis bicara bingung),
(f) Tumbangnya rezim Orba yang ditandai dengan pilihan Soeharto untuk meletakan jabatannnya sebagai ikon Orba, diikuti pula dengan lumpuhnya mesin politiknya yang bernama Golkar yang saat itu dikomandai Akbar Tanjung. Dalam konteks itu pula nama Akbar Tanjung diplesetkan menjadi Akhirnya Bubar Tanpa Udjung.
(g) Ketika Haromko dipercayakan sebagai kaki tangan Soeharto dan diangkat menjadi Mentri Penerangan RI, Harmoko selaku tampil dengan rumusan bahasadalam forma yang tetap dimulai selalu dengan rumusan: “menurut Bapak presiden…..” Gaya harmoko ini tidak meyakinkan dan dilihat sebagai bentuk retorika tanpa makna maka nama Harmoko pun diplesetkan menjadi Hari-hari omong kosong.
Selain Plesetan seperi ini pihak media juga berusaha membongkar kekuatan rezim Orba melalui wacana karikatur dan wacana pojok yang terkesan lucu tetapi menohok kesadaran elite. Penggunaan wacana seperti ini dalam dunia pers, menjadi pilihan untuk menghindari konflik dengan kekuasaan, pers melalukan kritik melalui karikatur dan pojok. Keduanya menyampaikan kritik melalui humor, dan ternyata efektif pada masa itu, terbukti tidak ada pers yang dibreidel karena kritik karikatur atau kritik pojok.
7. Penutup
Demikian sekilas penggambaran tentang kondisi penggunaan bahasa oleh elite politik Orba sebagai perluasan gagasan Mely G.Tan. Tentu ini hanya sebuah sudut pandang dalam memaknai gagasan inspiratif Tan. Masih ada sudut pandang lain yang bisa melengkapi tulisan ini karena kami yakin setiap sudut itu memiliki kelemahan. Aneka perspektif terhadap penggunaan bahasa Orba akan memberi sumbangan bagipemhaman yang lebih utuh tentang kiprah Orde kemasan Soeharto itu.
***
Pustaka Rujukan
Algeo, John. 2005. The Origins and Development of the English Language: Sixth Edition. Wadsworth, Cengage Learning.
Bourdieu Pierre and John Thompson. 2005. Language and Symbolic Power. Harvard: University Press.
Craith, Nic Mairead. 2007. Language, Power and Identity Politics. Macmillan: Palgrave.
Dhakidae, Daniel. 1999. Orde Baru dan Peluang Demokrasi, Abri dan Kekerasan, Yogyakarta: Interfidei.
Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd.
Kaswanti, Bambang Purwo (Ed.). 2000. Kajian Serba Linguistik. untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa., Jakarta: Universitas Katolik Atmajaja dan BPK Gunung Mulia.
Lewuk, Peter. 1995. Kritik Filosofis Atas Pembangunan, Beberapa Serpihan Pemikiran. Jakarta: Posko‘66.
Lyons, John. 1981. Language and Linguistics: An Introduction. Cambridge University Press.
Mark Aloysius. 2010. “Masalah Etnisitas, Ras dan Bangsa: Suatu Pendekatan Cultural Studies” dalam Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Jakarta: Koekoesan.
Santoso, Anang. 2006. Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa:Topik-Topik Kritis dalam kajian Ilmu Bahasa. Universitas Negeri Malang: LP3
Samuel, Jerome. 2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemoderan Kosakata dan Politik Peristilahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Senin, 18 Februari 2013
BERBICARA SEBAGAI KOMUNIKASI SEBUAH PENGANTAR
1. Pengertian Komunikasi



Pengertian komunikasi sudah banyak didefinisikan oleh banyak orang, jumlahnya sebanyak orang yang mendifinisikannya. Komunikasi adalah suatu interaksi, proses simbolik yang menghendaki orang – orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antar sesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku tersebut. Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (M. Rogers ). Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk data, melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya yang pada akhirnya akan sampai pada saling pengertian yang mendalam. Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak disengaja. (menurut Shannon dan Weaver )
Dari banyak pengertian tersebut jika dianalisis pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.
Gambar berikut menggambarkan apa yang dapat kita namakan model universal komunikasi. Ini mengandung elemen-elemen yang ada dalam setiap tindak komunikasi, terlepas dari apakah itu bersifat intrapribadi, antarpribadi, kelompok kecil, pidato terbuka, atau komunikasi masa.
Gangguan
|
Pesan
|
Umpan balik
|
Sumber/
enkoder
|
Penerima/
dekoder
|
Sumber/
dekoder
|
Penerima/
enkoder
|
Umpan balik
|
Pesan
|
Saluran/ media
|
Saluran/ media
|
Konteks (Lingkungan
|
![]() |
2. Fungsi-Fungsi Komunikasi
Pakar komunikasi mengemukakan fungsi komunikasi umumnya dibedakan menjadi empat fungsi (a) sosial (b) ekspresif (c) ritual (d) instrumental. Fungsi sosial komunikasi mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep-diri, aktualisasi-diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan. Fungsi Ekspresif berkaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan sendirian ataupun dalam kelompok. Fungsi Ritual berkaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual yang biasanya dilakukan secara kolektif. Fungsi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur.
Bila diringkas kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat persuasive). Komunikasi yang berfungsi memberitahukan atau menerangkan (to inform) mengandung muatan persuasive dalam arti pembicara menginginkan pendengamya mempercayai bahwa fakta atau informasi yang disampaikan akurat dan layak untuk diketahui. Bahkan komunikasi yang menghibur (to entertain) pun secara tidak langsung membujuk khalayak.
3. Komponen Komunikasi
Setiap ahli mencoba mendeskripksikan hakikat setiap tindakan komunikasi secara berbeda berdasarkan cara pandang yang bervariasi. Dalam perumusan terkait komponen utama sebuah tindakan komunikasi tampak adanya perbedaan itu. Gordon, dkk. misalnya mencatat ada enam unsur pokok yang menggabarkan esensi komunikasi. Gagasan Gordon ini tentu saja bukan sesuatu yang final karena ada ahli lain justru memperkaya gagasan Gordon. Karena itu, berikut dijelaskan beberapa komponen komunikasi itu selain yang digambarkan Gordon (1977:9-12; Anreesc, 2012).
a. Lingkungan komunikasi (Konteks)
Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi: (1) Fisik, adalah ruang di mana komunikasi berlangsung yang nyata atau berwujud, (2) Sosial-psikoilogis, meliputi, misalnya tata hubungan status di antara mereka yang terlibat, peran yang dijalankan orang, serta aturan budaya masyarakat di mana mereka berkomunikasi. Lingkungan atau konteks ini juga mencakup rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau senda gurau, (3) Temporal (waktu), mencakup waktu dalam hitungan jam, hari, atau sejarah dimana komunikasi berlangsung. Ketiga dimensi lingkungan ini saling berinteraksi; masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain. Sebagai contoh, terlambat memenuhi janji dengan seseorang (dimensi temporal), dapat mengakibatkan berubahnya suasana persahabatan-permusuhan (dimensi sosial-psikologis), yang kemudian dapat menyebabkan perubahan kedekatan fisik dan pemilihan rumah makan untuk makan malam (dimensi fisik). Perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan banyak perubahan lain. Proses komunikasi tidak pernah statis.
b. Pengirim, Sumber, Pembicara, Guru, Dosen, Penulis-Penerima, Pendengar, Siswa, Mahasiswa, Pembaca, Penafsir
Dalam komunikasi antar manusia, sumber bisa terdiri dari satu orang, tetapi bisa juga dalam kelompok misalnya partai, organisasi atau lembaga. Istilah-istilah ini dalam penggunaannya dapat saling menggantikann dan semuanya merujuk kepada seseorang yang berinisitif memulai sebuah tndakan berkomunikasi. Kita menggunakan sederetan istilah seperti ini untuk menggambarkan bahwa proses komunikasi itu memang luas cakupannya. Intinya adalah kata Pengirim-Penerima sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menegaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam komunikasi adalah sumber (atau pembicara) sekaligus penerima (atau pendengar) ketika aktivitas berkomunikasi itu berlangsung. Seseorang dapat mengirimkan pesan ketika berbicara, menulis, atau memberikan isyarat tubuh. Lawan bicara menerima pesan dengan mendengarkan, membaca, membaui, dan sebagainya. Dalam praktiknya, ketika seseorang mengirimkan pesan, pada saat itu juga ia berpeluang menerima pesan. Ketika seseorang (si A) berbicara dengan orang lain (si B), si A memandang si B untuk mendapatkan tanggapan (untuk mendapatkan dukungan, pengertian, simpati, persetujuan, dan sebagainya). Ketika si A menyerap isyarat-isyarat non-verbal ini, si A menjalankan fungsi atau berali9h peran sebagi penerima.
c. Enkoding-Dekoding
Dalam ilmu komunikasi menamai tindakan menghasilkan pesan (misalnya, berbicara atau menulis) di kenal dengan sebutan enkoding (encoding). Dengan menuangkan gagasan-gagasannya seseorang (speaker, writer) ke dalam gelombang suara atau ke atas selembar kertas, ia menjelmakan gagasan-gagasannya ke dalam kode tertentu. Jadi, ia melakukan enkoding.
Sebaliknya, tindakan menerima pesan oleh penerima (misalnya, mendengarkan atau membaca) disebut dengan istilah dekoding (decoding). Dengan menerjemahkan gelombang suara atau kata-kata di atas kertas menjadi gagasan, seseorang menguraikan kode tadi. Jadi, si penerima melakukan dekoding.
Oleh karena itu pembicara atau penulis disebut juga sebagai enkoder (encoder), dan pendengar atau pembaca sebagai dekoder (decoder). Seperti halnya sumber-penerima, kita menuliskan enkoding-dekoding sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menegaskan bahwa dalam praktiknya dua fungsi itu dijalankan secara simultan. Ketika Anda berbicara (enkoding), Anda juga menyerap tanggapan dari pendengar (dekoding).
d. Kompetensi Komunikasi
Kompetensi komunikasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara efektif (Spitzberg dan Cupach, 1989). Kompetensi ini mencakup hal-hal seperti pengetahuan tentang peran lingkungan (konteks) dalam mempengaruhi kandungan (content) dan bentuk pesan komunikasi (misalnya, pengetahuan bahwa suatu topik mungkin layak dikomunikasikan kepada pendengar tertentu di lingkungan tertentu, tetapi mungkin tidak layak bagi pendengar dan lingkungan yang lain). Pengetabuan tentang tatacara perilaku nonverbal (misalnya kepatutan sentuhan, suara yang keras, serta kedekatan fisik) juga merupakan bagian dari kompetensi komunikasi.
Dengan meningkatkan kompetensi seseorang akan mempunyai banyak pilihan berperilaku saat berkomunikasi. Makin banyak penmgetahuan seseorang tentang komunikasi (artinya, makin tinggi kompetensi), makin banyak pilihan saat melakukan komunikasi dalam pelbagai konteksnya. Proses ini analog dengan proses mempelajari bahasa, semakin banyak perbendaharaan kata yang dimiliki dan diketahui (artinya, makin tinggi kompetensi perbendaharaan kata seseorang), makin banyak cara yang digunakannya dalam untuk mengungkapkan diri.
e. Pesan
Pesan adalah sesuatu yang disampaikan oleh pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi Pesan komunikasi dapat mempunyai banyak bentuk. Kita mengirimkan dan menerima pesan ini melalui salah satu atau kombinasi tertentu dari panca indra kita. Walaupun biasanya kita menganggap pesan selalu dalam bentuk verbal (lisan atau tertulis), ini bukanlah satu-satunya jenis pesan. Kita juga berkomunikasi secara nonverbal (tanpa kata). Sebagai contoh, busana yang kita kenakan, seperti juga cara kita berjalan, berjabatan tangan, menggelengkan kepala, menyisir rambut, duduk, dan. tersenyum. Pendeknya, segala hal yang kita ungkapkan dalam melakukan komunikasi.
f. Saluran, media
Media yang dimaksud di sini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Saluran komunikasi adalah media yang dilalui pesan. Jarang sekali komunikasi berlangsung melalui hanya satu saluran, kita menggunakan dua, tiga, atau empat saluran yang berbeda secara simultan. Sebagai contoh, dalam interaksi tatap muka kita berbicara dan mendengarkan (saluran suara), tetapi kita juga memberikan isyarat tubuh dan menerima isyarat ini secara visual (saluran visual). Kita juga memancarkan dan mencium bau-bauan (saluran olfaktori). Seringkali kita saling menyentuh, ini pun komunikasi (saluran taktil).
g. Umpan Balik
Umpan Balik adalah suatu bentuk tanggapan balik dari penerima setelah memperoleh pesan yang diterima. Dalam ilmu komunikasi juga dikenal beberapa macam tipe komunikasi. Joseph A. DeVito seorang professor komunikasi di City University of New York dalam bukunya Communicology membagi komunikasi atas empat macam yaitu : komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi publik dan komunikasi massa. Umpan balik adalah informasi yang dikirimkan balik ke sumbernya. Umpan balik dapat berasal dari Anda sendiri atau dari orang lain. Dalam diagram universal komunikasi tanda panah dari satu sumber-penerima ke sumber-penerima yang lain dalam kedua arah adalah umpan balik. Bila Anda menyampaikan pesan misalnya, dengan cara berbicara kepada orang lain Anda juga mendengar diri Anda sendiri. Artinya, Anda menerima umpan balik dari pesan Anda sendiri. Anda mendengar apa yang Anda katakan, Anda merasakan gerakan Anda, Anda melihat apa yang Anda tulis. Selain umpan balik sendiri ini, Anda menerima umpan balik dari orang lain. Umpan balik ini dapat datang dalam berbagai bentuk: Kerutan dahi atau senyuman, anggukan atau gelengan kepala, tepukan di bahu atau tamparan di pipi, semuanya adalah bentuk umpan balik.
h. Gangguan
Gangguan (noise) adalah gangguan dalam komunikasi yang mendistorsi pesan. Gangguan menghalangi penerima dalam menerima pesan dan sumber dalam mengirimkan pesan. Gangguan dikatakan ada dalam suatu sistem komunikasi bila ini membuat pesan yang disampaikan berbeda dengan pesan yang diterima.
Gangguan ini dapat berupa gangguan fisik (ada orang lain berbicara), psikologis (pemikiran yang sudah ada di kepala kita), atau semantik (salah mengartikan makna). Tabel dibawah menyajikan ketiga macam gangguan ini secara lebih rinci.
Macam
|
Definsi
|
Contoh
|
Fisik
|
Interferensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain
|
Desingan mobil yang lewat, dengungan komputer, kacamata, cacat, mata, telinga, dll.
|
Psikologis
|
Interferensi kognitif atau mental
|
Prasangka dan bias pada sumber-penerima, pikiran yang sempit
|
Semantik
|
Pembicaraan dan pendengar memberi arti yang berlainan
|
Orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit yang tidak dipahami pendengar
|
Gangguan dalam komunikasi tidak terhindarkan. Semua komunikasi mengandung gangguan, dan walaupun kita tidak dapat meniadakannya samasekali, kita dapat mengurangi gangguan dan dampaknya. Menggunakan bahasa yang lebih akurat, mempelajari keterampilan mengirim dan menerima pesan nonverbal, serta meningkatkan keterampilan mendengarkan dan menerima serta mengirimkan umpan balik adalah beberapa cara untuk menanggulangi gangguan.

i. Efek Komunikasi (Pesan dan Makna) pada tiga Ranah (taksonomi Bloom)
Efek atau pengaruh adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa tergantung dari pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang (Fleur, 1982). Masalah efek, pengaruh, dampak komunikasi dalam karya Gordon, dkk. dirumuskan dalam penjelasan berkaitan dengan unsur pesan dan makna sebuah tindakan komunikasi. Makna pesan itu lebih merujuk pada apa yang merupakan hasul interpretasi atau jawaban dari penerima apesan dalam komunikasi. Dengan cara ini jelas dibedakan antara apa yang menjadi isi (content) komunikasi dan apa yang menjadi arti, makna (meaning) komunikasi. Dalam kaitannya dengan pemaknaan tindak komunikasi nmerujuk pada makna yang bersentukhan dengan apa yang bisa dipikirkan (thinking), apa yang dirasakan (feeling) dan apa yang bisa dilakukan (acting). Tiga jenis makna ini oleh Morris (1946) masing-masing disebut designative, appraisive, prescriptive.
Jika dikaitkan dengan konsep Bloom dalam dunia pendidikan tampaknya komunikasi selalu mempunyai efek atau dampak terhadap satu atau lebih orang yang terlibat dalam tindak komunikasi yang berkaitan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada setiap tindak komunikasi selalu ada konsekuensi. Sebagai contoh, Anda mungkin memperoleh pengetahuan atau belajar bagaimana menganalisis, melakukan sintesis, atau mengevaluasi sesuatu; ini adalah efek atau dampak intelektual atau kognitif. Kedua, Anda mungkin memperoleh sikap baru atau mengubah sikap, keyakinan, emosi, dan perasaan Anda; ini adalah dampak afektif. Ketiga, Anda mungkin memperoleh cara-cara atau gerakan baru seperti cara melemparkan bola atau melukis, selain juga perilaku verbal dan noverbal yang patut; ini adalah dampak atau efek psikomotorik.

j. Etik dan Kebebasan Memilih
Karena komunikasi mempunyai dampak, maka ada masalah etik di sini. Karena komunikasi mengandung konsekuensi, maka ada aspek benar-salah dalam setiap tindak komunikasi. Tidak seperti prinsip-prinsip komunikasi yang efektif, prinsip-prinsip komunikasi yang etis sulit dirumuskan.
Seringkali kita dapat mengamati dampak komunikasi, dan berdasarkan pengamatan ini, merumuskan prinsip-prinsip komunikasi yang efektif. Tetapi, kita tidak dapat mengamati kebenaran atau ketidakbenaran suatu tindak komunikasi.
Dimensi etik dari komunikasi makin rumit karena etik begitu terkaitnya dengan falsafah hidup pribadi seseorang sehingga sukar untuk menyarankan pedoman yang berlaku bagi setiap orang. Meskipun sukar, pertimbangan etik tetaplah merupakan bagian integral dalam setiap tindak komunikasi. Keputusan yang kita ambil dalam hal komunikasi haruslah dipedomani oleh apa yang kita anggap benar di samping juga oleh apa yang kita anggap efektif. Apakah komunikasi itu etis atau tidak etis, landasannya adalah gagasan kebebasan memilih serta asumsi bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menentukan pilihannya sendiri.
Komunikasi dikatakan etis bila menjamin kebebasan memilih seseorang dengan memberikan kepada orang tersebut dasar pemilihan yang akurat. Komunikasi dikatakan tidak etis bila mengganggu kebebasan memilih seseorang dengan menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan informasi yang relevan dalam menentukan pilihan. Oleh karenanya, komunikasi yang tidak etis adalah komunikasi yang memaksa seseorang (1) mengambil pilihan yang secara normal tidak akan dipilihnya atau (2) tidak mengambil pilihan yang secara normal akan dipilihnya. Sebagai contoh, seorang pejabat rekruting perusahaan mungkin saja membesar-besarkan manfaat bekerja di Perusahaan X dan dengan demikian mendorong Anda untuk menentukan pilihan yang secara normal tidak akan Anda ambil (jika saja Anda mengetahui fakta-fakta sebenarnya).
Dalam etik yang didasarkan atas kebebasan memilih ini, ada beberapa persyaratan. Kita mengasumsikan bahwa orang-orang ini sudah cukup umur dan berada dalam kondisi mental yang memungkinkan mereka melaksanakan pilihan secara bebas. Selanjutnya, kita mengasumsikan bahwa kebebasan memilih dalam situasi mereka tidak akan menghalangi kebebasan memilih orang lain. Sebagai contoh, anak-anak berusia 5 atau 6 tahun tidak akan siap untuk menentukan pilihan sendiri (memilih menu mereka sendiri, memilih waktu untuk tidur, memilih jenis obat), sehingga harus ada orang lain yang melakukannya untuk mereka. Begitu juga, seseorang yang menderita keterbelakangan mental membutuhkan orang lain untuk mengambilkan keputusan tertentu bagi mereka.
Di samping itu, situasi lingkungan kehidupan seseorang dapat membatasi kebebasan memilih ini. Sebagai contoh, anggota tentara seringkali harus melepaskan kebebasan memilih dan makan nasi bungkus, bukan roti keju, mengenakan seragam militer, bukan jins, lari pagi, bukan tidur. Dengan menjadi tentara, seseorang setidak-tidaknya harus melepaskan sebagian hak mereka untuk menentukan pilihan sendiri. Akhirnya, kebebasan memilih yang kita miliki tidak boleh menghalangi orang lain untuk menentukan pilihan mereka sendiri.
Kita tidak bisa membiarkan seorang pencuri memiliki kebebasan untuk mencuri, karena dengan memberikan kebebasan ini kita menghalangi korban pencurian untuk menikmati kebebasan memilih mereka—hak untuk memiliki barang dan hak untuk merasa aman dalam rumah mereka.

4. Tujuan Komunikasi
Ada empat tujuan atau motif komunikasi yang perlu dikemukakan di sini. Motif atau tujuan ini tidak perlu dikemukakan secara sadar, juga tidak perlu mereka yang terlibat menyepakati tujuan komunikasi mereka. Tujuan dapat disadari atau pun tidak, dapat dikenali ataupun tidak. Selanjutnya, meskipun. teknologi komunikasi berubah dengan cepat dan drastis (kita mengirimkan surat elektronika, bekerja dengan komputer, misalnya) tujuan komunikasi pada dasarnya tetap sama, bagaimanapun hebatnya revolusi elektronika dan revolusi-revolusi lain yang akan datang.
a. Menemukan
Salah satu tujuan utama komunikasi menyangkut penemuan diri (personal discovery) Bila Anda berkomunikasi dengan orang lain, Anda belajar mengenai diri sendiri selain juga tentang orang lain. Kenyataannya, persepsi-diri Anda sebagian besar dihasilkan dari apa yang telah Anda pelajari tentang diri sendiri dari orang lain selama komunikasi, khususnya dalam perjumpaan-perjumpaan antarpribadi.
Dengan berbicara tentang diri kita sendiri dengan orang lain kita memperoleh umpan balik yang berharga mengenai perasaan, pemikiran, dan perilaku kita. Dari perjumpaan seperti ini kita menyadari, misalnya bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Pengukuhan positif ini membantu kita merasa "normal."
Cara lain di mana kita melakukan penemuan diri adalah melalui proses perbandingan sosial, melalui perbandingan kemampuan, prestasi, sikap, pendapat, nilai, dan kegagalan kita dengan orang lain. Artinya, kita mengevaluasi diri sendiri sebagian besar dengan cara membanding diri kita dengan orang lain.
Dengan berkomunikasi kita dapat memahami secara lebih baik diri kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak bicara. Tetapi, komunikasi juga memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar—dunia yang dipenuhi objek, peristiwa, dan manusia lain. Sekarang ini, kita mengandalkan beragam media komunikasi untuk mendapatkan informasi tentang hiburan, olahraga, perang, pembangunan ekonomi, masalah kesehatan dan gizi, serta produk-produk baru yang dapat dibeli. Banyak yang kita peroleh dari media ini berinteraksi dengan yang kita peroleh dari interaksi antarpribadi kita. Kita mendapatkan banyak informasi dari media, mendiskusikannya dengan orang lain, dan akhirnya mempelajari atau menyerap bahan-bahan tadi sebagai hasil interaksi kedua sumber ini.
b. Untuk berhubungan
Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain (membina dan memelihara hubungan dengan orang lain). Kita ingin merasa dicintai dan disukai, dan kemudian kita juga ingin mencintai dan menyukai orang lain. Kita menghabiskan banyak waktu dan energi komunikasi kita untuk membina dan memelihara hubungan sosial. Anda berkomunikasi dengan teman dekat di sekolah, di kantor, dan barangkali melalui telepon. Anda berbincang-bincang dengan orangtua, anak-anak, dan saudara Anda. Anda berinteraksi dengan mitra kerja.
c. Untuk meyakinkan
Media masa ada sebagian besar untuk meyakinkan kita agar mengubah sikap dan perilaku kita. Media dapat hidup karena adanya dana dari iklan, yang diarahkan untuk mendorong kita membeli berbagai produk. Sekarang ini mungkin Anda lebih banyak bertindak sebagai konsumen ketimbang sebagai penyampai pesan melalui media, tetapi tidak lama lagi barangkali Anda-lah yang akan merancang pesan-pesan itu—bekerja di suatu surat kabar, menjadi editor sebuah majalah, atau bekerja pada biro iklan, pemancar televisi, atau berbagai bidang lain yang berkaitan dengan komunikasi. Tetapi, kita juga menghabiskan banyak waktu untuk melakukan persuasi antarpribadi, baik sebagai sumber maupun sebagai penerima. Dalam perjumpaan antarpribadi sehari-hari kita berusaha mengubah sikap dan perilaku orang lain. Kita berusaha mengajak mereka melakukan sesuatu, mencoba cara diit yan baru, membeli produk tertentu, menonton film, membaca buku, rnengambil mata kuliah tertentu, meyakini bahwa sesuatu itu salah atau benar, menyetujui atau mengecam gagasan tertentu, dan sebagainya. Daftar ini bisa sangat panjang. Memang, sedikit saja dari komunikasi antarpribadi kita yang tidak berupaya mengubah sikap atau perilaku.
d. Untuk bermain
Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Kita mendengarkan pelawak, pembicaraan, musik, dan film sebagian besar untuk hiburan. Demikian pula banyak dari perilaku komunikasi kita dirancang untuk menghibur orang lain (menceritakan lelucon mengutarakan sesuatu yang baru, dan mengaitkan cerita-cerita yang menarik). Adakalanya hiburan ini merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan cara untuk mengikat perhatian orang Iain sehingga kita dapat mencapai tujuan-tujuan lain.
Tentu saja, tujuan komunikasi bukan hanya ini; masih banyak tujuan komunikasi yang lain. Tetapi keempat tujuan yang disebutkan di atas tampaknya merupakan tujuan-tujuan yang utama. Selanjutnya tidak ada tindak komunikasi yang didorong hanya oleh satu faktor; sebab tunggal tampaknya tidak ada dunia ini. Oleh karenanya, setiap komunikasi barangkali didorong oleh kombinasi beberapa tujuan bukan hanya satu tujuan.
Buku Rujukan
Anreesc, Margareta & Maria Florea. STRUCTURAL ELEMENTS OF MASS COMMUNICATION International Journal of Communication Research, volume 2 issue 2 April / June 2012
Gordon I.Zimmerman, dkk. 1977. Speech Communication: A Contemporary Intruction. New York Boston: West Publishing Company.
Joseph A. Devito.1997. Komunikasi antar manusia (edisi kelima). Jakarta: Profesional Books
Larry King, Bill Gilbert. 2002. Seni Berbicara: kepada siapa saja, kapan saja, dimana saja (editor Tanti Lesmana).Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Miller, Katherine. 2002. Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. Boston, MA: McGraw-Hill Book Co.
Rogers, Everett M. 1994. A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York: The Free Press.
Wayne R. Pace, Don F. Faulos, 2002, Komunikasi Organisasi: Strategi meningkatkan kinerja perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
·
Langganan:
Postingan (Atom)