Kekuasan dan
Monumen Tanpa Kepala
Bonefasius
Rampung
Keprodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Santu
Paulus Ruteng
Kelompok kata ‘Monumen Tanpa Kepala’ yang
dipertautkan pada judul ini merupakan judul sebuah cerita pendek (cerpen) karya
Indra Tranggono yang dipublikasikan Kompas
edisi Minggu 21 Septerber 1997. Cerpen ini mengisahkan pengalaman tokoh seorang
bupati (imajiner) yang pingsan saat
gubernur meresmikan tugu perunggu raksasa setinggi sepuluh meter. Monumen yang
dikisahkan dalam cerpen ini dibangun bupati karena merasa diri berhasil dalam
menyumbangkan banyak tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri.
Pembangunan munumen TKW yang menghabiskan
ratusan juta rupiah dana daerah itu
sejak awal ditatang masyarakat karena dinilai tidak manusiawi. Sang bupati
dengan bermodalkan kekuasaan merasa berhak mengabaikan desakan masyarakat. Ia
ingin membangun citra sebagai bupati paling berhasil mengurangi pengangguran
dengan mengirim banyak tenga kerja wanita ke negara lain. Monumen raksasa itu
diresmikan gubernur. Saat peresmian itulah sang bupati pingsan karena ketika
sang gubernur membuka kain penutup menumen TKW itu, ternyata monumen itu tanpa
kepala. Ada warga tidak menyetujui
pembangunan monumen itu. Warga menugaskan Sureng, Bendot, dan Klantung
untuk menghilangkan kepada patung TWK
itu sebelum acara peresmiannya. Peristiwa itu muncul di koran setempat
dengan judul "Monumen TKW Tanpa Kepala" tiga
orang dinyatakan menjadi tersangka, mereka adalah Sr (sureng), Bt (Bendot) dan Klantung. Bupati malu hingga pingsan di hadapan begitu
banyak orang yang menghadiri peresmian patung TKW itu.
Setelah siuman sang bupati
menggebrak meja. Para stafnya tak ada
yang berani bicara. Kepulan asap menguasai ruangan. Puntung-puntung
rokok menumpuk dalam asbak. "Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan?! Demi proyek ini, saya
pertaruhkan seluruhnya. Jabatan saya,
leher saya. Bahkan nyawa! "Bupati menggosokkan balsem di
tengkuknya. Bau balsem itu merebak ke
seluruh ruangan. Satu persatu orang-orang gemetar mematikan rokoknya. "Monumen
itu menjadi tanda keberhasilan kita sebagai pemasok tenaga kerja wanita
terbesar di negeri ini. Dus, itu berarti kita menjadi pelopor dalam soal mengurangi pengangguran. Pemerintah
pusat sangat respek kepada kita. Tapi sekarang ... ?"
Pesan moral cepen Indra ini
sudah lama mengendap dalam kesadaran kami ketika dahulu menjadikan cerpen ini
sebagai salah satu cerpen yang dianalisis untuk kepentingan penulisan Skripsi
(S1) di Universitas Sanata Dharma (2000). Pesan yang telah mengendap itu
seakan-akan dibangunkan oleh tulisan pada kolom Bentara Flores Pos. Media lokal yang bertekad membawa wajah Nusa Bunga ke
segenap Nusantara ini tidak pernah alpa menghadirkan bahkan meneriakkan pesan
moral terkait pelbagai kebijakan para petinggi penguasa yang
terkesan memunggungi rakyat. Perspektif, posisi dan sikap media ini
konsisten tegas dan jelas, enggan memilih posisi abu-abu. Tentu, jauh dari
tendensi menyudutkan siapa-siapa karena semua dan siapa saja paham dan sadar bahwa nilai moral, nilai
kemanusiaan merupakan nilai universal yang diperjuangkan bersama. Nilai
keadilan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban itu biasa dan wajar
diperjuangkan.
Kesan tegas, lugas, dan
preferensi pada kelompok the poor ini
paling kurang tampak dalam beberapa
Bentara Flores Pos. Merujuk pada
pesan moral cerpen ‘Monumen Tanpa Kepala’ di atas kami tertarik pada dua judul
Bentara ‘Pulau Penuh Tugu’ (Flores Pos
Sabtu 1/10) dan ‘Kitab Suci ‘Woge’ (Flores
Pos Kamis, 22/9). Dua judul ini ditulis pimpinan redaksi Flores Pos. Dalam dunia dan dalam
konteks kebijakan bermedia kolom Tajuk atau Bentara untuk Flores Pos merupakan tulisan yang mewakili sikap, pandangan resmi
media sesuai dengan visi dan misinya. Dengan demikian, setiap orang yang ingin
mengetahui apa visi dan misi khas sebuah media, harus memahami pesan dalama
wacana tajuk atau jika mau mengenal opsi sikap Flores Pos terhadap berbagai isu dan kebijakan yang berkembang,
maka cermati itu dalam Bentara.
Melalui dua judul Bentara
yang dipertalikan dengan pesan moral cepen tadi, tampak bahwa Flores Pos sebagai sebuah lembaga/media
mengingatkan dan bahkan menentukan sikap. Berhadapan dengan niat mulia Bank NTT
yang mengalokasikan dana hampir 150 juta rupiah untuk pembangunan tugu di
Kabupaten Sikka dinilai sebagai pilihan yang tidak berpihak kepada kelompok ‘the poor’. Pembagunan tugu yang
direncakan itu dinilai sebagai iklan murahan untuk para petinggi kabupaten di
Flores. “Publik mulai gerah dengan kesenangan para bupati di Flores yang
cenderung membangun patung, tugu, dan ornamen lain seperti baliho dan iklan dengan potret persis anak
sambut baru di pinggir jalan dan tempat strategis di kota” (Bentara, 1/10). Flores Pos melalui Bentaranya
mengingatkan agar pengalaman bupati rekaan dalam cerpen tidak menjadi
kenyataan.
Hal senada disampaikan Bentara (22/9) untuk menjadi perhatian serius
para petinggi dan pengambil kebijakan di kabupaten Ende. Rencana untuk
‘membaptis’ sebuah tempat menjadi “Bukit
Kerukunan” atau “Taman Tolerasi” disikapi media FP sebagai niat kurang prorakyat. Para petinggi tentu, tidak
ingin disebut sebagai pihak yang
menerapkan logika ‘kalang kabut’ terkait
ide yang pada waktunya akan berdampak negatif.
Dana ratusan juta yang digunakan bupati rekaan dalam cerpen toh pada
akhirnya bukan membuat namanya dikenal sebagai bupati yang berhasil memabngun
monumen TKW. Jutru ia pingsang, dan merasa malu karena ternyata kebijakannya
tidak bersentuhan dengan kebutuhan hakiki masyarakat. Rakyat memang mungkin
diam karena mungkin beralasan mandat dan kepercayaannya telah diserahkan kepada
para pemimpin.
Flores Pos dengan
Bentaranya yang kritis, lugas, dan beropsi kepada masyarakat yang tak berdaya
telah siap menjadi tokoh Sureng, Bandot, dan Klantun yang siap mematahkan
kepala setiap monumen yang dibangun untuk kebanggaan penguasa dan bukan untuk
memajukan kehidupan masyarakat yang berkeadilan. Sikka dengan rencana
pembangunan tugunya, Ende dengan proyek bukit kerukunannya sesungguhnya mirip
dengan kisah Monumen Tanpa Kepala. Ini satu awasan sekadar mengingatkan semua
petinggi yang berkuasa (di Flores) lebih memilih membangun tugu keadilan,
kejujuran, kesejahteraan masyarakat daripada menghabiskan dana mengabadikan
nama dengan tugu atau apa pun namanya.
Akhirnya kita perlu memaknai
kutipan cerpen ini: “Lengkingan
sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning. Pelan-pelan kain itu
tersingkap. Gamelan bertalu. Mulai tampak
sebagian badan monumen perunggu setinggi sepuluh meter itu. Tamu-tamu
undangan bertepuk riuh. Pak Gubernur,
seusai menekan tombol itu, menjabat tangan Pak Bupati yang tersenyum
bangga. Namun, mendadak gamelan itu
terhenti. Para tamu undangan
kaget. Begitu kain selubung itu terbuka
seluruhnya, mereka melihat pemandangan aneh.
Monumen TKW, tenaga kerja wanita itu, berdiri tanpa kepala. Pak
Gubemur gusar. Pak Bupati cemas. Suasana berubah gaduh. Pak Bupati
tampak terguncang. Empat orang pengaman
memapahnya. Istri menggosok tengkuk dan
dada suaminya dengan balsem. Beberapa petugas lainnya, lengkap dengan senapan,
mengamankan tempat. Dengan
gerakan yang sangat terlatih mereka segera membawa Pak Bupati masuk mobil dinas”. Yah.. Kita tidak ingin
kekuasaan itu hanya sekadar monumen tanpa kepala.***