Selasa, 24 Mei 2016

Tour de Flores dan Keraguan Kita



Gebyar  Tour de Flores (TdF) telah usai. Apa yang tertinggal dan patut di kenang? Kekaguman demi kekaguman tertinggal dan boleh jadi mendera perasaa masyakat yang menyaksikan para pebalap mancanegara merayapi buana ‘nusa nipa’. Tensi kesibukan warga Flores tersulut dari ujung timur (Flotim) hingga puncaknya di ujung barat (Manggarai Barat). Ibarat mimpi, event mondial ini menyeretsedot perhatian publik untuk bersedia menjadikan diri sebagai salah satu betis yang memagari lintasan para pebalap.
Sebuah seremoni panjang terbentang dan terpatri dalam ingatan setiap orang yang menyaksikannya. Sejarah tentu mencatat momen TdF sebagai seremoni panen kekaguman masal ketika para pengayuh sepeda didatangkan dari mancanegara dan dimotori mereka yang ada di pusat negara. Rakyat kebanyakan secara alamiah tidak terhindarkan dari emosi kekaguman lalu tanpa sadar mengacungkan jempol memuji dan mengamini setiap yel-yel yang mengafirmasi semua rencana dan niat mengagendakan peristiwa ini sebagai peristiwa tahunan.
Lebih kurang setengah jam warga berdiri menunggu di tepi jalan baik karena dikondisikan agar dijalankan maupun lahir dari emosi spontan untuk melihat orang dari berbagai negara secara bersama-sama mengayuh sepeda dan melintasi wilayah dan kampung halaman mereka. Ya memang tentu saja bukan karena mau melihat sepedanya karena toh sepeda sudah ada di setiap kabupaten di Flores. Semuanya berdiri kagum di bawah terikan matahari, tanpa minuman yang dijatahkan dari anggaran yang tidak kecil. Kekaguman itu, menjadi amat mahal bagi mereka yang sibuk mengurusi semuanya, tetapi terlampau murah bagi masyarakat yang hanya menyediakan diri berdiri di tepi jalan.
Persoalan mahal atau murah selalu hadir dalam setiap aktivitas karena tidak ada kegiatan tanpa pengorbanan yang secara ekonomis dibahasakan dalam kata biaya. Semua orang paham tentang itu. Persoalannya, dalam konteks pertimbangan ekonomis orang mempertanyakan kesangkilan dan kemangkusan pemanfaatan biaya. Itu artinya, orang mempertanyakan perimbangan antara biaya dan efek positif sebuah kegiatan berbiaya tinggi. Menakar dalam pertanyaan tentang keberimbangan seperti ini membahasakan keraguan yang logis dan rasional. Orang yang berpikir praktis, rasional, dan ekonomis hampir pasti menyarati pikirannya dengan terminologi manfaat. Keraguannya terumuskan dalam pertanyaan, apa manfaat sesuatu dilakaukan?
Persoalan manfaat inilah yang selalu mengiringi setiap aktivitas manusia baik itu kegiatan tanpa biaya maupun dan apalagi kegiatan yang tergolong mahal. Persis pada titik inilah keraguan yang menganakkan pertanyaan tidak terhindarkan. Flores Pos Selasa (24/5) menurunkan berita bertajuk “Manfaat ‘Tour de Flores’Diragukan” dengan rujukan pada mantan anggota DPRD Ende, Heribertus Gani. Keraguan mantan wakil rakyat Ende ini dibahasakan Flores Pos dalam modus deklaratif (pernyataan) yang boleh dimaknai sebagai metamorfosis dari rumusan bermodus interogatif (pertanyaan). Bertanya tentang manfaat adu kecepatan bersepeda yang menghadirkan pebalap mancanegara yang telah memproduksi kekaguman sekaligus menghabiskan dana yang tidak tanggung-tanggung.
Apresiasi kritis ala Gani, boleh jadi dianggap sebagai bisikan sayup-sayup di tengah gegap gempita kekaguman masal. Jika dicermati dalam kebeningan nurani dan ketenangan pikiran maka bisa jadi menyadarkan kita dan siapa saja untuk berkata heran betapa mahalnya sebuah seremoni kekaguman yang merayapi nusa bunga selama sepekan. Di Ende tercatat 1,2 miliar rupiah raib untuk biaya lewat para pebalap. Flores Pos mencatat, keberadaan pebalap hanya 20 jam di Ende dan yang produktif untuk masyarakat yang sempat menyaksikan tidak lebih dari 10 jam. Perhitungan matematis sebegini tentu saja lahir dari keraguan dasar perihal efektivitas dan luas dampak kegiatan itu. Dengan merujuk ke Ende saja, kita bisa menghitung berapa  besar biaya yang digelontorkan pihak pemerintas kabupaten yang menjadi destinasi para pebalap. Realistis atau fantastis? Di sini kita bisa bimbang dan ragu. Keraguan kita bisa menguat manakala event ini dikomparasikan pada dampak langsungnya.
Menteri Perindustrian Saleh Husin, tampaknya memahami emosi masa bahkan mau menyatu secara emosional dengan rakyat sepanjang daratan Flores dengan rumusan persuasifnya agar rakyat melihat jangka panjangnya. Suatu rumusan yang tidak tergolong baru dan pupuler, sudah biasa dan tampak normatif. Pernyataan ini berimpilikatur jamak yang membuka peluang bagi penafsiran jamak pula. Apa pun implikasi yang diproduksi sebagai interpretasi dan pemaknaan pada ajakan seperti ini, intinya adalah ungkapan dan bahasa keraguan. Keraguan akan dampak ikutan yang mengubah kondisi masyakarat. Kapan masyarakat dibiayai untuk bersepeda ria? Jangan-jangan dari tahun ke tahun --kalau benar acara ini dilanjutkan—rakyat hanya menjadi alat dan instrumen pengaman pagar betis seperti kita saksikan kemarin.
Bisa dikalkulasi berapa banyak ojek, sopir angkot dan para penggunaan jalan lintas Flores yang terpaksa kehilangan pendapatan ketika jalan menjadi milik pebalap dan panitia? Berapa banyak penjual pinggir jalan selintas Flores yang harus mengamankan barang jualan mereka? Berapa banyak pebalap yang berhenti menikmati jeruk di Nduaria seperti halnya dalam kondisi sehari-hari? Kita mungkin hanya menghitung angka miliar yang dianggarkan oleh pemerintah setiap kabupten yang disinggahi. Berapa banyak pegawai yang tinggalkan pekerjaan mereka di kantor dan harus menyetor betisnya ke tepi jalan?
Tentu masih banyak pertanyaan yang bisa dideretkan setelah emosi kita mulai meredah dari kekaguman menumental itu. Dan deretan pertanyaan berikut ini kiranya menjadi bahan pertimbangan pemerintah dan pengambil kebijakan ke depan. Kapan pemerintah dan dinas pariwisata setiap kabupaten sedaratan Flores ini mengadakan kegiatan serupa dengan anggaran sebesar itu? Ironis memang rasanya ketika para pebalap mancanegara itu sudah  bisa sampai Larantuka, Maumere, Ende, Bajawa, Ruteng, Labuan Bajo sementara ada orang Flotim yang belum melihat Kelimutu atau Labuan Bajo.
Pertanyaan seperti ini adalah ungkapan keraguan sekaligus bentuk penyerahan harapan kepada siapa saja untuk mempertimbangkan segalanya dari aspek manfaat. Kita menguji ketepatan setiap langkah dan kebjakan dalam keraguan yang kritis dan rasional. Hanya ada satu hal yang bisa kelihatan semua lubang jalan diperbaiki. Kalao boleh usul, nanti balapnya ke kampung-kampung biar jalan-jalannya diperhatikan dan diperbaiki. Jika tidak, anggaran miliar sebaiknya untuk perbaiki jalan-jalan yang dilalui masyarakat setiap hari.(*)