Sabtu, 30 Januari 2016

OPINI "DEMIKIANLAH": KEGADUHAN BERBAHASA



“Demikianlah”: Kegaduhan Berbahasa

Ungkapan yang terasa tidak sedap, “Kegaduhan Berbahasa” yang menjuduli artikel ini sesungguhnya  terlahir dari sebuah insiden kecil dalam  pertemuan pastoral post-Natal tingkat Keuskupan Ruteng awal tahun 2016 ini.  Sebagai pertemuan pastoral, kegiatan seperti ini dinilai amat strategis baik itu terkait peserta pertemuan maupun masalah dan isu aktual yang dibahas. Peserta pertemuan pastoral post-Natal ini adalah para agen pastoral seperti uskup, para imam baik yang berkarya di paroki maupun yang berkarya pada berbagai pelayanan kategorial, komunitas biara, dan utusan Dewan Pelaksana Pastoral (DPP) dari semua paroki di keuskupan Ruteng. Isu pokok yang diangkat merujuk pada isu gereja universal yaitu masalah Kerahiman Allah.  Tema sentral kerahiman Allah ini, dalam konteks gereja lokal dipertalikan dengan proses implementasi hasil Sinode keuskupan Ruteng.
Sinode III Keuskupan Ruteng  (2013—2015) telah menetapkan arah dasar pelayanan pastoralnya dalam rumusan: Persekutuan Umat Allah Keuskupan Ruteng yang Beriman Solid (utuh), mandiri (dinamis) dan solider (transformatif). Rumusan ini tampak dalam berbagai dokumen hasil sinode yang selanjutnya akan diimplementasikan secara bertahap sebagai langkah strategis dalam lingkaran masa 10 tahun dengan fokus yang berbeda. Tahun 2016, ditetapkan sebagai tahun pertama implementasi sinode dengan fokus pada kehidupan Liturgi dengan tema pokok “Liturgi sebagai Sumber Kerahiman Ilahi”. Terkait dengan Liturgi, tampaknya ada perubahan rumusan bahasa dalam teks-teks ibadah dan perayaan karena harus disesuaikan dengan tuntutan liturgi yang berlaku dari Roma. Perubahan rumusan itulah yang melahirkan insiden berupa kegaduhan saat peserta sidang pastoral disuguhi satu rumusan yang tidak lazim. Rumusan tanpa kata ‘demikianlah’.
Tulisan ini tidak bermaksud mengubah apalagi melawan rumusan yang dikehendaki Roma. Tentu semua ingat prinsip klasik ini,"Rome has spoken; the cause is finished" atau dalam bahasa Latin, "Roma locuta, causa finita est". Prinsip ini bermuatan pesan autoritas dan harus dipatuhi. Hal yang sama tampaknya berlaku dalam perkara pemilihan kata untuk teks-teks ibadah dalam liturgi. Rasa bahasa menurut rasa orang Roma harus menjadi rujukan, tanpa mempersoalkan apakah pilihan dan pemakaian kata itu cocok, pas dengan rasa bahasa masyarakat di mana ibadah dan perayaan itu dilangsungkan. Dalam perkara ibadah, tampaknya hukum dan afirmasi akan kesetaraaan dan keunikan setiap bahasa harus dikuburkan. Gagasan tentang inkulturasi termasuk unsur bahasanya tampaknya harus dipertanyakan untuk dilanjutkan kalau bahasa dipandang hanya sebagai unsur elementer. Mungkin umat yang hidup pra-Konsili Vatikan II akan lebih menerima kalau kembali beribadah dan teks ibadah berbahasa Latin jika memang dasar bahasa ibadah itu menginduk pada bahasa Latin.
 Kegaduhan berbahasa dalam momen sidang pastoral keuskupan Ruteng, terkait penghapusan, penghilangan kata “demikianlah” dari semua teks ibadah terutama untuk mengakhiri pembacaan teks kitab suci baik injil maupun teks kitab suci lainnya. Penghapusan kata itu menuai berbagai tanggapan  para peserta sidang. Jawaban pegawang liturgi  singkat saja dan cenderung normatif, “Ini sudah ditetapkan dalam sidang KWI dan sesuai dengan keinginan Roma”. Untuk mengakhiri pembacaan teks kitab suci dan injil, rumusan “Demikianlah Sabda Tuhan” yang selama ini dipakai harus diubah menjadi “Sabda Tuhan”.  Itu artinya, ada proyek raksasa lagi untuk pencetakan buku ibadah yang baru hanya untuk menghilangkan kata “demikianlah”. Ini persis sejajar dengan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia beberapa waktu silam ketika nama SMA diganti menjadi SMU, SMP menjadi SLTP. Miliaran rupiah harus dibuang untuk mengganti satu huruf baik berkaitan dengan buku pelajaran maupun pembuatan stempel sekolah di seluruh Indonesia. Untuk buku-buku ibadah dalam gereja Indonesia tentu bisa menghabiskan miliaran rupiah juga.
Itu kalau kita berbicara tentang proyek pencetakan buku-buku untuk menghilangkan kata ‘demikianlah’ tentu percetakan mendapatkan rezeki berlimpah. Kalkulasi ekonomis memang hanyalah sentilan sampingan tetapi yang paling penting sesungguhnya terkait penggunaan bahasa dalam ibadah dan buku-buku ibadah. Ketika kegaduhan berbahasa ini muncul, beberapa teman imam mempertanyakan itu kepada kami. Kami ditanya bukan dalam kapasitas sebagai ahli teologi dan pakar liturgi tetapi dalam kaitannya dengan masalah bahasa. Sebagai imam, kami memang harus berpegang pada prinsip yang dikatakan autoritas gereja, Roma lucuta, causa finita est, tetapi dari aspek bahasa tentu lain ceritanya.
Penghapusan kata ‘demikianlah’ dari teks-teks ibadah atau buku-buku liturgi tampaknya sederhana kalau merujuk pada keharusan mengikuti bahasa asal (Latin, Roma) tetapi mengejutkan jika dilihat dari dunia bahasa secara umum. Dunia mengakui bahwa bahasa manusia itu unik dan sempurna bagi para pendukung bahasa tersebut. Karena itu, tidak ada bahasa yang dianggap paling sempurna dijadikan rujukan dalam menghadirkan suatu makna secara sempurna.  Sesempurnaan apa pun proses menerjemahkan satu kata dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain tetap tidak akan mengalihkan seluruh makna kata aslinya ke dalam bahasa terjemahannya. Penerjemahan hakikatnya hanyalah upaya untuk mendekatkan makna dua bahasa untuk kepentingan pemakainya. Untuk masyarakat pendukung bahasa Manggarai, misalnya, bahasa Manggarai itu paling sempurna mengungkapkan rasa dan makna dari kata yang digunakannya. Begitu juga pengguna bahasa lainnya di dunia. Kalau prinsip ini yang dirujuk maka keharusan mengalihkan secara harfiah kata dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain tentulah menafikkan keunikan sebuah bahasa.
Kembali pada persoalan bahasa teks dan buku-buku ibadah perihal pemakaian dan penghilangan kata ‘demikianlah’ perlu dijelaskan dalam konteks ranah logika berbahasa. Kata ‘demikianlah’ biasanya mengakhiri suatu pernyataan, penyampaian, informasi, berita. Selama ini kata ‘demikian’, ‘demikianlah’ bisa kita temukan dalam wacana tulis seperti pengumuman, surat undangan, surat pemberitahuan, dsb. Juga kita dengarkan ketika seseroang mengakhiri penyampaian informasi, berita dalam bahasa lisan. Kita bisa dengarkan ucapan dan membaca tulisan seperti: “demikian(lah) yang bisa kami sampaikan, demikian(lah) undangan kami, demikian(lah) pesan yang harus kami sampaikan”, begitu seterusnya. Pemakaian kata ‘demikian(lah)’ di sini pada bagian akhir untuk menegaskan apa yang disampaikan sebelumnya.
Contoh, seorang mahasiswa ketua kelas ditugasi dosennya menyampaikan pesan dosen untuk mahasiswa sekelas agar mengumpulkan tugas akhir kuliah menulis  pada waktunya. Ketua kelas akan menyampaikan pesan itu, dan pada bagian akhir ia akan menegaskan dengan mengatakan, demikian(lah) pesan dosen kita agar tugas akhir kuliah menulis dikumpulkan pada waktunya. Dalam bahasa yang konkret penegasan itu bisa diganti dengan kata sinonim ‘begitu(lah) atau begini(lah) pesan dosen. Apakah logis kalau dalam contoh kasus seperti ini ketua kelas mengakhiri pembicaraannya dengan mengatakan, “kata dosen”, “pesan dosen”?
Contoh kasus sederhana ini kami gunakan untuk menganalogikan kasus penghilangan kata ‘demikian(lah)’ dalam konteks pembacaan, penyampaian pesan Tuhan berupa teks Kitab suci. Dalam ibadat atau liturgi ada yang membacakan teks kitab suci. Pembaca itu berperan sebagai pembawa berita, pesan Tuhan dalam teks kitab suci. Dalam satu ibadat liturgi ekaristi misalnya dibacakaan dua teks masing-masing dari surat Paulus kepada Jemaat di Roma dan dari Injil Lukas. Ketika memulai membaca, pembaca menyampaikan kalimat ini: “Pembacaan dari surat Paulus kepada Jemaat di Roma”. Umat yang hadir atau peserta ibadah sudah dengan sendirinya paham dan sadar (minimal berdasarkan pengetahuan dasarnya tentang liturgi) bahwa yang dibacakan untuk mereka itu bukanlah teks biasa tetapi sabda Tuhan. Karena yang dibacakan itu, hanya penggalan dari surat-surat Paulus, yang dipahami sebagai Sabda Tuhan, beralasan dan logis kalau pada bagian akhir pembacaan itu, pembaca menegaskan dengan mengatakan, “demikian(lah) Sabda Tuhan. Pemakaian kata itu logis karena memang menuntut adanya respon, tanggapan, jawaban umat atau perserta ibadah. Respon itu adalah “Syukur kepada Allah” untuk pembacaan teks selain keempat injil dan “Terpujilah Kristus” untuk mengakhiri pembacaan teks injil.
Dalam aturan liturgi yang baru kata ‘demikian(lah)’ ditiadakan sehingga untuk mengakhiri pembacaan cukup menyampaikan kata, “Sabda Tuhan”.  Pernyataan ini, ‘sabda Tuhan’ tidak membtuhkan respon karena semua peserta ibadah memahami dan menyadari bahwa melalui bacaan-bacaan yang dikumandangkan itu mereka mendengarkan Sabda Tuhan. Mereka hanya memerlukan penegasan yang memungkinkan mereka memberi tanggapan berupa ungkapan ‘Syukur kepada Allah’ dan ‘Terpujilah Kristus’. Penegasan itu disampaikan secara eksplisit oleh pembaca dengan mengatakan, “Demikian(lah) Sabda Tuhan” bukan “Sabda Tuhan” saja. Sekali lagi, ini penjelasan dari perspektif logika berbahasa. Bukan, pertimbangan teologis dan tidak bermaksud melawan KWI dan Roma. Hanya satu yang tetap harus dipegang sebagai prinsip bahwa tidak ada bahasa yang paling sempurna di dunia ini karena semua bahasa itu sempurna dalam dirinya tanpa harus membandingkannnya dengan bahasa yang lain. Orang Indonesia, orang Manggarai, orang Ende, orang Jawa dll. mempunyai bahasa yang sempurna untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan perilaku.
Untuk yang berekonomi pas-pasan, pemberlakukan rumusan baru tanpa “demikianlah”  dalam teks dan buku liturgi tidak perlu takut akan pembengkakan biaya pembelian buku baru. Ekonomisnya pakai saja semua buku lama, tinggal coret atau lewatkan saja kata ‘demikian(lah)’ jika ditemukan di dalam teks. Kalau toh telanjur tetap mengucapkannya karena mempertimbangkan logika berbahasa  dan rasa berbahasa seperti yang kami uraikan, tentu belum dikategorikan sebagai dosa.   Toh, kita yang memakai bahasa itulah yang lebih paham akan nuansa makna setiap kata jauh lebih bermakna dari pada kita terpaksa menggunakan kata lain yang justru mengaburkan makna. Demikianlah uraian kami tentang kata ‘demikianlah’ yang terpaksa tergusur dari halaman buku-buku ibadah dengan harapan tidak menimbulkan kegaduhan berbahasa. Isi ibadah jauh lebih penting daripada formulasi dan bungkusannya. ** (Telah dipublikasikan pada  Flores Pos Edisi Sabtu, 30 Januari 2016)