Minggu, 26 Juli 2015

cerpen Senja Merah Khairan

Setengah berkacak, dengan lembut, Arsad menendangi bongkahan blok mesin sepeda motornya. “Nggak akan tembus kan, Sir?” katanya. Nasir menggeleng. Khairan menepuk bahunya. “Kita juga main, Sad. Kita tutup nomor jagonya, dan karenanya kita hanya narikin duit orang kampung. Ini hanya pemancing saja,” katanya. Arsad menaiki sepeda motornya, mendorongnya sehingga rodanya mencecah di tanah. Ia menahan ketegakannya dengan dua kaki yang mengangkang. Terbayang lagi, olehnya, ayahnya memberikan pesan khusus, yang harus diperhatikan agar ia bisa tetap memakai sepeda motor itu. Ini bukan punyamu, kata ayah, ini kepunyaan bapak yang dititip-pakaikan kepadamu, karenanya akan ada evaluasi setiap minggu-apa masih layak diinventariskan apa pasnya dicabut. Ya! Akan tetapi, seingatnya, gertakan itu cuma efektif tiga bulan. Setelah itu ia benar-benar menguasainya. Dan kini ia akan menjadikannya Hadiah Utama Toto (gelap) Singapura, di kisaran empat angka, per lima puluh ribu tombok.
Kemungkinan cuma sepersepuluh ribu,” kata Nasir, serius. Khairan tersenyum dan mengiyakan dengan sungguhsungguh. “Pokoknya kamu tenang-tenang saja, Sad,” kata Nasir. “Kamu duduk-duduklah, megang surat-suratnya-sementara itu masih bisa dipakai ngojek sama Sitol, dengan setoran biasa.” Setengah berbisik, menghindarkan pendengaran Khairan, “Dan sementara itu kamu pun bisa aman-aman saja ngeloni Saimah. Beres! Bapaknya pasti meneng. Lha wong kowe melu mbandari …” Khairan menatap, curiga, “Apa? Ngomong apa?” Nasir memberi isyarat telunjuk di mulut.
“Sudah sana!” katanya sambil mendorong Arsad pelan menegakkan sepeda motor. Melangkah. Melemparkan kunci kontak ke arah Nasir. Jalan ke pintu belakang warung. Menyelinap dan masuk kamar yang pengap dan remang. Saimah menyusul dari depan. Menyibak tirai pudar dan merangkul Arsad dari belakang, Arsad menangkap dan meremas dua belahan pantat yang bagai punuk dan tanpa berlapiskan celana dalam. Saimah menjerit artifisial sambil mendorong Arsad ke arah pembaringan yang berantakan, dengan payudara yang berdenyut. Radio menyerukan dangdut.
Itu hari keduapuluh delapan berada di luar rumah. Dan mungkin tepat pada hari yang keseratus satu, Arsad mengenal Suimah. Perkenalan tidak disengaja sebenarnya. Ia membolos bersama Taberi. Menghindar dari sekolah, menjauh dari keramaian, dan menyuruh di pangkalan ojek di mulut jalan ke Perumahan Ganda Mekar. Abai bergabung dengan banyak orang-para pengojek, preman dan pemabuk, dan utamanya pemalas yang hanya omong dan terus omong sambil berjudi. Motornya dipakai ngojek sembarang orang, dan karenanya mendapat duit buat modal ngombe atau ngepil. Mungkin cuma memesan kopi, makan jajan, dan makan diawali dan ditutup oleh merokok di warung Khairan. Terkadang Arsad hanya nongkrong, bermalasan di warung itu, berbincang dengan istri Khairan, atau menggoda Saimah.
Itulah awalnya, Saimah makin genit, orangtuanya semakin permisif, dan Arsad pun menikmati hari-hari manis, dengan semena-mena merangkul, menggerayangi dan menciumi Saimah. Orang-orang mendelik. Tapi, Khairan-setengah preman karena istrinya yang sebenarnya membanting tulang menyambung hidup-lembut menenangkan mereka. “Biarlah,” katanya, “Toh kita tahu ia berduit dan orangtuanya sugih.” Orang-orang tersentak. Khairan menenangkan. “Kita ini orang dagang,” katanya. “Dan mempunyai anak perawan bermakna mempunyai barang dagangan. Berharap, siapa tahu akan mendapat jodoh lelaki yang genah. Nakal sedikit kayak si Arsad lumayanlah, biar bisa kompak dengan mertua. Ya kan?” Orang-orang pada tertawa. Terlebih karena Arsad semakin sering membawa Topi Miring, yang diedarkan berkeliling di antara orang yang berbual atau main kartu. Berjoget dengan tape dan terbahak-bahak. Sepanjang waktu.
Lantas mereka pun mulai memanggil Arsad dengan sebutan bos. Sekaligus itu membuat Arsad semakin butuh duit untuk menyenangkan banyak orang. Utamanya Saimah, yang melingkar manja tanpa celana dalam dan bra-meski masih memakai rok terusan longgar. Dan Arsad pun semakin jarang pulang sekaligus semakin jarang masuk sekolah, karenanya semakin tidak mempunyai duit. Sekali-empat puluh hari lalu -menyelinap ke rumah ketika orangtuanya masih di kantor, dan menjebol lemari untuk mengambil perhiasan. Memberikan sebagian kepada Saimah, dan menjual sisanya. Khairan-matanya berkilau-cepat-cepat mengundang tetangga dan menikahkan Arsad dengan Saimah dalam perkawinan siri. Dan disusul pesta mabuk semalam suntuk. Orang-orang kampung menggeleng-gelengkan kepala. Pak RT tak berdaya, bahkan untuk sekedar mengusik keasyikan mereka. Mungkin karena lega karena kini Arsad resmi jadi suami Saimah. Ia menganjurkan agar Khairan mau mengurusnya ke KUA agar semakin kukuh. Khairan cuma tertawa. Ibunya Saimah lembut mengangguk. Saimah tersenyum dan terus tersenyum. Menemani Arsad mabuk lalu menyeretnya ke kamar meski tak lagi ada bulan madu. Siklus haid Saimah sudah telat seminggu.
Dua minggu kemudian Arsad benar-benar bangkrut. Cemberut dan makin sering marah. Khairan bungkam. Istrinya mulai menyindir. Arsad semakin sebel kepada Saimah-dan yang direcoki balas memaki. Arsad pun menyuruh Nasir untuk menjualkan sepeda motornya. Akan tetapi, Nasir malah memunculkan gagasan yang sangat kontroversial. Menjadikan sepeda motor itu modal untuk hadiah tombokan Toto (gelap) Singapura. “Seminggu bisa empat kali,” katanya. Khairan tersenyum. Itulah awalnya Arsad pun jadi orang yang berpenghasilan. Dan Saimah makin manja, sedangkan Ibu Mertuanya sukarela menyervis. Surga telah kembali.
Hari itu-seperti biasa-Nasir akan berkeliling dengan sepeda motor Arsad. Ia seorang sales yang gigih, ia seorang sales yang agresif, dan karena itu ia mampu mencukupi Arsad dan dirinya sendiri. Membawa tas pinggang, memboncengkan si Krowak atau Brewok sebagai pengawal pribadi, dan berkeliling ke mana saja. Akan tetapi, terkadang orang masih datang untuk tombok nomor di warung Khairan. Duyunan orang yang menyetor keberuntungan, pikir Khairan-yang punya dukun kuat sehingga selalu yakin tebakan mereka tidak akan tembus. Meski begitu, selalu, menjelang momen bukaan Arsad memilih mabuk dan tidur agar tidak disentakkan oleh fakta ada yang tembus dan sepeda motornya melayang. Hal yang tidak gampang meski telah dibantu minuman, pil, dan rayuan Saimah.
Hari itu-setelah sarapan nasi goreng, telur dadar setengah matang, dan minum Topi Miring-Nasir memboncengkan Krowak. Menyulut rokok, mblesar-kan gas, meraung saat membuat belokan besar dari jalan hancur arah Perumahan ke jalan utama. Belokan liar itu, penyelonongan itu, memakan marka jalan meski mereka cuma mencari jalur kiri. Pada saat yang sama, dari hadapan, melaju di kelempangan jalan yang lengang seusai jam mengantor, sebuah Station Wagon-dengan bemper depan tambahan dari pipa baja. Dan alur arah lajunya sepeda motor Arsa, yang dikemudikan Nasir, meliuk-liuk, tertekuk-tekuk pendek, bergetar karena tangan si pengendaranya goyah oleh kaget dan mabuk. Tetapi kecepatan sepeda motor itu, akselerasi pertamanya, tak bisa diturunkan. Sedangkan kecepatan Station Wagon itu tetap tinggi meski telah dicoba direm dan dibanting ke kiri. Berderit direm dan dicoba dibanting ke kiri, tetapi kemudian diluruskan lagi ke kanan ke kelurusan karena di tepi jalan itu berjajar kios-kios-bahkan sebuah Angkot berwarna kuning sedang parkir sambil kernetnya, ada di tengah jalan, menyeru ke seberang.
Bunyi tumbukan dan jeritan orang-orang menghias siang itu. Kemudian teriakan memaki dan derap orang berlari memburu. Sebagian menolong Nasir, yang lainnya memburu supir Station Wagon itu. Serentak menghajarnya-bus dalam kondisi setengah mabok yang belum sirna. Menggulingkan kendaraannya dan menghajarnya sampai kacanya remuk dan body-nya penyok. Mungkin akan segera dibakar-dan sopirnya mati-kalau tak kebetulan muncul patroli. PJR yang dengan sigap meletuskan pistol. Lalu lintas sigap diatur. Ambulan menyusul datang setelah pasukan pengaman bantuan didatangkan untuk melokalisasi masalah dan menenangkan warga. Akan tetapi, itu sudah amat terlambat karena si korban spontan diangkut dengan kendaraan yang lewat dan mau mengantarkannya ke RS.
Nasir mati. Kaki, tangan, dan sisi rusuk kanannya remuk. Krowak tertolong, tetapi kaki kanannya diamputasi sedang tangan kanannya hancur tepat di sikut dibiarkan utuh-tergantung lumpuh. Sopir Station Wagon geger otak ringan. Kendaraannya diperbaiki dengan biaya asuransi. Sedangkan motor Arsad jadi sumber masalah. Arsad dipaksa Ayahnya untuk pulang, dan diungsikan ke Panarukan-dipondokkan. Sepeda motornya dituntut dikembalikan utuh kepada keluarga Nasir dan utamanya Khairan. Ia marah ketika mengetahui kalau sepeda motor itu telah berkali-kali dijadikan barang taruhan judi Toto (gelap) Singapur. Ia menuntut. Tetapi Khairan tidak kalah sengit menuntut. Menyatakan bahwa Arsad itu suaminya Saimah sehingga Arsad itu harus bertanggung jawab sebagai suami-dengan menafkahi Saimah.
“Tapi aku tak pernah mengawinkannya!”
“Ya! Betul! Karena aku yang mengawinkannya.”
“Sembarangan! Kalau tahu aku tidak akan sudi menyetujuinya-kamu dengan anakmu yang menyebabkan ia mutung sekolah, mencuri perhiasan ibunya, dan…”
“Betul! Tapi, apakah aku harus menunggu izin Bapak, sementara mereka telah bablas? Anak saya itu, belum pernah pacaran, sudah meteng. Halim! Halim!”
“Terus? Terus?”
“Balikkan ia ke kondisi asal. Utuhkan lagi. Bisa apa ’ndak?”
Kadang Arsad mengirim uang belanja untuk Saimah. Mengeluh tak bisa ke luar dari Pondok. “Aku tidak betah. Aku seperti masuk penjara,” tulisnya. Saimah menangis. Khairan menelan ludah. Kembali mendatangi orangtua Arsad dan minta agar mereka tidak memutuskan tali kasih antara Arsad dan Saimah. Menghiba-hiba sambil lembut mengingatkan anaknya Arsad yang dikandung Saimah. Tetapi kedua orangtua Arsad cuma bungkam. Dua kali lagi Khairan mengiba-iba, tapi tidak pernah dilayani. Dipantati bahkan. Karena itu, Khairan, istrinya, dan Saimah tiba pada kesepakatan kontroversial: Akan membungkus si bayi dan langsung menyerahkannya-pada kesempatan pertama-kepada orangtua Arsad. “Nih,” kalimatnya. “Hasil karya anakmu. Lebih jos ketimbang sepeda motor yang remuk itu!”
Dan memang begitu. Dua hari setelah persalinan, dengan mobil carteran, dengan dikawal Brewok, Dominik, dan Yudiono-yang setengah mabuk-, mereka langsung mendatanginya. Segera, tanpa mampir dulu, dari rumah Bidan. Berparkir di halaman. Mengawal Saimah yang menggendong bayi-diam-diam Khairan menyelipkan celurit-dan langsung ke ruang keluarga lewat pintu ruang tamu yang terbuka di rembang petang. Lantang meneriakkan salam sambil menyelonong. Ibunya Arsad terpekik. Khairan mendelik dan membentakkannya. Ayahnya Arsad bergegas dari kamar.
Kedua lelaki itu liar bertatapan. Si bayi santun disodorkan oleh Saimah, tapi liar ditepiskan sehingga Saimah terdorong ke kursi. Khairan loncat mencabut celurit dan membabatkannya kepada bapaknya Arsad-sekitar delapanpuluh kali. Ibunya Arsad berteriak-teriak. Tetangga berdatangan, tapi mereka pada mundur (surut) ketakutan melihat amuk Khairan. Menyisih ketika Khairan melemparkan celurit pada cacahan bersimbah darah tubuh bapaknya Arsyad. Dan dengan mobil itu juga, bersama si bayi-yang lantas diberi nama Caca Handika-, Khairan melapor ke Polisi.
Catatan:
Tombok, “tombokan”: Memasang nomor judi dengan membayar uang taruhan.
Ngeloni: Meniduri
Meneng: Diam, membisu tanda setuju
Kowe melu mbandari: Kamu ikut menjadi bandar
Sugih: Kaya, berharta
Genah: Enak dipandang, artinya orang baik-baik
Topi Miring: Merek minuman lokal beralkohol
Mblesar: memainkan gas sehingga mesin meraung-raung
Dipondokkan: Dimasukkan ke pesantren untuk belajar dan sekalian tinggal di sana.
Mutung: Berhenti di tengah jalan
Meteng: Mengandung, hamil
Jos: Langsung jadi sempurna, instan
Celurit: Senjata mirip sabit, khas Madura, meski tak selalu milik orang Madura.

cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi

Kisah jang soenggoe2 soeda kedjadian dimasa laloe ini berasal dari zaman pemerintahan Presiden Soeharto dan Pangkopkamtib-nya dipegang Sudomo. Ceritanya ialah tentang micro-level politics, bukan national-level politics atau local-level politics yang menyangkut ideologi dan partai-partai. Tapi, sekadar peristiwa di tingkat desa di pinggiran Kota Yogyakarta. Namun, akan ternyata bahwa politik kecil-kecilan itu tidak kalah memusingkannya daripada politik yang gede-gede. Pelakunya harus putar otak, pandai mengotak-atik kenyataan bagaimanapun kecilnya.
Dimulai ketika Sutarjo (37), pengusaha konveksi, mencalonkan diri jadi kepala desa alias lurah di desanya. Pesaing terkuatnya adalah mantan seorang kapten TNI yang baru-baru ini pensiun, yang kabarnya akan menggunakan senjata pamungkas, yaitu asal-usul Sutarjo yang tidak “bersih lingkungan” karena almarhum bapak Sutarjo dulu terlibat G30S. Ujian tertulis dan lisan sudah bisa dipastikan bahwa dia akan lulus. Sebab, ia mengantongi ijazah SMA, pernah duduk sebagai mahasiswa, dan camat yang sangat menentukan kelulusannya amat berutang budi padanya. Camat itu telah dibantunya dalam mencatut uang sewa Dolog yang kebetulan tanahnya adalah milik Sutarjo.
“Negara memerlukan tanahmu,” kata Camat. “Jangan jual mahal.”
“Tapi, Pak, tanah ini rencananya untuk ruko. Tempatnya strategis, pinggir jalan besar.”
“Ini demi pembangunan, lho.”
Pada waktu itu kata “pembangunan” jadi hantu politik yang membuat Sutarjo berpikir dua kali untuk menolak permintaan camat. Maka, ia pun menyewakan tanahnya dengan harga sangat murah. Camat masih minta supaya ia menggelembungkan uang sewa (cara sekarangnya disebut mark up).
“Coba tanda tangani kuitansi ini,” pinta Camat.
“Lha kok besar betul,” katanya.
“Sst, tidak demikian. Indonesia itu kaya: punya bukit, punya hutan, punya laut, punya tambang. Apa salahnya saya ikut andarbeki? Negara membeli pegawainya dengan harga sangat murah. Saya kira cara ini sah-sah saja. Daripada diberikan Cina. Kapan lagi mengambil hak kalau tidak mumpung ada kesempatan. Dan kesempatan hanya datang sekali seumur hidup. Boleh ambil asal jangan terlalu banyak. Banyak juga boleh asal bisa merahasiakan.”
Maka, semua permintaan Camat diturutinya. Camat juga menjadi pemborong pembangunan gudang Dolog, yang ia tahu bukannya Camat sendiri yang mengerjakan. Tentu saja harga bangunan itu juga digelembungkan. Ia tahu semuanya soal kongkalikong itu, jadi mustahil ia tidak lulus.
Sutarjo menggunakan tanda gambar padi, sedangkan pensiunan kapten menggunakan tanda gambar senapan. Keduanya yakin pasti lulus. Sutarjo sudah diketahui alasannya, sedangkan kapten, ya, karena ia bekas tentara, dan “siapa berani tidak meluluskan tentara”? Orang mesti berpikir tiga kali menghadapi tentara. Maka, jauh-jauh sebelum hari-hari kampanye dan hari-H, keduanya sudah mengadakan rapat-rapat dengan para kader. (“Kader” artinya juru kampanye).
Sutarjo yang juga sudah mendengar soal “tidak bersih lingkungan” menjadi panik. Maka, ia pergi pada seorang tokoh yang dulu Ketua Masjumi di desanya yang kemudian jadi Ketua MDI, dan sekarang anggota DPRD II mewakili Golkar. Pendek kata, tidak diragukan lagi kelihaian politiknya. (“Bekas Masjumi kok tidak ke PPP, tapi ke Golkar?” “Orang itu jangan jadi pecundang terus, sekali-sekali jadilah pemenang.”)
“Gampang saja,” katanya. “Yakinkan para pemilih bahwa kau adalah cucu Lurah. Kunjungi kuburan kakekmu, buat fotonya, syukur ada video tape, sebar luaskan. Kalau ada video tape, putarlah pada semua kesempatan jagongan: bayen, midodareni, bahkan takziyah.” Kakeknya dulu adalah lurah yang terkenal pemurah, rendah hati, suka menolong, dan sakti mandraguna. Sutarjo merasa lega.
Ia mengundang tukang foto, dengan biaya besar ["jer basuki mawa beya"] ia juga mengundang kameraman dari TVRI, dan membeli peralatan untuk memutar. Namun, ketika ia mengunjungi kuburan kakeknya, lhadalah!
“Haram, syirik,” teriaknya.
Kuburan itu penuh kemenyan dan bunga mawar. Ia menyuruh orang membersihkan kemenyan dan bunga itu. Kalau tidak, bagaimana meyakinkan para pemilih bahwa ia Muhammadiyah tulen? Setelah bersih, baru jepret-jepret dan terrr.
Beres. Ia pun lapor pada tokoh penasihatnya.
“Itu kesalahan,” komentarnya.
Lho! Ia seperti disambar petir.
Kata penasihat, “Politik itu the art of the possible. Tidak harus lurus, tapi boleh bengkok-bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat, balikkan kelemahan jadi kekuatan.” Kata penasihat lagi, “Adanya kemenyan itu justru menguntungkan, untuk menunjukkan bahwa sekalipun kau Muhammadiyah, tapi Muhammadiyah yang penuh toleransi. Karena itu, pergilah tiap malam ke kuburan kakekmu, bawa orang, baca surat Yasin. Kuburan kakekmu perlu direnovasi. Buatlah emper-emperan sehingga orang duduk lebih nyaman. Perkara syirik itu bisa diatur kemudian.”
Perlu diketahui bahwa waktu itu orang sedang demam SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, yang oleh masyarakat [mahasiswa, sopir taksi, pedagang, dan para jurnalis] dipelesetkan jadi Sudomo Datang Semua Beres), efemisme dari lotere. Orang menyepi di kuburan kakeknya yang dianggap keramat untuk mendapat nomor. Hal yang membuat dia pusing, orang-orang yang mencari nomor ke kuburan kakeknya, kabarnya, dibekingi oleh pesaingnya, kapten itu.
Menuruti anjuran penasihatnya, ia pergi dengan rombongan ke kuburan kakeknya tiap malam, dan merenovasi kuburan itu. Ia juga menyuruh orang untuk membakar kemenyan dan menabur bunga. Dan setelah kemenyan dan bunga menggunung lagi, ia mengundang tukang foto dan kameraman. Ia sudah bertekad: berapa pun habisnya, akan ia bayar. Tujuannya satu: menjadi lurah desa.
Minggu kampanye ditandai dengan kelilingnya dokar, penumpang dengan megafon, dan pengumuman supaya penduduk yang berhak memilih mendatangi TPS. TPS itu ada di lima dusun.
“Halo, halo. Pengumuman, pengumuman. Datanglah ke TPS untuk pilihan lurah, hari [anu], pukul [anu sampai anu]….”
Kusir dokar dan pemegang megafon sudah hafal betul jalan-jalan desa yang harus dilalui sebab mereka juga yang mengumumkan sepak bola, bola voli, bioskop misbar (gerimis bubar, layar tancep), komidi putar, dan ketoprak di lapangan desa.
Mulailah kampanye. Para kader kedua pihak mengunjungi rumah-rumah penduduk. Mereka akan memulai dengan, “Apa panjenengan sudah punya calon? Kalau belum, sebaiknya pilih ’Padi’.” Atau, “Kalau belum, inilah calon terbaik, tanda gambar ’Senapan’.”
Sutarjo mengadakan tahlil, yasinan, pengajian akbar, dan sarasehan tentang toleransi. (Dengan makanan kecil keluar dari kantongnya). Semuanya dimaksud untuk menunjukkan bahwa dia orang Muhammadiyah yang toleran. Dengan perbuatan nyata, tidak dengan pidato-pidatoan. Lihatlah, misalnya, untuk pengajian akbar, ia juga mengundang seorang kiai NU dan bukan ustadz Muhammadiyah. Demikian juga untuk konsumsi pemilih muda, ia mengadakan sarasehan tentang toleransi. Tidak usah diceritakan bahwa ia selalu berpidato dan berfoto dengan orang yang dipandangnya tokoh.
Perintahnya pada seorang kader, “Cetak banyak-banyak yang 45 menit jadi. Buat papan pengumuman di tempat-tempat strategis, lalu tempelkan gambar-gambar itu. Jaga, jangan sampai ’Senapan’ mencopot gambar-gambar itu. Buatlah ’Padi’ banyak-banyak, tempel di tembok-tembok, tiang listrik, dan pohon.” Pendek kata, dia sudah merasa puas dan yakin memenangkan pilihan.
Pesaingnya, “Senapan”, menggunakan strategi dan taktik lain yang mungkin dipelajarinya dari masa dinasnya. Satu, ia mengundang tayub dari Rembang untuk berjoget bersama penduduk. Dua, wayangan dengan waranggana yang cantik-cantik untuk jadi tontonan penduduk. Tiga, apa yang kemudian disebut money politics. Ia menjanjikan sejumlah uang kepada para pemilih. Uang ini didapat dari dua buah perusahaan real estate dengan janji izin mendirikan perumahan di bantaran sebuah sungai dan izin membangun perumahan di atas tanah desa dengan hak bangunan. Empat, tidak hanya itu. Tesisnya, “Aman dulu, baru membangun desa”, didukung oleh fakta. Karena, kebetulan ada dua peristiwa yang menguntungkan, yaitu tawur antarpemuda dan petrus (penembak misterius).
Tawur antardesa itu berasal dari omong-omong sekenanya di warung bakmi. “Orang indekos itu tidak punya moral. Kalau tidak ndemeni teman seindekos, ya ibu kosnya,” kata penduduk asli kepada seseorang yang mondok. Kontan para mahasiswa dan pelajar yang indekos di rumah-rumah penduduk dan yang tinggal di asrama daerah di desa “Senapan” marah. Malam hari mereka mendatangi pertigaan tempat para pemuda asli berkongko-kongko dan terjadilah tawur antarpemuda asli dengan pemuda mondok. Adapun mengenai petrus itu ceritanya begini. Pemerintah Kodya Yogyakarta selama ini tidak berdaya menangani para Gali (Gabungan Anak Liar) di kota yang mengadakan pungli (pungutan liar) terhadap Colt, toko, warung, pedagang di pasar, dan pedagang kaki lima. Pemerintah Kodya lalu pasrah pada Korem untuk bertindak apa saja. Dasar tentara yang punyanya cuma bedil, senapan menyalak. Mereka menembak mati Gali-Gali. Dan, banyak Gali yang melarikan diri ke desa di pinggiran kota itu yang didor. Malam hari orang akan mendengar bedil berbunyi, kemudian mobil ambulans milik tentara.
Tibalah hari-H. Di setiap TPS disediakan tiga kotak, dua kotak untuk cakades dan satu kotak kosong untuk menjamin pilihan yang demokratis. “Padi” yakin menang karena dia selalu ada di tempat, mendapat konsultan yang benar-benar politikus, dan sudah bekerja secara benar dan pener. “Senapan” juga yakin menang karena telah bekerja sesuai dengan strategi dan taktik yang dipelajarinya. Lagi pula semboyannya tentang prioritas pada keamanan cocok dengan semboyan Orde Baru.
Tibalah waktu yang paling membuat sport jantung dari dua cakades: penghitungan suara. (Tentu, tak ada orang tahu bahwa kartu pilihannya diberi nomor oleh panitia. Dan, ada daftar nama dan nomor pada panitia. Karena setelah dihitung, kotak-kotak akan dibawa ke kecamatan, “Senapan” tinggal pergi ke kecamatan, dan tahulah dia siapa memilih siapa. Para pemilih dan panitia pencatat akan mendapat imbalan sepatutnya. Rapi jali, halus, dan tak bisa bocor). Setelah dihitung, ternyata “Padi” kalah telak.
Ketika sudah nyata-nyata kalah, ia pergi pada penasihat politiknya.
“Jangan menyesal. Benar engkau kalah, tapi itu karena engkau jujur, agamis, bersih, dan kesatria. ’Senapan’ telah memanfaatkan nafsu rendah manusia dengan waranggana yang cantik dan tayuban. Sini saya beri tahu.”
Kemudian dengan bisik-bisik dikatakan bahwa “Senapan” itu curang dengan cara obral uang, tawur, dan petrus.
“Ketahuilah, tawur dan petrus itu hasil rekayasanya juga. Jadi dikalahkan oleh kecurangan itu pahlawan. Saya bangga dengan engkau. Engkau memburu akhirat, dia memburu dunia.”
Sesampai di rumah, Sutarjo menceritakan pembicaraannya dengan sang penasihat kepada istrinya.
“Saya kira engkau dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan, Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok meleset, orang agama jalan lurus urung,” komentar istrinya.
“Pokoknya bukan itu semua.”
Sutarjo suka menghibur diri. “Saya kalah karena memburu akhirat, meninggalkan dunia. Sak beja-bejaning wong kang lali, isih beja wong kang eling lan waspada.” Sebesar-besarnya keuntungan orang yang lupa diri, masih beruntung orang yang ingat dan menjaga diri.
Ia tetap bangga kalau teringat kisahnya jadi cakades.
Ia yakin benar, “Saya dikalahkan oleh kecurangan.” Dan, “Alhamdulillah, tidak jadi lurah, tidak usah korupsi.”
Dia sudah berusaha keras menghibur diri: dari kecurangan orang lain, politik secara nasional berpihak pada lawan, terhindar dari kejahatan korupsi, sampai tidak jadi lurah itu memang sudah takdir. Tapi tetap saja ia tidak dapat menyembunyikan kemurungan. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, minum tak segar, mimpi dikejar-kejar maling. Istri yang sehari-harinya mengamatinya ikut prihatin. Istri menemui penasihatnya, politikus tulen itu. “Begitu saja kok repot. Kalah dan menang dalam politik itu lumrah,” komentar sang penasihat. “Saya pikirnya dulu.”
Bola ada di tangan penasihat. Penasihat memutar otak. Pertanyaannya ialah ia ingin menjadikan kekalahan sebagai sebuah kemenangan. Sepertinya mustahil. Semua sudah terjadi. Penduduk desa terbagi dua. Mereka menggerombol pada kelompoknya sendiri: “Padi” dan “Senapan”. Pesta kawin, jagong bayen, siskamling, rapat-rapat LMD dan LKMD, bahkan takziyah.
Pikir punya pikir, sang penasihat dapat ilham cemerlang, “Eureka!”
Penasihat menemui cakades gagal kita.
“Jangan sedih. Ada caranya membalikkan sebuah kekalahan menjadi sebuah kemenangan.”
“O, ya?” Mukanya jadi cerah, byar!
“Iya. Begini, lho. Kau harus ambil inisiatif untuk rujuk desa, berupa pidato dan makan-makan seadanya. Di tempatmu, jangan di Balai Desa. Kumpulkan kader-kader kedua belah pihak, wakil-wakil pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang tawur. Undang pimpinan kecamatan Muspika untuk hadir dan memberi sambutan.”
Ia pun bekerja, mengunjungi sana-sini, menjual gagasannya. Ia juga mendapat dukungan dalam rapat-rapat LMD dan LKMD. Jadilah. Istri dimintanya memasak, seekor kambing besar disembelih. Rumahnya akan jadi rumah bersejarah di desanya.
Undangan diedarkan. Pada hari yang ditentukan, semuanya sudah lengkap: meja-kursi, mikrofon, dan hidangan. Orang-orang berdatangan. Muspika datang. Lurah baru datang meski agak terlambat. Tapi, lho! Yang datang hanya orang-orang “Padi”. (Sutarjo tidak tahu bahwa kubu “Senapan” mengadakan pesta kemenangan di Balai Desa). Tunggu punya tunggu tidak ada lagi yang datang. Minum teh gelas keluar. Tak juga bertambah. Akhirnya, acara dimulai. Pidato-pidato. Sutarjo mau menangis, tapi ditahannya. Selesai. Hidangan keluar. Muspika pamit. Lurah baru pamit. Semua pulang. (Orang “Senapan” sudah menanti untuk mendaulat supaya Muspika kemudian hadir di Balai Desa).
“Sukses!” kata Camat ketika bersalaman dengan Sutarjo.
“Sukses!” kata Danramil waktu pamitan.
“Sukses!” kata Kapolsek.
Hati Sutarjo seperti diiris-iris.
Tidak dapat menyembunyikan kekecewaan, ia menemui penasihat.
“Bagaimana, Pak. Jadinya kok malah runyam begitu?”
“Ya, itulah politik. Sekali menang, sekali kalah. Sekali timbul, sekali tenggelam. Sekali datang, sekali pergi. Begitu ritmenya, tanpa henti. Hadapi ritme itu dengan humor tinggi. Jangan kalau menang senang, kalau kalah susah. Jangan. Berbuatlah sesuatu hanya pada waktu yang tepat. Ketika momentumnya datang, pada sangatnya. Kalau bisa ciptakan momentum itu. Tetapi, jangan nggege mangsa [terlalu cepat], tapi juga jangan terlambat,” komentar sang penasihat enteng.
Sutarjo tak kunjung mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng. “Ck, ck,” kata mulutnya, kemudian melongo.
Yogyakarta, 1 Maret 2003

Cerpen Kiai Genggong

Tujuh hari setelah Mama mangkat, musyawarah memutuskan Kiai Genggong sebagai pengganti Mama. Sebagian keluarga memang ada yang kurang sreg. Menurut mereka, Kiai Sabar atau Kiai Behbar lebih pantas memimpin Pesantren Gupitan. Pasalnya, Kiai Genggong agak nyeleneh–waktu kecil suka berkelahi, semasa remaja sering kebut-kebutan, menjelang dewasa berkali-kali menampar orang, dan kini suka hidup menyendiri.
Hanya sebagian keluarga, sejumlah warga Gupitan juga merasa risau dengan terpilihnya Kiai Genggong. Kelembutan dan kewibawaan Mama berbeda sekali dengan watak keras Kiai Genggong. Tapi semua sudah diputus, lagi pula sebelum meninggal Mama berwasiat demikian. Kiai Sabar dan Kiai Behbar sendiri mengakui adik merekalah yang paling layak memimpin pesantren itu.
Mulailah Kiai Genggong memimpin pesantren. Tiap Senin pagi dan Kamis malam, orang-orang menuju pesantrennya, berduyun bagai domba putih yang akan dimandikan. Mereka menyimak pengajian kiai muda itu. Pada awalnya kegiatan berlangsung seperti di zaman Mama meski kecemasan terus bergayut dalam diri jemaah kalau-kalau watak keras Kiai Genggong muncul tak terduga.
Benar saja, seperti gempa longsor di Gunung Gede, tiba-tiba pesantren guncang. Kecemasan itu terbukti. Suatu hari, tanpa alasan jelas, Kiai Genggong menampar Jamhuri, pedagang kambing. Jamhuri tidak melawan. Ia segera meninggalkan pesantren agar pengajian terus berjalan. Namun, pada hari lain, peristiwa terjadi lagi, kali ini Mustofa yang kena. Juga tak melawan. Berikutnya Mang Yusuf, Kang Baban, Wak Jana, dan entah siapa lagi.
Sejak peristiwa itu, jemaah Kiai Genggong berkurang. Hanya beberapa puluh saja yang bertahan. Kiai Sabar dan Kiai Behbar tidak bertindak apa-apa. Mereka menghormati wasiat Mama. Mereka mencintai ayah mereka dan ayah mereka sangat menyayangi Kiai Genggong.
Sewaktu pengajian tinggal hanya dihadiri pencinta keras kepala, Kiai Genggong tetap tegar seperti pohon mahoni sepanjang jalan menuju pesantren. Suasana memang agak lengang, seperti Gupitan malam-malam. Hanya kemersik daunan gugur atau bunyi jangkrik dan suara kodok, selebihnya gema kata-kata Kiai Genggong. Setahun sejak Kiai Genggong menampar beberapa jemaah, pesantren memang mirip kuburan.
Tapi Gupitan tidak ditakdirkan menjadi kampung yang sunyi. Meski pesantren sepi, di sekitar kuburan Mama malah tumbuh semacam pasar. Banyak orang berziarah, malah mereka datang dari kota-kota yang jauh. Warga Gupitan tak menyia-nyiakan peluang itu. Mereka berdagang: sate kambing, nasi goreng, soto ayam, ikan goreng, busana muslim, mainan anak, dan lain-lain. Suasana semakin ramai ketika Kiai Genggong memaklumatkan tiap tahun akan ditradisikan haolan mangkatnya Mama.
Tradisi haolan dari tahun ke tahun pun berkembang. Lokasi pasar dekat kuburan meluas. Di lokasi kuburan, Kiai Genggong membangun gedung besar untuk berdoa. Haolan yang awalnya cuma semalam dua malam, lama-lama jadi seminggu. Pamor Kiai Genggong terangkat lagi, jemaah ke pesantrennya kembali bertambah. Pelataran parkir pesantren kemudian diperluas karena jemaah dan peziarah selalu datang bermobil-mobil, bahkan berbus-bus.
Seiring dengan banjirnya jemaah dan peziarah, perilaku Kiai Genggong kembali normal. Malah warga Gupitan dan para jemaah mulai memandang lain ketika suatu hari gilinding yang mengaspal lapangan parkir pesantren terjerumus ke jurang sungai. Semua pekerja panik, tapi Kiai Genggong tampil mencengangkan. Dengan tenang, diambilnya sehelai benang, dikaitkan ke tiang gilinding, lalu gilinding itu diangkat ke tempat semula.
Sejak itu masyarakat percaya, Kiai Genggong kiai sakti. Kesaktiannya terbukti pula pada suatu hari hujan lebat padahal banyak peziarah di luar bangunan kuburan. Hanya de- ngan mengangkat kedua tangan dan mengibaskan sorbannya, hujan di sekitar kuburan tiba-tiba reda. Bukan hanya itu, bila masjid pesantren tidak cukup menampung jemaah, Kiai Genggong meminta santrinya membentangkan tikar pandan di atas kolam pinggir masjid dan menyuruh jemaah shalat di tikar itu.
Kesaktian Kiai Genggong tersiar dari mulut ke mulut, juga berita-berita koran. Jemaah pun kian berjubel. Sementara itu, kuburan Mama terus dikunjungi peziarah dari berbagai penjuru. Memang akhirnya ada banyak orang datang hanya berharap menyaksikan kesaktian Kiai Genggong-entah sebagai hiburan, bahan cerita, atau berharap dapat barokah kesaktian tersebut.
Kiai Genggong makin termasyhur setelah beredar desas-desus bahwa orang-orang yang dulu pernah ditamparnya kini sudah pada menjadi kaya. Jamhuri bukan Jamhuri lagi. Ia telah jadi haji, punya sawah berhektar-herktar, dan domba beribu-ribu. Juga Mustofa, Haji Mustofa, kini punya angkot 15, ojek 35, dan 2 penggilingan padi. Masyarakat mengingat-ingat lagi nama yang dulu ditampar Kiai Genggong dan setiap ingat sebuah nama selalu saja orang itu memang telah menjadi kaya. Diam-diam masyarakat yakin tamparan Kiai Genggong memang bertuah. Itu sebabnya orang makin berbondong mendatangi Pesantren Gupitan. Kali ini mereka justru berharap ditampar Kiai Genggong.
Kisah kesaktian tamparan menyebar ke berbagai kota. Ada yang percaya, ada yang ragu, ada pula yang menganggapnya sekadar dongeng. Namun, apa pun tanggapan mereka, yang jelas mereka berusaha datang ke Gupitan. Dan diam-diam di hati mereka tumbuh harapan siapa tahu ditampar Kiai Genggong.
Pada suatu hari, dua lelaki bernama Hamid dan Jamal, dari kota provinsi, datang juga ke Pesantren Gupitan. Mereka shalat di sana, ziarah ke kuburan Mama, dan menyimak pengajian Kiai Genggong. Seperti jemaah lain, di hati dua petinggi partai yang juga pengusaha itu tebersit harapan siapa tahu kena tamparan Kiai Genggong.
Berkali-kali Bung Hamid dan Bung Jamal datang ke Gupitan. Bahkan pada kedatangan ketiga, strategi dibicarakan matang. Intinya, Bung Hamid dan Bung Jamal sepakat mengusahakan bagaimana caranya agar telapak tangan Kiai Genggong mendarat di muka mereka. Mereka berjanji kalau salah seorang ditampar, kekayaan yang kelak diperoleh akan dibagi dua. Itu sebabnya, dana keberangkatan ke Gupitan ditanggung bersama.
Bung Hamid dan Bung Jamal bukan tipe orang gampang putus asa. Dibuatlah strategi lain ketika sudah berkali-kali ke Gupitan be- lum juga tamparan berkhasiat itu mendarat di muka mereka. Kali ini mereka mengajak anak buahnya ke Gupitan. Anak buahnya diinstruk- sikan berusaha maksimal agar ditampar Kiai Genggong. Bung Hamid dan Bung Jamal menegaskan kalau ada yang kena tampar dan ke- lak jadi kaya, sebagian kekayaan itu harus di- serahkan ke kas partai dan ke saham perusahaan. Itu sebabnya, seluruh dana ke Gupit- an ditanggung Bung Hamid dan Bung Jamal. Tapi Tuhan itu Zat yang sulit dibaca, berkali- kali ke sana masih tak terjadi apa-apa juga. Padahal pada kedatangan kesembilan, bukan hanya 100 anak buah yang dibawa, tapi 500 sampai kemudian 1.000 pada kedatangan kesepuluh.
Tuhan sebenarnya maha pengasih dan hidup selalu bervariasi. Selalu ada jalan bagi mereka yang berusaha. Entah bagaimana mulanya, Bung Hamid dan Bung Jamal tiba-tiba kenal dengan Mang Cecep. Rupanya Mang Cecep menyarankan Bung Hamid dan Bung Jamal mendatangi dulu seorang dukun. Wak Makbul nama dukun itu. Dan atas saran Wak Makbul, Bung Hamid dan Bung Jamal membeli 7 ekor kerbau, 70 ekor kambing, dan 700 ekor ayam untuk disedekahkan kepada sebanyak-banyaknya fakir miskin di sekitar tempat tinggal Wak Makbul. Tak ada masalah bagi Bung Hamid dan Bung Jamal, yang penting bisa bertemu dan lalu ditampar Kiai Genggong.
Bung Hamid dan Bung Jamal nyaris setiap minggu, Senin pagi atau Kamis malam, datang ke Gupitan karena-menurut petunjuk Wak Makbul-suatu hari secara tak terduga mereka akan langsung ditampar Kiai Genggong. Tapi ingat, harus sabar, serahkan semuanya kepada Tuhan, begitu pesan Wak Makbul.
Beberapa bulan berlalu, tak ada hasil. Malah terasa semakin mustahil mendapatkan anugerah tamparan itu. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali menemui Mang Cecep, tetapi apa daya Wak Makbul sudah dibunuh orang-orang bertopeng karena dicurigai sebagai dukun teluh. Tapi bukan Bung Hamid dan Bung Jamal kalau tak penasaran. Meski tabungan sudah menipis, perusahaan terancam pailit, partai digugat massa, utang ke bank bertambah, Bung Hamid dan Bung Jamal terus mencari akal agar bisa ditampar Kiai Genggong.
Dan pada suatu hari berkenalanlah Bung Hamid dan Bung Jamal dengan Om Sarjono, kepala keamanan di lokasi parkir pesantren. Perkenalan tak terduga sebenarnya, ketika Bung Hamid dan Bung Jamal hampir koit dikeroyok massa gara-gara mobil mereka menyerempet pedagang yang berjejer sepanjang jalan menuju pesantren. Om Sarjono-lah yang menyelamatkannya dari amarah massa yang sudah siap menguyurkan bensin untuk membakar mobil itu. Lewat Om Sarjono inilah akhirnya Bung Hamid dan Bung Jamal bisa bertemu malam-malam dengan Kiai Genggong. Om Sarjono, kata orang, memang teman kebut-kebutan Kiai Genggong dulu ketika muda. Om Sarjono ini jugalah yang suka menyelesaikan urusan bila sepeda motor Genggong bermasalah dengan polisi. Dan inilah yang terjadi malam itu:
Malam yang dingin. Harum bunga-bunga padi di sawah, deru daun-daun mahoni, angker rimbun beringin, kelepak pelepah palma yang jatuh, dan desah rumpun bambu di sudut pesantren mengiringi gairah-gelisah Bung Hamid dan Bung Jamal. Aku harus kembali kaya, gumam mereka. Partai boleh bubar, perusahaan boleh bangkrut, tapi aku harus tetap kaya! Begitu tekad mereka.
Dan kini sebentar lagi akan berhadapan dengan Kiai Genggong. Suara kodok di selokan mengguncang-guncang gairah-gelisah mereka. Begitu Kiai Genggong tiba di amben, duduk di tikar berlapis karpet buatan Turki, sepasang matanya langsung menyerbu muka Bung Hamid dan Bung Jamal. Seperti ada pasir longsor di dada mereka, tapi mereka berusaha menguasai detak jantung dan irama aliran darah.
“Assalamualaikum…” sapa mereka terbata-bata.
Tapi anehnya Kiai Genggong justru menggerakkan badan hingga menghadap ke bilik kiri. Deg, jantung Bung Hamid dan Bung Jamal seakan copot. Tapi mereka segera ingat cita-cita. Mereka menggeser duduknya ke sebelah kiri dan kemudian berhadapan kembali dengan Kiai. Mereka kembali ucapkan salam.
Deg, darah di jantung mereka serasa berhenti. Kiai Genggong kembali menggerakkan tubuhnya ke tempat semula. Bung Hamid dan Bung Jamal bersitatap, tapi tak ada kata yang terloncat. Mereka gelisah dan seperti akan lenyap segala gairah. Tapi mereka teguh pada cita-cita. Mereka menggeser kembali tubuh mereka hingga tepat berhadapan dengan Kiai. Kembali mengucap salam.
Dan deg, seperti ada gada menonjok dada mereka. Kiai Genggong membalik tubuhnya, kali ini ke arah kanan. Bung Hamid dan Bung Jamal kembali bertatapan seperti dua kucing menunggu pemilik rumah lengah saat menje- mur ikan. Tapi cita-cita setia memandu mere- ka. Mereka geser tempat duduk ke arah kanan hingga bisa sedikit menatap wajah Kiai. Mereka dengan pelan kembali mengucap salam.
Tetapi lagi-lagi deg, sebongkah batu seakan mengimpit tubuh mereka. Kiai kembali menggeser tubuhnya ke tempat semula. Lurus menatap kejauhan depan rumahnya yang berseberangan dengan pesantren. Tapi Bung Hamid dan Bung Jamal tak mau menyerah. Mereka kembali ke tempat semula dan mengucap salam.
“Waalaikum salam…” jawab Kiai sambil terus komat-kamit.
Plong, paru-paru Bung Hamid dan Bung Jamal seperti dibasuh angin Gupitan yang segar dan sejuk itu. Benar-benar eksentrik kiai ini, kata mereka dalam hati. Mereka merapikan posisi duduk, kemudian Kiai bertanya.
“Bapak-bapak teh ada keperluan apa, tolong segera katakan!”
“Pertama-tama.…”
“Mohon langsung ajah ke pokok tujuan!”
“Kami ingin bersilaturahmi.…”
“Alhamdulillah, kita sekarang sudah bertemu bukan?”
“Kami… ehm… ingin belajar.…”
“Niat yang mulia.…”
“Maksud kami…, kami… punya masalah.”
“Subhanallah, bertawakalah kepada Allah!” Dan Kiai seakan mau beranjak.
“Tapi… Kiai, kami…, kami… membutuhkan bantuan.…”
“Berdoalah kepada Allah, lalu berusaha.…”
“Kami… sengaja… kami mau memohon nasihat….”
“Bacalah kitab suci dan….”
“Maksud kami…, kami… ingin menyumbang.…”
“Alhamdulillah, nuhun, bersedekahlah terutama ke fakir miskin.”
“Kiai, kami ada perlu,” kata Bung Hamid tiba-tiba tegas.
“Dan penting sekali!” sambung Bung Jamal.
“Perlu apa atuh, mohon segera katakan!” Kiai Genggong suaranya dalam.
“Kami banyak kehilangan harta….”
“Carilah kembali dengan jalan yang benar.”
“Kami ingin kembali kaya.”
“Niat yang bagus, asal demi kemaslahatan dunya akherat.”
“Kami membutuhkan Kiai!” kata Bung Hamid lepas.
“Kiai harus membantu kami!” Bung Jamal teriak.
Kiai Genggong beranjak dan hendak meninggalkan mereka, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal berbarengan teriak, “Kami minta Kiai menampar kami!”
Kiai Genggong benar-benar meninggalkan mereka, menuju pintu ruang tengah, menyentuh gerendel kunci, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal sigap menepuk punggung Kiai, membalikkannya, dan kembali teriak, “Tamparlah kami, tamparlah Kiai!”
Kiai Genggong melepaskan cengkeraman tangan mereka, tapi Bung Hamid menghadang dekat pintu ruang tengah. “Kami mohon Kiai, tamparlah kami!”
“Maafkan Bapak-bapak, sayah tak pernah tega menampar orang!”
“Jangan berdusta, Kiai!” Dan plak! Bung Hamid menampar Kiai hingga terhuyung ke sudut ruang dan juga plak, sebuah tamparan lagi kali ini dari telapak tangan Bung Jamal. Darah tipis mengalir dari sela bibir Kiai. “Tamparlah kami, Kiai, kalau tidak terpaksa.…”
Namun tiba-tiba buuk, buuk, tinju Om Sarjono yang sejak tadi mengawasi mereka mendarat di hidung Bung Hamid dan mata Bung Jamal. Darah meleleh dan begitu tubuh mereka rebah, Om Sarjono menekukkan siku lengannya dan sebelah kakinya ke masing-masing dada mereka. “Pak Kiai, tolong tinggalkan kami, biar mereka saya yang ngurus!”
Malam itu-karena Bung Hamid dan Bung Jamal belum siuman-Om Sarjono terpaksa memanggul tubuh mereka keluar dari kompleks pesantren sambil bergumam, “Untung saya bertindak cepat. Kalau tidak, tulang kalian bisa remuk, kulit muka kalian bisa hangus!”
Cianjur-Serang, 2002
Keterangan
mama = panggilan untuk kiai sepuh
gilinding = stoom, alat berat untuk meratakan aspal
haolan = ulang tahun wafatnya seseorang
teluh = sejenis santet
koit = mati
teh, atuh = kata-kata penegas
nuhun = terima kasih

Dyan Anggaeni

Rumah yang Dikuburkan

Kalau pada suatu hari ia jumpai ayahnya sudah dalam keadaan gantung diri, maka ia akan langsung bersyukur. Kalau pada suatu hari ia pergoki ibunya sedang bermesraan dengan entah siapa di gudang belakang rumah, tentu ia juga akan bersyukur. Sudah sewajarnya jika ayahnya harus mengambil keputusan gantung diri. Rasanya, hanya jalan itulah yang paling memungkinkan, mengingat istrinya sendiri semakin nekat mengumbar keinginan. Dulu, ia sempat menduga, kejadian di gudang belakang rumah tak akan terulang, dan sebagai laki-laki, ayahnya akan dengan mudah melupakan. Rupa-rupanya kejadian di gudang belakang rumah itu terus terulang, bahkan seperti meminta dengan sengaja bahwa ayahnya bisa melihat dengan mata kepala sendiri.
Bagaimana, ayah?” ia pernah bertanya.
“Tak apa-apa. Sebaiknya begitulah.”
“Sudah seharusnya?”
“Ya. Tak perlu dicari sebab dan alasannya. Yang pasti sudah terjadi. Entah dengan lelaki siapa pun, aku tak peduli.”
“Ayah tak cemburu? Sebagai laki-laki ayah tak menuntut, tak merasa kalah?”
“Pertanyaanmu bagus. Tetapi, memang, sudah sebaiknya.”
Ia tercekat, mengulum ludah. Memandang hamparan ladang tembakau, selintas masih dilihatnya para pemetik tembakau mengenakan mantel anti-air hujan. Ayahnya meluruskan kaki di meja beranda.
Ia memutuskan diri untuk berkuda, meninggalkan ayahnya.
Begitu hampir setiap hari, waktu berjalan dingin. Di daerah S, ayahnya dikenal sebagai juragan, orang kaya yang memiliki ladang tembakau cukup luas. Hampir semua pekerja yang merawat ladang tembakau itu adalah warga daerah S sendiri, yang merasa cocok bekerja untuk ayahnya. Orang-orang yang bekerja pada ayahnya hanya ingin mengabdi, ayahnya sendiri tipe orang yang bisa menghargai siapa pun. Itulah yang membuat warga daerah S selalu tunduk, bahkan ada yang tak segan berjalan munduk-munduk, berjalan sangat sopan dan hati-hati jika di depan ayahnya.
Pada setiap sore, ayahnya akan selalu menghibur diri, menginginkan kegundahannya bisa bebas dengan berkuda. Sengaja ayahnya berkuda sendirian, mengelilingi keluasan ladang tembakau. Sengaja ayahnya menghirup udara sesegar dan sebanyak mungkin, tak mau merasa tertekan. Kalau pada suatu sore sang ayah berpapasan dengan sang anak yang kebetulan juga sedang berkuda, maka sang anak akan menyambutnya dengan biasa-biasa saja.
Ternyata, benarlah, antara ayah dan anak tak perlu menganggap ada yang istimewa, ayah dan anak cukup hanya bertegur sapa ringan, tak perlu menampakkan kasih sayang berlebihan. Bahkan, kalau tegur sapa itu sudah dilakukan berkali-kali, terhitung berkali-kali dalam satu minggu, misalnya, bukankah yang kemudian muncul justru rasa bosan? Karenanya, ia memutuskan, jika bertegur sapa cukup jika dinilai penting, dan terlebih lagi kalau memang mau, jika berkehendak. Jika tak berkehendak, apalah yang bisa dipaksakan?
Berkuda dan mengelilingi ladang tembakau yang luas. Dua hal itulah yang memberikan jaminan kebebasan. Siapa pun yang menempuhnya pasti merasa lapang dada. Kawasan tanah dataran tinggi mampu memberikan kenyamanan, terutama bagi orang yang memilih hidup untuk frustrasi, seperti ayahnya.
Kadang-kadang, ia sengaja memandang ayahnya dari kejauhan, melihat kemungkinan bahwa ayahnya akan mengisi waktu luang sebagai alasan frustrasi. Hal wajar yang selayaknya diterima laki-laki, tak perlu memberontak, lebih baik dibikin abadi. Kadang-kadang, dari kejauhan itulah ia melihat ayahnya berkuda dengan tatapan mata kosong, seperti seorang pangeran yang tak lagi punya wibawa. Kuda yang ditungganginya lumayan gagah, namun kekosongan matanya bisa sebagai bukti bahwa sang ayah adalah laki-laki yang harus rela menghancurkan kelelakiannya. Entah sudah berapa kali putaran dalam sekali jalan ia melihat ayahnya mengelilingi ladang tembakau, entah berapa waktu lagi yang dibutuhkan ayahnya untuk sekadar menghibur diri.
Hari berpilin, berubah, berganti. Pagi, siang, sore, malam, seperti piranha beku yang tak sanggup menjelaskan makna. Waktu menjadi bernilai kosong.
Ayahnya masih berkuda.
Rumah seperti terkuburkan, serta-merta. Kalau ada yang sedikit istimewa dalam ruang tamu hanyalah sebiji foto keluarga yang bertengger di dinding. Ia, ayah, dan ibunya, tersenyum. Tak masam. Kejenakaan yang tersisa, kebahagiaan yang memancar dari senyuman. Sampai kapan pun, ketiga orang dalam foto itu akan terus tersenyum. Siapa pun yang memandangnya akan ikut merasakan bahagia. Foto yang akan bergoyang ringan ketika ditiup angin dari arah ladang tembakau, melewati beranda, melewati jendela, ngungun di ketiga wajah yang tersenyum. Ia sendiri hanya mengenakan celana pendek, buntek, sementara ayah dan ibunya mengenakan busana Jawa, sempurna dengan belangkon.
Ia kerap membayangkan, ibunya akan bergumul dengan entah siapa, tepat di depan mata kepalanya sendiri. Atau, ia akan melihat bersama-sama dengan ayahnya? Pasti, dengan perasaan ikhlas. Wajarlah. Sampai suatu kesempatan, dalam rutinitas hari-hari yang memuncak beku, ia jumpai ayahnya yang gantung diri, tepat di tengah ruang tamu, menghadap foto keluarga yang tersenyum. Tak mesti menjulurkan lidah, tak mesti membelalakkan mata, ayahnya mati. Ia memastikan ibunya akan biasa-biasa saja melihatnya, justru dengan ringan akan menurunkan mayat suaminya dari tali gantungan, pun menguburkannya sendiri.
Ia tahu, ketika ia melihat ayahnya dalam keadaan gantung diri, ibunya masih bergumul dengan entah siapa di gudang belakang rumah, dekat kandang kuda. Kerap ia tergoda, sekali waktu ingin membakar tumpukan jerami yang ada di pinggir-pinggir dinding papan kayu, di luar gudang. Biarlah ibunya mati saat tengah bergumul. Namun, hal itu urung ia lakukan. Ia menggagalkannya sendiri. Ia memang akan terus merasakan suasana rumah semakin membusuk, tanpa ada alasan dan jawaban atas pertanyaan.
Ia justru sangat bersyukur ayahnya memilih gantung diri dengan semangat yang penuh tawa. Ia kasihan melihat ayahnya menghibur diri dengan berkuda, mengelilingi ladang tembakau, setiap sore.
Yogyakarta, 2001
Wiediantoro

Bunga Jepun


Sebulan sesudah bom meledak di Legian, Luh Manik belum memutuskan apa-apa. Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dan kebun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari. Dulu, di sekitar petak sawah terakhir, di dekat sebuah pura kecil, Luh Manik senantiasa memetik bunga jepun. Ia tak perlu naik karena di batang pohon jepun entah oleh siapa, telah tersedia sebatang bambu lengkap dengan kait untuk menggaet bunga. Lalu, bunga-bunga jepun berwarna putih itu, setelah digaet memutar seperti baling-baling helikopter sebelum menyentuh tanah.
Luh Manik membayangkan dirinya tengah berada di dalam sebuah pesawat yang melaju ke luar negeri. “Aku mestinya sudah menari di luar negeri,” selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Bergegas kemudian dipungutnya bunga-bunga yang berjatuhan menerpa belukar liar.
Waktu itu, Luh Manik sungguh menikmati hari-hari yang riang. Petang hari, setelah memetik bunga-bunga, biasanya bersama rombongan yang telah menunggunya di los dari bambu, ia berangkat menuju Nusa Dua. Ia selalu diberikan tempat di samping sopir dengan seorang penari lainnya. Sementara para penabuh berjejalan di bak truk bercampur dengan perangkat gamelan. Dalam cuaca hujan, mereka tak pernah takut. Cukup dengan menarik terpal untuk kemudian memfungsikannya seperti atap rumah, dan mereka akan terlindung dari guyuran air hujan sederas apa pun. Perjalanan dari Desa Poh menuju Nusa Dua biasa ditempuh dalam dua setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti para penabuh menembangkan lagu-lagu pop Bali yang sedang digemari. Sembari memukul kendang, mereka menyanyikan lagu-lagu karangan Widi Widiana, penyanyi pop Bali yang lagi populer itu.
Meski hanya diberi honor antara Rp 7.000 sampai Rp 10.000, Luh Manik bersama kelompok joged bungbung Teruna Mekar menjalani petang dengan riang selama hampir tiga tahun terakhir. Setidaknya kehidupan rata-rata warga Desa Poh yang hanya menggantungkan harapan pada kebun pisang dan sawah tadah hujan, agak tertolong dengan kontrak menari di beberapa hotel di kawasan wisata Nusa Dua. Selalu sebagian warga mendahului duduk-duduk di los sembari menunggu jemputan. Duduk-duduk di los seperti menunggu rezeki mengalir ke Desa Poh. Kedatangan truk pun lama kelamaan seperti kedatangan dewa penyelamat yang mengangkat mereka dari keterpurukan ekonomi.
Petang ini jalanan licin. Di bulan November, desa-desa di Bali sedang memasuki musim gerimis. Ini pertanda tak lama lagi musim hujan akan tiba. Semak belukar yang meranggas selama kemarau belum tumbuh sepenuhnya. Tanah yang kehitaman berkilau-kilau diterangi kilat dari langit di barat desa. Di dekat pohon jepun, Luh Manik berhenti sejenak, menelusuri batang, dahan, serta ranting yang bulat bergerigi sampai ke pucuk. Bunga jepun yang putih seperti malas mekar. Batang bambu yang dulu selalu digunakan untuk mengait kuntum-kuntum bunga sudah tidak ada lagi.
“Ah…,” gadis belasan tahun ini melenguh. Ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Saban petang, setelah bom meledak di Legian, Luh Manik nekad memanjat batang pohon jepun untuk menemukan kuntum bunga. Batang pohon yang lembut itu seperti merasakan gesekan kulit Luh Manik yang halus. Mereka seperti dua kekasih yang lama terpisah. Dan hari ini, di petang yang dingin keduanya saling memeluk untuk melepas rindu. Daun-daun jepun yang bergoyang karena terpaan angin mengusap-usap rambut Luh Manik. Keduanya saling berbisik mengenangkan hari-hari menyenangkan.
“Aku masih ingat waktu kau petik berpuluh-puluh bungaku,” ujar pohon.
“Aku juga masih ingat saat kau menjatuhkan bunga, melayang seperti baling-baling pesawat…” jawab Luh Manik.
“Lalu…. lalu kau selalu merasa sedang menari di sebuah negeri yang jauh dari desa ini dengan merangkai bungaku di rambutmu.”
“Aku selalu mengidamkan menari di luar negeri, seperti para penari dari kota.”
“Bukankah menari di hotel juga untuk para bule itu?”
“Tetapi… aku ingin menikmati kepakkan baling-baling yang menebarkan wangi, hingga mengantarkan aku ke negeri bersalju.”
“Bukankah dari mulut para bule yang menciummu seusai menari senantiasa meluncurkan aroma harum anggur? Lalu, kau suntingkan bungaku di telinga mereka?”
“Sekarang tidak lagi. Kita hanya bunga belukar yang selalu mengidam-idamkan pergi ke luar negeri bersama-sama.”
Luh Manik memetik sekuntum bunga untuk kemudian diikatkan pada rambutnya yang panjang. Sambil berlari-lari kecil di atas pematang, ia memasuki setapak di bawah rimbunan kebun pisang.
Di dalam los selalu sudah ada beberapa lelaki yang dengan lesu memukul bilah-bilah bambu gamelan. Suaranya terdengar terseok-seok dari celah-celah batang pisang, di mana Luh Manik sedang berjalan. Dari jarak dua puluh lima meter, lapangan di depan los yang biasa digunakan Luh Manik berlatih menari, sudah ditumbuhi rerumputan. Batang bambu yang digunakan menggantung petromak di tengah-tengah lapangan, juga sudah tampak miring. Bahkan, kalau saja tidak ada batu yang mengganjalnya, mungkin batang bambu itu sudah lama roboh.
Luh Manik menerawang ke ambang petang. Langit di barat masih berkabut. Gerimis baru saja berhenti. Asap bergulung-gulung meluncur dari atap daun kelapa rumah beberapa warga. Petang begini mereka baru memutuskan untuk merebus pisang muda. Sejak kontrak menari di hotel-hotel diputus, sebagian besar warga seperti kehilangan pegangan. Mereka terlanjur menggantungkan diri pada kegiatan Teruna Mekar.
“Kudengar kamu akan kerja di Jakarta, Luh?” tanya lelaki setengah baya yang biasa menjadi pemukul kendang di Teruna Mekar. Luh Manik yang disambut dengan pertanyaan sewaktu memasuki los tercekat. Ia berpikir, begitu cepatnya kabar menyebar. Padahal, rencana itu baru ia kemukakan kepada Kadek Sukasti, temannya sesama penari.
“Kami sangat mengerti kemauanmu itu,” kata lelaki yang lain lagi.
“Hidup di sini sudah hampir tak ada harapan. Kami juga sedang memikirkan untuk menjual saja gamelan ini,” ujar lelaki pemukul bilah-bilah bambu dengan nada putus asa.
“Tetapi keputusanmu itu, menurutku sangat egois. Kemarin, baru kudengar kamu ingin terus tinggal di desa apa pun yang terjadi. Kedua orang tuamu sudah tidak ada, Luh. Mengapa mesti nekat hidup di kota keras seperti Jakarta?” berkata lelaki muda dengan sangat emosional.
“Kemarin, sewaktu aku melewati pohon jepun di pinggiran sawah, aku memutuskan untuk pergi saja,” jawab Luh Manik tegas. Meski baru berumur belasan tahun, tetapi Luh Manik jauh tampak lebih dewasa dalam berbicara. Mungkin karena ia terbiasa hidup mandiri. Ia tak pernah merasa rikuh ngomong bersama sekumpulan lelaki yang jauh lebih tua dari dirinya.
“Aku dengar pula kamu mulai bicara-bicara sambil memeluk pohon jepun di pinggiran sawah itu. Sebaiknya, Luh, kamu di sini saja tenangkan diri dahulu, sembari memikirkan langkah nanti…” kali ini berkata seorang kakek yang dianggap sebagai tetua kelompok Teruna Mekar.
Luh Manik terdiam. Ia merasa sedang diadili. Lelaki, pikirnya, seringkali terlalu egois dengan mengatasnamakan kelompok. Padahal, sesungguhnya mereka sendiri takut kehilangan pegangan, takut kehilangan perempuan seperti dirinya yang selama ini menjadi primadona Teruna Mekar. Mereka juga takut kehilangan sandaran hidup, hingga semuanya mesti dihadapi bersama-sama.
Baginya pohon jepun itulah sampai kini yang paling mengerti akan kesusahan warga Desa Poh. Selama bertahun-tahun, pohon jepun telah merelakan bunganya untuk dipetik, dirangkai, dan menjadi penarik para wisatawan. Bentuknya yang berbilah-bilah bisa menjadi aksen yang menarik jika disematkan pada rambut atau disuntingkan di telinga. Sebagai penari joged bungbung Luh Manik sadar benar, ia tidak akan bisa menari dengan baik tanpa bunga jepun.
“Luh, semua kita sekarang sedang stress. Tapi, kami minta tenang dulu, jangan pergi dalam keadaan pikiran masih kacau ya…” tambah lelaki tua tadi.
“Terima kasih, Kek,” Luh Manik selalu memanggil lelaki tua itu dengan sebutan “kakek”. “Aku hanya sedang mencoba mencari kemungkinan baru dari hidup ini. Hidup mesti terus berjalan, kendati kita hampir-hampir kehilangan sandaran untuk berdiri.”
“Jadi, kamu tetap ingin pergi ke Jakarta, tanpa memikirkan nasib kami?” kata lelaki emosional lagi.
“Nasib kita tergantung di tangan masing-masing, dan bukan pada bilah-bilah bambu gamelan itu. Ia hanya benda dan alat untuk memperbaiki nasib…” kata Luh Manik. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari bibir perempuan berambut sepinggang ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Bahkan, di ujung perkataannya, Luh Manik seringkali kaget, mengapa ia berkata-kata sebegitu lancar dan bijak, bahkan jauh melebihi lelaki tua itu.
Percakapan itu akhirnya berakhir karena gerimis telah mengalirkan gelap sampai ke dalam los. Luh Manik bergegas kembali ke rumahnya. Malam terlelap dalam gemerisik suara jangkrik yang sesekali ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup menyusup di sela pepohonan. Desa Poh yang ringkih seperti lelaki tua yang terseok berjalan dalam hitam malam.
Pagi-pagi sekali Kakek mendatangi rumah Luh Manik. Dari celah pohon jambu tampak pula Kadek Sukasti bersungut-sungut di belakangnya. Sekelompok ayam yang sedang mengais makanan di halaman meloncat berhamburan. Tetapi, setelah Kakek dan Kadek Sukasti lewat, ayam-ayam itu kembali berkumpul saling berebut makanan dari singkong kering yang ditaburkan Luh Manik.
Setelah melewati deretan semak di jalan setapak sebelah barat rumah Luh Manik, makin jelas terlihat wajah keduanya sangat tegang. Bahkan, kepala Kakek tampak terguncangguncang karena ia memaksakan diri untuk berlari-lari kecil. Buntalan kainnya tak keruan, hampir-hampir saja melorot dari pinggangnya yang ceking.
Dengan bibir bergetar, Kakek berkata, “Luh… kali ini harapan kita satu-satunya habis sudah. Mereka sudah memutuskan untuk menjual gamelan. Warga menolak untuk memberitahu kamu. Dan tadi malam, seorang lelaki dari kota telah mengangkutnya. Semua, sampai alat pemukulnya. Katanya untuk koleksi….begitu.”
“….Kalau memang itu satu-satunya jalan meneruskan hidup, mengapa tidak?” jawab Luh Manik enteng. Pembicaraan mereka berlangsung di halaman, tepat ketika matahari berkilauan menembusi pucuk pohon kelapa tua di timur rumah.
“Luh…!” Kakek mengucapkan nama Luh Manik dengan mata membelalak penuh ketidakpercayaan. “Bukankah dulu kamu dan ayahmu yang bersikeras membangun kembali kelompok joged ini? Dan, kamu bersedia menjadi joged pada saat kita sulit menemukan penari. Bahkan, kamu rela berhenti dari sekolah untuk serius menekuni tari. Mengapa sekarang kamu seperti menyerah saja ketika kita menghadapi kesulitan…”
“Kek, apalah yang bisa saya perbuat lagi, kalau itu sudah menjadi keputusan mereka. Dan menurutku, desa ini tak memberi pilihan lain agar kita tetap hidup.”
“Bukan itu persoalannya. Kakek sendiri tidak tahu pasti entah siapa dulu yang menciptakan perangkat gamelan joged itu. Kakek pun hanya tahu bahwa gamelan itu sudah tersimpan di los, hingga kita tak berhak menjualnya, Luh…”
Meski kaget, Luh Manik berusaha bersikap wajar. Ia ingin berpikir realistis… “Mungkin maksud Kakek gamelan ini warisan dari leluhur?”
“Mungkin begitu.”
“Kek, cobalah beri mereka pilihan untuk melanjutkan hidup. Bukan warisan itu yang penting benar sekarang, kan? Kita semua terlanjur tergantung pada kontrak itu, hingga lupa mengurus ladang.”
“Berarti, kamu telah memangkas pohon kehidupan di desa ini sampai ke akarnya. Justru gamelan itulah gantungan hidup kita, siapa tahu situasi di Nusa Dua cepat pulih…. dan kontrak-kontrak dilanjutkan lagi.”
“Itu perkara nanti, Kek. Keadaan sekarang terus mendesak. Mereka perlu makan hari ini!”
Dengan wajah kesal, kecewa, dan marah, tanpa mengucap kata sepatah pun Kakek menggamit ujung kainnya dan berlalu dari hadapan Luh Manik. Sebelum lenyap di balik rerimbunan pohon, masih terdengar ia menggerutu. “Dasar anak kecil…! Entengkan soal berat.”
Sementara Kadek Sukasti, memilih tetap tinggal dan duduk di beranda menemani Luh Manik. Ia juga sedang berpikir turut serta mencari kerja ke Jakarta. Kebetulan, menurut ayahnya, seorang saudara jauh yang dulu tinggal di Denpasar, sudah dua tahun ini pindah tugas di Jakarta. Bisa saja ia tinggal di sana, sementara menunggu pekerjaan.
Luh Manik menerawang seakan tak percaya pada apa yang barusan ia ungkapkan. Ketika Kadek Sukasti menyentuh tangannya, mata Luh Manik berkaca-kaca. Sekarang, ia malah berbalik tak yakin kalau menjual gamelan menjadi satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup di sini. Benar kata Kakek, bahwa ia telah memotong pohon sampai ke akarnya, hingga tak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran warga desa.
Selama bertahun-tahun, warga telah meninggalkan kebiasaan mengolah tanah. Mereka percaya benar joged lebih banyak mendatangkan hasil. Selain uangnya bisa dinikmati langsung, setidaknya suara gamelan dan lenggak-lenggok Luh Manik dan Kadek Sukasti di saat menari, menjadi pelipur kemelaratan. Tingkah polah para bule yang turut menari bersama Luh Manik selalu membuat mereka terbahak. Bahkan, seringkali perawakan rata-rata lelaki bule yang tinggi besar diolok-olok sebagai Rahwana yang sedang mengintai Dewi Sinta. Tertawa berderai kemudian terdengar dari bak truk ketika mereka kembali ke desa.
Setelah sebentar masuk ke kamarnya, Luh Manik menggamit tangan Kadek Sukasti, “Ayo kita jalan-jalan…” ajaknya. Kadek Sukasti tak menolak. Ia mengikuti langkah Luh Manik menyusuri setapak sebelum akhirnya lenyap di balik rimbun bambu.
Tubuh dua perempuan muda itu tampak kecil dan ringkih dipandang dari perbukitan di selatan persawahan. Mereka sesekali saling pegang untuk menghindari jalan menurun yang licin. Rambut Luh Manik yang panjang, ia lilitkan begitu saja di lehernya.
Di petak sawah terakhir, keduanya duduk sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon jepun. Sekuntum bunga jepun yang lepas dari ranting berputar-putar seperti baling-baling helikopter sebelum akhirnya menyentuh pangkuan Luh Manik.
“Apa rencanamu Luh?” tanya Kadek Sukasti memecah kebisuan. Luh Manik tak segera menyahut. Ia masih memperhatikan bilah-bilah bunga jepun yang layu di pangkuannya.
“Kamu jadi ke Jakarta, Luh?”
“Seperti yang sudah aku katakan, aku akan ikut saudaranya Nyonya Lin yang punya toko di Negara. Saudaranya itu juga punya toko onderdil sepeda motor di Jakarta. Mungkin aku akan kerja di sana…”
“Jadi pembantu?”
“Jadi pelayan toko.”
Tangan Luh Manik meremas bunga jepun, yang tadi melayang, berputar-putar, bagai pesawat yang dulu sering membawa ia bermimpi tentang negeri-negeri bersalju. Ia bermimpi menari di depan ratusan orang asing dengan pakaian gemerlap, lalu mendapatkan tepuk tangan dan ciuman beraroma harum anggur…
Ziarah ke Bali Jakarta, November 2002
Putu suta wijaya

Surat Keramik

 “Aku bosan menerima suratmu yang cuma bercerita tentang kerinduan, dambaan, dan kegersangan jiwamu di negeri perantauan!” tulis Isti, kekasihku, dalam surat yang terakhir kuterima. Ia lalu mengajukan permintaan agar aku menuliskan hal lain yang menarik untuk direnungkan. “Bahwa kau merindukanku, merindukan orangtua dan kerabat serta kampung halaman, itu hal yang pasti kau rasakan! Kalau mau kuungkapkan rinduku kepadamu, tak cukup satu-dua buku untuk menuliskannya. Aku menginginkan cerita lain yang tidak klise dan terhindar dari derai-derai kata yang mendambakan pertemuan. Jika saatnya tiba, toh kebersamaan kita pasti akan terjadi. Kau juga tak perlu berulang-ulang mengungkapkan kekhawatiranmu tentang perilaku Si Gendon, jagoan kampung yang meresahkan penduduk dan selalu menggangguku itu. Ia sudah dimassa. Tubuhnya hangus dibakar penduduk dan mereka merasa plong atas kematiannya, termasuk ibunya yang sudah renta.”
Kulipat lagi surat yang telah berulang kali kubaca itu. Dan sebagaimana biasa, dalam kesendirian aku larut dalam kenangan dan harapan yang selalu kudamba tapi tak kunjung tiba. Kukira kata-kata Isti dalam surat benar. Wajar bila ia lalu menginginkan cerita yang lain dari biasanya. Hanya saja, aku bukan pencerita yang baik. Selama ini, setiap kali menulis surat untuknya, aku harus memberikan pengorbanan yang besar untuk dapat merangkai-rangkaikan kalimat supaya mudah dimengerti. Ichiro, kawan sekerjaku, mengatakan bahwa bahasaku selalu minim. “Tanganmu lebih cekatan saat bekerja ketimbang gerak mulutmu saat bicara. Tapi itu lebih baik,” katanya. Meskipun demikian, dengan susah payah telah kutulis serangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Aku berharap surat ini bisa memenuhi harapan Isti. Lembar-lembar surat yang belum beramplop ini masih berserakan di atas tatami. Siapa pun yang melihat bisa membacanya.
Suatu malam, waktu itu aku tengah menikmati libur osyogatsu selama seminggu, setelah memenuhi undangan Nagayama, aku keluar dan hendak kembali ke apaato-ku dalam lingkungan pabrik. Malam hampir memasuki dini hari. Gerimis salju mulai turun. Tak ada suara-suara serangga. Sunyi. Aku berpikir, saat musim dingin seperti ini, ke manakah serangga-serangga yang pada musim panas dan musim gugur begitu ramai? Ah, mengapa aku tiba-tiba berpikir tentang serangga? Kau mungkin menduga bahwa hal ini karena aku tengah digelibat kenangan tentang kampung kita yang pada malam hari tak pernah sepi suara serangga. Kau benar, Is, tapi bukan karena itu saja. Saat itu, tiba-tiba aku tak ingin segera kembali ke apaato-ku. Dalam hujan salju yang semakin lebat aku ingin menyusuri malam. Salju yang melayang-layang ringan di sekitar lampu jalanan tampak seperti kupu-kupu kecil beterbangan. Suara geripisnya pada dedaun pohon jyooryokujyu terdengar begitu puitis.
Waktu aku keluar dari rumahnya, Nagayama yang mabuk berat tertidur begitu saja di atas tatami beralaskan karpet elektrik yang hangat. Beberapa botol sake telah ditenggak habis bersama Ichiro yang juga tergeletak di atas karpet hangat itu dalam keadaan mabuk. Jika besok pagi terbangun, pikirku waktu itu, pasti Nagayama akan menggerutu karena aku dianggapnya telah berbuat kejam dengan meninggalkannya dalam keadaan mabuk. Akan tetapi, hal itu bukan hal yang perlu kukhawatirkan benar. Jika libur osyogatsu habis dan kami bertemu di pabrik, ia akan sudah melupakannya. Satu-satunya yang diingatnya di pabrik hanyalah kerja. Hal ini telah menciptakan fenomena yang berlawanan: Nagayama yang ramah di rumah dan Nagayama yang pembisu di pabrik. Selama ini aku menyadari benar sikapnya yang demikian. Orang boleh mengatakan bahwa bagi duda tanpa anak seperti Nagayama, wajar jika memiliki sikap seperti itu. Hanya saja, aku sendiri memahaminya sebagai sikap menghargai orang dan pekerjaan secara sungguh-sungguh.
Menurut Ichiro, Nagayama telah bersikap demikian jauh sejak sebelum istrinya meninggal karena kecelakaan pesawat. Perbedaan yang terjadi hanyalah karena Nagayama jadi sering mengundang mereka ke rumahnya yang berbentuk ikkodate itu. Tentu saja aku mempercayai kata-kata Ichiro karena sejak bekerja padanya, bersama Ichiro dan marhum Hiroshi, aku pun sering mendapat undangannya. Meskipun demikian, ketimbang menebak-nebak sikap lelaki yang hampir memasuki usia tujuh puluh itu, jika berada di rumahnya aku lebih tertarik memperhatikan kesan sederhana tetapi terasa indah dan nyaman. Tentang hal ini aku merasa selalu gagal menerjemahkannya secara tepat. Jika aku mempertanyakannya, Nagayama tak pernah memberikan jawaban yang pasti. Ia lebih banyak tertawa haha…heheh ketimbang menjawab pertanyaanku. Karenanya, untuk mengobati rasa penasaranku aku sering berkata kepada diri sendiri bahwa keindahan dan kenyamanan rumah yang tercipta dari kesederhanaan merupakan hal yang sulit terjadi tanpa pemahaman seni yang benar; tanpa ketelatenan dan keseriusan perawatan pemiliknya secara terus-menerus.
Salju kian menderas. Suara jatuhnya yang sama sekali tak terdengar terasa menyentuh perasaan; sesuatu yang lembut jatuh ke sesuatu yang sama lembutnya yang tak menimbulkan getaran, tapi jika terlihat seolah mampu mengusik pendengaran. Jalanan yang kulalui mulai memutih. Di mana-mana bumi mulai memutih. Menurut prakiraan cuaca di televisi, salju akan turun dan mengendap sampai lima belas sentimeter. Hawa dingin terasa semakin membeku. Tapi aku tak berniat langsung pulang. Malam ini aku ingin berlama-lama berada dalam salju.
Memasuki pelataran kuil Burung Besar yang anggun, kembali aku teringat pada maksud Nagayama mengundang aku dan Ichiro. Katanya, ia mengundang kami bukan untuk menyatakan kegembiraannya karena telah terbebas dari tuntutan hukum atas tuduhan bahwa dirinya adalah penyebab utama yang mendorong Hiroshi nekat bunuh diri, melainkan justru untuk mengenang marhum Hiroshi yang sebenarnya sangat disayanginya, dan tentunya sambil merayakan osyogatsu. Bebasnya Nagayama dari tuntutan hukum terutama karena Janda Murata, ibu Hiroshi, tidak melakukan tuntutan apa pun. Dalam sidang pengadilan ia justru berkata dengan lantang bahwa ia merelakan kematian anak satu-satunya itu. Jelas ia berusaha membela Nagayama. “Biarlah anakku merasakan akibat dari kebodohan dan kemalasannya. Lagipula, jika saya bunuh diri dan meninggalkan surat wasiat bahwa yang menyebabkan saya bunuh diri adalah kaisar, apakah Bapak Hakim akan menghukum kaisar?” Kata Janda Murata yang diceritakan Nagayama kepadaku dan Ichiro.
Baiklah kini aku berterus terang kepadamu, Is, bahwa kini aku bukan trainie lagi sebab sudah lari dari majikan karena aku tak mau menjadi sapi perahan. Sejak itu aku menjadi penduduk gelap karena pasporku dipegang majikan lama. Aku lalu bekerja di pabrik keramik milik Nagayama yang tak mempermasalahkan status kependudukanku. Kerjaku hanya menjaga api saat membakar keramik perangkat minum sake bikinan Nagayama yang kualitas dan keindahannya sangat terkenal di negeri perantauanku.
Semula Nagayama membuat sendiri semua produknya. Meskipun secara kuantitas produknya kalah jauh dengan produk sejenis yang dibuat secara mekanis, ia tak merasa khawatir. Nagayama malah merasa bangga karena secara kualitas produknya jauh lebih unggul. “Orang yang mengerti dan menghargai kualitas tak pernah berkurang. Dan mereka mau membayar mahal untuk pengertian dan penghargaannya itu!” katanya selalu. Akan tetapi, Nagayama yang merasa perlu menambah jam istirahat karena usia tua, mulai mempersiapkan dua orang penerusnya, Hiroshi dan Ichiro. Usaha menyiapkan penerus sambil sedikit memperbanyak produk inilah yang membawa permasalahan bagi Nagayama hingga ia dibawa ke pengadilan, meskipun kemudian ia dibebaskan dari segala tuntutan.
Waktu aku menghadiri undangan itu, sebelum mabuk Nagayama mengatakan bahwa sepeninggal Hiroshi ia tak akan mengubah sikap, pola, dan sistem kerja pabriknya. “Aku telah merintisnya bertahun-tahun dan aku bisa hidup darinya. Aku tetap menomorsatukan seni dan kualitas! Kalian harus tahu itu!” Karena aku diam saja, sementara Ichiro mengangguk-angguk menyatakan persetujuan, dengan serius Nagayama menanyakan sikap diamku. Aku menjawab bahwa sikap diamku adalah sebagai tanda mengerti.
Waktu kemudian aku mengatakan bahwa kemengertianku hampir tak berarti karena kerjaku hanya sebagai penjaga api, Nagayama membantah dengan keras. “Semua pekerjaan menentukan kualitas akhir sebuah produk!” Katanya dengan wajah serius.
“Kenapa kau tak pernah mau minum sake?” Tanya Nagayama setelah menenggak sakenya. Karena aku menjawab dengan sungguh-sungguh bahwa setiap kali minum sake selalu terserang mencret, Nagayama tertawa terbahak-bahak dalam mabuknya. “Ya, itu akan mengganggu kerjamu he…he… he…!” Kata Nagayama di sela tertawanya. Ichiro yang sudah mulai mabuk itu pun ikut tertawa.
Menyusuri gang di belakang kuil Burung Besar, tiba-tiba aku teringat bahwa di salah satu pohon pada gerumbul di belakang kuil itulah Hiroshi menggantung diri. Aku jarang merasa takut oleh hal semacam ini, tetapi kali ini bulu kudukku sedikit merinding. Mungkin karena hubunganku dengan Hiroshi sangat baik sehingga kenangannya begitu lekat. Mungkin pula karena syalku terbuka hingga hawa dingin menerobos ke kudukku. Maka, setelah merapikan syal, kembali aku berjalan dalam salju. Meskipun demikian, saat tiba di bawah gerumbul yang jadi pucat karena pantulan sinar lampu pada hamparan salju, aku berhenti. Seolah terhipnotis oleh pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri, atau sekadar terbayang pada tubuh yang tergantung dan lalu diturunkan, pikiranku melayang ke peristiwa itu.
“Pyarrrr…! Ayo, tatap barang rongsokan yang kalian bikin ini jadi pecah berantakan!” kata Nagayama dengan marah sambil terus membantingi cangkir dan guci keramik bikinan Hiroshi dan Ichiro. Wajahnya semerah saat ia mabuk berat. Maka terjadilah peristiwa yang selama delapan kali sebelumnya terjadi. Cangkir dan guci keramik hasil percobaan Hiroshi dan Ichiro delapan kali sebelumnya selalu dianggap gagal. Pada setiap pemeriksaan, satu-satu cangkir dan guci keramik itu dibanting Nagayama dengan keharusan bahwa Hiroshi dan Ichiro menatap setiap bantingan yang dilakukannya, tak terkecuali hasil percobaan yang kesembilan karena masih dianggap belum memenuhi harapannya. Suara pecahnya keramik-keramik yang dibanting Nagayama terus berkerompyangan membentur lantai, membuat perasaan kami jadi giris; seolah yang pecah adalah hati dan perasaan kami sendiri.
“Jangan palingkan tatapan kalian pada hal lain. Tatap saat barang pasar itu pecah berantakan supaya kalian tahu bahwa tak ada artinya pekerjaan yang dilakukan tanpa memadukan segala aspek pada diri kalian secara total dan sungguh-sungguh!” katanya sambil terus mengambil cangkir atau guci sekenanya, lalu membantingkannya kuat-kuat ke lantai.
Telah berulang kali Nagayama mengatakan bahwa membuat keramik perangkat minum sake yang berkualitas prima dan memiliki keindahan yang memesona, tak cukup hanya mengandalkan teknik dan keterampilan, melainkan harus juga memadukan kreativitas seni secara total. Hal itu memerlukan ketekunan, keahlian, dan pengerahan kreativitas pikir dan seni secara sungguh-sungguh dan terus-menerus. Berulang kali pula Nagayama mengatakan bahwa tangan mungil wanita dan tangan kukuh pria yang memegangnya saat menuang dan minum sake, tak boleh memudarkan unsur keindahan guci dan cangkir sake. Keindahan itu justru harus berpadu dengan tangan-tangan yang menyentuhnya.
“Keindahan Gunung Fuji tak pernah pudar oleh perubahan cuaca maupun waktu. Saat mendung, hujan, maupun cerah; waktu pagi, siang, maupun malam, paduan keindahannya tak pernah memudar. Akan tetapi, kalian hanya menghasilkan cangkir dan guci sake dengan kualitas dan keindahan jauh dari yang kuharapkan! Kukira bukan karena kalian tak mampu! Kalian belum berbuat maksimal! Belum juga kalian sadari bahwa untuk memperoleh kualitas dan keindahan yang kuharapkan, kerja harus benar-benar total!” katanya dengan suara keras.
Waktu membantingi cangkir dan guci keramik hasil percobaan Ichiro dan Hiroshi yang kesembilan, Nagayama mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia merasa prihatin karena semangat Nippon mulai luntur. “Anak-anak seperti kalian terlalu dininabobokan situasi enak akibat berhasilnya teknologi. Apa kalian tidak mengerti bahwa teknologi canggih yang kita miliki sekarang ini dulunya amatlah sederhana dan terbatas? Kecanggihan yang kita nikmati sekarang adalah hasil usaha yang terus-menerus dan akan terus pula ditingkatkan. Kehidupan tak pernah mandek. Adalah kehancuran yang akan didapat jika justru kita yang mandek, berhenti berpikir atau bahkan hanya setengah-setengah sekalipun. Sudah berulang kali kukatakan, berhentinya pikiran seseorang berarti berhenti pula kehidupannya. Banyak penduduk di banyak negeri yang tak menyadari hal ini dan akhirnya mereka selalu mundur dan kisruh melulu. Setiap hari umurku bertambah, tubuhku menjadi renta, tapi kalian tak pernah berpikir untuk membuatku segera bisa banyak istirahat! Sekarang juga kalian buat lagi percobaan kesepuluh! Tunjukkan kepadaku bahwa hasil karya kalian bisa lebih baik ketimbang hasil karyaku supaya aku bisa melihat adanya kemajuan! Ingat, kalian bukan lagi anak sekolah yang harus dipuji dan disemangati dengan kelembutan dan kebohongan!” kata Nagayama panjang lebar.
Begitulah, malamnya Hiroshi menghilang. Aku dan Ichiro saling mempertanyakan tetapi sama-sama tak mencarinya. Barulah kami menyesal setelah paginya beberapa pendeta kuil dan polisi sibuk menurunkan mayat Hiroshi dalam rinai salju. Dari sakunya ditemukan surat wasiat untuk ibunya yang di antaranya menyebutkan bahwa semua itu terjadi karena perlakuan Nagayama. Di antara kerumunan orang, Janda Murata berdiri kaku dan membisu. Wajahnya menampakkan gambaran kekosongan bercampur dengan warna-warna kusam.
Kukibas-kibaskan salju yang menempel pada topi dan overcoat-ku. Saat membungkuk untuk mengibaskan salju di celanaku, segera kusadari bahwa aku sudah terlalu lama berdiri di bawah pohon kusuno yang mirip pohon mahoni itu. Sepatu saljuku bahkan sudah dalam terbenam dalam salju yang terus menumpuk. Ada rasa nikmat yang sulit kuungkapkan. Tak jelas kumengerti rasa nikmat macam apa. Hanya saja aku pernah berharap bahwa suatu saat bisa menyaksikan fajar menguak pagi bersamaan dengan turunnya salju. Ingin kusaksikan perubahan antara kelamnya malam yang pucat berganti pagi yang kusam oleh mendung dan rinai salju. Aku sangsi apakah warna suasana keduanya bisa kuperbandingkan sebagai warna getah karet campur sedikit tepung arang dengan warna susu yang putih keruh? Yang jelas, pada kedua warna ini, warna-warna kontras masih bisa dilihat. Karena itu, sesosok tubuh yang mengenakan overcoat hitam dan berjalan ke arahku bisa kulihat dengan jelas. Bahkan aku bisa mengatakan bahwa sosok tubuh yang berjalan dalam salju itu adalah Janda Murata. Kenyataan ini tentu saja membuatku kaget bukan main.
Segera aku berlindung di balik pohon Kumashidi yang tak jauh dari pohon kusuno tempat Hiroshi menggantung diri. Sebagaimana kuduga, Janda Murata menuju ke arah pohon bekas anaknya menggantung diri. Begitu tiba, segera diletakkannya kembang setaman dan guci air, lalu ia melakukan sembahyang. Kepalanya menunduk takzim. Kedua telapak tangannya dirapatkan di dada dalam posisi menyembah. Tak lama kemudian samar-samar kulihat pundaknya berguncang-guncang. Lalu kudengar isak tangisnya. Di antara isak tangisnya lamat-lamat kudengar ia menyebut-nyebut nama anaknya. “Hiroshi…! Hiroshi…!”
Dalam dadaku ada suara menggemuruh. Aku yakin di antaranya adalah suara haru dan iba yang muncul dari bayangan kesendirian hidup Janda Murata yang kukhayalkan. Ingin aku mendekatinya, tapi segera kutepiskan. Yang terbaik baginya saat ini adalah membiarkannya dalam kesendirian. Dan bersama pagi yang telah penuh terkuak, cairan warna susu keruh mulai mengendap, segera kusadari bahwa sesungguhnya Janda Murata tengah memikul beban yang demikian berat. Meskipun demikian, kesadaran ini dikacaukan oleh kenyataan bahwa Janda Murata telah merelakan kematian Hiroshi. Aku jadi bertanya, sesungguhnya benarkah ada orang yang bisa merelakan kematian seorang yang begitu dekat dengan dirinya? Juga, benarkah Nyai Sukarti, ibu Si Gendon, merelakan kematian anaknya itu? Benarkah ia merasa plong setelah penduduk kampung kita berhasil membakar Si Gendon sampai mati?
Ah, banyak nilai yang harus kupertimbangkan untuk memahami keduanya. Hanya saja aku jadi merasa malu dengan diri sendiri. Apa yang bakal dikatakan Janda Murata jika membaca penutup suratmu tentang kerelaan ibu Si Gendon atas kematian anaknya itu? Aku berpikir, antara Janda Murata dan ibu Si Gendon yang sama-sama merelakan kematian anaknya yang tak wajar, sesungguhnya memiliki perbedaan yang begitu jauh. Ada rentang nilai yang menganga lebar antara perilaku Hiroshi dan Gendon, meski keduanya sama-sama terjadi dalam ruas negatif. Andaikan Janda Murata membaca penutup suratmu yang terakhir kuterima, mungkin ia akan mencibirkan bibir. “Ah, andaikan benar, mengapa di negeri kita orang bisa merelakan kematian seseorang hanya setelah seseorang terlanjur menjadi seperti Si Gendon yang entah berapa rumah yang telah dirampoknya, berapa tubuh yang telah dicluritnya, berapa perawan dan nyonya-nyonya muda yang telah diperkosanya, dan berapa kampung serta berapa kota yang telah dibuat resah oleh ulahnya?”
Aku tak bisa membayangkan bahwa suatu saat harus merelakan kematian tak wajar anggota keluargaku atau siapa pun, Is. Saat ini aku tak ingin mengatakan bahwa Janda Murata dan ibu Si Gendon adalah orang-orang hebat atau jahat. Tak sampai hatiku berpikir semacam itu. Pernah kudengar orang mengatakan bahwa hidup memang teramat berharga untuk hanya diisi dengan impian kosong, kesia-siaan, apalagi oleh perilaku barbar. Sekian saja suratku!
Tokyo, Oktober 2002
Catatan:
1. apaato: apartemen sederhana
2. ikkodate: rumah yang berdiri sendiri
3. jyooryokujyu: pohon segala musim
4. osyogatsu: tahun baru
5. taiso : gerak badan
6. tatami: tikarala Jepang

asmudjo jono irianto