Senin, 28 Oktober 2013

LOGIKA, ETIKA, ESTETIKA


LOGIKA, ETIKA, ESTETIKA
Filsafat Berpkir Benar, Berlaku Baik, dan Berasa Indah


LOGIKA : FILSAFAT BERPIKIR BENAR

1.Pengertian
Kata logika berasal dari kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran. Secara bahasa logika berarti ilmu berkata atau ilmu berfikir benar. Dalam pengertian dasarnya sering disebut sebagai ilmu berkata-kata atau berpikir benar, bukan tepat melainkan benar. Menurut Aristoteles logika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan atau cara penyusun pikiran. Logika demikian bersifat alami atau disebut logika naturalis (natural logics) yang berdasarkan kodrat atau fitrahnya saja misalnya digunakan untuk membedakan mana yang bisa dimakan atau tidak bisa dimakan. Logika buatan atau hasil pengemban yang disebut logika artifisial (artificial logics) merupakan cara membedakannya berdasarlkan laboratorium dengan cara menemukan unsur apa yang berada di dalam tanaman sehingga dapat dimakan atau tidak bisa dimakan. Aristoteles sangat menaruh perhatian pada bagian filsafat ini, bahkan menganggapnya sebagai ilmu pendahulu filsafat. Ia di anggap sebagai bapak logika terutama dengan buku yang disusun murid-muridnya yang berjudul “organon” atau instrumen tentang logika formal.      
Kebenaran adalah syarat dari tindakan untuk mencapai tujuannya bagi laku perbuatan untuk menunjukan nilai. Logika menuntun pandangan lurus dalam praktek berfikir menuju kebenaran dan menghindarkan budi menempuh jalan yang salah dalam berfikir. Logika merupakan studi dari salah satu pengungkapan kebenaran dan dipakai untuk membedakan argumen yang masuk akal, serta berbagai bentuk argumentasi. Logika dalam kajiannya pada problem formal dan spesifik tentang keteraturan penalaran. Logika berurusan dengan pengetahuan yang bersifat formal apriori. Pengetahuan yang bersifat apriori adalah pengetahuan kebenarannya abstain dari pengalaman melainkan hanya berdasarkan definisi. Dalam logika sangat terkait dengan matematika.
Hukum dalam logika tidak termasuk pengamatan empiris, dan fungsi argumen logis untuk mengantarkan kita kepada kesimpulan yang tidak dapat diperoleh dari sekedar pengamatan. Kita membuat kesimpulan dikarenakan ada hubungan logis antara satu proposisi atau premis lebih dengan proposisi yang lain, kesimpulannya kurang lebih berbentuk bahwa yang kedua pasti benar jika yang pertama benar. Kemudian jika kita mengetahui yang pertama, kita dapat meyatakan yang kedua berdasarkan yang pertama.
Cara berpikir secara logis terbagi dua, yaitu : induktif dan deduktif
Induktif merupakan suatu cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Deduktif adalah suatu cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

2. Jenis-jenis logika
Penggolongan Logika sebagai ilmu biasanya didasarkan pada pilihan proses dan alur pikir yang digunakan. Dalam kajian ilmiah termasuk di dalam filsafat dikenal dua model cara berpikir yaitu model induktif dan model deduktif. Merujuruk pada dua konsep ini logika jugta dibagi menjadi dua jenis seperti ini.
Logika induktif merupakan cara berpikir dimana di tarik suatau kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Misalnya kita mempunyai fakta bahwa kambing mempunyai fakta, gajah mempunyai mata, demikian juga dengan singa, kucing, dan berbagai binatang lainnya. Dari kenyataan ini kita dapat menarik kesimpulan umum yakni semua binatang mempunyai mata.
      Logika deduktif merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang di dapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut.

Contoh :
Semua manusia mempunyai mata  (premis mayor)
Si Brown adalah seorang manusia  (premis minor)
Jadi, Si Brown mempunyai mata    (kesimpulan)

Kesimpulan yang diambil bahwa Si Brown mempunyai mata adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya.

3. Logika Terkait Definisi, Penggolongan, dan Penyimpulan

3.1. Definisi: Nominan dan Real
Kata 'definisi' berasal dari kata 'definitio' (bahasa Latin), yang berarti pembatasan'.  Atas dasar ini dapatlah dikatakan bahwa definisi mem­punyai suatu tugas yang tertentu.  Tugas yang tertentu itu ialah me­nentukan batas suatu pengertian dengan tepat, jelas dan singkat. Apabila hal itu diucapkan, maka definisi berarti susunan kata yang tepat, jelas dan singkat untuk menentukan batas pengertian yang tertentu.  Dengan demikian pengertian (hal) yang tertentu itu dapat dimengerti dengan jelas dan dapat dibedakan dari semua pe­ngertian (hal) lainnya.
Ada dua macam definisi itu.  yang pertama disebut definisi no­minal.  Definisi ini juga disebut definisi menurut katanya.  Definisi ini merupakan suatu cara untuk menjelaskan sesuatu dengan mengurai­kan arti katanya.  Hal itu terjadi dengan menghubungkan pengertian yang tertentu dengan sebuah kata. Definisi ini bukanlah definisi menurut arti yang sebenarnya.  Namun demikian ada gunanya karena dengan  bantuan definisi ini salah paham dan salah pengertian dalam suatu pembicaraan atau perdebatan dapat dihindarkan. Tanpa adanya suatu kesepakatan me­ngenai arti kata yang dipakai untuk mengungkapkan buah pikiran­nya, sulitlah orang menghindarkan salah paham dan salah penger­tian.  Karena itu sebelumnya perlulah orang sepakat mengenai arti kata yang dipakainya.  Sesudah itu barulah orang mulai membicara­kan pokok persoalan yang tertentu atau memperdebatkannya. Definisi ini dapat dinyatakan dengan beberapa cara
(a)   Dengan menguraikan asal-usul (etimologi) kata atau istilah yang tertentu.  Kata 'filsafat', misalnya, akhir-akhirnya ber­asal dari kata Yunani.  Dalam bahasa Yunani kata tersebut merupakan kata majemuk.  Sebagai kata majemuk terdiri atas kata 'philein' (mencintai) atau 'philos' (pencinta) dan kata 'sophia' (kebijaksanaan).  Atas dasar itu kata 'filsafat' lalu berarti 'mencintai'('pencinta') kebijaksanaan'.
(b)   Namun arti kata tersebut sering kali masih belum jelas juga.  Karena itu perlulah orang melihat arti manakah yang lazim dikenakan orang banyak pada kata atau istilah yang terten­tu. Untuk mengetahuinya perlulah orang melihat arti kata itu sebagaimana diterangkan dalam kamus.  Menurut asal­usulnya, kata 'lokomotif', misalnya, berarti sesuatu yang dapat bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Padahal dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.Y.S. Poerwadarminta) kata itu berarti: induk atau kepala kereta api (kereta mesin penarik kereta api).
(c)    Akhirnya definisi ini juga dapat dinyatakan dengan meng­gunakan sinonim.  Hal ini terjadi dengan menggunakan kata yang sama artinya, yang lazim dipakai dan yang dimengerti oleh umum.  Misalnya 'budak' dijelaskan dengan mengguna ­kan 'hamba' atau 'sahaya', 'momok' dengan 'hantu' dan se­bagainya.
Dari yang dikatakan ini dapatlah disimpulkan: Definisi nominal me­mang sudah sedikit memberikan pertolongan ttapi itu masih bersifat sementara dan belum ilmiah.  Keadaan ini juga menan­dakan bahwa definisi tersebut belum berhasil menunjukkan unsur­unsur hakiki dari sesuatu.  Karena itu sangat terasalah perlunya suatu definisi yang lain lagi.
Definisi yang lain itu disebut definisi real.  Definisi ini memperli­hatkan hal (benda) yang dibatasinya.  Dan hal itu terjadi dengan me­nyajikan unsur-unsur atau ciri-ciri yang menyusunnya.  Definisi ini se­lalu majemuk.  Artinya, definisi itu terdiri atas dua bagian.  Bagian yang pertama menyatakan unsur yang menyerupakan hal (benda) yang tertentu dengan hal (benda) lainnya.  Bagian yang kedua menyatakan unsur yang membedakannya dari sesuatu yang lain.  Misalnya: kalau 'manusia adalah hewan yang berakal budi', nampaklah bahwa 'hewan' termasuk bagian yang pertama, 'yang berakal budi' bagian yang kedua.
Definisi real ini dapat dibedakan menjadi
(a)   Definisi hakiki (esensial).  Definisi ini sungguh-sungguh menyatakan hakikat sesuatu.  Apakali"hakikat sesuatu itu?  Hakikat sesuatu adalah suatu pengertian yang abstrak, yang hanya mengandung unsur-unsur pokok yang sungg-uh- sung­guh'perlu untuk memahami suatu golongan (species) yang tertentu dan untuk membedakannya dari semua golongan (species) yang lain, sehingga sifat-sifat golongan (species) tersebut tidak termasuk ke dalam hakikat sesuatu itu.
Definisi ini merupakan definisi yang paling penting dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.  Definisi itu tersusun dari jenis yang terdekat (genus proximum) dan perbedaan spesifik (differentia specifica).  yang dimaksudkan dengan jenis (genus) ialah setiap pengertian yang menyatakan hanya sebagian saja dari hakikat sesuatu.  Artinya, pengertian ter­sebut belum menyatakan hakikat sesuatu itu seutuh-utuh­nya.  Misalnya, 'hewan'merupakan sebagian saja dari fiake­kat manusia.  Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan go­longan (species) ialah setiap pengertian yang bisa dikenakan pada bawahan-bawahannya sebagai hakikat yang utuh dari setiap bawahan itu.  Pengertian ini merupakan jawaban yang lengkap atas pertanyaan: Apakah hakikat sesuatu itu?  Akhirnya perbedaan spesifik (differentia specifica) ialah se­tiap pengertian yang membedakan golongan (species) dari jenis (genus)nya.  Misalnya, 'berakal budi'membedakan ma­nusia (species) dari hewan (genus).
Memang definisi ini penting sekali, tetapi sering kali tidak dapat dicapai.  Mengapa?  Sering kali perbedaan spesifik (differentia specifica) banyak hal tidak (dapat) diketahui.  Misalnya, sulitlah mengetahui perbedaan antara 'burung pipit' dan 'burung layang-layang', antara beda-benda yang diselidiki dalam ilmu alam, ilmu kimia dan ilmu hayat.  Na­mun dalam ilmu pasti, ilmu ukur dan ilmu hitung (yang biasanya disebut ilmu-ilmu 'a priori') definisi hakiki (esen­sial) ini biasanya dapat dicapal.
(b)  Definisi gambaran (lukisan).  Definisi ini menggunakan ciri­ciri khas sesuatu yang akan didefinisikan.  Ciri-ciri khas ada­lah ciri-ciri yang selalu dan tetap terdapat pada setiap ben­da yang tertentu.  Misalnya, semua burung gagak itu hitam.  Artinya, dengan mengumpulkan jumlah ciri khas itu, da­patlah dibedakan golongan (species) yang satu dari golong­an (species) lainnya. Di satu plhak definisi ini tidak sesempurna definisi hakiki.  Tetapi di lain pihak definisi tersebut cukup sempurna untuk membedakan sesuatu dari sesuatu lainnya.  Definisi ini lazim dipakai dalam ilmu-ilmu'a posteriori', seperti ilmu alam, il­mu hayat dan ilmu kimia.
(c)    Definisi yang menunjukkan maksud-tujuannya sesuatu.  Mi­salnya, arloji adalah suatu alat untuk menunjukkan waktu, yang disusun sedemikian rupa hingga dapat dimasukkan da­lam saku atziu dlikat di lengan.  Definisi ini umumnya dipa­kai untuk alat-alat teknik dan dapat mendekati definisi ha­kiki.
(d)  Sering kali definisi diadakan hanya dengan menunjukkan sebab-musabab sesuatu.  Misalnya, gerhana bulan terjadi karena bumi berada di antara bulan dan matahari.
            Ada beberapa peraturan yang perlu ditepati untuk suatu definisi antara lain:
(a)  Definisi harus dapat dibolak-balikkan dengan hal yang didefinisikan.  Artinya, luas keduanya haruslah sama.  Misalnya, 'hewan yang berakal budi harus dapat dibolak-balikkan dengan 'manusia'.
(b)  Definisi tidak boleh negatif, kalau dapat d'rumuskan secara positif.  Misalnya, logika bukanlah suatu pengetahuan ten­tang barang-barang purbakala.
(c)  Apa yang didefinisikan tidak boleh masuk ke dalam definisi.  Kalau hal itu terjadi, kita jatuh dalam bahaya yang disebut circulus in definiendo'.  Artinya, sesudah berputar-putar be­berapa lamanya, akhirnya kita dibawa kembali ke titik pangkal oleh definisi itu.  Kita tidak maju sedikit pun.  Misal­nya, logika adalah pengetahuan yang menerangkan hukum logika; hidup adalah jumlah fungsi vital.
(d)  Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bahasa yang kabur, kiasan atau mendua arti.  Kalau hal itu terjadi, definisi itu tidak mencapai tujuannya.  Orang mendefinisikan sesuatu yang tidak diketahui dengan pertolongan sesuatu yang lebih tidak diketahui lagi (ignotum per ignotius).

3.2 Penggolongan/ Pembagian/Klasifikasi
Ada pengarang yang lebih suka menggunakan istilah 'pembagian', ada juga yang lebih suka menggunakan istilah 'penggolongan' untuk pokok yang mau dibicarakan sekarang.  Di sini kedua istilah itu digu­nakan.  Keduanya sebenarnya menunjukkan hal yang satu dan sama saja. Yang dimaksudkan dengan pembagian (penggolongan) ialah suatu kegiatan akal budi yang tertentu.  Dalam kegiatan itu akal budi meng­uraikan, 'membagi', 'menggolongkan' dan menyusun pengertian-pe­ngertian dan barang-barang yang tertentu.  Penguraian dan penyu­sunan itu diadakan menurut kesamaan dan perbedaannya.
Dalam proses pemikiran dan ilmu pengetahuan, pembagian (penggo­longan) ini memegang peranan yang sangat penting.  Sebab, tidak mudah mengupas suatu masalah tanpa dapat menangkap bagian-ba­giannya. juga tidak mudah menghadapi suatu persoalan tanpa meng­uraikan unsur-unsur yang menyusunnya.  Demikian juga dalam setiap ilmu pengetahuan.  Karena itu perlulah orang menguasai ketrampilan untuk menemukan pembagian (penggolongan) itu.  Untuk membaca suatu buku dengan berhasil, misalnya, perlulah orang menemukan pembagian itu dan menyusun jalan pikiran yang terkandung di da­lamnya dalam suatu bagan atau skema.  Kalau tidak, hampir musta­hillah ia mempelajari serta menguasainya secara berhasil dan me­muaskan.
Ada bermacam-macam cara untuk mengadakan pembagian (penggolongan) itu.  Bagaimanapun juga setiap cara mempunyai kele ­bihan dan kekurangannya, kekuatan dan kelemahannya.  Karena itu baiklah diberikan beberapa aturan yang perlu ditepati sehubungan dengan pembagian (penggolongan) itu.
(a)   Pembagian (penggolongan) itu harus lengkap.  Artinya, ka­lau kita membagi-bagikan suatu hal, maka bagian-bagian yang diperincikan harus mencakup semua bagiannya.  Bagi­an-bagian itu tidak hanya mencakup beberapa bagiannya saja.  Maka kalau bagian-bagian itu dijumlah, hasilnya tidak kurang dan tidak lebih dari kesatuan yang dibagi-bagikan tadi. Pembagian (penggolongan) itu juga harus cukup terperinci.  Kalau demikian, pembagian (penggolongan) itu dapat me­nampung segala kemungkinan.
(b)   Pembagian (penggolongan) itu harus sungguh-sungguh me­misahkan.  Artinya, bagian yang satu tidak boleh memuat bagian yang lain.  Tidak boleh terjadi adanya tumpang tin­dih antara bagian yang satu dengan bagian lainnya. Karena itu, sebaiknya antara bagian-bagian yang mau diperincikan itu terdapat suatu 'perlawanan'.  Dengan demikian kelom­pok yang satu dapat dibedakan dengan jelas dari kelompok yang lain.
(c)    Pembagian (penggolongan) itu harus menggunakan dasar, prinsip yang sama.  Artinya, dalam satu pembagian (peng­golongan) yang sama tidak boleh digunakan dua atau lebih dari dua dasar, prinsip sekaligus.  Mengg-unakan dua dasar atau lebih dalam satu pembagian (penggolongan), hanyalah menunjukkan tidak adanya sikap yang konsekuen dalam cara bekerja saja.
(d)  Pembagian (penggolongan) itu harus sesuai dengan tujuan yang mau dicapai.

3.3 Penyimpulan
3.3.1 Haikat Penyimpulan
Penyimpulan adalah suatu kegiatan tertentu yang dilakuakn manusia.  Da­lam dan dengan kegiatan itu ia bergerak menuju ke pengetahuan yang baru, dari pengetahuan yang telah dimilikinya dan berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya itu.
  • disebut 'kegiatan manusia', karena mencakup seluruh diri manu­sia, meskipun akal budinya yang memegang tampuk pimpinan;
  • dengan kata 'bergerak' mau dinyatakan perkembangan pikiran manusia;
  • ke pengetahuan yang baru 'menunjukkan tujuan yang mau dicapai dalam pemikiran.

Pengetahuan yang baru itu juga disebut kesimpulan atau consequens.  Hal ini juga menyatakan adanya sesuatu ke­majuan.  Kemajuan itu terletak dalam hal ini: pengetahuan yang baru sudah terkandung dalam pengetahuan yang lama, tetapi belum dimengerti dengan jelas.  Dalam pengetahuan yang baru itulah dime­ngerti dengan baik dasar serta sebabnya suatu kesimpulan ditarik; 'dari pengetahuan yang telah dimiliki menunjukkan titik pang­kal serta dorongan untuk maju.  Dalam logika hal ini disebut antece­dens (yang mendahului) atau praemissae (premis, titik pangkal); 'berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya itu menunjuk­kan bahwa antara pengetahuan yang baru dan pengetahuan yang lama ada hubungan yang bukan kebetulan.  Hubungan ini disebut konsekuensi (consequential atau hubungan penyimpulan)
Baik antecedens maupun consequens selalu terdiri atas keputus­an. Keputusan pada gilirannya terdiri atas term-term.  Baik keputus­an-keputusan maupun term-term merupakan materi penyimpulan.  Sedangkan hubungan penyimpulan (konsekuensi) merupakan forma penyimpulan itu.
Kesimpulan bisa lurus, bisa tidak lurus atau palsu.  Kesimpulan itu lurus, apabila harus dan dapat ditarik dari antecedensnya.  Kesimpulan itu tidak lurus atau palsu, apablia tidak dapat atau tidak boleh ditarik dari padanya.

3.3.2 Macam-macam penyimpulan
3.3.2.1. Dari sudut bagaimana terjadinya, kita menemukan:
·         penyimpulan yang langsung (secara intuitif). Dalam penyimpulan ini tidak diperlukan pembuktian-pem­buktian.  Secara langsung disimpulkan bahwa subjek (S) = predikat (P). Hal ini terjadi pada azas-azas pemikiran, pembalikan dan perlawanan, ekuivalensi (mi­sainya: tidak semua orang kurus = beberapa orang kurus) dan keputusan-keputusan langsung (misalnya: ini hijau, Budi pintar dsb.).
·         penyimpulan yang tidak langsung. Penyimpulan ini diperoleh dengan menggunakan term an­tara (M).  Dengan term antara diberikan alasan mengapa subjek (S) = predikat (P) atau subjek (S) # Predikat (P).

3.3.2.2  juga dapat dilihat dari sudut isi (benar) dan bentuk (lurus)nya. Kesimpulan pasti benar:
·         apabila premisnya benar dan tepat.  Hal ini adalah sudut material penylmpulan.
·         apabila jalan pikirannya lurus.  Artinya, hubungan antara premis dan kesimpulannya haruslah lurus.  Dan inilah sudut formal suatu penyjmpulan.

3.3.2.3. Sehubungan dengan ini baiklah diberikan hukum-hukum yang berlaku untuk segala macam penyimpulan.  Beginilah bunyinya:
·         Jika premis-premis benar, maka kesimpulan juga benar;
·         Jika premis-premis salah, maka kesimpulan dapat salah, tetapi dapat juga kebetulan benar;
·         Jika kesimpulan salah, maka premis-premis juga salah;
·         jlka kesimpulan benar, maka premis-premis dapat benar, tetapi dapat  juga salah.
Dengan ini mau dikatakan bahwa:
  • Jika premis-premis benar, tetapi kesimpulan salah, maka ja­Ian pikirannya (bentuknya) tidak lurus;
  • Jika jalan pikirannya (bentuknya) memang lurus, tetapi ke­simpulannya tidak benar, maka premis-premisnya salah.
  • Dari salahnya kesimpulan dapat dibuktikan salahnya pre­mis-premis.

3.3.2.4 Ketika perlawanan subaltern dibicarakan, kata 'Induksl' dan 'de­duksi' sudah disinggung sebentar.  Sekarang kedua kata itu mau diuraikan sedikit lebih khusus.
  • Induksi adalah suatu proses yang tertentu.  Dalam proses itu akal budi kita menylmpulkan pengetahuan yang 'umum' atau universal dari pengetahuan yang 'khusus' atau particular. (Ingatlah akan per­bedaan antara keputusan, universal dan keputusan 'umum').  Dengan induksi kita mengangkat barang atau hal yang individual yang tertentu, ke tingkat yang universal.  Kita memperoleh pengertian yang umum tentang barang, hal, kejadian yang konkret serta indivi­dual.  Hal ini terjadi dengan 'abstraksi'.  yang terjadi dalam abstraksi ialah: dengan melepaskan sifat-sifat yang konkret, kita menentukan inti, hakikat sesuatu.  Inilah dasar induksi sebagaimana digunakan dalam ilmupengetahuan.
  • Deduksi, sebaliknya,juga merupakan suatu proses tertentu.  Dalam proses itu akal budi kita menyimpulkan pengetahuan yang lebih 'khusus' dari pengetahuan yang lebih 'umum'.  yang lebih khusus itu sudah termuat secara implisit dalam pengetahuan yang lebih umum.
  • Induksi dan deduksi selalu berdampingan.  Keduanya selalu ber­sama-sama dan saling memuat.  Induksi tidak dapat ada tanpa deduk­si. Deduksi selalu dijiwai oleh induksi.  Dalam proses memperoleh ilmu pengetahuan, induksi biasanya mendahului deduksi.  Sedangkan dalam logika biasanya deduksilah yang terutama dibicarakan lebih dahulu.  Deduksi dipandang lebih penting untuk latihan dan perkem­bangan pikiran.

Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan).
Silogisme terdiri dari ; Silogisme Katagorik, Silogisme Hipotetik dan Silogisme Disyungtif.
a. Silogisme Katagorik
Silogisme Katagorik adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan katagorik. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan dengan premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan diantara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term).
Contoh :
Semua Tanaman membutuhkan air (premis mayor)
...................M.................P
Akasia adalah Tanaman (premis minor)
....S..........................M
Akasia membutuhkan air (konklusi)
....S.................P
(S = Subjek, P = Predikat, dan M = Middle term)

- Hukum-hukum Silogisme Katagorik
Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus parti¬kular juga, seperti:
Semua yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian makanan tidak menyehatkan,
Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan tidak boleh: Semua makanan tidak halal
dimakan).
Apabila salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif juga, seperti:

Semua korupsi tidak disenangi.
Sebagian pejabat adalah korupsi, jadi
Sebagian pejabat tidak disenangi.
(Kesimpulan tidak boleh: Sebagian pejabat disenangi)

Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah diambil kesimpulan.
Beberapa politikus tidak jujur.
Banyak cendekiawan adalah politikus, jadi:
Banyak cendekiawan tidak jujur.
Jadi: Beberapa pedagang adalah kikir. Kesimpulan yang diturunkan

dari premis partikular tidak pernah menghasilkan kebenaran yang pasti, oleh karena itu kesimpulan seperti:
Sebagian besar pelaut dapat menganyam tali secara bai
Hasan adalah pelaut, jadi:
Kemungkinan besar Hasan dapat menganyam tali secara baik
adalah tidak sah.
Sembilan puluh persen pedagang pasar Johar juju Kumar adalah pedagang pasar Johar, jadi: Sembilan puluh persen Kumar adalah jujur
1) Dari dua premis yang sama-sama negatit, lidak men kesimpulan apa pun, karena tidak ada mata rantai ya hubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpul diambil bila sedikitnya salah satu premisnya positif. Kesimpulan yang ditarik dari dua premis negatif adalah tidak sah.
Kerbau bukan bunga mawar.
Kucing bukan bunga mawar.
..... (Tidak ada kesimpulan) Tidak satu pun drama yang baik mudah dipertunjukk Tidak satu pun drama Shakespeare mudah dipertunju Jadi: Semua drama Shakespeare adalah baik. (Kesimpulan tidak sah)
2) Paling tidak salah satu dari term penengah haru: (mencakup). Dari dua premis yang term penengahnya tidak ten menghasilkan kesimpulan yang salah, seperti:
Semua ikan berdarah dingin.
Binatang ini berdarah dingin
Jadi: Binatang ini adalah ikan.
(Padahal bisa juga binatang melata)

3) Term-predikat dalam kesimpulan harus konsisten dengan term redikat yang ada pada premisnya. Bila tidak, kesimpulan lenjadi salah, seperti
Kerbau adalah binatang.
Kambing bukan kerbau.
Jadi: Kambing bukan binatang.
('Binatang' pada konklusi merupakan term negatif sedang-
kan pada premis adalah positif)

4) Term penengah harus bermakna sama, baik dalam premis layor maupun premis minor. Bila term penengah bermakna mda kesimpulan menjadi lain, seperti:

Bulan itu bersinar di langit.
Januari adalah bulan.
Jadi: Januari bersinar di langit.
(Bulan pada premis minor adalah nama dari ukuran waktu
yang panjangnya 31 hari, sedangkan pada premis mayor
berarti planet yang mengelilingi bumi).
5) Silogisme harus terdiri tiga term, yaitu term subjek, preidkat, dan term menengah ( middle term ), begitu juga jika terdiri dari dua atau lebih dari tiga term tidak bisa diturunkan komklsinya.
- Absah dan Benar
Dalam membicarakan silogisme mengenal dua istilah yaitu absah dan benar.
Absah (valid) berkaitan dengan prosedur penyimpi apakah pengambilan konklusi sesuai dengan patokan atau tidak. Dikatakan valid apabila sesuai dengan patokan di atas dan dan tidak valid bila sebaliknya.
Benar berkaitan dengan proposisi dalam silogisme itu, 2 didukung atau sesuai dengan fakta atau tidak. Bila sesuai fakta, proposisi itu benar, bila tidak ia salah.
Keabsahan dan kebenaran dalam silogisme merupakan satuan yang tidak bisa dipisahkan, untuk mendapatkan yang sah dan benar. Hanya konklusi dari premis yang benar prosedur yang sah konklusi itu dapat diakui. Mengapa demikian Karena bisa terjadi: dari premis salah dan prosedur valid menghasilkan konklusi yang benar, demikian juga dari premis salah dan prosedur invalid dihasilkan konklusi benar.
Variasi-variasinya adalah sebagai berikut:

1. Prosedur valid, premis salah dan konklusi benar.
Semua yang baik itu haram. (salah)
Semua yang memabukkan itu baik. (salah)
Jadi: Semua yang memabukkan itu haram. (benar)

2. Prosedur invalid (tak sah) premis benar konklusi salah
Plato adalah filosof. (benar)
Aristoteles bukan Plato. (benar)
Jadi: Aristoteles bukan filosof (salah)

3. Prosedur invalid, premis salah konklusi benar.
Sebagian politikus adalah tetumbuhan. (salah)
Sebagian manusia adalah tetumbuhan. (salah)
Jadi: Sebagian manusia adalah politikus (benar)

4. Prosedur valid premis salah dan konklusi salah.
Semua yang keras tidak berguna. (salah)
Adonan roti adalah keras. (salah)
Jadi: Adonan roti tidak berguna (salah)

b. Silogisme Hipotetik
Silogisme Hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik.
Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotetik:

1. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.

2. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.

3. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka
kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa,
Jadi kegelisahan tidak akan timbul.

4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah.
Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.

Hukum-hukum Silogisme Hipotetik
Mengambil konklusi dari silogisme hipotetik jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting di sini dalah menentukan 'kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.
Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen .engan B, jadwal hukum silogisme hipotetik adalah:
1) Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2) Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3) Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana.
Kebenaran hukum di atas menjadi jelas dengan penyelidikan
berikut:

Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan membubung tinggi.( benar = terlaksana)
Benar karena mempunyai hubungan yang diakui kebenarannya
Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan tidak membubung tinggi (tidak sah = salah)
Tidak sah karena kenaikan harga bahan makanan bisa disebabkan oleh sebab atau faktor lain.
c. Silogisme Disyungtif
Silogisme Disyungtif adalah silogisme yang premis mayornya keputusan disyungtif sedangkan premis minornya kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.
Seperti pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara analog bukan yang semestinya.
Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti
sempit dan silogisme disyungtif dalam arti luas. Silogisme disyungtif
dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif kontradiktif,
seperti:
la lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus, jadi
la bukan tidak lulus.

Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:

Hasan di rumah atau di pasar.
Ternyata tidak di rumah.
Jadi di pasar.

Silogisme disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe yaitu:
1) Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain, seperti:

la berada di luar atau di dalam.
Ternyata tidak berada di luar.
Jadi ia berada di dalam.
Ia berada di luar atau di dalam.
temyata tidak berada di dalam.
Jadi ia berada di luar.

2) Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari alternatif yang lain, seperti:

Budi di masjid atau di sekolah.
la berada di masjid.
Jadi ia tidak berada di sekolah.
Budi di masjid atau di sekolah.
la berada di sekolah.
Jadi ia tidak berada di masjid.

Hukum-hukum Silogisme Disyungtif

1. Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid, seperti :
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata berbaju putih.
Jadi ia bukan tidak berbaju putih.
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata ia tidak berbaju putih.
Jadi ia berbaju non-putih.

2. Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran koi adalah sebagai berikut:
a. Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar), seperti:
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah guru.
Jadi bukan pelaut
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah pelaut.
Jadi bukan guru
b. Bila premis minor mengingkari salah satu a konklusinya tidak sah (salah), seperti:
Penjahat itu lari ke Solo atau ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Jadi ia lari ke Solo. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).
Budi menjadi guru atau pelaut.
Ternyata ia bukan pelaut.
Jadi ia guru. (Bisa j'adi ia seorang pedagang).

2.3. Generalisasi
Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum yang mengikat selutuh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki.

Macam-macam Generalisasi :
(1) Generalisasi sempurna adalah generalisasi di mana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Misalnya setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun Masehi kemudian disimpulkan bahwa:
Semua bulan Masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31.
Dalam penyim¬pulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita tinggalkan.
Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan amat kuat
dan tidak dapat diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan
tidak ekonomis.
(2) Generalisasi tidak sempurna yaitu generalisasi berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Misalnya setelah kita menyelidiki sebagian bangsa Indonesia bahwa mereka adalah manusia yang suka bergotong-royong, kemu¬dian kita simpulkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah generalisasi tidak sempurna.




ETIKA: FILSAFAT BERLAKU BAIK

1. Persoalan Filosofisnya
Manusia merupakan makhluk yang bersifat impulsif, refleksif, pengguna simbol, dan menyalurkan rasa puas dan rasa kecewanya melalui agen. Manusia dalam penyaluran perasaannya itu cenderung menyesuaikan dan mengakomodasikan dirinya dengan pola-pola kehidupan, nilai, dan kebiasaan manusia lain di dalam masyarakat (Solatun, 2004:50).
Penyesuaian terhadap kebiasaan orang lain dalam konteks politik, acapkali dikonotasikan sebagai diwarnai dengan pertarungan antar kekuatan kepentingan dan praktik menghalalkan segala cara. Praksis di bidang politik yang demikian itu, namun demikian masih menyisakan adanya kerinduan akan keteraturan dan kedamaian hidup sehingga manusia tersadar akan pentingnyan legitimasi dan persetujuan masyarakat atas tindakan sosial yang melambangkan pembenaran normatif -secara moral, agama, dan kebiasaan- (Haryatmoko, 2003:1). Proposal Rene Descartes tentang ilmu tingkah laku, prinsip-prinsip etika John Locke, dan juga penegasan David Hume menunjuk pada bahwa: Ada kepatutan dan ketidakpatutan eternal sesuatu, yang disadarai (dirasakan dan dipikirkan) oleh setiap makhluk rasional, bahwa ukuran (tuntunan:penulis) yang kekal abadi tentang benar dan salah menjadi kewajiban bagi semua ummat manusia, … bahwa moralitas, seperti halnya kebenaran, tampak jelas oleh ide-ide (pikiran manusia: penulis), dan dengan pemaparan dan pembandingan oleh ide-ide itu. …
Pikiran menilai salah satu persoalan apakah fakta atau relasi. Perhatikanlah, misalnya, sebuah penilaian moral yang mengutuk perilaku tidak tahu berterima kasih sebagai sebuah kejahatan. “Mana faktanya yang kita sebut sebagai kejahatan di dalam hal ini?” Faktanya adalah bahwa kebaikan yang dilakukan di satu pihak dan dibalas dengan keburukan di pihak lain (Jones, 1969:337) . Descartes, Locke, dan Hume dengan pernyataannya tersebut di atas hendak mengemukakan bahwa etika atau budi pekerti yang baik yang berkenaan dengan pentingnya mempertimbangkan kepatutan di dalam setiap tingkah laku, adalah bahkan wajib di dalam hal-hal yang sangat abstrak. Pengkonstruksian realitas sosial melalui dan menggunakan bahasa merupakan praksis sosiokultural yang bukan saja tidak abstrak tetapi sangat nyata. Etika dengan demikian menjadi melekat pada setiap praksis pengkonstruksian realitas baik melalui atau tanpa media massa.
Permasalahannya adalah bahwa setiap sudut pandang yang dipergunakan orang terhadap segala sesuatu memiliki sudut pandang etikanya sendiri-sendiri. Etika yang dikonstruksikan sekurang-kurangnya mencakup etika dari sudut pandang alamiah, universal, sosiokultural, dan ilmiah atau kritis.

2. Hakikat dan Pengertian
Etika dalam bahasa Yunani, etos artinya kebiasaan, habit atau custom. Maksudnya hampir tidak ada orang yang tidak memiliki kebiasaan baik atau buruk. Oleh karena itu istilah etis dan tidak etis dinilai kurang tepat. Adapun istilah yang lebih tepat adalah etika baik dan etika jahat.
Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku seseorang dari sudut baik dan jahat. Semua perilaku mempunyai nilai, jadi tidak benar suatu perilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepatnya adalah perilaku beretika baik atau perilaku beretika tidak baik, sejalan dengan perkembangan penggunaan bahasa yang berlaku sekarang. Istilah etis dan tidak etis, tidak baik untuk hal yang sama. Demikian juga etis baik dan baik dan etis tidak baik. Dalam hal perilaku digunakan istilah baik dan jahat untuk etika karena perbuatan manusia yang tidak baik berarti merusak sedangkan perbuatan yang baik berarti membangun.

3.  Pengelompokan Etika

3.1 Etika Filosofis
Etika Filoofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat etika lahir dari filsafat. Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat] Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:
       Non-empiris Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empirin. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
       Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.

3. 2  Etika Teologis           
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam konteks masyarakat religious/ beragama misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Tuhan, Realitas Tertinggi, Allah,  Yang Ilahi serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika teologis disebut juga oleh  Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika teologis agama-agama memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.

3.3. Etika Alamiah
Menunjukkan fakta tentang sesuatu dan mengevaluasinya telah dikenal secara luas sebagai dua hal berbeda yang saling berhadapan. Telah terbukti bahwa agar seseorang dapat melakukan sutau pekerjaan yang berikutnya (katakanlah tahap kedua:penulis) dengan baik, maka seseorang itu harus terlebih dahulu mengerjakan pekerjaan yang mendahuluinya (katakanlah pekerjaan tahap pertama: penulis). Jika seseorang melakukan evaluasi tidak berdasarkan pengetahuan yang kokoh tentang fakta-fakta yang ada, maka ia akan melakukannya dengan tidak benar atau salah. Seseorang harus megetahui seluruh fakta yang relevan sebelum ia melakukan penilaian moral (yang berkenaan dengan fakta-fakta itu: penulis). Dari sini tampak jelas bahwa membangun serta menunjukkan fakta-fakta dan membuat penilaian moral terhadap fakta-fakta itu merupakan dua pekerjaan yang berbeda sama sekali (Edwards, 1972:69).
Para filosof utilitarian seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, Herbert Spencer dan bahkan juga John Dewey dalam hal ini memandang bahwa suatu tindakan itu dapat dinilai etis atau tidak etis berdasarkan seberapa besar tindakan itu mendatangkan suatu kemanfaatan alamiah seperti kesenangan, kepuasan, dan kebaikan masyarakat.
Media massa Amerika Serikat misalnya, memandang bahwa salah asuh terhadap anak sebagai akibat dari anak-anak dibesarkan di dalam keluarga yang kedua atau salah satu orangtuanya pecandu alkohol adalah tidak etis. Terence Oliver namun demikian, memandang bahwa tidak perlu (baca:tidak etis) jika kemudian wartawan menghabiskan berbulan-bulan untuk mempublikasikannya, karena yang menjadi persoalan prioritas adalah seberapa besar kekuatan kita untuk mengentaskannya. Beda pendapat antara para wartawan dengan Oliver semata-mata merupakan implikasi dari cara pandang etika naturalistik masing-masing.
Paparan di dalam journal tersebut mengingatkan kita tentang perdebatan etika berkenaan dengan peliputan kasus kecelakaan Diana Spencer (Putri Inggeris) oleh wartawan foto yang mengejar dan merekam kejadian itu. Perdebatan terfokus pada isu “menolong orang yang kecelakaan dahulu atau merekamnya untuk keperluan tugas jurnalistiknya?”

3.4. Etika Objektif
Pengertian kata atau istilah objektif, sebagaimana istilah subjektif itu samar dan jauh dari kejelasan. Istilah etika objektif, namun demikian kita gunakan dengan maksud untuk menunjuk setiap kalimat etika yang dikemukakan secara bebas tidak dimuati suatu kepentingan apapun dari orang yang mengemukakannya (Edwards, 1972:70).
Objektivisme-subjektivisme. Kedua istilah tersebut telah diperguanakan secara samar-samar, membingunkan, dan dalam pengertian yang jauh berbeda dari apa yang kita pikirkan. Kita mengemukakan penggunaan yang pas, dikarenakan menurut suatu teori yang disebut subjektifis jika dan hanya jika, beberapa pernyataan etik menyatakan atau menunjukkan bahwa seseorang dalam suatu kondisi tertentu hendak bersikap khusus yang tertentu terhadap sesuatu itu. Sebuah teori dapat dikatakan sebagai objektifis jika tidak mengikutsertakan hal ini (Brandt, 1959:153).
Rentang antara subjektivisme dan ojektivisme, misalnya dapat kita lihat melalui contoh berikut ini:
Katakanlah kita secara sukarela menolong mengantar nenek kita dengan mengendarai mobil ke rumah yang berada di pojok lain kota yang sama dengan tempat kita tinggal. Di tengah jalan kita mengendarai mobil dengan sangat baik, namun tiba-tiba seorang yang mengendarai mobil lain dalam keadaan mabuk menabrak mobil yang kita kendarai. Hasilnya, nenek kita terjepit dan kakinya patah serta harus dioperasi di rumah sakit. Patutkah jika kita mengatakan bahwa itu semua karena salah kita, atau orang lain mengatakan demikian?(Hospers, 1982:142).
Siapapun yang menyatakan bahwa kita yang bersalah berarti menyatakan sesuatu secara subjektif; sebaliknya pernyataan yang paling patut tetapi objektif adalah jika berbunyi:” kecelakaan itu terjadi sebagai akibat dari pengemudi mabuk yang menabrak mobil kita”. Sekiranya kita hendak menunjukkan rasa dan kebesaran jiwa kita sehingga kita menyatakan bahwa itu semua salah kita, maka kita telah menunjukkan sikap yang patut menurut budaya kita (Indonesia) tetapi bersifat subjektif.

3.5 Etika Universal
Dua gejala umum kita kenali di dalam masyarakat yaitu pertama, bentuk-bentuk pranata sosiokultural tertentu terdapat di dalam setiap masyarakat manusia seperti : keluarga berkewajiban mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Kedua, adanya kesamaan prinsip-prinsip dasar dari sistem nilai kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda ( Brandt, 1959:286). Profesor Kluckhohn, misalnya mengemukakan bahwa:
Setiap budaya memiliki konsep tentang pembunuhan, membedakannya dari hukuman mati, pembunuhan di dalam peperangan, dan berbeda dari jenis pembunuhan lainnya. Pandangan tentang perzinaan dan pengaturan hubungan seksual lainnya, dan larangan dusta di dalam situasi yang tertentu, tentang gantirugi dan imbal balik, dan hak dan kewajiban antara anak dan orangtua, kesemua konsep-konsep moral tersebut bersifat universal .
Brandt dengan pernyataan dan kutipannya Dari Kluckhohn tersebut hendak mengemukakan bahwa konsep-konsep moral yang bersifat universal itu menunjukkan adanya etika yang juga bersifat universal. Hal ini dimungkinkan oleh karena manusia merupakan homo ethicus dalam arti makhluk yang cenderung bertatakrama (Solatun, 2004:52). Richard B. Brandt secara lebih rinci memaparkan tentang gejala universal tersebut bahwa,
(a)       Semua manusia, setidaknya ketika mereka tidak dihadapkan pada tekanan-tekanan yang tidak biasa (luar biasa), adalah dalam kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar etika. Pengertiannya adalah bahwa, peesoalan-peersoalan etika dapat diatur secara rasional ; dalam hal ini ketidak sepakatan mengenai etika tidak bersumber dari ketidak sepakatan mengenai prinsip-prisip dasar etika itu sendiri, kita harus beranjak dari kesalahpahaman tentang fakta-fakta non-etika. Dengan demikian, jika kita dapat sampai pada kesepakatan mengenai fakta-faktanon etika melalui pemabahasan dengan metoda ilmiah, maka kita aka memeproleh kesepakatan bulat tentang etika.
(b)      Premis antropologis yang mengemukakan bahwa ada banyak variasi (ragam-macam) keyakinan tentang tingkah laku yang benar dan salah, dalam masyarkat yang berbeda, telah difahamkan bahwa tingkah laku benar atau salah tidak akan menjadi pengetahuan intuitif.
(c)       Banyak anggapan sebagai premis yang dirumuskan dari antropologi bahwa, lebih banyak perbedaan pendapat mengenai etika jika dibandingkan dengan perbedaan pendapat mengenai fakta-fakta non-etika. Berdasarkan pandangan ini, dikemukakan sebgai dasar pikiran bahwa pandangan-pandangan mengenai etika pada hakikatnya lebih menyangkut persoalan-persoalan tingkah laku emosional…..
(d)      Orang-orang, paling tidak ketika mereka dalam keadaan serius, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai etika dengan suatu cara yang umum (seragam) dan menyampaikan hanya satu macam alasan (atau pandang baku) di dalam mempertahankan pranata atau standard etika. Mereka kemudian menganggap bahwa cara mengemukkan pertanyaan pertanyaan mengenai etika ini adalah satu-satunya yang dapat diterima dan benar, atau sesekali dikemukakan bahwa dengan demikian, istilah-istilah etika harus dipandang sebagai suatu yang dapat didefinisikan secara tepat dengan suatu cara, dengan mana jenis standard mengenai alasan yang disampaikan benar-benar merupakan suatu alasan yang konklusif bagi pernyataan mengenai etika yang dikemukakan.
(e)       Terkadang diyakini bahwa ilmu sosial dapat memberitahu kita bahwasanya kegunaan sisitem moral, nurani dan pembahasan mengenai etika semata-mata sebagai sebuah cara informal kontrol sosial atau untuk menyediakan aturan guna menengahi konflik-konflik kepentingan. Dengan demikian diperoleh tafsiran bahwa norma etika itu benar jika dan hanya jika kesemuannya itu sesuai atau cocok untuk keperluan mencapai tujuan trsebut (Brandt, 1959:86-87).
Terciptanya perdamaian, kesenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan merupakan tujuan manusia yang bersifat universal. Oleh karenanya pada setiap komunitas manusia juga dengan sendirinya terdapat standard tentang baik-buruk, patut –tidak patut yang berlaku universal yang dapat menjadi kerangka standard etika universal.

3.6 Etika Sosiokultural
Setiap komunikasi insani, hampir dapat dipastikan merupakan komunikasi antar budaya. Hal ini dikarenakan setiap ada dua orang manusia atau lebih selalu memiliki perbedaan budayanya masing-masing meski hanya dalam derajat yang sangat kecil (Deddy Mulayan & Jalaluddin Rakhmatc –editor-,1996:vi).
Pendekatan nilai dalam komunikasi beranggapan bahwa pola-pola komunikasi akan berbeda antara satu penganut nilai budaya dengan lainnya, sebagaimana anggota masing-masing entitas budaya juga berorientasi nilai-nilai dasar kultural yang berbeda . Konstruksi realitas sosial tertentu dan makna yang direpresentasikan dengannya akan sangat bergantung pada konteks kultural, tata makna kultural, dan sistem nilai kultural dasar dari entitas budaya mana pengkonstruksi berasal (Gudykunst, 1983:54). Muatan etika yang melekat di dalam konstruksi tersebut oleh karenanya juga akan sangat bergantung pada sistem budaya pengkonstruksinya. Standard kepatutan di dalam setiap transaksi komunikatif, oleh karenanya akan berragam menurut ragam budaya yang melatarbelakangi komunikator yang terlibat, termasuk pengkonstruksi realitas sosial politik melalui wacana tertulis di dalam opini media massa cetak.

3.7 Etika Ilmiah atau Etika Kritis
Kritikisme etik dan etika kritkisme merupakan subjek perhatian yang sangat penting di dalam kajian kritis terhadap setiap fenomena komunikatif. Kritikisme etika dalam konteks ini ditujukan pada segi-segi moral dari segala sesuatu yang terjadi dan terdapat di dalam teks dan dampak yang mungkin timbul dari teks itu. (Dalam hal ini:penulis) telah terjadi perdebatan seru tentang bagaimana etika memproduksi teks dan peranan yang hendaknya dimainkan oleh etika di dalam kehidupan dunia seni dan media (Berger, 1998:195).
Standard validitas (keabsahan) etika dari suatu pernyataan kritis tentang produksi teks dan dampak yang ditimbulkan daripadanya didasarkan pada prinsip-prinsip metodologi keilmuan. Rumusan metodologis hasil dari proses ini oleh karenanya juga disebut sebagai rumusan etika kritis atau etika ilmiah yang termasuk ke dalam wilayah pembahasan metaetika atau metaethics (Solatun, 2004:62)
Pengujian (dapat dibaca:penilaian) dengan mempergunakan kerangka metodologis ini lebih ditujukan pada kerangka penilaiannya dan bukan pada objek yang dinilainya. Langkah seperti ini menjadi penting sehubungan dengan kita memerlukan penjelasan tentang derajat kepatutan kerangka pemikiran dibalik produksi pernyataan tekstual. Dua segi yang paling penting untuk diuji dengan menggunakan kerangka metodologis seperti ini adalah konsistensi dan generalitas dari struktur (kerangka) pikir yang melatarbelakangi diproduksinya suatu pernyataan tekstual –dan juga yang non-tekstual- (Solatun, 2004:63)

4. Konsep Metaetika dan Etika Deskriptif
Ilmu filsafat merupakan akar dari segala ilmu karena di dalam ilmu filsafat seseorang di tuntun untuk selalu berpikir kritis dan tanggap serta selalu merasa berkewajiban untuk mengamati, mempelajari, dan menganalisis serta menyimpulkan berbagai fenomena yang terjadi di dalam kehidupan. Baik itu fenomena kehidupan manusia dengan lingkungan. Dari proses- proses tersebutlah lahirlah berbagai filsafat-filsafat ilmu yang pada akhirnya mendorong timbulnya ilmu pengetahuan baik itu berupa konsep atau teori maupun yang lansung di aplikasikan dalam kehidupan nyata. Dan memang sudah sepantasnya kita sebagai manusia yang mempunyai akal yang rasional termotivasi untuk mempelajari berbagai masalah yang ada di sekitar lingkungan kita berada.
Objek dari berbagai ilmu pengetahuan adalah manusia itu sendiri sehingga dalam bertindak atau melakukan sesuatu seseorang memiliki batasan-batasan yang berasal dari diri sendiri maupun yang terbentuk berdasarkan lingkungan budaya di mana individu tersebut berada. Baik secara langsung maupun tidak langsung tanpa mempedulikan aspek altruistik ataupun materialistik seseorang. Dari interaksi antar individu dalam kehidupan sosial tersebut dengan sendirinya akan lahirlah etika yang akan menjadi cerminan moral bagi individu ataupun masyarakat. Dalam konteks ini muncul konsep Mataetika dan Etika Deskriptif
Metaetika merupakan hasil kajian dari etika deskriptif dengan etika normatif, menjelaskan tentang ciri-ciri serta istilah yang berkaitan dengan dengan tindakan bermoral atau sebaliknya seperti kebaikan, kejahatan, tanggung jawab dan kewajiban. Penjelasan lain menyatakan metaetika mempertanyakan makna yang di kandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola:2007).  Metaetika merupakan suatu bentuk analitik yang berkaitan dengan menganalisis semua peraturan yang berkaitan dengan tingkah laku baik dan jahat. Kritikal yang berkaitan dengan mengkritik terhadapa apa-apa yang telah di analisis. Metaetika mengkaji asal prinsip-prinsip etika dan penggunaannya. Pertanyaannya adalah: Adakah prinsip-prinsip etika merupakan suatu rekaan sosial? Adakah prinsip-prinsip etika sosial ini merupakan gambaran daripada emosi individu? Metaetikalah yang akan menjawab semua persoalaan ini yang memfokuskan kebenaran universal, katentuan Tuhan, alasan kepada penilaian etika dan definisi istilah-istilah yang berkaitan dengan etika itu sendiri. 
Etika deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Ia berbicara mengenai kenyataan penghayatan nilai. Tanpa menilai dalam suatu masyarakat tentang sikap orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia bertindak secara etis.  Etika deskriptif pada dasarnya hendak menggambarkan perbuatan dari berbagai tradisi, kebiasaan, dan kebudayaan. Bagaimana tradisi Muslim atau Kristian dalam membicarakan hubungan seksual sebelum menikah, misalnya? Pendekatan etika deskriptif lebih mencari tahu bagaimana berbagai tradisi yang ada menyoal satu permasalahan yang sama. Karena ia tidak pernah menyalahkan suatu kebudayaan yang ada. Etika deskriptif lebih bersifat mengkomparatifkan perbedaan cara masyarakat menjawab pertanyaan moral. 

5. Simpulan
 
Etika memberikan orientasi kepada manusia tentang bagaiman ia menjalani hidupnya melalui rangkain tindakan sehari-hari. Itu berarti etiaka membantu manusia untuk mengambil sikap dan cara berindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Dari berbagi komponen-komponen etika itu sendiri termasuk metaetika dan etika deskriptif pada akhirnya akan membantu kita untuk membuat pilihan, pilihan terhadap nilai yang menjelma dalam sikap dan perilaku yang sangat mewarnai dan menentukan makna hidup kita. Selian itu etika dapat membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan kita lakukan dalam suatu kondisi dan situasi tertentu dalam hidup kita sehari-hari.

***



ESTETIKA: FILSAFAT MERASAKAN KEINDAHAN

1. Pokok Persoalan
Indah dan Keindahan adalah sesuatu yang nikmat menurut panca indera. Itu jawaban George Santayana di buku The Sense of Beauty: Being the Outline of Aesthetic theory, (New York: Dover Publication, 1955). Sesuatu yang nikmat dipandang, didengar, dicium, dikecap, atau diraba, itulah yang indah. Jika salah satu panca indera mencerap kenikmatan dari suatu objek, maka objek tersebut layak diberi atribut yang indah. Di situ, yang indah bersifat inderawi dan erat hubungannya dengan hal-hal ragawi. Jika yang dipersoalkan adalah kecantikan perempuan, misalnya, maka yang cantik adalah yang nikmat secara inderawi. Yang cantik adalah yang enak dilihat mata, beraroma wangi, bersuara merdu, dan berkulit halus.    
Parameter keindahan semacam itu memang mudah untuk disepakati. Tapi jika kenikmatan inderawi dijadikan satu-satunya ukuran keindahan, maka keraguan mencuat. Sebagaimana dimaklumi yang ragawi bersifat sementara. Yang inderawi sering kali menipu. Keindahan yang ragawi dan inderawi, dengan kata lain, tidak abadi dan terkadang tidak jujur. Keindahan yang sementara memudahkan kemunculan rasa bosan. Keindahan yang bohong memuakkan kesadaran. Di situ, keindahan versi inderawi dan ragawi yang diusung antara lain oleh Santayana punya kelemahan.
Untuk apa perempuan bertubuh cantik menurut panca indera namun bodoh? Demikian kurang lebih kritikan untuk parameter kecantikan ragawi-inderawi. Perempuan yang memiliki fisik sempurna tapi tidak dapat berfikir rasional perlu dipersoalkan kecantikannya.  Jacques Maritain, salah seorang yang menekankan keindahan pada sisi rasionalitas. Di buku The Philosophy of Art, (Sussex: Dominic’s Press, 1947), Maritain menegaskan bahwa yang indah adalah yang rasional. Sesuatu disebut indah jika masuk akal. Seni yang indah adalah seni yang tidak bertentangan dengan akal sehat. Perempuan yang cantik adalah perempuan yang terampil menggunakan akalnya dan dapat diajak berinteraksi secara rasional.
Sesuatu yang indah secara rasional punya kemungkinan untuk tidak indah secara inderawi. Perempuan yang berfisik tidak sempurna layak dinyatakan cantik jika cerdas dan cermat. Sebaliknya perempuan bertubuh ideal disebut jelek jika dungu. Hal itu terkait dengan pengarusutamaan pada unsur pikiran daripada unsur ragawi-inderawi. Tetapi perlu disadari bahwa yang rasional belum tentu nyaman di hati. Seperti kritikan pedas, meski menyatakan kebenaran, kadang menyakitkan hati. Demikian pula seni yang rasional sering kali justru menggundahkan hati. Di situ keindahan rasional dipersoalkan.
Benedetto Croce lebih mengutamakan intuisi daripada rasionalitas dalam mengidentifikasi keindahan. Di buku The Essence of Aesthetics, (London: William Heinemann, 1931), Croce menekankan pada keindahan intuitif. Yang indah adalah sesuatu yang nyaman di hati dan sulit diungkapkan dengan kata-kata. Perempuan yang cantik adalah perempuan yang menentramkan kalbu, meski mungkin tubuhnya tidak ideal, otaknya pun tidak pintar. Bahasa kalbu merupakan ukuran bagi bagus dan jeleknya sesuatu.
Parameter keindahan intuitif tentu cenderung bernuansa subjektif. Ia berlaku pada seseorang tapi tidak pada orang lain. Sementara parameter keindahan inderawi dan rasional lebih mudah untuk diterima banyak orang daripada parameter keindahan intuitif. Yang dianggap indah oleh sepasang mata, punya kemungkinan besar untuk diafirmasi keindahanannya oleh sepasang mata lain. Demikian pula yang masuk akal akan mudah diterima oleh akal mana pun. Namun yang jadi persoalan apakah keindahan rasional, keindahan inderawi dan keindahan intuitif tersebut berguna dalam kehidupan nyata? Bagi John Dewey di buku Art as Experience, (New York: Perigee Books 1934) yang indah harus berkisanambungan dengan pengalaman hidup.
Seni dianggap indah jika memberi solusi bagi keberadaan manusia di muka bumi. Jika puisi, misalnya, hanya bermain dengan kata-kata, maka puisi tersebut tak layak disebut seni, apalagi seni indah. Demikian pula seni semacam prosa misalnya, tak pantas disebut seni indah, meski ketat dalam tataran logika. Dan perempuan yang bertubuh ideal, berpikiran cemerlang, dan menentramkan batin, tidak bisa disebut perempuan cantik jika tidak bisa diajak mengarungi hidup yang sering penuh onak dan duri. Singkat kata, keindahan harus berbanding lurus dengan kemanfaatan hayati sehari-hari. Yang indah, dengan kata lain, harus pragmatis. 
Sampai batas ini, teori keindahan yang satu tampak berseberangan dengan teori keindahan yang lain. Yang indah menurut orang empiris tidak indah menurut orang rasionalis. Yang indah bagi orang intuitif tidak dianggap indah oleh orang pragmatis.  Alih-alih memposisikan keempat estetika tersebut secara berhadap-hadapan, penulis cenderung untuk mensintesiskannya. Keindahan paripurna terdapat pada sesuatu yang nikmat secara inderawi, mantap secara rasional, nyaman secara intuitif, dan bermanfaat secara pragmatis. Misalkan keindahan itu dilekatkan pada perempuan, maka perempuan yang indah adalah perempuan yang bertubuh ideal, cerdas, menentramkan hati, dan dapat diajak hidup bersama dalam suka dan duka. Keindahan semacam itu memang keindahan yang sangat ideal, namun mungkin untuk dicapai. Sejauh sesuatu hendak disebut benar-benar indah, sesuatu harus lulus ujian empiris, rasional, intuitif dan pragmatis sekaligus. (Zainul Maarif, Jakarta, 24 April 2013)

 

2. Hakiat dan Batasan Estetika
            
Estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. Secara umum estetika disebut sebagai kajian filsafati mengenai pengindraan atau persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada baiknya bagi kita untuk menghargai pepatah “De gustibus non disputdum” yang artinya meskipun tidak mutlak, tidak untuk segala hal. Secara visual dan imajinasi estetika disebut juga kajian mengenai keindahan atau teori tentang cita rasa, kritik dalam kesenian kreatif serta pementasan. Tokoh paling terkenal dalam bidang ini adalah Alexander Baumgarten (1714-1762) dalam disertasinya pada 1735 yang justru dianggap awal diwacanakannya estetika
Estetika adalah cabang dari aksiologi yang membahas tentang nilai keindahan. Ketika dipertanyakan apa itu indah dan apa pula ukurannya, muncul beberapa jawaban. Estetika adalah cabang ilmu yang membahas ttg keindahan, yaitu bagaimana keindahan itu dapat tercipta dan bagaimana orang bisa merasakannya dan memberi penilaian terhadap keindahan tersebut. Dalam hal ini, filsafat estetika akan selalu berkaitan dengan antara baik dan buruk, antara indah dan jelek. Sementara salah dan benar itu biasanya dibicarakan dalam filsafat epistemology.
Filsafat estetika adalah cabang ilmu dari filsafat Aksiology, yaitu filsafat nilai. Istilah Aksiologi dipakai untuk member batasan tentang kebaikan, yang meliputi etika, moral, dan perilaku. Jadi, esetika adalah ilmu yang memfokuskan pada hakikat keindahan atau nilai keindahan. Sedangkan hakikat benar dan salah itu ada dalam filsafat epistemology. Artinya sejauhmana pengetahuan itu benar dan salah, itu dapat dipelajari dalam epistemology.
Estetika merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Kata estetika dikutip dari bahasa Yunani aisthetikos atauaishtanomai yang berarti mengamati dengan indera (Lexion Webster Dic: 1977:18). Pengertian tersebut juga berkaitan dengan istilah Yunani aestheis yang berarti pengamatan. Dalam hal ini, Feldman melihat estetika sebagai ilmu pengetahuan pengamatan atau ilmu pengetahuan inderawi, mengacu pada kesan-kesan inderawi. Demikian juga dengan J. Addison, memadankan estetika dengan teori cita rasa. Filsafat estetika membahas tentang refleksi kritis yg dirasakan oleh indra dan member penilaian terhadap sesuatu, indah atau tidak indah, beauty or ugly. Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan.
   Estetika sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan pada kegiatan dari pengamatan yang  dilakukan dengan menggunakan panca indera, yaitu (1) mata sebagai indera penglihatan, (2) hidung sebagai indera penciuman, (3) telinga sebagai indera pendengaran, (4) lidah sebagai indera pengecap, dan (5) kulit sebagai indera peraba. Sebagai contoh, dalam mengamati suatu karya seni, kita menggunakan kelima indera tersebut untuk mendapatkan kesan yang ditimbulkan dari karya seni yang diamati, baik itu kesan warna, ruang, tekstur, dan sebagainya. Setelah kita mendapatkan kesan dari karya seni yang kita amati, maka kita dapat merasakan unsur keindahan yang terdapat pada karya seni tersebut. Keindahan bersifat relatif bergantung pada selera atau cita rasa masing-masing individu. Selera atau cita rasa (Inggris: taste) yang dimaksud adalah kecenderungan menyukai sesuatu atau hal-hal yang pernah dialami.
Perlu disadari bahwa estetika atau keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu.Keindahan itu berkembang sesuai penerimaan  setiap orang atau setiap kelompokmasyarakat terhadap ide yang ditampilkan oleh sang pembuat karya. Oleh karena itu maka tidak dapat dihindari dua hal dalam penilaian keindahan yaitu yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.[2]

3. Sejarah Penilaian Keindahan
Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara itu Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan. Keindahan itu dapat pula meliputi banyak aspek, yaitu aspek jasmani dan aspak rohani. Orang yang pertama kali mencetuskan estetika dalam konteks Filsafat Esetika adalah Alexander Gottieb Baumgarten pada tahun 1975. Ia mengungkapkan bahwa estetika adalah cabang ilmu yang dimaknai oleh perasaan. 
Tuhan memberi pikiran kepada setiap manusia. Ketika pikiran itu digunakan secara baik maka ia akan menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Berbagai Ilmu Pengetahuan yang ada di dunia ini lahir karena hasil berpikir. Hasil berpikir itu bukanlah berpikir biasa tetapi berpikir mendalam, radikal (sedalam-dalamnya) tentang hakikat kenyataan. Salah satu yang dipikirkan manusia adalah “keindahan”. Apa itu keindahan. Adakah ilmu yang berkait dengan keindahan. Jawabannya ada, yaitu estetika. Jika ada, maka apakah istilah estetika ada sendirinya atau ada yang memakainya dan mencetuskannya sebagai sebuah ilmu. Kini estetika dapat dipakai untuk pengertian tentang 3 hal, yaitu:  (a)  Studi tentang fenomena estetis (b)   Studi tentang fenomena persepsi (c) Studi tentang seni sebagai hasil pengalaman estetis

4. Cakupan Kajian Estetika                  
     Estetika sebagai ilmu tentang keindahan tidak dapat dipisahkan dari unsur lain dalam kehidupan manusia. Esteika berkaitan dengan Kebudayaan, Seni dan Filsafat Seni, serta Seniman, Karya . dan penikmatnya.
Mengacu dari pendapat Hope M. Smith (1968) bahwa “In essence, aesthetics is philosophy of the beautiful, the science of beauty and taste”, keindahan tidak terlepas dari kebudayaan, karena kebudayaan merupakan penentu corak, tipical, gaya hidup suatu kelompok masyarakat sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Di sisi lain manusia sebagai makhluk multidimensi mempunyai peran untuk mencipta dan mengamati suatu karya seni sesuai dengan cita rasanya. Kebudayaan secara hakiki mempunyai pengertian sebagai keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang isinya berupa sistem-sistem makna atau sistem-sistem simbol. Di dalam suatu kebudayaan mengandung unsur-unsur seperti ilmu pengetahuan, kepercayaan (termasuk agama) dan nilai-nilai (etika dan estetika). Keberadaan kebudayan itu telah di dukung oleh manusia, maka dengan sendirinya manusia tidak dapat terlepas dari kebudayaan tersebut, karena budaya merupakan wujud/ ekspresi dari eksistensi manusia.
 Seni sebagai kegiatan budi pikiran seniman, secara mahir diciptakan sebagai suatu karya yang mengekspresikan perasaan seniman. Hasil ciptaan itu merupakan suatu kesatuan organis yang setiap bagian atau unsurnya tidak dapat berdiri sendiriEstetika memuat bahasan ilmiah yang berkaitan dengan karya seni, pengalaman seni, aliran seni, dan perkembangan seni.  Pada intinya persoalan pokok estetika meliputi empat hal, yakni (1) nilai estetika (esthetic value), (2) pengalaman estetis (esthetic experience), (3) perilaku pencipta/ seniman, dan (4) seni/ karya seni.
Filsafat seni merupakan bidang pengetahuan yang senantiasa mempermasalahkan seni atau keindahan dalam karya seni. Filsafat seniberhubungan dengan teori penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik seni (Lucius Gravin).
Karya seni, seniman, dan publik seni adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Karya seni terdiri dari bentuk dan isi (kesatuan organis) yang memiliki nilai ekspresi. Karya seni bisa diterima oleh penikmat atau publik seni jika nilai yang terdapat pada karya seni tersebut dapat diterima dengan baik oleh penikmat seni. Dalam hal ini, karya seni disebut sebagai media komunikasi antara seniman/ pencipta seni dengan penikmat/ publik seni.  Karya seni yang baik seharusnya dapat menyampaikan pesan yang ingin diutarakan oleh seniman sebagai pemilik ide. Namun, seorang filusuf seni, Benedetto Croce mengatakan bahwa seni pada karya seni tidak pernah ada, sebab seni itu ada dalam jiwa pengamatnya. Dalam proses berinteraksi/ berkomunikasi diperlukan juga pengalaman yang melibatkan kegiatan inderawi.

5. Prinsip Estetika
  Selain unsur senirupa juga ada unsur estetik, yaitu azas atau prinsip untuk mengubah atau merencana dalam proses mencipta nilai-nilai estetik dengan penerapan unsur-unsur senirupa. Untuk ini dibutuhkan rancangan (design), yang karenanya azas atau prinsip estetik sering disebut pula prinsip disain dalam proses mencipta karya. Sebagai nilai estetik, prinsip estetik yang akan disebut dibawah ini tidak selalu harus berurutan dan lengkap. Penampilan prinsip estetik dari tiap kreator berbeda sesuai dengan pertimbangan pribadinya seperti yang terdapat dalam seni tradisional dan kesenian modern. Rumusan prinsip estetik merupakan hukum atau kaidah seni yang berfungsi sebagai sumber acuan dalam berkarya seni. Tiap bangsa dan tiap zaman pada hakikatnya memiliki hukum seni yang berbeda.

5.1 Kesatuan (Unity) 
Dalam berkarya prinsip utama yang harus dipenuhi ialah prinsip kesatuan, untuk itu dalam merancang secara sempurna perlu dipikirkan keutuhan dan kesatuan antara semua unsur senirupa disamping keutuhan antara unsur seni dan gagasan (idea) sebagai landasan mencipta. Sebagai contoh penampilan prinsip kesatuan dalam karya senirupa; disain dalam arsitektur mencerminkan prinsip kesatuan apabila ada kesatuan antara bagian-bagian bentuk dari struktur bangunan, ada kesatuan antara ruang-ruang dan penggunaan warna, ada kesatuan antara bentuk bangunan dengan lingkungan, ada kesatuan antara bentuk dan fungsi bangunan sesuai dengan ide dasar.

5.2 Keseimbangan (Balance) 
keseimbangan merupakan prinsip dan penciptaan karya untuk menjamin tampilnya nilai-nilai keselarasan dan keserasian yang mendukung prinsip kesatuan dengan menggunakan unsur-unsur seni. Karena fungsinya yang menampilkan nilai-nilai keserasian dan keselarasan maka prinsip ini juga sering disebut prinsip harmoni. Ada tiga prinsip keseimbangan:
(a)   keseimbangan formal; pada karya menampilkan nilai keindahan yang bersifat formal atau resmi. Prinsip ini sering dipakai dalam karya seni yang berlandaskan agama atau kepercayaan dan dalam lingkungan tertentu untuk mendukung nilai-nilai kejiwaan seperti keagungan, kekhidmatan, kekhusukan dan sebagainya. Contoh penampilan prinsip keseimbangan formal dalam karya senirupa ialah dalam pembuatan disain yang simetris dan statis. Disain grafis untuk piagam atau ijazah yang simetris memberikan kesan resmi dan formal. Disain simetris ini juga dapat dipakai untuk mendirikan bangunan gereja seperti bagian atap, penempatan jendela dan tiang dan lain sebagainya. Demikian pula dalam menyusun komposisi garis, bidang, bentuk dan warna untuk karya-karya senirupa yang sifatnya resmi didasarkan pada komposisi yang simetris dan statis.
(b)   keseimbangan informal; pada karya menampilkan nilai kebalikan dari keseimbangan formal yaitu menghendaki sifat lincah, hidup, penuh dengan dinamika dan pada prinsip keseimbangan informal ini menghasilkan disain asimetris.
(c)    keseimbangan radial; di samping prinsip keseimbangan formal dan prinsip keseimbangan informal pada karya masih dapat ditemukan ciptaan yang berdasarkan prinsip keseimbangan yang lain, seperti keseimbangan radial yaitu keseimbangan yang memberikan kesan memusat atau sentral. Dalam prinsip keseimbangan radial terdapat unsur penting yang diletakkan di pusat pada rancangan disainnya. Pada karya senirupa dapat dikemukakan contoh yang banyak dijumpai pada arsitektur. Penempatan bagian-bagaian dari tiap jenjang yang tampak pada denah Candi Borobudur terasa adanya unsur utama dalam keseluruhan bangunan yang dipentingkan, yaitu induk stupa di puncak candi. Secara keseimbangan radial semua unsur dari candi itu secara fisik terpusatkan pada induk stupa di puncak.

5.3 Irama (Rhythm) 
Dalam penciptaan karya seni untuk menekankan keseimbangan yang mendukung gerak (movement) atau arah (direction) dengan menggunakan unsur-unsur seni. Irama dapat dihayati secara visual atau auditif jika ada gerak seperti yang dapat kita hayati pula di alam, misalnya irama dari gelombang laut, gerakkan gumpalan awan, gelombang suara dari angin dan lain sebagainya. Gerak atau arah tersebut dapat menggugah perasaan tertentu seperti keberaturan, berkelanjutan, dinamika dan sebagainya. Sesuai dengan kehadiran gerak dan arah tersebut maka irama yang tampil dalam karya meliputi:
(a)   irama berulang (repetitif): dapat dijumpai pada penempatan jendela atau pintu pada sebuah bangunan dengan jarak yang sama serta ukuran yang sama pula. Hal serupa dapat kita jumpai pada susunan bagian-bagian dari suatu taman yang serba berulang dan teratur sehingga menimbulkan kesan irama yang berulang.
(b)  irama silih berganti (alternatif): dipakai dalam penciptaan karya senirupa untuk tidak sekedar mengulang-ulang unsur-unsur seni dalam bentuk dan warna yang sama, tetapi mencari kemungkinan lain dalam usaha untuk menimbulkan kesan irama.
(c)     irama laju/ membesar atau mengecil (progresif): lebih mudah dapat dihayati dalam seni gerak. Dalam penempatan unsur-unsur garis, bentuk dan warna pada komposisi prinsip irama laju (progresif) dapat dicapai dengan jarak dan arah tertentu.
(d)  irama lamban atau beralun/ mengalir atau bergelombang: prinsip ini kebalikkan dari irama laju yang dapat dicapai dalam karya seni.

5.4 Proporsi 
Proposrsi adalah prinsip dalam penciptaan karya untuk menekankan hubungan satu bagian dengan bagian lain dalam usaha memperoleh kesatuan melalui penggunaan unsur-unsur seni. Proporsi sebagai prinsip dalam penentuan nilai estetik, oleh seniman dipakai untuk memberikan kesan kesatuan bentuk ekspresi. Hal ini dapat dilaksanakan berdasarkan perhitungan matetamtis dan ilmiah seperti pada seni patung Yunani dn arsitektur Mesir, tapi juga berdasarkan emosi dan intusi sesuai dengan kebebasan seniman.
     Hukum proporsi yang dikenal adalah golden section dari orang Yunani yang juga dipakai kembali oleh pematung dan pelukis pada masa Rennaissance. Sejak awal masa filsafat Yunani orang telah berusaha untuk menemukan hukum-hukum geometris didalam seni, karena apabila seni (yang menurut mereka identik dengan keindahan) adalah harmoni, sedangkan harmoni adalah proporsi yang cocok dari hasil pengamatan, tentulah masuk akal untuk menganggap bahwa proporsi-proporsi tersebut sudah tertentu. Maka proporsi geometris yang terkenal dengan nama golden section itu selama berabad-abad dipandang sebagai jawaban dari misteri seni ini dan ternyata pemakaiannya amat universal, tidak sekedar didalam seni tetapi juga di alam, yang pada suatu saat diperlakukan dengan menggunakan pandangan keagamaan.
     Seringkali golden section dipergunakan untuk menentukan proporsi yang tepat antara panjang dan lebar pada empat persegi panjang pada jendela dan pintu-pintu, pigura-pigura serta buku atau majalah.  Di Bali kita kenal Hasta Kosala-Kosali yang berasal dari unit tubuh manusia untuk mengukur proporsi bangunan.

5.5 Aksentuasi/Dominasi (Emphasis) 
Merupakan prinsip dalam penciptaan karya yang mengikat unsur-unsur seni dalam kesatuan. Prinsip aksentuasi menampilkan pusat perhatian dari seluruh kesatuan karya. Ada beberapa cara dalam menempatkan aksentuasi, yaitu:
(a)   pengelompokan yaitu dengan mengelompokkan unsur-unsur yang sejenis. Misalnya mengelompokkan unsur yang sewarna, sebentuk dan sebagainya.
(b)  Pengecualian yaitu dengan cara menghadirkan suatu unsur yang berbeda dari lainnya.
(c)    Arah yaitu dengan menempatkan aksentuasi sedemikian rupa sehingga unsur yang lain mengarah kepadanya.
(d)  Kontras yaitu perbedaan yang mencolok dari suatu unsur di antara unsur yang lain. Misalnya menempatkan warna kuning di antara warna-warna teduh.



Daftar pustaka

Arikunto, Suharsimi, dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta : PT Bumi Aksara.
Djelantik A.A.M 1999 Estetika (Sebuah Pengantar). Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia:  Bandung
Halaludin, H. Khuslan, dkk. 2003. Integrasi Budi Pekerti Agama Islam. Solo: Tiga Serangkai



http://blogprinsip.blogspot.com/2012/…/prinsip-perancangan-arsitektur.html



Kencana Inu Syafi’i. 2004. Pengantar Filsafat.  Bandung: PT Retika Aditama
Mundiri, 1994. Logika, Jakarta : Rajawali Pers,.
Musa, Asy’arie.2008.  Filsafat Islam. Yogyakarta: Lesfi
Mustopo, Habib. 1983. Manusia dan Budaya Kumpulan Essay Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
Nasution, Hakim, Andi. 2005.  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005
Serangkai Irmayanti , Meliono, dkk.2007.MODUL MPKT.  Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI
Sutrisno, Mudji.1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.