Jumat, 21 Juni 2013

KARAKTER DAN MODUS BERBAHASA DALAM TRAGEDI LAPAS CEBONGAN




1. Pendahuluan

Saat ini bangsa Indonesia lagi demam Karakter. Semua hal selalu dikaitkan dan diikatkan dengan kata karakter. Dunia pendidikan paling kuat merasakan gempuran demam karakter ini ketika kurikulum 2013 diembeli dengan kata karakter. Siapa pun boleh dan berhak mencurigai dan mempertanyakan latar belakang ditiupkannya nafas karakter itu dalam dunia pendidikan. Jawaban spekulatif akan mengerucut bahwa Persoalan Karakter dijadikan isu sentral karena perilaku dan peribahasa warga bangsa yang berada pada posisi strategis tidak menampakkan karakter yang diharapkan. Praktik hidup tidak terpuji semisal mental korup menjamuri jiwa raga para petinggi bangsa ini. Korup di sini tidak terbatas pada penggelapan dan pencurian harta negara tetapi setiap tindakan yang bersifat merusak tatanan kebersamaan sebagai bangsa. (Latin: corruptio = merusak, membusuk, membinasakan). Media masa kita saban hari menjamu dan mengisi ruang kesadaran warga dengan menu tidak sedap dalam tayangan perilaku dan peribahasa para perusak (corruptor) itu.

Menghadapi perikehidupan tanpa karakter seperti ini, bahasa umumnya digunakan ibarat topeng yang menyembunyikan aneka kenyataan. Peri berlaku dalam kehidupan termediasi dalam peri berberbahasa. Dua hal ini menjadi satu kesatuan karena tindakan dapat dibahasakan dan bahasa dapat diwujudkan dalam tindakan. Benyamin Whorf & Edward Sapir merumuskannya sebagai bentuk relativitas bahasa dalam ungkapan “Bahasa Menunjukkan Bangsa”. Ungkapan seperti ini mengamini klaim universal bahwa bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu di dalamnya berkaitan dengan kenyatan dan ranah pemahaman manusia. Upaya memahami bahasa hakikatnya membantu manusia memahami bentuk-bentuk pemahamannya sendiri. Bahasa itu milik manusia yang memberi ruang untuk berpikir tentang objek-objek faktual. Melalui proses berpikir dengan memanfaatkan bahasa, manusia dapat mentransformasikan aneka objek faktual itu ke dalam simbol-simbol bahasa yang abstrak. (Suriasumantri, 1998).

Dalam konteks komunikasi, bahasa menjadi instrumen strategis karena dengan bahasa (termasuk modus atau cara pengungkapannya) seseorang mengekspresikan karakternya sekaligus mengetahui karakter orang lain sebagai mitra bicara. Pengaruh dan fungsi bahasa sangatlah luas dan sedemikian masifnya sehingga mampu mencetak, memformat kepribadian dan memproduksi perilaku tertentu. Hal ini terjadi karena sebermula manusia membentuk kebiasaan melalui bahasa yang dipakainya dan kemudian kebiasaan itulah yang membentuk manusia. Bahasa berperan dan berpengaruh pada rekayasa perilaku manusia sehingga orang yang mampu menciptakan atau lebih tepat memberi nama (membuat istlah), dialah yang akan menguasai. Pernyataan ini dibahasakan Thomas Szas dalam sebuah analogi yang tepat “jika pada dunia binatang berlaku hukum makan dan dimakan maka di dunia manusia berlaku hukum membahasakan atau dibahasakan” (Foucoult, 2002; 1980:82).

Pemberitaan dan berita-berita yang disajikan pelbagai media massa tentang aneka peristiwa adalah cara dan bentuk komunikasi dengan menjadikan bahasa sebagai instrumen pokoknya. Media massa tidak dapat hadir tanpa bahasa karena media massa menyuguhkan pelbagai fakta kehidupan manusia dengan melalui bahasa. Di sini media menjadi lembaga atau institusi sosial penghadir fakta (Santoso, 2006:73; 2011:13) . Cook (1984:4) menegaskan bahwa adanya dua asumsi dasar terkait keberadaan media yaitu (1) media sebagai institusi dan aktor politik memiliki hak-hak dan (2) media dapat memainkan berbagai peran politik, di antaranya mendukung proses transisi dalam pengertian luas termasuk demokrasi. Afirmasi atas peran politik media memerlukan dua sikap atau kecermatan kritis berkaitan dengan kepemilikan, kontrol publikasi; dan hubungan antara pemilik perusahaan media, jurnalis, dan pemegang kekuasaan.

Format dan kemasan berita atau modus berbahasa tentang suatu hal atau suatu peristiwa umumnya bervariasi untuk setiap media. Hal itu terjadi karena perbedaan perspektif atau titik angel yang dipilih jurnalis dalam peliputan peristiwa. Selain perbedaan angel liputan, varian kemasan berita lebih karena adanya pertimbangan yang terikat konteks kebijakan media. Tambahan pula, faktor segmen pembaca, tujuan, visi, misi media turut mencoraki modus dan tampilan berita. Di sini, kehadiran berita dalam sebuah media, sarat dengan aneka kepentingan. Media boleh dikatakan ibarat mesin pengolah dan bahkan menjadi mesin pendaur kepentingan. Gambaran tentang kepentingan yang terkemas dalam berita akan nyata dalam modus bahasa yang digunakan.

Tulisan ini mencoba menganalisis wacana berita seputar kasus meninggalnya empat orang tahanan di Lapas Cebongan (selanjutnya disingkat LC). Fokus analisisnya dipusatkan pada masalah Modus Berbahasa berupa variasi pemilihan dan penggunaan kata, kelompok kata (aspek diksi) yang mewarnai pelbagai proposisi dalam pemberitaan kasus tersebut. Pendekatan analisis wacana kritis digunakan dengan tujuan melihat dan memaknai secara kritis pelbagai diksi yang diyakini menyembunyikan fakta lain di balik Modus pemilihan dan penggunaan kata. Data yang dipakai bersumberkan media cetak dan berita online yang diunduh dari internet dalam retang waktu sebulan pascaperistiwa LC. Persoalannya diarahkan pada korelasi antara Karakter oknum-oknum yang terlibat dengan varian Modus Berbahasa Media. Pada akhirnya harus sampai pada pertanyaan kritis ini: Siapakah yang diuntungkan dalam kasus LC dengan modus berbahasa dalam pemberitaan media?


2. Kasus LC dalam Konteks

Sabtu, 23 Maret 2013 empat orang yaitu Hendrik Benyamin Sahetapy, Yohanis Juan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, dan Adrianus Candra Galaja meregang nyawa di sebuah tempat yang dahulu disebut bui. Bui yang terkesan tidak manusiawi telah diganti dengan ungkapan yang kedengarannya lebih manusiawi yaitu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Penggantian diksi bui menjadi Lembaga Pemasyarakatan memperlihatkan betapa bahasa dipermainkan dan diperalat karena makna kata penggantinya tidak selalu paralel atau sesuai dengan kenyataan.

Kasus dan peristiwa di LC membuktikan betapa tidak paralel bahkan rancunya makna sebuah tempat yang diklaim sebagai lembaga justru menjadi locus terpentasnya adegan pencabutannya nyawa dalam spirit orang Latin "Lex Talionis” undang-undang yang secara harfiah berarti mata ganti mata (an eye for an eye), gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa (Miller,2006:53-55). Dalam kasus LC tampaknya bukan sekadar memenuhi prinsip keseimbangan “lex talionis” ini. Terbukti empat nyawa yang tercabut (baca dicabut secara paksa) di tempat itu dianggap sebagai harga yangsetara dengan satu nyawa yang tercabut sebelumnya (19 Maret 2013) di Hugo’s Cafe. Logika dan prinsip baru muncul dua mata ganti delapan mata; satu jiwa harus disandingkan dengan empat jiwa.

Hal yang harus dikritisi dan dipertanyakan dalam persoalan kalkulasi sejiwa seolah-olah setara dengan empat jiwa tentu terpulang pada ada tidaknya atribut yang dilekatkan pada setiap oknum yang didisposisikan secara kontras. Dua atribut yang dominan dikontraskan pada kasus LC adalah atribut Kopasus dengan segala embel-embelnya di satu pihak dan atribut Preman di pihak lain. Kopasus tidak bisa berdamai bahkan harus berada dalam posisi menguasai (superordinat) terhadap empat oknum yang oleh media digelar “preman” (atribut yang mendominasi wacana seputar tragedi LC). Logika dan cara pandang media ini akhirnya juga membius cara pikir dan sikap jiwa masyakat untuk setengah sadar mengibarkan spanduk dan semboyan anti premanisme “seribu jiwa preman tidak lebih dari debu jalanan yang harus dibersihkan”.

Kalkulasi tentang nilai jiwa dipaksakan, untuk menyamakan satu jiwa dengan empat jiwa. Pertanyaan yang mengusik nurani adalah: apakah pangkat, jabatan yang ditempelkan pada manusia dan ciptaan manusia sebagai status sosial pantas dijadikan landasan untuk sebuah pilihan satu jiwa sama dengan empat jiwa? Apakah jiwa seorang raja lebih tinggi di hadapan pencipta dibandingkan jiwa rakyat jelata atau preman sekalipun? Tampaknya logika kehidupan paling hakiki menyangkut jiwa telah dicampuradukan dengan status sosial menjadi konteks utama kasus LC. Jiwa seorang Kopasus di Hugo’s Kafe harus diimbangi dengan empat jiwa manusia berstatus tersangka (menurut rumusan hukum Indonesia). Status tersangka, belum tentu bersalah (tetapi telah dijadikan sebagai orang bersalah tanpa proses hukum. Ironisnya justru dilakukan orang yang melek hukum. Suatu sikap dan pilihan yang membalikkan konsep keadaban yang ditandai kepatuhan pada hukum. Mengapa satu Kopasus sama dengan empat preman (diksi dominan dipakai media untuk keempat tersangka). Ukuran yang dipakai adalah oposisi kata Kopasus - Preman dan bukan kata jiwa dengan jiwa. Sandainya jiwa dijadikan ukuran, kasus LC merupakan tragedi. Tindakan mengangkangi kedaulatan sang Pencipta karena atas nama gelar dan status soial, satu jiwa harus impas dengan empat jiwa.


3. Tragedi LC antara Permainan Bahasa dan Kuasa

Sebagian besar masyarakat mengamini bahasa sebagai alat, instrumen fungsional karena digunakan untuk memenuhi pelbagai kepentingan dan kebutuhan manusia. Konsekuensinya, bahasa dapat diperalat oleh manusia untuk pelbagai hal baik positif maupun negatif. Bahasa yang mengabdi pada kepentingan manusia, dalam kenyataannya, dimanipulasi, dipermainkan. Permainan bahasa itu nyata dalam ambiguitas (ketakesaan) pemaknaan dalam penciptaan makna konotatif yang tidak terbendung. Bahasa yang menjadi alat dan dipermainkan manusia sebagai penggunanya dimaksudkan untuk kepentingan tertentu. Di sini, cara atau modus berbahasa menjadi rumusan yang mencerminkan apa yang dimaui pemakai bahasa itu dalam tindakannya. Dengan kata lain, Modus berbahasa menjadi cerminan sikap, perilaku (karakter) seseorang.

Wittgenstein, seorang pemikir kritis, jauh sebelumnya, mengembangkan Teori Permainan Bahasa (Suriasumantri, 2005). Teori ini lebih menekankan penggunaan bahasa sehari-hari yang menjelaskan bahwa pada setiap konteks tuturan terdapat aturan-aturan tertentu. Misalnya, penggunaan bahasa pada pidato berbeda dengan bahasa pada karya ilmiah atau pada aneka transaksi di pasar. Agar berterima, pemakai bahasa harus mengetahui dan mematuhi standar-standar penggunaan bahasa pada bidang dan konteksnya. Pada tingkatan yang paling kental permainan bahasa itu cenderung mengarah pada eksplisitasi kepentingan dan ideologi. Artinya, bahasa tidak lagi hanya sekadar instrumen yang memediasi maksud yang tunggal tetapi terbuka kemungkinan kejamakan makna sejamak kepentingan yang hendak diwujudkan. Bahasa bukan lagi medium yang netral ideologi, kepentingan, dan jejaring kekuasaan (Rosidi, 2001; Eriyanto. 2000). Piranti dan labirin kepentingan dalam bahasa dengan pemaknaan ganda hanya bisa ditelisik melalui pisau bedah analisis wacana kritis. Analisis wacana kristis pada dasarnya dikembangkan dan digunakan sebagai piranti untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan berwacana yang pada akhirnya memberi gambaran tentang karakter pengguna bahasa.

Tragedi LC yang merenggut empat jiwa dan menyisakan pengalaman traumatik pada tahanan yang lain serta para sipir penjara dalam konteks permainan bahasa telah dimanfaatkan secara maksimal oleh berbagai media dengan aneka kepentingan yang tersembunyi di balik berita seputar LC. Darah yang membanjiri ruangan LC, di tangan media, ibarat permen nano-nano yang laris manis dan laik dipasarkan dalam kesimpangsiuran wacana. Aneka peristiwa dan tragedi semisal kasus LC adalah benang kusut kehidupan masyarakat yang perlu diurai dalam ketajaman akal dan dalam kedalaman kesadaran nurani. Media, yang didaulat mengusung peran sebagai sentra informasi yang mencerdaskan masyarakat tentu diharapkan dapat menjalankan peran itu pada tempat dan waktunya yang tepat.

Misi dan semboyan media mestinya membebaskan pekerja media dari “perselingkuhan” dengan pihak tertentu yang berkepentingan dalam rangka tegaknya objektivitas berita yang menjadi cikal-bakal konsep kebenaran yang menjadi dasar dan target kehidupan universal manusia. Ziarah dan pencarian kebenaran itu dalam pespektif kritis dapat dicari dan ditemukan di LC tempat mengucurnya darah empat orang manusia yang terlanjur dilabeli sebagai Preman. Darah LC telah menjadi komoditas yang marketable di tangan pengelola media. Di sana tampak bipolaritas interese yang pada gilirannya menempatkan oknum-oknum yang terlibat pada dua posisi berlawanan (1) posisi yang mengungtungkan karena diuntungkan media dan (2) posisi nirharapan (hopeless) karena terlanjur diadili media dalam pilihan diksi yang jauh dari takaran netralitas.

“Darah” kata Goenawan Mohamad (2006: 233-236) selalu menerbitkan imaji yang dramatis apalagi darah yang tumpah. Kata itu dekat dengan nyawa dan tubuh. Darah yang tumpah berasosiasi dengan luka, sengsara, risiko, bahaya dan sengketa. Berhadapan dengan pelbagai asosiasi seperti ini orang akan berusaha agar tidak terusik oleh darah yang tumpah dan salah satu senjata andalannya adalah mempermainkan bahasa dalam bentuk produksi wacana yang menyediakan ruang tafsiran yang didominasi pihak berkepentingan. Bahasa yang dipermainkan biasanya dikorelasikan dengan bahasa dalam konteks politik. Dalam konteks seperti ini, gagasan tentang Bahasa Muslihat yang digagaskan George Orwell setengah abad silam terkait bahasa politik tampak relevan untuk dirujuk. Bagi Orwell (1946) bahasa politik dicoraki Dusta karena bahasa politik adalah pembelaan terhadap sesuatu yang seharusnya tidak pantas dibela (Linda & Wareing, 2007:62-63). Liputan media dengan kemasan berita yang beragam dalam hal diksi atau pilihan bahasanya tidak saja karena keragaman perspektif tetapi terutama dan pertama karena adanya kepentingan yang mengekori pilihan kata dan bahasa sebuah media.

Pelbagai berita terkaitan peristiwa di LC Sleman bagi pembaca kritis, apalagi yang menyadari peranan dan perlunya analisis wacana kritis, tentu saja harus memiliki “spirit kecurigaan” terkait dimensi keadaban hidup. Spirit “kecurigaan” ini diharapkan menjadi embrio bagi penglahiran dan pengungkapan kebenaran. Wujudnya berupa pertanyaan dan pernyataan yang kontra atau berseberangan dengan apa yang dinyatakan secara faktual dan telah menjadi komoditas yang dikonsumsi masyarakat kebanyakan. Dalam konteks wacana kritis kecurigaan itu harus merujuk pada pilihan kata (diksi) dan rumusan bahasa media dalam mengusung sebuah wcana yang dilematis dan problematis. Untuk konteks peristiwa LC, media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan kapada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis termasuk surat kabar, film, radio, dan televisi (Cangara, 2006:122).

Kasus di LC telah menyedot perhatian masyarakat kebanyakan karena di sana ada pertumpahan darah yang berkorelasi dengan nyawa. Pertumpahan darah di LC tanpa disadari telah mempertontonkan aksi oknum yang memiliki kekuatan (power) yang terlegitimasi dalam gelar, jabatan, status berhadapan dengan sekelompok orang “powerless” yang oleh media disebut sekelompok preman. Modus operandi kelompok the full power di LC secara kasat mata telah melakonkan adegan unjuk kekuatan dengan menggunakan fasilitas negara dan dijalankan secara kolektif. Definisi Hannah Arendt (Edkins, 2010: 39-53) tentang “power” sebagai kapasitas kolektif yang hanya bisa muncul di antara banyak orang ketika mereka bertindak bersama-sama. Artinya, orang berani melakukan sesuatu (terlebih kejahatan) hanya kalau dilakukan secara bersama-sama karena dengan begitu perilaku dan tindakan individu menjadi landasan alibi saat dimintai pertanggungjawaban perorangan. Amuk massa adalah contoh orang melakukan sesuatu atas dan dalam nama massa sehingga pelakuknya sulit diidentifikasi. Bukan mustahil, hal serupa terjadi dan teraplikasikan dalam kasus LC.

Power itu milik kelompok dan akan menghilang ketika kelompok itu menyebar dan tercerai-berai. Power hanya ada sebagai potensi sampai dibangkitkan oleh orang yang bertindak seiring dengan pencapaian tujuan bersama atau perdebatan urusan bersama. Di sini kekuatan (power) adalah tujuan dan kekerasan (violence) dimaknai sebagai instrumennya. Percikan gagasan Arendt ini cukup relevan untuk memaknai kasus LC Sleman mengingat kasus itu melibatkan sekelompok oknum yang kemudian diidentifikasi sebagai anggota Kopasus. Sebagai korps, mereka berada dalam kelompok dan mereka adalah oknum ber-power, tetapi ketika mereka secara individu diketahui sebagai pelaku merekapun tercerai-berai sehinga secara pribadi setiap mereka menjadi orang nirkekuatan (the powerless).


4. Tragedi LC dalam Bingkai Konsep Agenda Setting

Pasca-tumbangnya rezim Orde Baru muncul berbagai gagasan kritis yang disasarkan pada pelbagai kebijakan pemerintah Orba. Ranah yang sering dikaji umumnya bertalian dengan corak dan pilihan ragam bahasa yang digunakan semasa Orba. Aneka ulasan dan pandangan menyimpulkan bahwa kelanggengan kekuasaan pemerintahan Orba turut ditentukan oleh pemilihan, penggunaan diksi dan bahasa. Kajian mengenai media pada negara berkembang cenderung menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara. Di sana media digunakan sebagai instrumen propaganda atau menjadi alat kepentingan melestarikan ideologi penguasa (praktik hegemoni).

Ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Media dipandang sebagai pion kekuasaan negara, atau sebut saja sebagai aktor yang melayani negara (servant of the state). Hal menarik untuk menjelaskan konsep peran politik dari media diwacanakan Susan Pharr, yang mengedepankan empat pandangan yang saling berlawanan, yaitu (a) media sebagai penonton (spectator); (b) penjaga (watchdog); (c) sebagai pelayan (servant); dan (d)sebagai penipu (trickster). Pharr memandang media sebagai penipu, sebuah kosa kata yang dibuatnya sendiri. Menurutnya, penipu merupakan partisipan aktif dalam proses politik. Perilaku media secara frekuentatif menampilkan sisi yang ambigu, hipokrit, dan inkonsisten. Singkatnya, mereka itu bersifat licin dan dan menipu. Label penipu kemudian berubah menjadi kosa kata yang positif, yaitu mencerminkan perilaku media yang penuh dengan kebaikan. Banyak literatur menyebutkan bahwa media di negara berkembang menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara (Pharr, 1996:24 -36).

Apa yang dianggap Pharr sebagai tipuan media sesungguhnya berkaitan dengan adanya agenda yang tersembunyi dalam pemberitaan. Dalam kaitannya dengan agenda media terutama dalam kapasitasnya membentuk opini publik dapat dikaitkan dengan teori Agenda Setting. Teori agenda setting memiliki tiga dimensi utama yaitu (1) agenda Media, (2) agenda khalayak, dan (3) agenda kebijakan. Agenda media berkaitan dengan (a) visibilitas (visibility), jumlah dan tingkat menonjolnya berita (b) Audience Salience (tingkat menonjol bagi khalayak), relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak (c) valensi (valence), menyenangkan atau tidak menyenangkan cara pemberitaan bagi suatu peristiwa. Agenda Khalayak berkaitan dengan (a) keakraban (familiarty), derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu (b) penonjolan pribadi (personal salience), relevansi kepentingan individu dengan ciri pribadi (c) kesenangan (favorability), pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita. Agenda Kebijakan berkaitan dengan (a) dukungan (support), kegiatan menyenangkan bagi posisi berita tertentu (b) kemungkinan kegiatan (likehood of action), kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diagendakan (c) kebebasan bertindak (freedom of action), nilai tindakan yang mungkin dilakukan pemerintah. (Severin & Tankard, 2001).

Dua asumsi dasar teori Agenda Setting adalah (a) khalayak tidak hanya mempelajari isu-isu pemberitaan, tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan pada suatu isu atau topik berdasarkan cara media massa memberikan penekanan terhadap isu atau topik tersebut dan (b) media massa mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Dalam kasus LC dua asumsi ini coba ditampilkan melalui model cara media memberitakan kasus LC yang selalu dihubungkan dengan peristiwa berita tentang kematian seorang anggota Kopasus di sebuah Kafe yang memungkinkan terbentuknya opini bahwa kematian anggota Kopasus itu tidak lain karena prilaku para preman. Diksi preman ini dikemas sedemikian rupa untuk membentuk opini massa bahwa tindakan pembantaian di LC adalah gerakan heroik menumpas premanisme. Opini ini tampaknya berhasil membius kesadaran massa yang kemudian mengental dalam rumusan aneka spanduk yang menghiasi jalur-jalur vital kota Yogyakarta yang intinya memuji dan mendukung kopasus membersihkan kota gudeg itu dari kelompok preman. “Tak ada orang yang mengasihani preman.. preman memang harus dibasmi… (komentar terhadap berita “TNI AD Akan Periksa Pangdam Diponegoro yang dipublikasikan Jakarta, PesatNews, Minggu 7 April 2013).


5. Diksi Dominan dalam Berita LC

Mengurai dan memaknai peristiwa yang terjadi di LC Sleman harus diakui sebagai hal yang tidak mudah. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengungkap kepentingan yang tersembunyi di balik kasus besar itu. Salah satu cara yang mungkin adalah dengan merunut pelbagai berita seputar peristiwa tersebut. Merunut berita di sini merujuk pada upaya menangkap makna dari modus berbahasa berupa pilihan kata dan format bahasa dalam pemberitaan beberapa media yang dipilih untuk tulisan ini. Dari beberapa berita yang dipulikasikan tampaknya ada unsur-unsur penting atau modus bahasa yang harus dicermati dan dikritisi.

Unsur-unsur itulah yang mengkonstruksi berita dalam format dan kemasan yang membawa pesan buat pembaca. Unsur penting yang membangun berita itu berkaitan dengan diksi tentang (a) tindakan, aksi, perbuatan yang terjadi seputar peristiwa (b) para pelibat dalam peristiwa (c) latar belakang atau alasan yang terjadinya periswa (d) tanggapan pascaperistiwa, dan (e) korban peristiwa. Diksi-diksi yang dominan muncul dalam beberapa media yang diugnakan dalam tulisan ini dan yang diasumsikan berpotensi membentuk opini publik serta menyembunyikan fakta.

5.1 Tindakan, Aksi, Perbuatan dalam Kasus di LC

Berkaitan dengan tindakan, aksi, perbuatan yang mewarnai peristiwa LC Sleman media membahasakannya dengan menggunakan diksi yang bervariasi yaitu Penyerangan, Penyerangan berdarah, Penyerbuan, Insiden, Pembantaian, Mengeksekusi, Penembakan, Pemberondongan, Disastroni (Menyatroni), Aksi penembakan. Penyerangan, penyerangan berdarah dibentuk dari kata dasar serang lalu muncul bentuk turunan menyerang yang berarti datang untuk melawan. Pemakaian bentuk penyerangan jelas dimaksukan untuk menyembunyikan pelaku, agen sekaligus mengungkapkan seolah-olah ada perlawanan dari pihak yang menjadi korban. Penyerangan mumnya digunakan dalam medan pertempuran saat menghadapi musuh yang akan melawan.

Dari bentuk kata yang dipilih media tampak bahwa ada upaya media untuk menyembunyikan pelaku dengan memilih diksi berbentuk kata benda dari kata kerja atau yang disebut penominalan atau nominalisasi (pembendaan bentuk kata kerja). Dari beberapa diksi yang digunakan hanya ada dua diksi yang menggunakan kata kerja mengeksekusi dan disatroni (menyatroni). Pilihan bentuk ini jelas membawa pembaca untuk lebih memfokuskan pemaknaan berita bukan pada pelakunya melainkan pada prosesnya sehingga pembaca disuguhi berita tentang peristiwa itu dalam sebuah narasi yang berupaya mengesampingkan tokoh atau pelaku.

5.2 Aktor atau Pelaku dalam Kasus LC

Media massa yang memberitakan kasus LC hingga sebulan pascaperistiwa itu, menyusul pengakuan prajurit Kopasus yang terlibat, media tetap menggunakan pilihan kata yang beragam. Sama seperti pilihan kata berkaitan dengan tindakan pilihan diksi terkait pelaku juga didominasi oleh diksi yang menyembunyikan identitas pelaku. Rumusan-rumusan yang digunakan untuk merujuk pelaku disebunyikan di dalam kata: Penyerang, Gerombolan bersenjata, Gerombolan penembak, Penyerbu, Pelaku penyerangan, Eksekutor, Pembantu aksi, Belasan orang bersenjata laras panjang, Pemberondong, Berinisial U Pemberondong, Orang bersenjata pistol dan granat, Sekelompok orang bersenjata, Kelompok bersenjata. Pascapengakuan anggota Kopasus baru muncul diksi antara lain: Anggota grup 2 Kopasus Kartasura, Sembilan anggota Kopasus berpangkat Tantama & Bintara, Aparat kepolisian (versi akun Idjon Djanbi), Anggota Kopasus Penyerbu LP Cebongan, Prajurit Kopasus.

Pilihan diksi seperti ini oleh media, secara tidak langsung akan membentuk gambaran tentang pelaku anonim dalam kasus LC. Ketidaklugasan media untuk menggunakan kata secara langsung dengan rujukan institusi Kopasus dapat ditafsir sebagai “keengganan” yang didasarkan pada prinsip demi menjaga nama baik institusi. Pelaku kasus LC yang dikemas dalam format anonimitas seperti ini jelas memberi sumbangan positif terhadap citra institusi Kopasus. Pada sisi lain dengan cara ini mindset masyarakat, pembaca seakan-akan dipaksakan untuk sebanyak mungkin memproduksi wacana yang mengarah pada kesepakatan mempersalahkan bahkan mengutuk keempat orang korban sebagai “preman” yang harus dan pantas dilibas kalau mau bernostalgia pada pola dan pendekatan versi rezim Soeharto.

5.3 Alasan Terjadi Peristiwa di LC Sleman

Ketika kasus LC mewarnai pemberitaan berbagai media para pembaca berusaha menyelusuri alasan yang mendasari adegan maut di LC itu. Dari beberapa judul berita yang dipakai untuk kepentingan analisis ini ditemukan berbagai alasan masalah yang menjadi pemicu lahirnya tragedi LC itu. Dari berbagai berita terlihat lebih dari sepuluh alasan yang diwacanakan sebagai dasar terjadinya kasus LC. Alasan itu adalah: Indisipliner, Kelemahan intituional, Setia kawan, Fanatisme perkawanan berlebihan dan tidak pada tempatnya, Jiwa Korsa, Semangat Korsa, Aksi balasan, Membela kehormatan kesatuan, Bermotif dendam, Solidaritas korps berkepentingan, Perseteruan antarbandar narkoba, Berutang budi kepada Santoso, kepedulian.

Alasan-alasan yang diwacanakan media tampaknya lebih diarahkan kepada pelaku yang sudah teridentifikasi sebagai anggota Kopasus. Diksi yang paling dominan digunakan media berkaitan dengan alasan terjadinya kasus LC justru pada semangat solidaritas yang dalam term militer disebut sebagai alasan semangat dan jiwa Korsa. Semangat jiwa korsa yang kemudian diperluas dengan diksi membela kehormatan kesatuan, solidaritas. Pewacanaan tentang jiwa dan semangat Korsa yang juga secara tidak langsung memberi gambaran kepada pembaca dan membentuk opini pembaca bahwa Kopasus sebagai militer memang tidak ada tandingannya dalam perkara membela kehormatan dan membela solidaritas. Tentu yang dipersoalkan secara kritis adalah jiwa korsa dan solidaritas macam apa yang pantas diapresiasi sebagai sesuatu yang sepantasanya diacungi jempol.

Presiden Susilo Bambang Yodono sendiri sebagai seorang Prajurit juga memberi apresiasi terhadap jiwa korsa tetapi jiwa korsa yang dimasudkannya adalah jiwa dan semangat korsa yang tetap berada dalam koridor hukum. Pernyataan SBY tampaknya bergerak pada wilayah abu-abu dalam pernyataannya karena satu sisi ia menilai tindakan sebagai sesuatu yang Ksatria tetapi sekaligus pada sisi lain menilai tindakan prajurit itu kontrahukum (berada di luar koridor hukum).

Ada yang menarik dari pernyataan Presiden SBY terkait pilihan diksinya untuk menyebutkan empat korban. Presiden SBY tampaknya telah tergiring pada opini yang telah beredar luas bahwa keempat tahanan itu pantas disebut Preman. Presiden sebagai prajurit berusaha menggunakan wacana massa dengan mengutip kalimat: "Ada perilaku dari sekelompok orang, di luar disebut kelompok preman”. Kata Preman dalam kutipan ini secara kebahasaan adalah milik masyarakat lalu dipinjampakai oleh Presiden. Dengan begitu, sang presiden tidak bisa dipersalahkan kalau suatu ketika dituntut karena ucapannya yang mengganggap empat korban sebagai Preman.

5.4.Diksi Pro Kontra Pascaperistiwa LC Sleman

Sejak terjadinya kasus LC media massa berusaha menyuguhkan berita kepada khalayak. Orang-orang penting yang dianggap relevan memberikan informasi menjadi sasaran para jurnalis. Inti perjuangan jurnalis melacak untuk dapat memastikan pihak yang bertanggungjawab atas gugurnya empat tahanan LC. Tanggapan pihak-pihak yang dimintai keterangan pascaperistiwa LC amat beragam. Karena itu pula, pascaperistiwa ada beberapa diksi yang mendominasi wacana pemberitaan. Diksi-diksi itu antara lain: membantah, penyelidikan, Klarifikasi, Investigasi, Evaluasi, Memproses, Mengapresiasi, Spekulasi, Menyikapi, Penegakan hukum, Pengakuan, Membuang dan membakar barang bukti, Rapat, Tak mau ditemui karena sibuk. Diksi-diksi seperti ini menggabarkan seolah-olah kematian empat orang di LC itu sebagai perkara kecil sehingga begitu mudahnya pejabat publik membuat pernyataan bantahan bahkan menolak dimintai keterangan.

5.6 Diksi untuk Korban Kasus LC

Diksi yang sering muncul dalam media bekaitan empat orang korban di LC adalah kata “Preman” Kata ini hampir pasti muncul dalam berbagai berita. Media membombadir cara pandang dan cara pikir khalayak bahwa tindakan Kopasus di LC adalah aksi melawan “Preman” Walaupun ada varian diksi untuk korban, tetapi yang paling dominan adalah penggunaan diksi “Preman”. Diksi ini bagi masyarakat kebanyakan selalu dikonotasikan sebagai sebagai sesuatu yang buruk, jahat, mengancam. Istitah ini boleh sebagai metamorfosis gaya pikir Orde Baru yang mengganggap orang lain sebagai kelompok “PKI” yang harus selalu dibersihan atau paling kurang diawasi.

Istilah “Preman” yang digunakan secara masif oleh media telah membius kesadaran dan dimensi psikologis massa yang pada gilirannya mengangkat tinggi, mengaungkan, memuliakan tindakan penyerang sambil menginjak serendah-rendahnya jiwa empat orang yang dianggap Preman itu. Sampai di sini, pembaca disadarkan dan menjadi paham mengapa dalam tempo sepekan kota Yogyakarta dibalut aneka spanduk dan baliho antipremanisme. Jika kemali ke hakikat negara hukum maka tentu adalah konstitusional kalau keempat manusia itu lebih layak disebut sebagai tersangka bukan Preman.

Diksi tersangka akan memberi ruang bagi proses hukum yang pada titik akhirnya mereka dihukum kalau terbukti secara hukum bersalah. Bukan dilibas di luar kerangka hukum. Mereka pergi setelah darah tertumpah dan menjadi tinta merah yang mengukir pola tindak dan perilaku oknum yang dianggap melek hukum tetapi pada saat yang sama mengangkanginya. Pertanyaan kritis yang sah untk dilontarkan di sini: Siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam pilihan diksi seputar pemberitaan kasus LC Sleman itu?

Dari antara diksi yang ditampilkan media seperti: korban, tahanan, tersangka kasus Hugo Kafe, tersangka penganiayaan Sertu Santoso, empat tahanan; empat tersangka pelaku pembunuhan di Hugo’s Kafe tampak lebih bernuansa hukum dibandingkan dengan diksi preman, dan kriminalis. Bukti lain yang bisa diangkat tentang pencitraan Kopasus di tengah kasus LC adalah berita lain yang disandingkan yang intinya mengagungkan Kopasus misalnya berita Kopasus sebagai pasukan urutan atas dunia.

6. Penutup

Setelah mengikuti uraian kristis ini kiranya kita terdoroang untuk memiliki sikap kristis terhadap pelbagai wacana atau pelbagai modus atau cara bahasa yang mengitari kehidupan kita. Mungkin salah satu kesadaran yang mesti menjiwai kita, adalah keyakinan bahasa dalam praktiknya tidak selalu netral. Kesadaran ini penting dalam rangka melihat persoalan karakter yang mendasari cara seseorang berbahasa. Kalau Sapir berpandangan “Bahasa menunjukkan bangsa” maka dalam konteks pewacaaan karakter kita boleh merumuskan: “Bahasa menunjukkan Karakter”. Berbicaralah, maka saya akan mengenal siapakah Anda. Artinya memang benar ada korelasi antara Modus Berbahasa dengan Karakter seseorang.



Daftar Rujukan

Bisa menghubungi pemilik Blog ini di 081339346015