Jumat, 31 Mei 2013

PUISI WS RENDRA


TUHAN AKU CINTA PADAMU


Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu

Mitra Keluarga
Inilah puisi terakhir Rendra,
dibuat pada 31 Juli di RS Mitra Keluarga Jakarta.





DOA DI JAKARTA



Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.
malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
epatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.
Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.
Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan -
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.
Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali
Kebaikanmu yang banyak ini
Sungguh di sisi-Nya masih sedikit
Berapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu
Dalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjang
Ketika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya
Dari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbang
Berapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannya
Pangkuannya bagimu adalah sebuah ranjang
Sesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya
Dari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmu
Berapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamu
Dengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecil
Aneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunya
Aneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihat
Wujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu
Karena kamu sangat membutuhkan doanya padamu




Sajak Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta



Pelacur-pelacur Kota Jakarta

Dari kelas tinggi dan kelas rendah

Telah diganyang

Telah haru-biru

Mereka kecut

Keder

Terhina dan tersipu-sipu

Sesalkan mana yang mesti kausesalkan

Tapi jangan kau lewat putus asa

Dan kaurelakan dirimu dibikin korban

Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta

Sekarang bangkitlah

Sanggul kembali rambutmu

Karena setelah menyesal

Datanglah kini giliranmu

Bukan untuk membela diri melulu

Tapi untuk lancarkan serangan

Karena

Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan

Tapi jangan kaurela dibikin korban

Sarinah

Katakan kepada mereka

Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri

Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu

Tentang perjuangan nusa bangsa

Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal

Ia sebut kau inspirasi revolusi

Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima

Khabarkan pada rakyat

Bagaimana para pemimpin revolusi

Secara bergiliran memelukmu

Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi

Sambil celananya basah

Dan tubuhnya lemas

Terkapai disampingmu

Ototnya keburu tak berdaya

Politisi dan pegawai tinggi

Adalah caluk yang rapi

Kongres-kongres dan konferensi

Tak pernah berjalan tanpa kalian

Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’

Lantaran kelaparan yang menakutkan

Kemiskinan yang mengekang

Dan telah lama sia-sia cari kerja

Ijazah sekolah tanpa guna

Para kepala jawatan

Akan membuka kesempatan

Kalau kau membuka kesempatan

Kalau kau membuka paha

Sedang diluar pemerintahan

Perusahaan-perusahaan macet

Lapangan kerja tak ada

Revolusi para pemimpin

Adalah revolusi dewa-dewa

Mereka berjuang untuk syurga

Dan tidak untuk bumi

Revolusi dewa-dewa

Tak pernah menghasilkan

Lebih banyak lapangan kerja

Bagi rakyatnya

Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan

Namun

Sesalkan mana yang kau kausesalkan

Tapi jangan kau lewat putus asa

Dan kau rela dibikin korban

Pelacur-pelacur kota Jakarta

Berhentilah tersipu-sipu

Ketika kubaca di koran

Bagaimana badut-badut mengganyang kalian

Menuduh kalian sumber bencana negara

Aku jadi murka

Kalian adalah temanku

Ini tak bisa dibiarkan

Astaga

Mulut-mulut badut

Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan

Saudari-saudariku

Membubarkan kalian

Tidak semudah membubarkan partai politik

Mereka harus beri kalian kerja

Mereka harus pulihkan darjat kalian

Mereka harus ikut memikul kesalahan

Saudari-saudariku. Bersatulah

Ambillah galah

Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya

Araklah keliling kota

Sebagai panji yang telah mereka nodai

Kinilah giliranmu menuntut

Katakanlah kepada mereka

Menganjurkan mengganyang pelacuran

Tanpa menganjurkan

Mengahwini para bekas pelacur

Adalah omong kosong

Pelacur-pelacur kota Jakarta

Saudari-saudariku

Jangan melulur keder pada lelaki

Dengan mudah

Kalian bisa telanjangi kaum palsu

Naikkan tarifmu dua kali

Dan mereka akan klabakan

Mogoklah satu bulan

Dan mereka akan puyeng

Lalu mereka akan berzina





Sajak Pesan Pencopet Kepada Pacarnya



Sitti,

kini aku makin ngerti keadaanmu

Tak ‘kan lagi aku membujukmu

untuk nikah padaku

dan lari dari lelaki yang miaramu

Nasibmu sudah lumayan

Dari babu dari selir kepala jawatan

Apalagi?

Nikah padaku merusak keberuntungan

Masa depanku terang repot

Sebagai copet nasibku untung-untungan

Ini bukan ngesah

Tapi aku memang bukan bapak yang baik

untuk bayi yang lagi kau kandung

Cintamu padaku tak pernah kusangsikan

Tapi cinta cuma nomor dua

Nomor satu carilah keslametan

Hati kita mesti ikhlas

berjuang untuk masa depan anakmu

Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu

Kuraslah hartanya

Supaya hidupmu nanti sentosa

Sebagai kepala jawatan lelakimu normal

suka disogok dan suka korupsi

Bila ia ganti kau tipu

itu sudah jamaknya

Maling menipu maling itu biasa

Lagi pula

di masyarakat maling kehormatan cuma gincu

Yang utama kelicinan

Nomor dua keberanian

Nomor tiga keuletan

Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta

Inilah ilmu hidup masyarakat maling

Jadi janganlah ragu-ragu

Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu

Usahakan selalu menanjak kedudukanmu

Usahakan kenal satu menteri

dan usahakan jadi selirnya

Sambil jadi selir menteri

tetaplah jadi selir lelaki yang lama

Kalau ia menolak kau rangkap

sebagaimana ia telah merangkapmu dengan isterinya

itu berarti ia tak tahu diri

Lalu depak saja dia

Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan

asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya

Ini selalu menarik seorang menteri

Ngomongmu ngawur tak jadi apa

asal bersemangat, tegas, dan penuh keyakinan

Kerna begitulah cermin seorang menteri

Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti

Siang malam jagalah ia

Kemungkinan besar dia lelaki

Ajarlah berkelahi

dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang

Jangan boleh menilai orang dari wataknya

Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan

Kawan bisa baik sementara

Sedang lawan selamanya jahat nilainya

Ia harus diganyang sampai sirna

Inilah hakikat ilmu selamat

Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi

Jangan boleh ia nanti jadi propesor atau guru

itu celaka, uangnya tak ada

Kalau bisa ia nanti jadi polisi atau tentara

supaya tak usah beli beras

kerna dapat dari negara

Dan dengan pakaian seragam

dinas atau tak dinas

haknya selalu utama

Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu

dan wataknya licik seperti saya–nah!

Ini kombinasi sempurna

Artinya ia berbakat masuk politik

Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen

Atau bahkan jadi menteri

Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta



Rendra

Dari buku Sajak-Sajak Sepatu Tua, Pustaka Jaya, Jakarta, 1972.





Sajak Doa Orang Lapar



Kelaparan adalah burung gagak

yang licik dan hitam

jutaan burung-burung gagak

bagai awan yang hitam

Allah !

burung gagak menakutkan

dan kelaparan adalah burung gagak

selalu menakutkan

kelaparan adalah pemberontakan

adalah penggerak gaib

dari pisau-pisau pembunuhan

yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin

Kelaparan adalah batu-batu karang

di bawah wajah laut yang tidur

adalah mata air penipuan

adalah pengkhianatan kehormatan

Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu

melihat bagaimana tangannya sendiri

meletakkan kehormatannya di tanah

karena kelaparan

kelaparan adalah iblis

kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran

Allah !

kelaparan adalah tangan-tangan hitam

yang memasukkan segenggam tawas

ke dalam perut para miskin

Allah !

kami berlutut

mata kami adalah mata Mu

ini juga mulut Mu

ini juga hati Mu

dan ini juga perut Mu

perut Mu lapar, ya Allah

perut Mu menggenggam tawas

dan pecahan-pecahan gelas kaca

Allah !

betapa indahnya sepiring nasi panas

semangkuk sop dan segelas kopi hitam

Allah !

kelaparan adalah burung gagak

jutaan burung gagak

bagai awan yang hitam

menghalang pandangku

ke sorga Mu



Sajak Kupanggil Namamu



Sambil menyeberangi sepi,

Kupanggili namamu, wanitaku

Apakah kau tak mendengar?

Malam yang berkeluh kesah

Memeluk jiwaku yang payah

Yang resah

Karena memberontak terhadap rumah

Memberontak terhadap adat yang latah

dan akhirnya tergoda cakrawala

Sia-sia kucari pancaran matamu

Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa

Sia-sia

Tak ada yang bisa kucamkan

Sempurnalah kesepianku

Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi

Dan duabelas ekor serigala

Muncul dari masa silamku

Merobek-robek hatiku yang celaka

Berulangkali kupanggil namamu

Dimanakah engkau wanitaku?

Apakah engkau sudah menjadi masa silamku?







Sajak Gadis Dan Majikan



Janganlah tuan seenaknya memelukku.

Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.

Aku bukan ahli ilmu menduga,

tetapi jelas sudah kutahu

pelukan ini apa artinya…..

Siallah pendidikan yang aku terima.

Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,

kerapian, dan tatacara,

Tetapi lupa diajarkan :

bila dipeluk majikan dari belakang,

lalu sikapku bagaimana !

Janganlah tuan seenaknya memelukku.

Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.

Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,

Ketika tuan siku teteku,

sudah kutahu apa artinya……

Mereka ajarkan aku membenci dosa

tetapi lupa mereka ajarkan

bagaimana mencari kerja.

Mereka ajarkan aku gaya hidup

yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.

Diajarkan aku membutuhkan

peralatan yang dihasilkan majikan,

dan dikuasai para majikan.

Alat-alat rias, mesin pendingin,

vitamin sintetis, tonikum,

segala macam soda, dan ijazah sekolah.

Pendidikan membuatku terikat

pada pasar mereka, pada modal mereka.

Dan kini, setelah aku dewasa.

Kemana lagi aku ‘kan lari,

bila tidak ke dunia majikan ?

Jangnlah tuan seenaknya memelukku.

Aku bukan cendekiawan

tetapi aku cukup tahu

semua kerja di mejaku

akan ke sana arahnya.

Jangan tuan, jangan !

Jangan seenaknya memelukku.

Ah, Wah .

Uang yang tuan selipkan ke behaku

adalah ijazah pendidikanku

Ah, Ya.

Begitulah.

Dengan yakin tuan memelukku.

Perut tuan yang buncit

menekan perutku.

Mulut tuan yang buruk

mencium mulutku.

Sebagai suatu kewajaran

semuanya tuan lakukan.

Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.

Mereka pegang kedua kakiku.

Mereka tarik pahaku mengangkang.

Sementara tuan naik ke atas tubuhku.



Puisi Nyanyian Angsa



Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:

“Sudah dua minggu kamu berbaring.

Sakitmu makin menjadi.

Kamu tak lagi hasilkan uang.

Malahan kapadaku kamu berhutang.

Ini beaya melulu.

Aku tak kuat lagi.

Hari ini kamu harus pergi.”

(Malaikat penjaga Firdaus.

Wajahnya tegas dan dengki

dengan pedang yang menyala

menuding kepadaku.

Maka darahku terus beku.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur yang sengsara.

Kurang cantik dan agak tua).

Jam dua-belas siang hari.

Matahari terik di tengah langit.

Tak ada angin. Tak mega.

Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.

Tanpa koper.

Tak ada lagi miliknya.

Teman-temannya membuang muka.

Sempoyongan ia berjalan.

Badannya demam.

Sipilis membakar tubuhnya.

Penuh borok di klangkang

di leher, di ketiak, dan di susunya.

Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.

Sakit jantungnya kambuh pula.

Ia pergi kepada dokter.

Banyak pasien lebih dulu menunggu.

Ia duduk di antara mereka.

Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.

Ia meledak marah

tapi buru-buru jururawat menariknya.

Ia diberi giliran lebih dulu

dan tak ada orang memprotesnya.

“Maria Zaitun,

utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.

“Ya,” jawabnya.

“Sekarang uangmu brapa?”

“Tak ada.”

Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.

Ia kesakitan waktu membuka baju

sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.

“Cukup,” kata dokter.

Dan ia tak jadi mriksa.

Lalu ia berbisik kepada jururawat:

“Kasih ia injeksi vitamin C.”

Dengan kaget jururawat berbisik kembali:

“Vitamin C?

Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”

“Untuk apa?

Ia tak bisa bayar.

Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.

Kenapa mesti dikasih obat mahal

yang diimport dari luar negri?”

(Malaikat penjaga Firdaus.

Wajahnya iri dan dengki

dengan pedang yang menyala

menuding kepadaku.

Aku gemetar ketakutan.

Hilang rasa. Hilang pikirku.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur yang takut dan celaka.)

Jam satu siang.

Matahari masih dipuncak.

Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.

Dan aspal jalan yang jelek mutunya

lumer di bawah kakinya.

Ia berjalan menuju gereja.

Pintu gereja telah dikunci.

Karna kuatir akan pencuri.

Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.

Koster ke luar dan berkata:

“Kamu mau apa?

Pastor sedang makan siang.

Dan ini bukan jam bicara.”

“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”

Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.

Lalu berkata:

“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.

Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”

Lalu koster pergi menutup pintu.

Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.

Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.

Setelah mengorek sisa makanan dari giginya

ia nyalakan crutu, lalu bertanya:

“Kamu perlu apa?”

Bau anggur dari mulutnya.

Selopnya dari kulit buaya.

Maria Zaitun menjawabnya:

“Mau mengaku dosa.”

“Tapi ini bukan jam bicara.

Ini waktu saya untuk berdo’a.”

“Saya mau mati.”

“Kamu sakit?”

“Ya. Saya kena rajasinga.”

Mendengar ini pastor mundur dua tindak.

Mukanya mungkret.

Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:

“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”

“Saya pelacur. Ya.”

“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”

“Ya.”

“Santo Petrus!”

Tiga detik tanpa suara.

Matahari terus menyala.

Lalu pastor kembali bersuara:

“Kamu telah tergoda dosa.”

“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”

“Kamu telah terbujuk setan.”

“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.

Dan gagal mencari kerja.”

“Santo Petrus!”

“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.

Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.

Yang nyata hidup saya sudah gagal.

Jiwa saya kalut.

Dan saya mau mati.

Sekarang saya takut sekali.

Saya perlu Tuhan atau apa saja

untuk menemani saya.”

Dan muka pastor menjadi merah padam.

Ia menuding Maria Zaitun.

“Kamu galak seperti macan betina.

Barangkali kamu akan gila.

Tapi tak akan mati.

Kamu tak perlu pastor.

Kamu perlu dokter jiwa.”

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya sombong dan dengki

dengan pedang yang menyala

menuding kepadaku.

Aku lesu tak berdaya.

Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur yang lapar dan dahaga.)

Jam tiga siang.

Matahari terus menyala.

Dan angin tetap tak ada.

Maria Zaitun bersijingkat

di atas jalan yang terbakar.

Tiba-tiba ketika nyebrang jalan

ia kepleset kotoran anjing.

Ia tak jatuh

tapi darah keluar dari borok di klangkangnya

dan meleleh ke kakinya.

Seperti sapi tengah melahirkan

ia berjalan sambil mengangkang.

Di dekat pasar ia berhenti.

Pandangnya berkunang-kunang.

Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.

Orang-orang pergi menghindar.

Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.

Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.

Kemudian ia bungkus hati-hati

dengan daun pisang.

Lalu berjalan menuju ke luar kota.

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya dingin dan dengki

dengan pedang yang menyala

menuding kepadaku.

Yang Mulya, dengarkanlah aku.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Jam empat siang.

Seperti siput ia berjalan.

Bungkusan sisa makanan masih di tangan

belum lagi dimakan.

Keringatnya bercucuran.

Rambutnya jadi tipis.

Mukanya kurus dan hijau

seperti jeruk yang kering.

Lalu jam lima.

Ia sampai di luar kota.

Jalan tak lagi beraspal

tapi debu melulu.

Ia memandang matahari

dan pelan berkata: “Bedebah.”

Sesudah berjalan satu kilo lagi

ia tinggalkan jalan raya

dan berbelok masuk sawah

berjalan di pematang.

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya tampan dan dengki

dengan pedang yang menyala

mengusirku pergi.

Dan dengan rasa jijik

ia tusukkan pedangnya perkasa

di antara kelangkangku.

Dengarkan, Yang Mulya.

Maria Zaitun namaku.

Pelacur yang kalah.

Pelacur terhina).

Jam enam sore.

Maria Zaitun sampai ke kali.

Angin bertiup.

Matahari turun.

Haripun senja.

Dengan lega ia rebah di pinggir kali.

Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.

Lalu ia makan pelan-pelan.

Baru sedikit ia berhenti.

Badannya masih lemas

tapi nafsu makannya tak ada lagi.

Lalu ia minum air kali.

(Malaekat penjaga firdaus

tak kau rasakah bahwa senja telah tiba

angin turun dari gunung

dan hari merebahkan badannya?

Malaekat penjaga firdaus

dengan tegas mengusirku.

Bagai patung ia berdiri.

Dan pedangnya menyala.)

Jam tujuh. Dan malam tiba.

Serangga bersuiran.

Air kali terantuk batu-batu.

Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang

dan mengkilat di bawah sinar bulan.

Maria Zaitun tak takut lagi.

Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.

Mandi di kali dengan ibunya.

Memanjat pohonan.

Dan memancing ikan dengan pacarnya.

Ia tak lagi merasa sepi.

Dan takutnya pergi.

Ia merasa bertemu sobat lama.

Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.

Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.

Ia jadi berduka.

Dan mengadu pada sobatnya

sembari menangis tersedu-sedu.

Ini tak baik buat penyakit jantungnya.

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya dingin dan dengki.

Ia tak mau mendengar jawabku.

Ia tak mau melihat mataku.

Sia-sia mencoba bicara padanya.

Dengan angkuh ia berdiri.

Dan pedangnya menyala.)

Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.

Borok. Sipilis. Perempuan.

Bagai kaca

kali memantul cahaya gemilang.

Rumput ilalang berkilatan.

Bulan.

Seorang lelaki datang di seberang kali.

Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”

“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.

Lelaki itu menyeberang kali.

Ia tegap dan elok wajahnya.

Rambutnya ikal dan matanya lebar.

Maria Zaitun berdebar hatinya.

Ia seperti pernah kenal lelaki itu.

Entah di mana.

Yang terang tidak di ranjang.

Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.

“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.

Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.

Sedang sementara ia keheranan

lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.

Ia merasa seperti minum air kelapa.

Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.

Lalu lelaki itu membuka kutangnya.

Ia tak berdaya dan memang suka.

Ia menyerah.

Dengan mata terpejam

ia merasa berlayar

ke samudra yang belum pernah dikenalnya.

Dan setelah selesai

ia berkata kasmaran:

“Semula kusangka hanya impian

bahwa hal ini bisa kualami.

Semula tak berani kuharapkan

bahwa lelaki tampan seperti kau

bakal lewat dalam hidupku.”

Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.

Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.

“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.

“Mempelai,” jawabnya.

“Lihatlah. Engkau melucu.”

Dan sambil berkata begitu

Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.

Tiba-tiba ia terhenti.

Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.

Di lambung kiri.

Di dua tapak tangan.

Di dua tapak kaki.

Maria Zaitun pelan berkata:

“Aku tahu siapa kamu.”

Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.

Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”

(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya jahat dan dengki

dengan pedang yang menyala

tak bisa apa-apa.

Dengan kaku ia beku.

Tak berani lagi menuding padaku.

Aku tak takut lagi.

Sepi dan duka telah sirna.

Sambil menari kumasuki taman firdaus

dan kumakan apel sepuasku.

Maria Zaitun namaku.



Sajak Burung-Burung Kondor



Angin gunung turun merembes ke hutan,

lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,

dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.

Kemudian hatinya pilu

melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh

yang terpacak di atas tanah gembur

namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani – buruh bekerja,

berumah di gubug-gubug tanpa jendela,

menanam bibit di tanah yang subur,

memanen hasil yang berlimpah dan makmur

namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah

yang mempunyai istana indah.

Keringat mereka menjadi emas

yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.

Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,

para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,

dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir

dari parit-parit wajah rakyatku.

Dari pagi sampai sore,

rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,

menggapai-gapai,

menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,

di dalam usaha tak menentu.

Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,

dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,

dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,

berjuta-juta burung kondor,

bergerak menuju ke gunung tinggi,

dan disana mendapat hiburan dari sepi.

Karena hanya sepi

mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.

Di dalam marah menjerit,

bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit

di batu-batu gunung menjerit

bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,

mematuki batu-batu, mematuki udara,

dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.





Paman Doblang



Paman Doblang! Paman Doblang!

Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap.

Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap.

Ada hawa. Tak ada angkasa.

Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata.

Terkunci. Tak tahu di mana berada.

Paman Doblang! Paman Doblang!

Apa katamu?

Ketika haus aku minum dari kaleng karatan.

Sambil bersila aku mengharungi waktu

lepas dari jam, hari dan bulan

Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk

tidak berupa, tidak bernama.

Aku istirah di sini.

Tenaga ghaib memupuk jiwaku.

Paman Doblang! Paman Doblang!

Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala.

Kamu terkurung dalam lingkaran.

Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana.

Kaki kamu dirantai ke batang karang.

Kamu dikutuk dan disalahkan.

Tanpa pengadilan.

Paman Doblang! Paman Doblang!

Bubur di piring timah

didorong dengan kaki ke depanmu

Paman Doblang, apa katamu?

Kesedaran adalah matahari.

Kesabaran adalah bumi.

Keberanian menjadi cakerawala.

Dan perjuangan

adalah perlaksanaan kata-kata.





Nyanyian Suto Untuk Fatima



Dua puluh tiga matahari

bangkit dari pundakmu.

Tubuhmu menguapkan bau tanah

dan menyalalah sukmaku.

Langit bagai kain tetiron yang biru

terbentang

berkilat dan berkilauan

menantang jendela kalbu yang berdukacita.

Rohku dan rohmu

bagaikan proton dan elektron

bergolak

bergolak

Di bawah dua puluh tiga matahari.

Dua puluh tiga matahari

membakar dukacitaku.

Nyanyian Fatima untuk Suto

Kelambu ranjangku tersingkap

di bantal berenda tergolek nasibku.

Apabila firmanmu terucap

masuklah kalbuku ke dalam kalbumu.

Sedu-sedan mengetuk tingkapku

dari bumi di bawah rumpun mawar.

Waktu lahir kau telanjang dan tak tahu

tapi hidup bukanlah tawar-menawar.





Makna Sebuah Titipan



Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,

bahwa :

sesungguhnya ini hanya titipan,

bahwa mobilku hanya titipan Allah

bahwa rumahku hanya titipan Nya,

bahwa hartaku hanya titipan Nya,

bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,

mengapa Dia menitipkan padaku?

Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?

Dan kalau bukan milikku,

apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu

diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,

kusebut itu sebagai musibah

kusebut itu sebagai ujian,

kusebut itu sebagai petaka,

kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan

bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,

kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,

aku ingin lebih banyak harta,

ingin lebih banyak mobil,

lebih banyak popularitas,

dan kutolak sakit,

kutolak kemiskinan,

seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti

matematika:

aku rajin beribadah,

maka selayaknyalah derita menjauh dariku,

dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,

dan bukan kekasih.

Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,

dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,

hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…

“ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”







Surat Cinta



Kutulis surat ini

kala hujan gerimis

bagai bunyi tambur yang gaib,

Dan angin mendesah

mengeluh dan mendesah,

Wahai, dik Narti,

aku cinta kepadamu !

Kutulis surat ini

kala langit menangis

dan dua ekor belibis

bercintaan dalam kolam

bagai dua anak nakal

jenaka dan manis

mengibaskan ekor

serta menggetarkan bulu-bulunya,

Wahai, dik Narti,

kupinang kau menjadi istriku !

Kaki-kaki hujan yang runcing

menyentuhkan ujungnya di bumi,

Kaki-kaki cinta yang tegas

bagai logam berat gemerlapan

menempuh ke muka

dan tak kan kunjung diundurkan

Selusin malaikat

telah turun

di kala hujan gerimis

Di muka kaca jendela

mereka berkaca dan mencuci rambutnya

untuk ke pesta

Wahai, dik Narti

dengan pakaian pengantin yang anggun

bunga-bunga serta keris keramat

aku ingin membimbingmu ke altar

untuk dikawinkan

Aku melamarmu,

Kau tahu dari dulu:

tiada lebih buruk

dan tiada lebih baik

dari yang lain…

penyair dari kehidupan sehari-hari,

orang yang bermula dari kata

kata yang bermula dari

kehidupan, pikir dan rasa

Semangat kehidupan yang kuat

bagai berjuta-juta jarum alit

menusuki kulit langit:

kantong rejeki dan restu wingit

Lalu tumpahlah gerimis

Angin dan cinta

mendesah dalam gerimis.

Semangat cintaku yang kuta

batgai seribu tangan gaib

menyebarkan seribu jaring

menyergap hatimu

yang selalu tersenyum padaku

Engkau adalah putri duyung

tawananku

Putri duyung dengan

suara merdu lembut

bagai angin laut,

mendesahlah bagiku !

Angin mendesah

selalu mendesah

dengan ratapnya yang merdu.

Engkau adalah putri duyung

tergolek lemas

mengejap-ngejapkan matanya yang indah

dalam jaringku

Wahai, putri duyung,

aku menjaringmu

aku melamarmu

Kutulis surat ini

kala hujan gerimis

kerna langit

gadis manja dan manis

menangis minta mainan.

Dua anak lelaki nakal

bersenda gurau dalam selokan

dan langit iri melihatnya

Wahai, Dik Narti

kuingin dikau

menjadi ibu anak-anakku !





Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api



Bagaimana mungkin kita bernegara

bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya

bagaimana mungkin kita berbangsa

bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup bersama ?

Itulah sebabnya

kami tidak ikhlas

menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris

dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu

sehingga menjadi lautan api

Kini batinku kembali mengenang

udara panas yang bergetar dan menggelombang,

bau asap, bau keringat

suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki

langit berwarna kesumba

Kami berlaga

memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.

kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata

yang bisa dialami dengan nyata

mana mungkin itu bisa terjadi

di dalam penindasan dan penjajahan

manusia mana

akan membiarkan keturunannya hidup

tanpa jaminan kepastian?

Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah

hidup yang diperkembangkan

dan hidup yang dipertahankan

itulah sebabnya kami melawan penindasan

kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan

bangsa tetap terjaga

Kini aku sudah tua

aku terjaga dari tidurku

di tengah malam di pegunungan

bau apakah yang tercium olehku?

Apakah ini bau asap medan laga tempo dulu

yang dibawa oleh mimpi kepadaku?

ataukah ini bau limbah pencemaran?

Gemuruh apakah yang aku dengar ini?

apakah ini deru perjuangan masa silam

di tanah periangan?

ataukah gaduh hidup yang rusuh

karena dikhianati dewa keadilan.

Aku terkesiap

sukmaku gagap

apakah aku dibangunkan oleh mimpi?

Apakah aku tersentak

oleh satu isyarat kehidupan?

Di dalam kesunyian malam

aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku

Apakah yang terjadi?

Darah teman-temanku

telah tumpah di Sukakarsa

di Dayeuh Kolot

di Kiara Condong

di setiap jejak medan laga.

Kini

kami tersentak,

terbangun bersama.

putera-puteriku, apakah yang terjadi?

apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami?

Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,

apakah kita masih sama-sama setia

membela keadilan hidup bersama

Manusia dari setiap angkatan bangsa

akan mengalami saat tiba-tiba terjaga

tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi

aan menghadapi pertanyaan jaman:

apakah yang terjadi?

apakah yang telah kamu lakukan?

apakah yang sedang kamu lakukan?

Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna

dari jawaban yang kita berikan.



Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya

mendengar 130 juta rakyat

dan di langit

dua tiga cukung mengangkang

berak di atas kepala mereka

matahari terbit

fajar tiba

dan aku melihat delapan juta kanak – kanak

tanpa pendidikan

aku bertanya

tetapi pertanyaan – pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet

dan papantulis – papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak – kanak

menghadapi satu jalan panjang

tanpa pilihan

tanpa pepohonan

tanpa dangau persinggahan

tanpa ada bayangan ujungnya

……………………..

menghisap udara

yang disemprot deodorant

aku melihat sarjana – sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiunan

dan di langit

para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas

bahwa bangsa mesti dibangun

mesti di up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung – gunung menjulang

langit pesta warna di dalam senjakala

dan aku melihat

protes – protes yang terpendam

terhimpit di bawah tilam

aku bertanya

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair – penyair salon

yang bersajak tentang anggur dan rembulan

sementara ketidak adilan terjadi disampingnya

dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan

termangu – mangu di kaki dewi kesenian

bunga – bunga bangsa tahun depan

berkunang – kunang pandang matanya

di bawah iklan berlampu neon

berjuta – juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau

menjadi karang di bawah muka samodra

……………………………

kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing

diktat – diktat hanya boleh memberi metode

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan

kita mesti keluar ke jalan raya

keluar ke desa – desa

mencatat sendiri semua gejala

dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku

pamplet masa darurat

apakah artinya kesenian

bila terpisah dari derita lingkungan

apakah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan





Sajak Orang Kepanasan



Karena kami makan akar

dan terigu menumpuk di gudangmu …..

karena kami hidup berhimpitan

dan ruangmu berlebihan …..

maka kita bukan sekutu

karena kami kucel

dan kamu gemerlapan …..

karena kami sumpeg

dan kamu mengunci pintu …..

maka kami mencurigaimu

karena kami terlantar di jalan

dan kamu memiliki semua keteduhan …..

karena kami kebanjiran

dan kamu berpesta di kapal pesiar …..

maka kami tidak menyukaimu

karena kami dibungkam

dan kamu nrocos bicara …..

karena kami diancam

dan kamu memaksakan kekuasaan …..

maka kami bilang TIDAK kepadamu

karena kami tidak boleh memilih

dan kamu bebas berencana …..

karena kami cuma bersandal

dan kamu bebas memakai senapan …..

karena kami harus sopan

dan kamu punya penjara …..

maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

karena kami arus kali

dan kamu batu tanpa hati

maka air akan mengikis batu





Rumpun Alang-alang



Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang

Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang

Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal

Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia

dan ia pun berbunga dosa

Engkau tetap yang punya

tapi alang-alang tumbuh di dada





Sajak Pertemuan Mahasiswa



Matahari terbit pagi ini

mencium bau kencing orok di kaki langit

melihat kali coklat menjalar ke lautan

dan mendengar dengung di dalam hutan

lalu kini ia dua penggalah tingginya

dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini

memeriksa keadaan

kita bertanya :

kenapa maksud baik tidak selalu berguna

kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga

orang berkata : “kami ada maksud baik”

dan kita bertanya : “maksud baik untuk siapa ?”

ya !

ada yang jaya, ada yang terhina

ada yang bersenjata, ada yang terluka

ada yang duduk, ada yang diduduki

ada yang berlimpah, ada yang terkuras

dan kita disini bertanya :

“maksud baik saudara untuk siapa ?

saudara berdiri di pihak yang mana ?”

kenapa maksud baik dilakukan

tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya

tanah – tanah di gunung telah dimiliki orang – orang kota

perkebunan yang luas

hanya menguntungkan segolongan kecil saja

alat – alat kemajuan yang diimpor

tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :

“lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”

sekarang matahari semakin tinggi

lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala

dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :

kita ini dididik untuk memihak yang mana ?

ilmu – ilmu diajarkan disini

akan menjadi alat pembebasan

ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam

malam akan tiba

cicak – cicak berbunyi di tembok

dan rembulan berlayar

tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda

akan hidup di dalam mimpi

akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari

matahari akan terbit kembali

sementara hari baru menjelma

pertanyaan – pertanyaan kita menjadi hutan

atau masuk ke sungai

menjadi ombak di samodra

di bawah matahari ini kita bertanya :

ada yang menangis, ada yang mendera

ada yang habis, ada yang mengikis

dan maksud baik kita

berdiri di pihak yang mana !





Kelelawar



Silau oleh sinar lampu lalulintas

Aku menunduk memandang sepatuku.

Aku gentayangan bagai kelelawar.

Tidak gembira, tidak sedih.

Terapung dalam waktu.

Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.

Sungguh tidak menyangka

Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.

Sekarang aku kembali berjalan.

Apakah aku akan menelefon teman?

Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?

Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.

Masalah sosial dipoles gincu menjadi ######fizika.

Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.

Hanya kamu yang enak diajak bicara.

Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.

Akan menulis sajak-sajak lagi.

Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.

Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.

Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.



Rajawali



Sebuah sangkar besi

tidak bisa mengubah rajawali

menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit

dan di dalam sangkar besi

rajawali merasa pasti

bahwa langit akan selalu menanti

Langit tanpa rajawali

adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma

tujuh langit, tujuh rajawali

tujuh cakrawala, tujuh pengembara

Rajawali terbang tinggi memasuki sepi

memandang dunia

rajawali di sangkar besi

duduk bertapa

mengolah hidupnya

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan

yang terjadi dari keringat matahari

tanpa kemantapan hati rajawali

mata kita hanya melihat matamorgana

Rajawali terbang tinggi

membela langit dengan setia

dan ia akan mematuk kedua matamu

wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka





Pamflet Cinta

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.

Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.

Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.

Aku merindui wajahmu.

Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.

Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.

Kata-kata telah dilawan dengan senjata.

Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.

Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.

Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sihat.

Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.

Suatu malam aku mandi di lautan.

Sepi menjadi kaca.

Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.

Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.

Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair

Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?

Udara penuh rasa curiga.

Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.

Suara lautan adalah suara kesepian

Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna.

Makna menjadi harapan.

… Sebenarnya apakah harapan?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.

Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.

Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.

Aku tertawa, Ma!

Angin menyapu rambutku.

Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.

*Punggungku karatan aku seret dari warung ke warung.

Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…

Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.

Aku menulis sajak di bordes kereta api.

Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,

Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,

Nongol dari perut matahari bunting,

Jam dua belas seperempat siang.

Aku terkesima.

Aku disergap kejadian tak terduga.

Rahmatku turun bagai hujan

Membuatku segar,

Tapi juga menggigil bertanya-tanya.

Aku jadi bego, Ma!

Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.

Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,

Dan sedih karena kita sering terpisah.

Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.

Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?

Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.

Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.

Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,

Memandang wajahmu dari segenap jurusan.





Bahawa Kita Ditatang Seratus Dewa



Aku tulis sajak ini

untuk menghibur hatimu

Sementara engkau kenangkan encokmu

kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang

Dan juga masa depan kita yang hampir rampung

dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri

dan terasing dengan nasib kita

Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.

Suka duka kita bukanlah istimewa

kerana setiap orang mengalaminya

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh

Hidup adalah untuk mengolah hidup

bekerja membalik tanah

memasuki rahsia langit dan samodra

serta mencipta dan mengukir dunia.

Kita menyandang tugas,

kerna tugas adalah tugas.

Bukannya demi sorga atau neraka.

tetapi demi kehormatan seorang manusia.

kerana sesungguhnya kita bukanlah debu

meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu.

Kita adalah kepribadian

dan harga kita adalah kehormatan kita.

Tolehlah lagi ke belakang

ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.

Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.

sembilan puluh tahun yang selalu bangkit

melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda.

Dan kenangkanlah pula

bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa

menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara.

Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.

Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.

Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan.

Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna

Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma.

Kita menjadi goyah dan bongkok

kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita

tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini

untuk menghibur hatimu

Sementara kau kenangkan encokmu

kenangkanlah pula

bahwa hidup kita ditatang seratus dewa.





Nina Bobok Bagi Pengantin



Awan bergoyang, pohonan bergoyang

antara pohonan bergoyang malaikat membayang

dari jauh bunyi merdu loceng loyang

Sepi, syahdu, rindu

candu rindu, ghairah kelabu

rebahlah, sayang, rebahlah wajahmu ke dadaku

Langit lembayung, pucuk-pucuk daun lembayung

antara daunan lembayung bergantung hati yang ruyung

dalam hawa bergulung mantera dan tenung

Mimpi remaja, bulan kenangan

duka cinta, duka berkilauan

rebahlah sayang, rebahkan mimpimu ke dadaku

Bumi berangkat tidur

duka berangkat hancur

aku tampung kau dalam pelukan tangan rindu

Sepi dan tidur, tidur dan sepi

sepi tanpa mati, tidur tanpa mati

rebahlah sayang, rebahkan dukamu ke dadaku.







KUNTUM KEMBOJA BUAT WS RENDRA

1

Ayah menamakan saya

ketika usianya muda – melihat

kaumenggengam bara

di dalam penjara

jalur-jalur juang

jalan-jalan ruang

alur-alur jurang

suara yang kaulontar -

nyata genderang perang

kemiskinan

kemalasan

korupsi, dan

kesusahan.

2

Kini, yang terus hidup

karya-karya, nama

dan sejuta nostalgia.





Puisi Saling Belum Mengerti



Setiap halaman hubungan menjadi taman rama-rama

kerana telah lama membaca kitab akrab bersama;

di dalam bab beza, susun diksi aksara pandangan -

antara gerobok pengalaman dan almari usia

antara muram kecewa dan ledak ketawa

sering mentafsir manuskrip khuatir

di atas helai-helai kertas perjuangan, atau

di sisi renda-renda pentas yang sama – meski -

telah lama membaca kitab akrab bersama

kita saling belum mengerti, sejujurnya.



Selepas Hujan 2



1

Pada kerak-kerak merah

basahwangi tanah.

Pada helai daun lalang

girang gering hilang.

Pada sayap-sayap burung

duka lara terbang.

2

Pada helai diari gersang

halang jalang tualang.



Bidadari Yang Pergi

i

Seperti seorang bidadari

datang dengan wangi kasturi

membawa dian

menyuluhi hari-hari.

Bidadari sering bicara

menyaluti relung sunyi

menyala sumbu sinar persis pelangi

melebar sayap rawan melindungi

daripada kesejukan.

Selalu bidadari

menggilap pudar semangat

dari bibir kristal ketemu

kalimat-kalimat keramat.

ii

Kini bidadari telah

terbang pulang ke tamannya

membina syurga sendiri

di atas peterana berbintang tujuh

meninggalkan sisa harapan, yang

dahulu menerangi

malah sering jua mewangi.





Senaskah Buku Takdir

Setelah membaca senaskhah

buku takdir terakhir

dia menyemak kembali

mencari ilustrasi bunga-bunga

serta ayat-ayat wangi

ingin sekali meneladani

burung-burung bernyanyi

di helaian dan halaman

yang dipilih – terlukiskan.

Tidak selalu halaman naskhah

disusun indah, sebab mungkin

disisip coret duka dan gundah

dititip pena yang marah

dilakar warna ungu, jingga juga merah

diatur semangat juang

malah kadangkala lemah.

Diksi demi diksi

kata-kata saling bertaut antara

tawa, tangis, ceria dan bengis

putus dan kembali berantaian

ayat-perenggan-bab-episod

menjadi senaskhah buku takdir terakhir.

Tidak selalu ayat-ayat wangi

burung-burung bernyanyi

kerana bintang-bintang sering suram

gemawan mendung muram

di antara helaian dan halaman

naskhah buku takdir terakhir -

terlukiskan.
Dia menyelak, belajar merenungi
bintang-bintang suram
gemawan mendung muram.





RAGAM BAHASA



1. Pengantar

Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terpenting negara kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain merujuk pada tekad, komitmen, ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: "Kami poetera dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa lndonesia". Rujukan lainnya adalah undang-undang dasar kita yang secara ekslisit mencantumkan pasal khusus yang menyatakan bahwa "bahasa negara ialah bahasa Indonesia". Di samping rujukan pada konteks sejarah dan konteks konstitusi seperti ini, masih ada beberapa alasan lain yang memungkinkan bahasa Indonesia menempati posisi tedepat dan tertasa di antara ratusan bahasa yang ada digunanakan bangsa Indonesia di seluruh nusantara yang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa ibu.

Penting tidaknya suatu bahasa umumnya ditentukan berdasarkan pemenuhan terhadap tiga kriteria utama yaitu (1) dilihat dari aspek jumlah penuturnya, (2) luas penyebarannya, dan (3) peranannya sebagai sarana ilmu, susastra, dan ungkapan budaya lain yang dianggap bernilai bagai kehidupan .

Jika kita menggunakan patokan yang pertama, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi, jika pada jumlah itu ditambah penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, maka kedudukannya dalam deretan jumlah penutur berbagai bahasa di Indonesia ada di peringkat pertama. Lagi pula, hendaknya disadari bahwa jumlah penutur asli bahasa Indonesia lambat laun akan bertambah. Pertambahan itu disebabkan oleh hal-hal berikut: Pertama, arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta, yang merupakan himpunan pendatang yang berbeda-beda bahasa ibunya, menciptakan keperluan akan alat perhubungan bersama. Jika orang itu menetap, maka anak-anaknya tidak jarang akan dibesarkan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya. Kedua, perkawinan antarsuku kadang-kadang mendorong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal itu terjadi jika kedua bahasa daerah yang dipakainya banyak perbedaaannya. Ketiga, bertalian dengan patokan kedua di atas, generasi muda golongan warga negara yang berketurunan asing ada yang tidak lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Anaknya akan dididik dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang dipakai di lingkungannya. Keempat, orang tua masa kini, yang sama atau berbeda latar budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia.

Patokan yang kedua jelas menempatkan bahasa Indonesia di baris depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai orang di daerah pantai timur Sumatra, di Pulau Riau dan Bangka serta daerah pantai Kalimantan. Jenis kreol bahasa Melayu-Indonesia didapati di Jakarta dan sekitarnya, di Manado, Ternate, Ambon. Banda, Larantuka, dan Kupang. Sebagai bahasa kedua pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke timur, dan dari pucuk utara sampai ke batas selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari dan dipakai di antara kalangan terbatas di negeri Australia, Filipina. Jepang. Korea. Rusia, India. Ceko, Jerman, Prancis, Nerlandia, Inggris, Amerika. Belum lagi bahasa Malaysia, dan bahasa Melayu di Singapura dan Brunei, yang jika ditinjau dari sudut pandangan ilmu bahasa merupakan bahasa yang sama juga.

Patokan yang ketiga mengingatkan kita akan seni kesusastraan yang mengagumkan yang dihasilkan dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali. dan Minangkabau, misalnya. Akan tetapi, di samping susastra Indonesia modern yang dikembangkan oleh sastrawan yang beraneka ragam latar bahasanya, bahasa Indonesia pada masa kini berperan sebagai sarana utama, di luar bahasa asing, di bidang ilmu, teknologi, dan peradaban modern bagi manusia Indonesia .

Uraian di atas memberikan gambaran betapa pentingnya bahasa Indonesia bagi kita. Menurut tiap-tiap patokan yang diajukan, bahasa itu mengatasi bahasa daerah yang lain. Harus dicatat di sini bahwa kedudukannya yang penting itu sekali-kali bukan karena mutunya sebagai bahasa; bukan karena besar-kecilnya kosa katanya, atau keluwesan dalam tata kalimatnya, ataupun karena daya ungkapnya dalam gaya. Di dalam sejarah manusia pemilihan lingua franca, yakni bahasa perantara orang yang latar budayanya berbeda, bahasa kebangsaan, atau bahasa internasional tidak pernah dibimbing oleh pertimbangan linguistik, logika, atau estetika, tetapi selalu oleh patokan politik, ekonomi, dan demografi. Dialek kota Atena misalnya, yang menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan orang Yunani sebelum datangnya kekuasaan Romawi menjadi bahasa umum bersama (koine) yang menggantikan dialek Yunani yang lain sebagai tolok ukur.

2. Ragam Bahasa
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tidak selalu tak terelakkan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana. Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka macam itu masih tetap disebut “bahasa Indonesia" karena masing-masing berbagi teras atau inti sari bersama yang umum. Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, tata makna, umumnya sama. Itulah sebabnya kita masih dapat memahami orang lain yang berbahasa Indonesia walaupun di samping itu kita dapat mengenali beberapa perbedaan dalam perwujudan bahasa Indonesianya. Marilah kita ikhtisarkan ragam bahasa itu. Pertama-tama kita kenali ragam menurut golongan penutur bahasa dan ragam menurut jenis pemakaian bahasa. Kita akan melihat bahwa ragam-ragam itu bertautan. Ragam yang ditinjau dari sudut pandangan penutur dapat diperinci menurut patokan (1) daerah, (2) pendidikan, dan (3) sikap penutur.

Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat. Masing-masing dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya; sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang daerahnya berdampingan. Jika di dalam wilayah pemakaiannya, orang tidak mudah berhubungan, misalnya karena kediamannya dipisahkan oleh pegunungan, selat, atau laut, maka lambat-laun dalam perkembangannya akan banyak berubah sehingga akhirnya dianggap bahasa yang berbeda. Hal itu pernah terjadi dahulu kala dengan bahasa Nusantara Purba yang sekarang disebut bahasa Batak, Jawa, Sunda, Bali, Tagalog. Logat daerah bahasa Indonesia yang sekarang kita kenal berkat perhubungan yang lebih sempurna lewat kapal, pesawat, mobil, radio, surat kabar, dan televisi, agaknya tidak akan berkembang menjadi bahasa tersendiri .

Logat daerah paling kentara karena tata bunyinya. Logat yang dilafalkan oleh putera Tapanuli dapat dikenali, misal tekanan kata yang amat jelas; logat Indonesia orang Bali dan Jawa, karena pengucapan bunyi /t/ dan /d/-nya. Ciri-ciri khas yang meliputi tekanan, turun-naiknya nada, dan panjang-pendeknya bunyi bahasa membangun aksen yang berbeda-beda. Perbedaan kosa kata dan variasi gramatikal tentu ada juga walaupun mungkin kurang nampak. Ragam dialek dengan sendirinya erat hubungannya dengan bahasa ibu si penutur.

Berapa banyak jumlah logat Indonesia? Jawaban atas pertanyaan itu bergantung pada tingkat kecermatan yang kita terapkan dalam pengamatan kita dan pada keakraban kita dengan tata bunyi atau tata bahasa berbagai bahasa daerah Nusantara. Orang Bugis yang belum pernah mendengar bahasa Lampung, Sumatra Selatan, akan berpendapat bahwa logat Indonesia orang Lampung tidak beraksen kedaerahan. Sebaliknya, orang Lampung mungkin dapat membedakan logat Indonesia di daerahnya yang dipengaruhi oleh dialek Abung, Komering, atau Krui. Sikap penutur bahasa Indonesia terhadap aksen penutur lain berbeda-beda. Aksen itu dapat disenangi dan/ atau tidak disenangi. Umumnya dapat dikatakan bahwa kita berlapang hati terhadap kelainan aksen orang selama bahasa Indonesianya masih dapat dipahami. Mungkin karena peranan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama yang sesungguhnya, belum terlalu lama, kita belum melihat proses polarisasi logat yang jelas.

Ragam bahasa menurut pendidikan formal, yang menyilangi ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tata bunyi Indonesia golongan yang kedua itu berbeda dengan fonologi kaum terpelajar. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, tidak selalu terdapat dalam ujaran orang yang tidak atau hampir tidak bersekolah. Bentuk fakultas, film, fitnah, kompleks yang dikenal di dalam ragam orang yang berpendidikan, bervariasi dengan pakultas, pilem, pitenah, dan komplek dalam ragam orang yang tidak mujur dapat menikmati pengajaran bahasa di sekolah. Perbedaan kedua ragam itu juga nampak pada tata bahasa. Kalimat “Saya mau tulis itu surat ke pamanku” cukup jelas maksudnya, tetapi bahasa yang terpelihara menuntut agar bentuknya menjadi “Saya mau menulis surat itu kepada paman saya”. Rangkaian kata Indonesia dapat disusun menjadi kalimat Indonesia, tetapi tidak setiap kalimat Indonesia termasuk bahasa yang terpelihara. Ali yang berpakaian lusuh dan koyak, atau Ali yang berdandan dengan rapi, tetap disebut Ali juga. Tetapi jika Ali ingin diperlakukan dengan baik dalam pergaulannya dengan orang lain, sebaiknyalah ia memelihara badannya dan berpakaian bersih. Itulah sebabnya, bahasa orang yang berpendidikan--yang lazimnya ditautkan dengan bahasa persekolahan--berciri pemeliharaan. Badan pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televisi, mimbar agama, dan profesi ilmiah, pendek kata, setiap lembaga yang hendak berbahasa dengan khalayak ramai akan menggunakan ragam bahasa orang berpendidikan.

Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap-tiap pemakai bahasa. Ragam ini, yang dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya. Sikapnya itu dipengaruhi antara lain: oleh umur dan kedudukan yang disapa, pokok persoalan yang hendak disampaikannya, dan tujuan penyampaian informasinya. Dalam hal ragam bahasa menurut sikap, kita berhadapan dengan pemilihan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap kita yang kaku resmi, yang adab, yang dingin, yang hambar, yang hangat, yang akrab, atau santai. Perbedaan berbagai gaya itu tercermin dalam kosa kata dan tata bahasa. Perhatikanlah, misalnya, gaya bahasa kita jika kita memberi laporan kepada atasan, atau jika kita memarahi orang, membujuk anak, menulis surat kepada kekasih, mengobrol dengan sahabat karib. Walaupun begitu, teras atau inti sari bersama dalam gaya bahasa yang bermacam-macam itu tetap dapat dikenali.

Kemampuan menggunakan berbagai gaya itu pada hakikatnya terjangkau oleh setiap orang dewasa. Namun, kemahiran itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus diraih lewat pelatihan dan pengalaman. Untuk mencapai maksud itu diperlukan kematangan, kepekaan, dan kearifan yang memungkinkan si penutur mengamati dan mencontoh gaya orang yang dianggapnya cocok pada suasana tertentu. Penerapan gaya yang sama dalam situasi yang berlain-lainan, seperti halnya dengan anak kecil yang hanya menguasai satu gaya--yang dipakainya dalam lingkungan keluarganya—dapat menimbulkan kesan kemiskinan batin. Di pihak lain, penguasaan satu gaya bahasa semata-mata di kalangan masyarakat yang luas, misalnya gaya pidato, atau gaya instruksi, dapat menimbulkan anggapan bahwa dengan bahasa Indonesia orang seakan-akan tidak dapat bergaul dengan akrab, hangat, dan mesra.

Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci sebagai berikut: ( 1 ) ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan; (2) ragam menurut sarananya; dan (3) ragam yang mengalami gangguan pencampuran.

Setiap penutur bahasa hidup dan bergerak dalam sejumlah lingkungan masyarakat yang adat-istiadatnya atau tata cara pergaulannya dapat berbeda. Perbedaan itu terwujud pula dalam pemakaian bahasa. Orang yang ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam yang dikuasainya dan yang cocok dengan bidang atau pokok itu. Jumlah ragam yang dimilikinya agak terbatas karena bergantung pada luas pergaulannya, pendidikannya, profesinya, kegemarannya, dan pengalamannya. Bidang yang dimaksudkan itu, misalnya, agama, politik, ilmu, teknologi, pertukangan, perdagangan, seni rupa dan seni sastra, olah raga, perundang-undangan, dan angkatan bersenjata.

Kerap kali peralihan ragam itu berkisar pada pemilihan sejumlah kata atau ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang atau dalam pembahasan pokok persoalan yang bersangkutan. Misalnya, akidah, akad nikah, biara, pedanda (agama); kuorum, pemilihan umum, partai (politik); atom, Inflasi, pembelahan inti, fonem, fosil (ilmu); penyulingan, beton pratekan (teknologi); baut, dongkrak (pertukangan); pialang, konsumen, cek (perdagangan); ikon, stupa, naturalisme (seni rupa); sajak, alur, sorot balik, rima (seni sastra); gelandang, sundulan, gaya kupu-kupu (olah raga); pidana, perdata, mahkamah (perundang-undangan); panglima, saptamarga, satuan tugas, kapal selam (angkatan bersenjata).

Di samping itu, ada juga variasi dalam tata bahasanya. Perhatikanlah bagaimana bangun kalimat tersusun dalam uraian resep dapur, wacana ilmiah, surat putusan, undang-undang, wawancara, doa, iklan, dan kawat. Dalam karangan ilmiah, misalnya, penulisnya sering menghindari pemakaian kata aku atau saya. Sebagai pengganti dipakainya kami, atau penulis ini. Atau, penunjukan pengarang sama sekali ditinggalkannya dan verba kalimat-kalimatnya disusun dengan awalan pemasifan di-. Kaidah dalam seni kata, yang menghasilkan ragam susastra, termasuk yang paling ketat. Untaian kalimat yang berlarik-larik tidak selalu dapat disebut sajak, dan karangan yang jumlah katanya di bawah sepuluh ribu tidak selalu boleh dinamai cerita pendek. Pemakaian ragam menurut bidang atau pokok persoalan sering berpraanggapan adanya pemakaian ragam bahasa yang lain. Misalnya, kalimat yang berkaitan dengan pokok di dalam bidang ekonomi atau manajemen, mensyaratkan pemakaian ragam bahasa orang yang berpendidikan formal.

Ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan, atau ujaran, dan ragam tulisan. Karena tiap-tiap masyarakat bahasa memiliki ragam lisan. sedangkan ragam tulisan baru muncul kemudian, maka soal yang perlu ditelaah ialah bagaimana orang menuangkan ujarannya ke dalam bentuk tulisan. Bahasa Melayu dianggap orang sejak dahulu berperan sebagai lingua franca. Bahasa bersama itu untuk bagian besar penduduk kita berupa ragam lisan untuk keperluan yang agak terbatas. Bahkan sampai masa kini, oleh berjuta-juta orang yang masih buta huruf, bahasa Indonesia yang dikuasainya hanyalah ragam lisannya saja.

Apakah perbedaan yang mencolok mata yang dapat kita amati di antara ujaran dan ragam tulisan? Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama berhubungan dengan suasana peristiwanya. Jika kita menggunakan sarana tulisan, kita berpraanggapan bahwa orang yang diajak berbahasa tidak ada di hadapan kita. Akibatnya, bahasa kita perlu lebih terang dan jelas karena ujaran kita tidak dapat disertai oleh gerak isyarat, pandangan, atau anggukan, tanda penegasan di pihak kita atau pemahaman pendengar kita. Itulah sebabnya, kalimat dalam ragam tulisan harus lebih cermat sifatnya. Fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, dan objek, dan hubungan di antara fungsi itu masing-masing, harus nyata, sedangkan di dalam ragam lisan, karena penutur bahasa berhadapan atau bersemuka, unsur itu kadang-kadang dapat ditinggalkan. Orang yang halus rasa bahasanya sadar bahwa kalimat yang ditulisnya, berlainan dengan kalimat dalam ujarannya, dapat dibaca-baca orang, dikaji, dan dinilai dengan lebih mudah. Karena itu. ia sepatutnya berhati-hati sehingga berusaha agar kalimatnya lengkap, lebih ringkas, dan elok jika dibandingkan dengan kalimat ujarannya. Bentuk akhir kalimat ragam tulisan tidak jarang berupa hasil penyuntingan beberapa kali.

Hal yang kedua yang membedakan ragam lisan dengan ragam tulisan berkaitan dengan beberapa upaya yang kita gunakan dalam ujaran—misalnya, tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara, serta irama kalimat --yang sulit dilambangkan dengan ejaan dan tata tulis yang kita miliki. Jadi, penulis acap kali perlu merumuskan kembali kalimatnya jika ia ingin menyampaikan jangkauan makna yang sama lengkapnya atau ungkapan perasaan yang sama telitinya. Misalnya, kalimat ujaran “Darto tidak mengambil uangmu”, yang disertai pola intonasi khusus pada kata tidak, dalam tulisan mungkin dapat berbentuk “Bukan Darto yang mengambil uangmu”, agar penegasannya sama tarafnya. Harus ditambahkan di sini bahwa ragam tulisan juga mempunyai kelebihannya. Upaya seperti huruf kapital, huruf miring, tanda kutip, paragraf atau alinea, tidak mengenal padanannya yang sama jelasnya dalam ujaran .

Tiap penutur bahasa pada dasarnya dapat memanfaatkan kedua ragam lisan dan tulisan itu sesuai dengan keperluannya, apa pun latar belakangnya. Meskipun demikian, kita tidak dapat berharap orang yang kurang mendalam proses belajarnya mampu menggunakan ragam tulisan dengan keterampilan orang yang terpelajar. Pokok pengajaran bahasa di sekolah sebenarnyalah berkisar pada peningkatan keterampilan dan kefasihan dalam kedua ragam itu. Ragam lisan dan tulisan masih mengenal kendala atau hambatan lain. Artinya, ada bidang atau pokok persoalan yang lebih mudah dituangkan ke dalam ragam yang satu daripada yang lain. Misalnya, laporan keuangan dengan tabel bilangan dan grafik, atau uraian kimia yang berisi lambang unsur dan rumus hidrolisis, lebih mudah disusun dan dibaca dalam bentuk tulisan. Demikian pula peraturan perundang-undangan yang bangun kalimatnya sering bersusun-susun. Sebaliknya, laporan pandangan mata yang mencakup pertandingan olah raga dalam bentuk ragam lisan --dan yang dapat kita nikmati--sulit dipahami orang jika direkam secara harafiah dalam bentuk tulisan.

Walaupun kita mengakui adanya proses pengaruh-mempengaruhi di antara bahasa yang digunakan secara berdampingan, seperti halnya di Indonesia, keleluasaannya itu ada batasnya. Selama pemasukan unsur bahasa daerah Nusantara atau bahasa asing, misalnya Belanda dan Inggris, ke dalam bahasa Indonesia mengisi kekosongan atau memperkaya kesinoniman dalam kosa kata atau bangun kalimat, maka gejala itu kita anggap wajar. Akan tetapi, serta merta unsur bahasa yang bersangkutan itu menganggu rasa bahasa kita atau mengganggu keefektifan penyampaian informasi kita, maka ragam bahasa yang dicampuri unsur masukan itu kita tolak. Itulah yang disebut ragam bahasa yang mengalami gangguan pencampuran atau interferensi. Barang tentu, batas antara pencampuran yang mengganggu dan yang tidak, tidak selalu jelas. Banyaknya unsur pungutan yang berasal dari bahasa Jawa, misalnya, dianggap pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahasa Inggris oleh setengah orang dianggap pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Lafal Indonesia yang kesunda-sundaan agaknya masih dapat diterima orang; tidak demikian halnya dengan lafal yang kebelanda-belandaan. Apa pun ruang lingkup ragam hahasa yang berinterferensi itu, sekolah bertugas dalam pengajaran bahasanya mengenali gejala-gejalanya dan meniadakannya dalam ujaran dan tulisan para siswanya. Ragam bahasa berinterferensi itu disendirikan dalam pembahasan ini karena orang ramai memasalahkan pemasukan unsur Inggris ke dalam bahasa kita, bukan saja di bidang kosa kata, melainkan juga di bidang tata kalimat, sebagaimana yang dapat kita saksikan dalam ragam bahasa pers. Karena batas antara interferensi dan yang bukan lebih banyak berupa daerah peralihan, dan bukan titik peralihan, kita pun hendaknya bijaksana dan memungkinkan penyerapan unsur daerah dan asing ke dalam bahasa Indonesia jika pemakaiannya meningkatkan taraf komunikasi. Agar jangan salah paham, pendirian ini sekali-kali tidak menganjurkan agar pemasukan unsur tersebut dimudahkan.

Mosaik ragam bahasa di atas mencerminkan khazanah bahasa kita yang jalin-menjalin. Jalinan itu akan menjadi terang dengan contoh yang berikut. Orang dari Ujungpandang (logat), lulusan universitas (pendidikan) menulis karangan (sarana) tentang adat orang Toraja (bidang) untuk majalah sekolah siswa SMA (sikap). Lagi, pemuda Jakarta (logat) mengobrol (sarana) dengan santai (sikap) tentang pertandingan sepak bola (bidang) dengan teman wanitanya (sikap).

Tingkat kemahiran orang mewujudkan berbagai ragam bahasa--yang sama teras atau inti sari bersamanya--dalam suatu uraian berbeda-beda. Pertanyaan yang mungkin diajukan ialah dapatkah seseorang menguasai semua ragam yang terpakai dalam bahasanya. Dalam teori, jika masyarakat bahasa yang bersangkutan sangat sederhana sifatnya dan peri kehidupannya serba seragam, tidak mustahil orang mencapai kemahiran itu. Jika masyarakat bahasa sudah majemuk coraknya, jika sistem bagi-kerjanya sudah amat berkembang, hampir tidak mungkin orang mengenal dan memahiri semua ragam bahasa dengan lengkap. Bertalian dengan hal tersebut baiklah disadari bahwa jumlah ragam yang kita pahami biasanya lebih besar daripada jumlah ragam yang kita kuasai. Hal itu juga berlaku bagi pengetahuan kita tentang kosa kata dan sintaksis. Dalam praktik, kita juga tidak perlu mempelajari semua ragam bahasa yang tersedia. Sekolah, misalnya, tidak wajib mengajarkan ragam orang yang tidak berpendidikan; demikian pula ragam kelompok khusus, yang dikenal dengan istilah slang, tidak perlu dimasukkan dalam bahan pengajaran bahasa. Yang perlu diketengahkan kepada para siswa ialah kenyataan bahwa bahasa kita bukan bongkah emas sepuluh mutu yang murni, melainkan gumpalan yang unsurnya emas tulen, emas tua, emas muda, dan mungkin juga, tembaga. Semua ragam itu termasuk bahasa Indonesia, tetapi tidak semuanya dapat disebut anggota "bahasa yang baik dan benar". Apakah yang sebenarnya dimaksudkan dengan bahasa yang baik dan benar itu? Sebelum menjawab pertanyaan itu marilah kita telaah lebih dahulu hakikat bahasa baku atau bahasa standar.

3. Bahasa Baku
Ragam bahasa orang yang berpendidikan , yakni bahasa dunia pendidikan, merupakan pokok yang sudah agak banyak ditelaah orang. Ragam itu jugalah yang kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain. Ragam itu tidak saja ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Apa yang dahulu disebut bahasa Melayu Tinggi dikenal juga sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu juga yang dipakai oleh kaum yang berpendidikan dan yang kemudian dapat menjadi pemuka di berbagai bidang kehidupan yang penting. Pejabat pemerintah, hakim, pengacara, perwira, sastrawan, pemimpin perusahaan, wartawan, guru, generasi demi generasi terlatih dalam ragam sekolah itu. Ragam itulah yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Fungsinya sebagai tolok menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa standar baginya.

Proses tersebut terjadi di dalam banyak masyarakat bahasa yang terkemuka seperti Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, dan Italia. Di Indonesia keadaannya agak berlainan: pejabat tinggi, pemuka, dan tokoh masyarakat kita dewasa ini yang berusia antara 45 dan 65 tahun tidak semuanya beroleh kesempatan memahiri ragam bahasa sekolah dengan secukupnya. Peristiwa revolusi kemerdekaan kita agaknya yang menjadi musababnya. Karena itu, mungkin tidak amat tepat menyamakan bahasa Indonesia yang baku dengan bahasa golongan pemimpin masyarakat secara menyeluruh. Masalahnya, di Indonesia, kemahiran berbahasa yang benar, walaupun dihargai, belum menjadi prasyarat kedudukan yang terkemuka di dalam masyarakat kita. Mengingat kenyataan tersebut di atas kita perlu kembali ke dunia pendidikan yang menurut adat menjadi persemaian para pemimpin. Ragam bahasa yang diajarkan dan dikembangkan di dalam lingkungan itulah yang akan menjadi ragam bahasa pemimpin kita yang mendatang sehingga pada suatu saat bahasa Indonesia yang baku memang dapat disamakan dengan ragam bahasa golongan pemuka yang memancarkan gengsi dan wibawa kemasyarakatan. Oleh sebab itu di Indonesia, semua proses pembakuan hendaknya bermula pada ragam bahasa perguruan dengan berbagai coraknya dari sudut pandangan sikap, bidang, dan sarananya.

Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang menerbitkan bentuk perasa dan perumus dengan taat asas harus dapat menghasilkan bentuk perajin dan perusak dan bukan pengrajin dan pengrusak. Kehomoniman yang timbul akibat penerapan kaidah itu bukan alasan yang cukup berat yang dapat menghalalkan penyimpangan itu. Bahasa mana pun tidak luput dari kehomoniman. Di pihak lain, kemantapan itu tidak kaku, tetapi cukup luwes sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem dan teratur di bidang kosa kata dan peristilahan, dan mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan di dalam kehidupan modern. Misalnya, di bidang peristilahan muncul keperluan membedakan pelanggan 'orang yang berlanggan (an) dan langganan 'orang yang tetap menjual barang kepada orang lain: hal menerima terbitan atau jasa atas pesanan secara teratur' .

Ragam baku yang baru dalam penulisan laporan, karangan ilmiah, undangan, percakapan telepon perlu dikembangkan lebih lanjut. Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya. Perwujudannya dalam kalimat, paragraf, dan satuan-bahasalain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencendekiaan bahasa itu amat penting karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber pada bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat ragam bahasa baku bahasa Indonesia. Akan tetapi, karena proses bernalar secara cendikia bersifat semesta dan bukan monopoli suatu bangsa semata-mata, pencendekiaan bahasa Indonesia tidak perlu, berarti pembaratan bahasa. Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah ciri ketiga bahasa baku. Setelah mengenali ketiga ciri umum yang melekat pada ragam standar bahasa kita, baiklah kita beralih ke pembicaraan tentang lajunya proses pembakuan di bidang ejaan, lafal, kosa kata, dan tata bahasa sampai kini.


4. Fungsi Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi. Tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolis, sedangkan yang satu bersifat objektif. Masing-masing diberi nama (1 ) fungsi pemersatu; (2) fungsi pemberi kekhasan. (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.

Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa itu. Dengan demikian, bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan seluruh masyarakat itu. Bahasa Indonesia ragam tulisan yang diterbitkan di Jakarta selaku pusat pembangunan agaknya dapat diberi predikat pendukung fungsi pemersatu. Bahkan banyak orang bukan saja tidak sadar akan adanya dialek (geografis) bahasa Indonesia, melainkan menginginkan juga keadaan utopia yang hanya mengenal satu ragam bahasa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke.

Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Hal itu nyata pada penutur bahasa Indonesia. Yang meragukan setengah orang ialah apakah perasaan itu bertalian lebih erat dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau dengan bahasa baku. Yang jelas ialah pendapat orang banyak hahwa bahwa bahasa Indonesia lain daripada bahasa Malaysia, lain daripada bahasa Melayu di Singapura atau Brunei. Bahkan bahasa Indonesia dianggap sudah jauh berbeda dari bahasa Melayu Riau-Johor yang menjadi induknya.

Pemilikan bahasa baku membawa serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan bahasa baku sendiri. Ahli bahasa dan khalayak ramai di Indonesia pada umumnya berpendapat bahwa perkembangan bahasa Indonesia dapat dijadikan teladan bagi bangsa lain di Asia-Tenggara (dan mungkin juga di Afrika) yang juga memerlukan bahasa yang modern. Di sini pun harus dikemukakan bahwa prestise itu mungkin lebih-lebih dimiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional daripada sebagai bahasa baku. Dapat juga dikatakan bahwa fungsi pembawa wibawa itu beralih dari pemilikan bahasa baku yang nyata ke pemilikan bahasa yang berpotensi menjadi bahasa baku. Walaupun begitu, menurut pengalaman, sudah dapat disaksikan di beberapa tempat bahwa penutur yang mahir berbahasa Indonesia "dengan baik dan benar" memperoleh wibawa di mata orang lain.

Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasi) yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan. Dengan demikian penyimpangan dari norma dan kaidah dapat dinilai. Bahasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saja terbatas pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis pemakaian bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya yang khas, seperti di dalam permainan kata, iklan, dan tajuk berita. Fungsi ini di dalam bahasa Indonesia baku belum berjalan dengan baik. Namun, perlunya fungsi itu berkali-kali diungkapkan di dalam ketiga kongres bahasa Indonesia, seminar, dan simposium, serta berbagai penataran guru. Kalangan guru berkali-kali menghimbau agar disusun tata bahasa normatif yang dapat menjadi pegangan acuan bagi guru bahasa dan pelajar.

Pembakuan atau penstandaran bahasa dapat diselenggarakan oleh badan pemerintah yang resmi atau oleh organisasi swasta. Di Amerika, misalnya, para penerbit mengeluarkan pedoman gaya tulkis-menulis yang kemudian dianggap baku sehingga pengarang yang ingin menerbitkan karyanya, mau tidak mau, mengikuti petunjuk yang ditentukan oleh kaum awam penerbit. Di antara penerbit Indonesia tidak ada pegangan yang mantap. Ada yang mengizinkan perangkaian penulisan kata depan dengan kata nomina di belakangnya; ada yang mengizinkan penulisan angka 2 dalam teks buku walaupun sudah ada pedoman umum ejaan yang resmi. Mengingat kedudukan bahasa nasionalnya yang amat penting dalam peri kehidupan warga negaranya, di Indonesia ada badan pemerintah yang ditugasi menangani pembakuan bahasa. Namanya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Karena ragam bahasa dunia pendidikan didahulukan dalam proses pembakuan ini, maka kerja sama antara pusat itu dengan para guru dan pengembang ilmu di berbagai jenis lembaga pendidikan merupakan prasyarat bagi berhasilnya penstandaran bahasa. Hal itu tidak mengisyaratkan bahwa kerjasama dan dukungan golongan lain, seperti pengasuh media massa dan kalangan pembina pendapat umum, tidak diperlukan.

Ejaan, atau tata cara menulis, bahasa Indonesia dengan huruf Latin untuk ketiga kali dibakukan secara resmi pada tahun 1972, setelah berlakunya ejaan Van Ophuijsen (1910) dan ejaan Soewandi (1974). Pada tahun 1975 dikeluarkan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan yang menguraikan kaidah ejaan yang baru itu secara terinci dan lengkap. Jika kita menerapkan patokan pembakuan yang terurai di atas, maka dapat dikemukakan pendapat bahwa kaidah ejaan kita sudah seragam, dasar penyusunannya memenuhi syarat kecendekiaan, tetapi pelaksanaannya belum mantap. Mengingat jumlah variasi pelafalan, atau pengucapan, bahasa Indonesia yang diizinkan atau diterima itu sangat besar, akibat banyaknya ragam kedaerahan, pelaksanaan ejaan yang baku menjamin kemudahan proses pemahaman di antara semua penutur yang tersebar di kepulauan kita. Apa pun lafal kata yang mengacu ke 'mobil tumpangan yang dapat memuat orang banyak' di Tapanuli, Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Minahasa, hendaknya disepakati agar ejaannya yang baku ialah bus dan bukan bis.

Sebagaimana dinyatakan di atas, lafal bahasa Indonesia banyak coraknya. Kita tidak saja berhadapan dengan ragam kedaerahan, tetapi juga dengan ragam orang yang kurang berpendidikan, yang fonologi bahasanya berbeda. Jika ditinjau dari sudut pembakuan, kita dapat mengambil dua sikap. Yang pertama didukung oleh anggapan agar berbagai lafal yang ada dibiarkan selama lafal itu ternyata tidak mengganggu arus perhubungan kebahasaan di antara penuturnya. Orang di pihak ini berpendapat bahwa keleluasaan dalam lafal harus dilonggarkan. Bahasa Inggris yang dilafalkan orang di Australia, India, Britania, Kanada, dan Amerika, misalnya, juga tidak menimbulkan gangguan komunikasi. Sikap yang kedua dianut oleh orang yang terpendapat bahwa lafal yang santun mutlak diperlukan. Kata mereka. "Dulu kami pun mempelajari lafal bahasa Belanda santun yang umum." Andaikata keinginan itu layak diwujudkan sekarang, setelah pembakuan ejaan yang baru diselesaikan. maka masalah yang timbul ialah lafal siapa dan lafal daerah mana yang harus dijadikan tolok agar dapat disebut lafal Indonesia yang baku. Karena kita tentang soal ini belum membulatkan mufakat, agaknya terlalu dini mengusahakan pembakuan lafal pada waktu sekarang.

Dengan menggabung-gabungkan angka Arab yang jumlahnya hanya sepuluh itu, kita mampu melambangkan bilangan apa saja dan yang tidak terbatas jumlahnya maupun besarnya. Di dalam bahasa, dengan perangkat bunyi dan huruf yang juga terbatas banyaknya, kita pun dapat menyusun kata baik dalam ujaran maupun dalam tulisan yang jumlahnya mungkin beratus ribu. Satuan bahasa itu kita pakai untuk mengacu ke barang, perbuatan, sifat, atau gagasan apa saja yang bertalian dengan kehidupan kita. Kumpulan unsur bahasa itu disebut kosa kata 'khazanah kata'. Istilah leksikon dipakai dengan makna yang sama, tetapi kadang-kadang diperbedakan juga sebagai pengacu kumpulan seluruh jumlah morfem-jadi, semua afiks juga termasuk--yang tersedia dalam bahasa. Kosa kata Indonesia disusun menurut abjad dalam kamus. Hingga kini; dua buah kamus yang dianggap mendekati kelengkapan ialah Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta (edisi pertama. cetakan pertama, 1953; edisi kedua. cetakan kedelapan 1982) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (edisi pertama, cetakan pertama, 1988). Namanya mengisyaratkan bahwa kamus itu bukan perekam bahasa yang baku saja. Di dalamnya terdapat butir masukan yang tergolong ragam yang tidak baku.

Sehubungan dengan pembakuan kosa kata ada kalanya orang bertanya, sudahkan kata seperti cewek, ngelotok, ngopi, dan nggak, jadi warga kosa kata Indonesia. Jawabnya, ya, karena bahasa kita banyak ragamnya, tetapi kata itu bukan unsur ragam bahasa yang baku. Dalam pada itu, unsur bahasa yang semula tidak termasuk ragam standar lambat-laun dapat diterima menjadi bagian kosa kata yang baku. Bandingkanlah, misalnya, perbedaan sikap orang beberapa waktu yang lalu dengan sekarang terhadap kata pacar, bisa, dan dimengerti. Karena banyaknya kesangsian di antara penutur bahasa dan demi tujuan pengajaran bahasa yang tepat, usaha pembakuan kosa kata, yang seyogianya ditafsirkan pemantapan kosa kata dalam ragam bahasa yang baku, perlu digiatkan dan dikembangkan.

Rintisan pembakuan kosa kata sebenarnya sudah agak lama berjalan bidang peristilahan yang merupakan bagiannya yang amat penting. Pekerjaan pembakuan istilah itu sudah dimulai sejak 1942 dengan adanya Komisi Bahasa Indonesia. Akan tetapi, baru pada tahun 1975 keluarlah Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang ingin memberikan patokan yang menyeluruh permasalahan tersebut sehingga kita dapat memiliki tata istilah yang memenuhi syarat kemantapan, kecendekiaan, dan keseragan. Penyusunan istilah khusus serta pengembangannya pada hakikatnya merupakan unsur sertaan pengembangan ilmu. Karena itu, kepada para ahli di berbagai bidang dan lapanganlah diamanatkan penataan istilah Indonesia yang baku.

Penstandaran tata bahasa Indonesia belum pernah dilakukan secara resmi. Walaupun demikian, buku tata bahasa, baik yang berupa saduran karangan ahli Belanda maupun yang berupa karya asli, yang banyak dipakai di perguruan kita tidak sedikit pengaruhnya sebagai faktr pembaku. Apa yang diajarkan oleh buku itu, itulah yang dianggap benar. Buku yang banyak pengaruhnya terhadap pandangan kebahasaan orang yang bergerak di bidang pendidikan, di antaranya dapat disebut karangan Van Ophuijsen (1910), S.M. Zain (1942), Madong Loebis (1946), S.T. Alisjahbana (1949); C.A. Mees (1951), Fokker (1951), Poedjawijatna dan Zoetmulder (1955), Slametmuljana (1956-57), Gorys Keraf (1970), Poerwadarminta (1967), Samsuri (1971, 1978), dan M. Ramlan (1971, 1980, 1991). Di samping jasanya sebagai sarana, kadang-kadang memang satu-satunya, dalam pengajaran bahasa di sekolah yang berhasil menjaga kesinambungan proses pemahiran bahasa Indonesia, buku tata bahasa yang pernah dipakai secara luas itu tidak luput dari dua kelemahan. Yang pertama berhubungan dengan taraf perinciannya. Di antara bagian tata bunyi, tata bentuk, dan tata kalimat, umumnya tata bentuklah yang uraiannya paling terinci. Bagian tata bunyi menimbulkan kesan bahwa pembahasannya bertolak dari pengetahuan orang tentang tata bunyi Belanda. Itulah sebabnya, dalam buku tata bahasa Indonesia dapat dipersoalkan tempat tekanan kata dan jenis tekanan, seperti tekanan dinamik, tekanan tinggi, dan tekanan waktu. Bagian sintaksis bernasib anak tiri. Contohnya begini. Karena dalam bahasa Belanda predikat kalimat selalu memuat bentuk verba, kalimat Indonesia, seperti Ayah di rumah menurut teori tata bahasa yang berlaku juga bukan kalimat yang sempurna.

Kekurangan yang lain berkisar pada kekaburan tentang apa yang dapat disebut kaidah tata bahasa dan apa yang bukan. Kaidah tata bahasa mengandung kemampuan penerapan secara umum. Bentukan bahasa yang kaidahnya tidak dapat dirumuskan secara umum masuk bidang idiom atau leksikologi. Misalnya, jika bentukan tertulang dan terbuku memperoleh tafsiran 'sampai ke tulang' dan 'sampai ke buku', kita tidak dapat menjabarkan kaidah yang menyatakan bahwa awalan ter-dapat bermakna 'sampai ke'. Sebabnya ialah penerapan awalan ter- dengan makna itu tidak dapat disimpulkan atau digeneralisasi. Kita tidak mungkin menyusun bentuk (Ia jatuh) terjurang, atau (Kemarin kami) ter-Bandung. Bentuk tertulang dan terbuku sebaiknya dimasukkan golongan idiom di samping meninggal dan memberi tahu. Pembauran kaidah gramatikal, yang dapat diterapkan secara umum, dengan idiom atau adat bahasa, yang seharusnya dihafalkan secara utuh, menyulitkan pemelajaran bahasa. Bagaimanakah, misalnya, tafsiran kalimat yang berikut; Rahasia itu kemarin terbongkar? Rahasia itu dapat dibongkar, sudah dibongkar, dibongkar dengan tidak sengaja, ataukah tiba-tiba dibongkar?

Di atas telah disinggung hal teras atau inti sari bersama yang umum dalam bahasa Indonesia. Wajarlah jika dikatakan bahwa bagian yang tidak kecil dari kumpulan ciri dan kaidah pokok bahasa kita sudah dicakup dalam buku tata bahasa yang selama ini terpakai. Inti sari itu juga memberikan gambaran bahwa tata bunyi, tata bentuk, dan tata kalimat Indonesia masih sangat banyak persamaannya dengan padanannya di dalam bahasa Melayu. Perbedaannya yang paling nyata dapat disaksikan pada lafal dan kosa katanya. Jika orang Indonesia dan Malaysia menggunakan. bahasanya masing-masing, maka bagian yang dapat dipahami jauh lebih besar daripada bagian yang tidak. Karena itu, ada baiknya kita kaji kembali benar tidaknya pernyataan bahasa Indonesia sudah sangat berlainan dengan bahasa Melayu, yang merupakan induk bagi kedua bahasa tersebut. Tidakkah mungkin bahwa pendirian itu dipengaruhi oleh tautan pikiran politik nasional yang menghubungkan kata Melayu dengan suasana kolonial atau kesukuan? Anggapan itu dikemukakan di sini karena oleh setengah orang penyimpangan kaidah bahasa masa kini dengan mudah dapat dihalalkan sebab bahasa Indonesia “sudah sangat berbeda dengan bahasa Melayu dulu".

5 Bahasa yang Baik dan Benar

Jika bahasa sudah memiliki kebakuan atau kestandaran, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak dengan lebih mudah dapat dibuat pembedaan antara bahasa yang benar dengan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar atau betul. Jika orang masih berbeda pendapat tentang benar tidaknya suatu bentuk bahasa maka selisih paham itu menandakan ketiadaan standar, atau adanya baku yang belum mantap. Jika dipandang dari sudut itu, kita mungkin berhadapan dengan bahasa yang semua tatarannya sudah dibakukan; atau yang sebagiannya sudah baku, sedangkan bagian yang lain masih dalam proses pembakuan; ataupun yang semua bagiannya belum atau tidak akan dibakukan. Bahasa Indonesia, agaknya, termasuk golongan yang kedua. Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita sudah distandarkan, kaidah pembentukan kita yang sudah teradat dapat dianggap baku, tetapi pelaksanaan patokan itu dalam kehidupan sehari-hari belum mantap.

Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apapun jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif.. Bahasanya membuahkan efek atau hasil karena serasi dengan peristiwa atau keadaan yang dihadapinya. Di atas sudah diuraikan bahwa orang yang berhadapan dengan sejumlah lingkungan hidup harus memilih salah satu ragam yang cocok dengan situasi itu. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar-menawar di pasar misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan. Jadi, pada asasnya, kita mungkin menggunakan bahasa yang baik, artinya yang tepat, tetapi yang tidak termasuk bahasa yang benar. Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang benar yang tidak baik penerapannya karena suasananya mensyaratkan ragam bahasa yang lain. Maka anjuran agar kita “berbahasa Indonesia dengan baik dan benar” dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan "bahasa Indonesia yang baik dan benar”, sebaliknya mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.