Senin, 18 Februari 2013

BERBICARA SEBAGAI KOMUNIKASI SEBUAH PENGANTAR

1. Pengertian Komunikasi

Pengertian komunikasi sudah banyak didefinisikan oleh banyak orang, jumlahnya sebanyak orang yang mendifinisikannya. Komunikasi adalah suatu interaksi, proses simbolik yang menghendaki orang – orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antar sesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku tersebut. Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (M. Rogers ). Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk data, melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya yang pada akhirnya akan sampai pada saling pengertian yang mendalam.  Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak disengaja. (menurut Shannon dan Weaver )
Dari banyak pengertian tersebut jika dianalisis pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.
Gambar berikut menggambarkan apa yang dapat kita namakan model universal komunikasi. Ini mengandung elemen-elemen yang ada dalam setiap tindak komunikasi, terlepas dari apakah itu bersifat intrapribadi, antarpribadi, kelompok kecil, pidato terbuka, atau komunikasi masa.
Gangguan
Pesan
Umpan balik
Sumber/
enkoder
Penerima/
dekoder
Sumber/
dekoder
Penerima/
enkoder
Umpan balik
Pesan
Saluran/ media
Saluran/ media
Konteks (Lingkungan
 


















2. Fungsi-Fungsi Komunikasi
Pakar komunikasi mengemukakan fungsi komunikasi umumnya dibedakan menjadi empat fungsi (a) sosial (b) ekspresif (c) ritual (d) instrumental. Fungsi sosial komunikasi mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep-diri, aktualisasi-diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan. Fungsi Ekspresif berkaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan sendirian ataupun dalam kelompok.  Fungsi Ritual berkaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual yang biasanya dilakukan secara kolektif. Fungsi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan, dan mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur.
Bila diringkas kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat persuasive). Komunikasi yang berfungsi memberitahukan atau menerangkan (to inform) mengandung muatan persuasive dalam arti pembicara menginginkan pendengamya mempercayai bahwa fakta atau informasi yang disampaikan akurat dan layak untuk diketahui. Bahkan komunikasi yang menghibur (to entertain) pun secara tidak langsung membujuk khalayak.

3.   Komponen Komunikasi
Setiap ahli mencoba mendeskripksikan hakikat setiap tindakan komunikasi secara berbeda berdasarkan cara pandang yang bervariasi. Dalam perumusan terkait komponen utama sebuah tindakan komunikasi tampak adanya perbedaan itu. Gordon, dkk. misalnya mencatat ada enam unsur pokok yang menggabarkan esensi komunikasi. Gagasan Gordon ini tentu saja bukan sesuatu yang final karena ada ahli lain justru memperkaya gagasan Gordon. Karena itu, berikut dijelaskan beberapa komponen komunikasi itu selain yang digambarkan Gordon (1977:9-12; Anreesc, 2012).

a.   Lingkungan komunikasi (Konteks)
Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi: (1) Fisik, adalah ruang di mana komunikasi berlangsung yang nyata atau berwujud, (2) Sosial-psikoilogis, meliputi, misalnya tata hubungan status di antara mereka yang terlibat, peran yang dijalankan orang, serta aturan budaya masyarakat di mana mereka berkomunikasi. Lingkungan atau konteks ini juga mencakup rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau senda gurau, (3) Temporal (waktu), mencakup waktu dalam hitungan jam, hari, atau sejarah dimana komunikasi berlangsung. Ketiga dimensi lingkungan ini saling berinteraksi; masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain. Sebagai contoh, terlambat memenuhi janji dengan seseorang (dimensi temporal), dapat mengakibatkan berubahnya suasana persahabatan-permusuhan (dimensi sosial-psikologis), yang kemudian dapat menyebabkan perubahan kedekatan fisik dan pemilihan rumah makan untuk makan malam (dimensi fisik). Perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan banyak perubahan lain. Proses komunikasi tidak pernah statis.

b.   Pengirim, Sumber, Pembicara, Guru, Dosen, Penulis-Penerima, Pendengar, Siswa, Mahasiswa, Pembaca, Penafsir
Dalam komunikasi antar manusia, sumber bisa terdiri dari satu orang, tetapi bisa juga dalam kelompok misalnya partai, organisasi atau lembaga. Istilah-istilah ini dalam penggunaannya dapat saling menggantikann dan semuanya merujuk kepada seseorang yang berinisitif memulai sebuah tndakan berkomunikasi. Kita menggunakan sederetan istilah seperti ini untuk menggambarkan bahwa proses komunikasi itu memang luas cakupannya. Intinya adalah kata Pengirim-Penerima sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menegaskan bahwa setiap orang yang terlibat dalam komunikasi adalah sumber (atau pembicara) sekaligus penerima (atau pendengar) ketika aktivitas berkomunikasi itu berlangsung. Seseorang dapat mengirimkan pesan ketika berbicara, menulis, atau memberikan isyarat tubuh. Lawan bicara menerima pesan dengan mendengarkan, membaca, membaui, dan sebagainya. Dalam praktiknya, ketika seseorang mengirimkan pesan, pada saat itu juga ia berpeluang menerima pesan. Ketika seseorang (si A) berbicara dengan orang lain (si B), si A memandang si B untuk mendapatkan tanggapan (untuk mendapatkan dukungan, pengertian, simpati, persetujuan, dan sebagainya). Ketika si A menyerap isyarat-isyarat non-verbal ini, si A menjalankan fungsi atau berali9h peran sebagi penerima.

c.   Enkoding-Dekoding
Dalam ilmu komunikasi menamai tindakan menghasilkan pesan (misalnya, berbicara atau menulis)  di kenal dengan sebutan enkoding (encoding). Dengan menuangkan gagasan-gagasannya seseorang (speaker, writer) ke dalam gelombang suara atau ke atas selembar kertas, ia menjelmakan gagasan-gagasannya ke dalam kode tertentu. Jadi, ia melakukan enkoding.
Sebaliknya, tindakan menerima pesan oleh penerima (misalnya, mendengarkan atau membaca) disebut dengan istilah dekoding (decoding). Dengan menerjemahkan gelombang suara atau kata-kata di atas kertas menjadi gagasan, seseorang menguraikan kode tadi. Jadi, si penerima melakukan dekoding.
Oleh karena itu pembicara atau penulis disebut juga sebagai enkoder (encoder), dan pendengar atau pembaca sebagai dekoder (decoder). Seperti halnya sumber-penerima, kita menuliskan enkoding-dekoding sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menegaskan bahwa dalam praktiknya dua fungsi itu dijalankan secara simultan. Ketika Anda berbicara (enkoding), Anda juga menyerap tanggapan dari pendengar (dekoding).

d.   Kompetensi Komunikasi
Kompetensi komunikasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara efektif (Spitzberg dan Cupach, 1989). Kompetensi ini mencakup hal-hal seperti pengetahuan tentang peran lingkungan (konteks) dalam mempengaruhi kandungan (content) dan bentuk pesan komunikasi (misalnya, pengetahuan bahwa suatu topik mungkin layak dikomunikasikan kepada pendengar tertentu di lingkungan tertentu, tetapi mungkin tidak layak bagi pendengar dan lingkungan yang lain). Pengetabuan tentang tatacara perilaku nonverbal (misalnya kepatutan sentuhan, suara yang keras, serta kedekatan fisik) juga merupakan bagian dari kompetensi komunikasi.
Dengan meningkatkan kompetensi seseorang akan mempunyai banyak pilihan berperilaku saat berkomunikasi. Makin banyak penmgetahuan seseorang tentang komunikasi (artinya, makin tinggi kompetensi), makin banyak pilihan saat melakukan komunikasi dalam pelbagai konteksnya. Proses ini analog dengan proses mempelajari bahasa, semakin banyak perbendaharaan kata yang dimiliki  dan diketahui (artinya, makin tinggi kompetensi perbendaharaan kata seseorang), makin banyak cara yang digunakannya dalam untuk mengungkapkan diri.

e.   Pesan
Pesan adalah sesuatu yang disampaikan oleh pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi Pesan komunikasi dapat mempunyai banyak bentuk. Kita mengirimkan dan menerima pesan ini melalui salah satu atau kombinasi tertentu dari panca indra kita. Walaupun biasanya kita menganggap pesan selalu dalam bentuk verbal (lisan atau tertulis), ini bukanlah satu-satunya jenis pesan. Kita juga berkomunikasi secara nonverbal (tanpa kata). Sebagai contoh, busana yang kita kenakan, seperti juga cara kita berjalan, berjabatan tangan, menggelengkan kepala, menyisir rambut, duduk, dan. tersenyum. Pendeknya, segala hal yang kita ungkapkan dalam melakukan komunikasi.

f.    Saluran, media
Media yang dimaksud di sini adalah alat yang digunakan untuk   memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Saluran komunikasi adalah media yang dilalui pesan. Jarang sekali komunikasi berlangsung melalui hanya satu saluran, kita menggunakan dua, tiga, atau empat saluran yang berbeda secara simultan. Sebagai contoh, dalam interaksi tatap muka kita berbicara dan mendengarkan (saluran suara), tetapi kita juga memberikan isyarat tubuh dan menerima isyarat ini secara visual (saluran visual). Kita juga memancarkan dan mencium bau-bauan (saluran olfaktori). Seringkali kita saling menyentuh, ini pun komunikasi (saluran taktil).

g.   Umpan Balik
Umpan Balik adalah suatu bentuk tanggapan balik dari penerima setelah memperoleh pesan yang diterima. Dalam ilmu komunikasi juga dikenal beberapa macam tipe komunikasi. Joseph A. DeVito seorang professor komunikasi di City University of New York dalam bukunya Communicology membagi komunikasi atas empat macam yaitu : komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi publik dan komunikasi massa. Umpan balik adalah informasi yang dikirimkan balik ke sumbernya. Umpan balik dapat berasal dari Anda sendiri atau dari orang lain. Dalam diagram universal komunikasi tanda panah dari satu sumber-penerima ke sumber-penerima yang lain dalam kedua arah adalah umpan balik. Bila Anda menyampaikan pesan misalnya, dengan cara berbicara kepada orang lain Anda juga mendengar diri Anda sendiri. Artinya, Anda menerima umpan balik dari pesan Anda sendiri. Anda mendengar apa yang Anda katakan, Anda merasakan gerakan Anda, Anda melihat apa yang Anda tulis. Selain umpan balik sendiri ini, Anda menerima umpan balik dari orang lain. Umpan balik ini dapat datang dalam berbagai bentuk: Kerutan dahi atau senyuman, anggukan atau gelengan kepala, tepukan di bahu atau tamparan di pipi, semuanya adalah bentuk umpan balik.

h.   Gangguan
Gangguan (noise) adalah gangguan dalam komunikasi yang mendistorsi pesan. Gangguan menghalangi penerima dalam menerima pesan dan sumber dalam mengirimkan pesan. Gangguan dikatakan ada dalam suatu sistem komunikasi bila ini membuat pesan yang disampaikan berbeda dengan pesan yang diterima.
Gangguan ini dapat berupa gangguan fisik (ada orang lain berbicara), psikologis (pemikiran yang sudah ada di kepala kita), atau semantik (salah mengartikan makna). Tabel dibawah menyajikan ketiga macam gangguan ini secara lebih rinci.
Macam
Definsi
Contoh
Fisik
Interferensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain
Desingan mobil yang lewat, dengungan komputer, kacamata, cacat, mata, telinga, dll.
Psikologis
Interferensi kognitif atau mental
Prasangka dan bias pada sumber-penerima, pikiran yang sempit
Semantik
Pembicaraan dan pendengar memberi arti yang berlainan
Orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit yang tidak dipahami pendengar

Gangguan dalam komunikasi tidak terhindarkan. Semua komunikasi mengandung gangguan, dan walaupun kita tidak dapat meniadakannya samasekali, kita dapat mengurangi gangguan dan dampaknya. Menggunakan bahasa yang lebih akurat, mempelajari keterampilan mengirim dan menerima pesan nonverbal, serta meningkatkan keterampilan mendengarkan dan menerima serta mengirimkan umpan balik adalah beberapa cara untuk menanggulangi gangguan.


i.    Efek Komunikasi (Pesan dan Makna) pada tiga Ranah (taksonomi Bloom)
Efek atau pengaruh adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa tergantung dari pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang (Fleur, 1982). Masalah efek, pengaruh, dampak komunikasi dalam karya Gordon, dkk. dirumuskan dalam penjelasan berkaitan dengan unsur  pesan dan makna sebuah tindakan komunikasi. Makna pesan itu lebih merujuk pada apa yang merupakan hasul interpretasi atau jawaban dari penerima apesan dalam komunikasi. Dengan cara ini jelas dibedakan antara apa yang menjadi isi (content) komunikasi dan apa yang menjadi arti, makna (meaning) komunikasi.  Dalam kaitannya dengan pemaknaan tindak komunikasi  nmerujuk pada makna yang bersentukhan dengan apa yang bisa dipikirkan (thinking), apa yang dirasakan (feeling) dan apa yang bisa dilakukan (acting). Tiga jenis makna ini oleh Morris (1946) masing-masing disebut designative, appraisive, prescriptive.
 Jika dikaitkan dengan konsep Bloom dalam dunia pendidikan tampaknya komunikasi selalu mempunyai efek atau dampak terhadap satu atau lebih orang yang terlibat dalam tindak komunikasi yang berkaitan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada setiap tindak komunikasi selalu ada konsekuensi. Sebagai contoh, Anda mungkin memperoleh pengetahuan atau belajar bagaimana menganalisis, melakukan sintesis, atau mengevaluasi sesuatu; ini adalah efek atau dampak intelektual atau kognitif. Kedua, Anda mungkin memperoleh sikap baru atau mengubah sikap, keyakinan, emosi, dan perasaan Anda; ini adalah dampak afektif. Ketiga, Anda mungkin memperoleh cara-cara atau gerakan baru seperti cara melemparkan bola atau melukis, selain juga perilaku verbal dan noverbal yang patut; ini adalah dampak atau efek psikomotorik.    

j.    Etik dan Kebebasan Memilih
Karena komunikasi mempunyai dampak, maka ada masalah etik di sini. Karena komunikasi mengandung konsekuensi, maka ada aspek benar-salah dalam setiap tindak komunikasi. Tidak seperti prinsip-prinsip komunikasi yang efektif, prinsip-prinsip komunikasi yang etis sulit dirumuskan.
Seringkali kita    dapat mengamati dampak komunikasi, dan berdasarkan pengamatan ini, merumuskan prinsip-prinsip komunikasi yang efektif. Tetapi, kita tidak dapat mengamati kebenaran atau ketidakbenaran suatu tindak komunikasi.
Dimensi etik dari komunikasi makin rumit karena etik begitu terkaitnya dengan falsafah hidup pribadi seseorang sehingga sukar untuk menyarankan pedoman yang berlaku bagi setiap orang. Meskipun sukar, pertimbangan etik tetaplah merupakan bagian integral dalam setiap tindak komunikasi. Keputusan yang kita ambil dalam hal komunikasi haruslah dipedomani oleh apa yang kita anggap benar di samping juga oleh apa yang kita anggap efektif. Apakah komunikasi itu etis atau tidak etis, landasannya adalah gagasan kebebasan memilih serta asumsi bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menentukan pilihannya sendiri.
Komunikasi dikatakan etis bila menjamin kebebasan memilih seseorang dengan memberikan kepada orang tersebut dasar pemilihan yang akurat. Komunikasi dikatakan tidak etis bila mengganggu kebebasan memilih seseorang dengan menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan informasi yang relevan dalam menentukan pilihan. Oleh karenanya, komunikasi yang tidak etis adalah komunikasi yang memaksa seseorang (1) mengambil pilihan yang secara normal tidak akan dipilihnya atau (2) tidak mengambil pilihan yang secara normal akan dipilihnya. Sebagai contoh, seorang pejabat rekruting perusahaan mungkin saja membesar-besarkan manfaat bekerja di Perusahaan X dan dengan demikian mendorong Anda untuk menentukan pilihan yang secara normal tidak akan Anda ambil (jika saja Anda mengetahui fakta-fakta sebenarnya).
Dalam etik yang didasarkan atas kebebasan memilih ini, ada beberapa persyaratan. Kita mengasumsikan bahwa orang-orang ini sudah cukup umur dan berada dalam kondisi mental yang memungkinkan mereka melaksanakan pilihan secara bebas. Selanjutnya, kita mengasumsikan bahwa kebebasan memilih dalam situasi mereka tidak akan menghalangi kebebasan memilih orang lain. Sebagai contoh, anak-anak berusia 5 atau 6 tahun tidak akan siap untuk menentukan pilihan sendiri (memilih menu mereka sendiri, memilih waktu untuk tidur, memilih jenis obat), sehingga harus ada orang lain yang melakukannya untuk mereka. Begitu juga, seseorang yang menderita keterbelakangan mental membutuhkan orang lain untuk mengambilkan keputusan tertentu bagi mereka.
Di samping itu, situasi lingkungan kehidupan seseorang dapat membatasi kebebasan memilih ini. Sebagai contoh, anggota tentara seringkali harus melepaskan kebebasan memilih dan makan nasi bungkus, bukan roti keju, mengenakan seragam militer, bukan jins, lari pagi, bukan tidur. Dengan menjadi tentara, seseorang setidak-tidaknya harus melepaskan sebagian hak mereka untuk menentukan pilihan sendiri. Akhirnya, kebebasan memilih yang kita miliki tidak boleh menghalangi orang lain untuk menentukan pilihan mereka sendiri.
Kita tidak bisa membiarkan seorang pencuri memiliki kebebasan untuk mencuri, karena dengan memberikan kebebasan ini kita menghalangi korban pencurian untuk menikmati kebebasan memilih mereka—hak untuk memiliki barang dan hak untuk merasa aman dalam rumah mereka.
4. Tujuan Komunikasi
Ada empat tujuan atau motif komunikasi yang perlu dikemukakan di sini. Motif atau tujuan ini tidak perlu dikemukakan secara sadar, juga tidak perlu mereka yang terlibat menyepakati tujuan komunikasi mereka. Tujuan dapat disadari atau pun tidak, dapat dikenali ataupun tidak. Selanjutnya, meskipun. teknologi komunikasi berubah dengan cepat dan drastis (kita mengirimkan surat elektronika, bekerja dengan komputer, misalnya) tujuan komunikasi pada dasarnya tetap sama, bagaimanapun hebatnya revolusi elektronika dan revolusi-revolusi lain yang akan datang.
a.   Menemukan
Salah satu tujuan utama komunikasi menyangkut penemuan diri (personal discovery) Bila Anda berkomunikasi dengan orang lain, Anda belajar mengenai diri sendiri selain juga tentang orang lain. Kenyataannya, persepsi-diri Anda sebagian besar dihasilkan dari apa yang telah Anda pelajari tentang diri sendiri dari orang lain selama komunikasi, khususnya dalam perjumpaan-perjumpaan antarpribadi.
Dengan berbicara tentang diri kita sendiri dengan orang lain kita memperoleh umpan balik yang berharga mengenai perasaan, pemikiran, dan perilaku kita. Dari perjumpaan seperti ini kita menyadari, misalnya bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Pengukuhan positif ini membantu kita merasa "normal."
Cara lain di mana kita melakukan penemuan diri adalah melalui proses perbandingan sosial, melalui perbandingan kemampuan, prestasi, sikap, pendapat, nilai, dan kegagalan kita dengan orang lain. Artinya, kita mengevaluasi diri sendiri sebagian besar dengan cara membanding diri kita dengan orang lain.
Dengan berkomunikasi kita dapat memahami secara lebih baik diri kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak bicara. Tetapi, komunikasi juga memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar—dunia yang dipenuhi objek, peristiwa, dan manusia lain. Sekarang ini, kita mengandalkan beragam media komunikasi untuk mendapatkan informasi tentang hiburan, olahraga, perang, pembangunan ekonomi, masalah kesehatan dan gizi, serta produk-produk baru yang dapat dibeli. Banyak yang kita peroleh dari  media ini berinteraksi dengan yang kita peroleh dari interaksi antarpribadi kita. Kita mendapatkan banyak informasi dari media, mendiskusikannya dengan orang lain, dan akhirnya mempelajari atau menyerap bahan-bahan tadi sebagai hasil interaksi kedua sumber ini.
b. Untuk berhubungan
Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain (membina dan  memelihara hubungan dengan orang lain). Kita ingin merasa dicintai dan disukai, dan kemudian kita juga ingin mencintai dan menyukai orang lain. Kita menghabiskan banyak waktu dan energi komunikasi kita untuk membina dan memelihara hubungan sosial. Anda berkomunikasi dengan teman dekat di sekolah, di kantor, dan barangkali melalui telepon. Anda berbincang-bincang dengan orangtua, anak-anak, dan saudara Anda. Anda berinteraksi dengan mitra kerja.
c. Untuk meyakinkan
Media masa ada sebagian besar untuk meyakinkan kita agar mengubah sikap dan perilaku kita. Media dapat hidup karena adanya dana dari iklan, yang diarahkan untuk mendorong kita membeli berbagai produk. Sekarang ini mungkin Anda lebih banyak bertindak sebagai konsumen ketimbang sebagai penyampai pesan melalui media, tetapi tidak lama lagi barangkali Anda-lah yang akan merancang pesan-pesan itu—bekerja di suatu surat kabar, menjadi editor sebuah majalah, atau bekerja pada biro iklan, pemancar televisi, atau berbagai bidang lain yang berkaitan dengan komunikasi. Tetapi, kita juga menghabiskan banyak waktu untuk melakukan persuasi antarpribadi, baik sebagai sumber maupun sebagai penerima. Dalam perjumpaan antarpribadi sehari-hari kita berusaha mengubah sikap dan perilaku orang lain. Kita berusaha mengajak mereka melakukan sesuatu, mencoba cara diit yan baru, membeli produk tertentu, menonton film, membaca buku, rnengambil mata kuliah tertentu, meyakini bahwa sesuatu itu salah atau benar, menyetujui atau mengecam gagasan tertentu, dan sebagainya. Daftar ini bisa sangat panjang. Memang, sedikit saja dari komunikasi antarpribadi kita yang tidak berupaya mengubah sikap atau perilaku.
d. Untuk bermain
Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Kita mendengarkan pelawak, pembicaraan, musik, dan film sebagian besar untuk hiburan. Demikian pula banyak dari perilaku komunikasi kita dirancang untuk menghibur orang lain (menceritakan lelucon mengutarakan sesuatu yang baru, dan mengaitkan cerita-cerita yang menarik). Adakalanya hiburan ini  merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan cara untuk mengikat perhatian orang Iain sehingga kita dapat mencapai tujuan-tujuan lain.
Tentu saja, tujuan komunikasi bukan hanya ini; masih banyak tujuan komunikasi yang lain. Tetapi keempat tujuan yang disebutkan di atas tampaknya merupakan tujuan-tujuan yang utama. Selanjutnya tidak ada tindak komunikasi yang didorong hanya oleh satu faktor; sebab tunggal tampaknya tidak ada dunia ini. Oleh karenanya, setiap komunikasi barangkali didorong oleh kombinasi beberapa tujuan bukan hanya satu tujuan.

Buku Rujukan
Anreesc, Margareta & Maria Florea. STRUCTURAL  ELEMENTS  OF MASS  COMMUNICATION International Journal of Communication Research, volume  2  issue  2  April / June 2012 
Gordon I.Zimmerman, dkk. 1977. Speech Communication: A Contemporary Intruction. New York Boston: West Publishing Company.
Joseph A. Devito.1997. Komunikasi antar manusia (edisi kelima). Jakarta: Profesional Books
Larry King, Bill Gilbert. 2002. Seni Berbicara: kepada siapa saja, kapan saja, dimana saja (editor Tanti Lesmana).Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Miller, Katherine. 2002. Communication Theories: Perspectives, Processes, and Contexts. Boston, MA: McGraw-Hill Book Co.
Rogers, Everett M. 1994.  A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York: The Free Press.
Wayne R. Pace, Don F. Faulos, 2002, Komunikasi Organisasi: Strategi meningkatkan kinerja perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 ·

JENIS DAN METODE PENELITIAN KUALITATIF




1.      Pengantar
Dalam diskusi keleompok pertama dan kedua kita telah mendiskusikan dua topik penting yaitu topik tentang Karakteristik Penelitian Kualitatif dan Masalah Penelitian Kualitatif. Dari pembicaraaan dan diskusi tentang kedua topik itu kita sebenarnya telah menyinggung sedikit tentang beberapa metode dalam penelitian kualitatif dan salah satunya disebut metode Studi Kasus. Diskusi ini, lebih diarahkan pada usaha kita memahami Metode Studi Kasus yang pada gilirannya akan dilengkapi dengan diskusi tentang metode lainnya yang akan disampaikan oleh kelompok-kelompok berikutnya.
2.      Pandangan, Posisi, Pengertian, dan Jenis Penelitian Kualitatif
Munculnya aneka  Jenis dan Metode dalam penelitian tidak bisa dipisahkan dari pemikiran dialektis atau adanya perbedaan cara pandang dari orang terhadap realitas. Dalam kaitannya dengan penelitian dikenal berbagai jenis penelitian . Kline (1980) membedakan penelitian berdasarkan tujuan, metode, dan tingkat penjelasannya. Berdasarkan tujuannya penelitian dibedakan menjadi penelitian dasar, penelitian terapan, dan penelitian evaluasi. Berdasarkan metodenya penelitian dibedakan menjadi penelitian, Historis,  Deskriptif,  Perkembangan, Kasus atau Studi Lapangan, Korelasional, Tindakan, Komparatif, Eksperimental, Kualitatif. Berdasarkan tingkat penjelasan ada penelitian Penjelasan deskriptif, Asosiatif, dan  Kausalitas. Klasifikasi lain dilakukan  Danim (2002) yang membedakan dua metode penelitian yaitu penelitian kuantitatif  dan penelitian kualitatif.   Penelitian kuantitatif bertipe Deskriptif,  Perkembangan, Tindakan, Perbandingan-Kausal, Korelasional, Eksperimental Semu, Eksperimental.  Penelitaian Kualitatif bertipe Fenomenologi, Grounded, Etnografi, Historis, Fisolofis, Kritik Sosial
Dalam cara yang lain Newman (1997)  menyebutkan enam ciri utama penelitian kualitatif yaitu (a) The context is critical, mengutamakan konteks sosial, (b) The value of the case study, menggunakan pendekatan studi kasus, (c) Researcher integrity, (d) Grounded theory, membangun teori dari data, induktif, (e) Process and sequence, mencermati proses dan urutan perintiwanya (f) Interpretation, interpretasinya mendalam. Klasifikasi Newman ini diperluas lagi dalam klasifikasi  Lincoln dan Guba (1985) yang menyebutkan 14 karakteristik penelitian kualitatif (a) Natural setting (b) Human instruments (c) Utilization of tacit knowledge (d) Qualitative methods (e) Purposive sampling (f) Inductive data analysis (g) Grounded theory (h) Emergent design (i) Negotiated outcomes (j) Case study reporting mode (k) Idiographic interpretation (l) Tentative application (m)Focus determined boundaries (n) Special criteria for trustworthiness.
Pelbagai pandangan di atas merupakan saripati dari beberapa pengertian tentang hakikat penelitian kualitatif. Strauss dan Corbin (1998): qualitative research adalah penelitian yang menghasilkan temuan yang tidak dapat dicapai dg menggunakan prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya. Bogdan dan Taylor (1998): prosedur penelitian yang bertujuan mengumpulkan dan menganalisis data deskriptif berupa tulisan,  ungkapan lisan dari orang dan perilakunya yang dapat diamati. Penelitian kualitatif merupakan tradisi dalam ilmu sosial yang secara mendasar bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam lingkungannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut menurut bahasa dan peristilahannya. Penelitian kualitatif bertujuan mengumpulkan data dalam setting alamiah, yang akan digunakan untuk menyusun teori melalui analisis data secara induktif.
Jenis penelitian Kualitatif juga dirumuskan secara berbeda. Bogdan dan Biklen (1982) misalnya menyebutkan begitu banyak jenis penelitian kualitatif dalam varian penamaannya antara lain dikenal dengan sebutan: Interpretative research,  Verstehen, Hermeneutics, Ethnomethodology, Ethnography, Cognitive research, Field research, Idealist research, Subjectivist, Phenomenological research, Symbolic interactionism,  Naturalistic, Constructivism, Grounded research, Studi Kasus,  Perspektif ke dalam, Ekologis, Deskriptif. Pengelompokan yang lebih sederhana dilakukan Danim (2000) yang merumuskan  tujuh jenis penelitian kualitatif:Penelitian Fenomenologi, Grounded, Etnografi, Historis, Kasus, Inquiry Filosofis, dan Teori kritik sosial
3.      Studi Kasus dalam Konteks Penelitian Kualitatif
Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif sebenarnya lahir hampir bersamaan tetapi dalam perkembangan keduanya jauh berbeda. Metode Penelitian Kuantitatif  berakar pada paradigma filsafat positivisme berkembang sangat pesat, terutama pada ilmu-ilmu alam. Sementara itu, Metode Penelitian Kualitatif berangkat dari paradigma interpretivisme dinilai sangat lambat, hingga seolah-olah metode ini lahir belakangan. Bahkan, tidak sedikit yang mengaitkan kelahiran Metode Penelitian Kualitatif bersamaan dengan kelahiran sosiologi. Jadi masih relatif baru, sehingga bisa dimaklumi jika perkembangannya tidak secepat Metode Penelitian Kuantitatif.
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.
 Dalam tradisi keilmuan, penelitian kualitatif dikenal juga terminologi studi kasus (case study) sebagai sebuah jenis penelitian. Studi kasus diartikan sebagai  metode atau strategi dalam penelitian untuk mengungkap kasus tertentu. Ada juga pengertian lain, yakni hasil dari suatu penelitian sebuah kasus tertentu. Jika pengertian pertama lebih mengacu pada strategi penelitian, maka pengertian kedua lebih pada hasil penelitian. Dalam sajian pendek  ini diuraikan pengertian yang pertama.
Selain studi kasus, ada fenomenologi, grounded theory, etnografi, dan etnometodologi yang masuk dalam varian penelitian kualitatif. Penelitian studi kasus memusatkan perhatian pada satu objek tertentu yang diangkat sebagai sebuah kasus untuk dikaji secara mendalam sehingga mampu membongkar realitas di balik fenomena. Sebab,  yang kasat mata hakikatnya bukan sesuatu yang riel (realitas). Itu hanya pantulan dari yang ada di dalam.
Sebagaimana lazimnya perolehan data dalam penelitian kualitatif,  data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, baik melalui wawancara, observasi, partisipasi, dan dokumentasi. Data yang diperoleh dari berbagai cara itu hakikatnya untuk saling melengkapi. Ada kalanya data yang diperoleh dari wawancara belum lengkap, sehingga harus dicari lewat cara lain, seperti observasi, dan partisipasi.
Dalam perbandingannya dengan dengan metode penelitian kuantitatif yang menekankan jumlah atau kuantitas sampel dari populasi yang diteliti, penelitian model studi kasus lebih menekankan kedalaman pemahaman atas masalah yang diteliti. Karena itu, metode studi kasus dilakukan secara  intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu gejala  atau fenomena  tertentu dengan lingkup yang sempit. Kendati lingkupnya sempit, dimensi yang digali harus luas, mencakup berbagai aspek hingga tidak ada satu pun aspek yang tertinggal. Oleh karena itu, di dalam studi kasus sangat tidak relevan pertanyaan-pertanyaan seperti berapa banyak subjek yang diteliti, berapa sekolah, dan berapa banyak sampel dan sebagainya. Perlu diperhatikan bahwa sebagai varian penelitian kualitatif, penelitian studi kasus lebih menekankan kedalaman subjek ketimbang banyaknya jumlah subjek yang diteliti.
Merujuk pada sifat metode penelitian kualitatif pada umumnya, metode studi kasus juga dilakukan terhadap peristiwa atau gejala yang sedang berlangsung. Bukan gejala atau peristiwa yang sudah selesai (ex post facto). Segmen dan Unit analisis dalam studi kasus ini bisa berupa individu, kelompok, institusi, atau masyarakat.  Penelitian studi kasus harus dilakukan secara dialektik antara bagian dan keseluruhan. Maksudnya, untuk memahami aspek tertentu perlu diperoleh gambaran umum tentang aspek itu. Sebaliknya, untuk memperoleh gambaran umum diperlukan pemahaman bagian-bagian khusus secara mendalam.
Untuk memperoleh pengetahuan secara mendalam, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari kasus yang diteliti, tetapi juga dari semua pihak yang mengetahui dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Data atau informasi bisa dari banyak sumber, tetapi perlu dibatasi hanya pada kasus yang diteliti. Untuk memperoleh informasi yang mendalam terhadap sebuah kasus, maka diperlukan informan yang andal yang memenuhi syarat sebagai informan, yakni maximum variety, yakni orang yang tahu banyak tentang masalah yang diteliti, kendati tidak harus bergelar akademik tinggi.
Ada beberapa persoalan yang sering muncul berkaitan dengan metode penelitian studi kasus. Persoalan itu berkaitan dengan perbedaannya yang mencolok  dibandingkan dengan metode yang lain. Penelitian studi kasus menekankan kedalaman analisis pada kasus tertentu yang lebih spesifik. Metode ini sangat tepat dipakai untuk memahami fenomena tertentu di suatu tempat tertentu dan waktu yang tertentu pula. Misalnya, tentang metode pengajaran matakuliah tertentu, di lembaga pendidikan tertentu dalam waktu tertentu ( yang masih dalam proses).
Pertanyaan lain yang tidak kalah seringnya adalah apa hasil penelitian studi kasus bisa digeneralisasi atau berlaku secara umum. Istilah generalisasi tidak dikenal dalam metode penelitian kualitatif, hasil studi kasus memang tidak dimaksudkan untuk digeneralisasi, karena lingkupnya sempit. Sebagai padanannya dikenal istilah transferabilitas, yakni hasil penelitian itu bisa (berpotensi, berpeluang, berkemungkinan)  berlaku di tempat lain dengan pengandaian  tempat lain itu memiliki ciri-ciri yang sama dengan tempat atau seting tempat penelitian itu dilakukan. Transferabilitas semacam itu bisa dilakukan jika penelitian bisa sampai tahap temuan formal, bukan sekadar substantif. Umumnya penelitian hanya berakhir pada temuan substantif, yakni ketika masalah yang diajukan terjawabkan  berdasarkan data. Padahal, masih ada satu tahap lagi yang harus dilalui jika diharapkan penelitian menjadi karya ilmiah yang baik, yaitu tahap temuan formal, berupa thesis statement dari hasil abstraksi temuan substantif. 
Sajian berikut mencoba mengurai bagaimana posisi Metode Penelitian Kualitatif saat ini dan ke depan dengan melihat kecenderungan yang terjadi pada masyarakat modern ini. Sebagian besar  isinya disari dari karya Hubert Knoblauch (dalam Flick et al; 2004: 354-362). Sajian ini juga dimaksudkan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam dan bertukar pengetahuan, khususnya dengan para peminat dan pengkaji Metode Penelitian Kualitatif di berbagai disiplin ilmu, sekaligus  untuk menambah rasa percaya diri para peminatnya. Berikut uraian singkatnya.
Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami (to understand) fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji daripada memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Harapannya ialah diperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena untuk selanjutnya dihasilkan sebuah teori. Karena tujuannya berbeda dengan penelitian kuantitatif, maka prosedur perolehan data dan jenis penelitian kualitatif juga berbeda.
Dari berbagai pandangan paling kurang ada delapan jenis penelitian kualitatif dan salah satunya adalah penelitian Studi Kasus. Kedelapan jenis penelitian kualitatif itu adalah etnografi (ethnography), studi kasus (case studies), studi dokumen/teks (document studies), observasi alami (natural observation), wawancara terpusat (focused interviews), fenomenologi (phenomenology), grounded theory, studi sejarah (historical research).
Etnografi(Ethnography) merupakan studi yang sangat mendalam tentang perilaku yang terjadi secara alami di sebuah budaya atau sebuah kelompok sosial tertentu untuk memahami sebuah budaya tertentu dari sisi pandang pelakunya. Para ahli menyebutnya sebagai penelitian lapangan, karena memang  dilaksanakan di lapangan dalam latar alami. Peneliti mengamati perilaku seseorang atau kelompok sebagaimana apa adanya. Data diperoleh dari observasi sangat mendalam sehingga memerlukan waktu berlama-lama di lapangan, wawancara dengan anggota kelompok budaya secara mendalam, mempelajari dokumen atau artifak secara jeli.
Studi Dokumen/Teks (Document Study) merupakan kajian yang menitik beratkan pada analisis atau interpretasi bahan  tertulis berdasarkan  konteksnya. Bahan bisa berupa catatan yang terpublikasikan, buku teks, surat kabar, majalah, surat-surat, film, catatan harian, naskah, artikel, dan sejenisnya. Untuk memperoleh kredibilitas yang tinggi peneliti dokumen harus yakin bahwa naskah-naskah itu otentik. Penelitian jenis ini bisa juga untuk menggali pikiran seseorang yang tertuang di dalam buku atau naskah-naskah yang terpublikasikan. 
Pengamatan Alami (Natural Observation) penelitian kualitatif dengan melakukan observasi menyeluruh pada sebuah latar tertentu tanpa sedikitpun mengubahnya. Tujuan utamanya ialah untuk mengamati dan memahami perilaku seseorang atau kelompok orang dalam situasi tertentu. 
Wawancara Terpusat (Focused Interviews) dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan yang sudah didesain untuk mengetahui respons subjek atas isu tertentu. Dengan pertanyaan yang tidak tersrtuktur dan terbuka, penelitian ini sangat fleksibel untuk memperoleh respons yang muncul dengan cepat  atas sebuah isu. Pertanyaan pun bisa berkembang sesuai situasi yang terjadi. Para pendidik bisa menggunakan penelitian jenis ini untuk mengetahui pendapat mereka tentang hubungan siswa yang memiliki ras atau asal usul yang berbeda yang ada di sebuah sekolah.
Fenomenologi (Phenomenology) merujuk pada tiga konsep (1) salah satu nama teori sosial (2) sebagai salah satu jenis paradigma penelitian yang dipertentangkan dengan positivistik yang mendasari penelitian kuantitatif, maka fenomenologi merupakan akar-akar metode penelitian kualitatif (3) merujuk pada penelitian kualitatif dengan konsep dasar bahwa kompleksitas realitas disebabkan oleh pandangan, perspektif subjek.
Grounded Theory dimaksudkan untuk mengembangkan teori bertolak  dari fenomena sosial yang ditemukan di lapangan. Pengalaman bergulat dengan data melahirkan pemahaman, pertanyaan, dan hipotesis yang memandu peneliti memusatkan perhatian pada isu tertentu. Semakin  banyak data, peneliti semakin memperoleh insight yang tajam dan mendalam tentang isu yang diteliti. Pertanyaan penelitian dipertajam setelah peneliti melakukan pengumpulan data di lapangan. Disebut grounded , sebab teori dilahirkan dari data, bukan dari teori sebelumnya.
Penelitian Historis (Historical Research) mengkaji dokumen atau artifak untuk memperoleh pengetahuan tentang apa yang terjadi di masa lampau. Pemahaman yang lengkap dan utuh tergantung pada ketepatan dan kelengkapan data dan catatan peneliti tentang dokumen tersebut. Misalnya, seorang peneliti pendidikan ingin mengetahui kecenderungan yang terjadi di sebuah sekolah di wilayah tertentu sejak awal berdirinya hingga sekarang dengan fokus perhatian pada isu tunggal. Misalnya, metode pengajarannya, kecenderungan asal siswa, setelah siswa lulus, matapelajaran yang disukai, kecenderungan model belajarnya, dan sebagainya
4.      Studi Kasus (Case Studies) sebagai Suatu Metode
Studi kasus merupakan penelitian yang mendalam tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan sebagainya dalam waktu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh diskripsi yang utuh dan mendalam dari sebuah entitas. Studi kasus menghasilkan data untuk selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan teori. Sebagaimana prosedur perolehan data penelitian kualitatif, data studi kasus diperoleh dari wawancara, observasi, dan arsip.
Creswell (1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta mengikuti struktur studi kasus seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (dalam Heigham dan Croker, 2009), yaitu permasalahan, konteks, isu, dan pelajaran yang dapat diambil. Banyak penelitian yang telah mengikuti struktur tersebut tetapi tidak layak disebut sebagai penelitian studi kasus karena tidak dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya hanya menggunakan jenis sumber data yang terbatas, tidak menggunakan berbagai sumber data seperti yang disyaratkan dalam penelitian studi kasus sehingga hasilnya tidak mampu mengangkat dan menjelaskan substansi dari kasus yang diteliti secara fundamental dan menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan kecermatan untuk mencantumkan kata ‘studi kasus’ pada judul suatu penelitian, khususnya penelitian kualitatif.
Kasus sebagai objek penelitian dalam penelitian studi kasus digunakan untuk memberikan contoh pelajaran dari adanya suatu perlakuan dalam konteks tertentu. Kasus yang dipilih dalam penelitian studi kasus harus dapat menunjukkan terjadinya perubahan atau perbedaan yang diakibatkan oleh adanya perilaku terhadap konteks yang diteliti (Yin,2003). Menurut Yin, penelitian studi kasus pada awalnya bertujuan mengambil lesson learned yang terdapat di balik perubahan yang ada, tetapi banyak penelitian studi kasus yang ternyata mampu menunjukkan adanya perbedaan yang dapat mematahkan teori-teori yang telah mapan, atau menghasilkan teori dan kebenaran yang baru.
Dari sifat kasusnya yang kontemporer, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus cenderung bercorak korektif, bersifat memperbaiki atau memperbaharui teori. Dengan kata lain, penelitian studi kasus berupaya mengangkat teori-teori kotemporer (contemporary theories). Penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian grounded theory, phenomenology, dan ethnography yang bertujuan meneliti dan mengangkat teori-teori mapan atau definitif yang terkandung pada objek yang diteliti. Ketiga jenis penelitian tersebut berupaya mengangkat teori secara langsung dari data temuan di lapangan (firsthand data) dan berusaha menghindari pengaruh teori yang telah ada sebelumnya. Sementara itu, penelitian studi kasus menggunakan teori yang sudah ada sebagai acuan untuk menentukan posisi hasil penelitian terhadap teori yang ada tersebut. Posisi teori yang dibangun dalam penelitian studi kasus dapat sekadar bersifat memperbaiki, melengkapi, atau menyempurnakan teori yang ada berdasarkan perkembangan dan perubahan fakta terkini.
Penelitian studi kasus menggunakan berbagai sumber data dalam usaha mengungkapkan fakta di balik kasus yang diteliti. Keragaman sumber data dimaksudkan untuk memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas data, sehingga kebenaran hasil penelitian meyakinkan. Fakta dicapai melalui pengkajian keterkaitan bukti-bukti dari beberapa sumber data sekaligus,seperti dokumen, rekaman, observasi, wawancara terbuka, wawancara terfokus, wawancara terstruktur, dan survey lapangan (Stake,1995; Creswell, 1998; Yin,2003). Untuk menghasilkan keseimbangan analisis dan untuk menjaga objektivitas hasil penelitian, peneliti juga harus memperhatikan fakta yang bertentangan dengan proposisi.
Meskipun tampaknya berbeda, pengertian tersebut pada dasarnya terarah  pada pemahaman yang sama. Penjelasannya tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Kelompok pengertian yang pertama memulai penjelasan dari adanya objek penelitian, yang disebut sebagai kasus, yang membutuhkan jenis penelitian kualitatif tertentu, dengan metode penelitian yang khusus, yaitu metode penelitian studi kasus. Sementara itu, kelompok yang kedua memandang penelitian studi kasus sebagai salah satu jenis metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk meneliti suatu objek yang layak disebut sebagai kasus.
Kedua kelompok pendapat ini memiliki kesamaan pemahaman, yaitu menempatkan penelitian studi kasus sebagai jenis penelitian tersendiri, sebagai salah satu jenis penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu . Surachmad (1982) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. Sementara Yin memberikan batasan yang lebih bersifat teknis dengan penekanan pada ciri-cirinya. Dalam studi kasus peneliti hendaknya berusaha menguji unit atau individu secara mendalam dan utuh. Para peneliti berusaha menemukan semua variabel yang penting.
Studi kasus dalam pendidikan bahasa, misalnya, adalah bentuk penelitian pendidikan bahasa yang mendalam tentang suatu aspek pendidikan bahasa, termasuk lingkungan pendidikan bahasa dan manusia yang terlihat dalam pendidikan bahasa di dalamnya (Nunan, 1992). Oleh karena beberapa klasifikasi “kasus” sebagai objek studi (Stake, 1995) dan “kasus” lainnya dianggap sebagai suatu metodologi (Yin, 2003) maka penjelasan studi kasus merupakan studi mendetail yang dapat menggunakan banyak sumber data untuk menjelaskan sebuah variabel atau hal yang diteliti. Kasus bisa dipilih karena keunikannya atau kasus bisa digunakan untuk mengilustrasikan suatu isu.
Fokus penelitian dapat berupa satu entitas (penelitian di suatu tempat) atau beberapa entitas (studi multi tempat/multi-site). Penelitian ini mendeskripsikan kasus, analisis tema atau isu, dan interpretasi atau pembuktian penelitian terhadap kasus.  Studi kasus dalam pendidikan bahasa dapat dilakukan terhadap seorang individu, sekelompok individu, lingkungan hidup manusia, serta lembaga sosial yang terkait dengan pendidikan bahasa. Studi kasus dalam pendidikan bahasa dapat difokuskan pada perkembangan sesuatu di bidang pendidikan bahasa. Salah satu contoh yang bisa diangkat adalah penelitian yang dilakukan Soenjono Dardjowidjojo terhadap cucunya, Echa berkaitan dengan kasus pemerolehan bahasa anak Indonesia yang dilakukan secara  longitudinal sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan kesimpulan berkaitan dengan Teori Pemerolehan Bahasa pada Anak Indonesia. Berdasarkan contoh ini dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya.

***

Daftar Rujukan

Bogdan, R.C & Biklen, S.K. 1982. Methods of Social Research. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Bogdan, Robert & Steven J.Taylor. 1998. Introduction to Qualitative Research Methods, John Wiley & Sons.
Creswell, J.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Traditions. New Delhi: Sage Publications, Inc.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif . Bandung: Pustaka Setia.
Heigham, J. and Croker, R.A. 2009. Qualitative Research in Applied Linguistics A Practical Introduction. Great Britain: Palgrave MacMillan.
Kline.1980. via http://search.softonic.com/MON00005/tb_v1?q= jenis+penelitian+kline+ 1980& SearchSource=99&sbc=1&au=0&clientType=0
Lincoln, Yvonna S. & Guba, Egon G. 1985. Naturalistic Inquiry. California, Beverly Hills: Sage Publications.
Moleong, Lexy J, 2007. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT.Remaja Rosdakarya.
Newman, J.M. 2000. Action Research: A Brief Overview. Forum: Qualitative Sosial. via http://search.softonic.com/MON00005/tb_v1?q=jenis+penelitian+kline+1980& SearchSource=99&sbc=1&au=0&clientType=0
Nunan, D.1992. Research methods in language learning. Cambridge, USA: Cambridge University Press.
Strauss, A., & Corbin, J. 1998. Basics of qualitative research: Techniques and procedures for developing grounded theory (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage
Stake, R.E. 1995. The Art of Case Study Research. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Surachmad, W. 1982. PengantarPenelitian. Bandung: Tarsito.
Yin, R.K. 2003. Case Study Research: Design and Methods (3rd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.