1. Pendahuluan
Kesusastraan, dalam hubungannya dengan masyarakat, dapat dipandang
sebagai suatu gejala sosial yang langsung berkaitan dengan norma-norma
dan adat-istiadat yang berlaku dan dianut oleh masyarakat tertentu
(Luxemburg, 1992:23). Gejala sosial itu, oleh pengarang, diolah,
direkayasa, dan dirangkaikan menjadi suatu struktur karya yang terpadu
dan memiliki otonomi sebagai sebuah teks. Salah satu bentuk karya mstra
tersebut adalah cerita pendek.
Cerita pendek adalah salah satu jenis
karya sastra yang berbentuk prosa fiksi yang bentuknya relatif pendek;
tidak sepanjang novel. Namun demikian, "kependekan" sebuah cerita
pendek itu tidak berarti dangkal dalam hal maknanya. Sebuah cerita
pendek yang panjangnya "hanya" sekitar 34 halaman dapat mengandung
makna yang dalam yang menghabiskan waktu berhari-hari untuk
memahaminya. Unsur-unsur pembangun cerita pendek secara garis besar di
bedakan menjadi dua; (1) unsur pembangun dari dalam berupa alur, tokoh
dan penokohan, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa dan tema, (2)
unsur pembangun dari luar antara lain, latar belakang pengarang, gaya
penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.
Gejala sosial yang
ditangkap oleh para penulis cerita pendek itu semakin beragam seiring
dengan perkembangan masyarakat yang semakin plural baik dari sudut pola
pikir maupun pola perilaku. Keberagaman ini, di tangan penulis,
diejawantahkan dalam berbagai bentuk kreativitas penulisan cerita
pendek yang diharapkan dapat berperan dalam proses mengubah, membangun,
dan mengembangkan masyarakat termasuk di dalamnya mempengaruhi
perubahan nilai, norma, dan pola bermasyarakat. Mereka mencoba berperan
dalam perubahan sosial tersebut dengan gaya khas cerita pendek yang
niereka hasilkan. Mereka secara terus-menerus, mencoba melihat,
mencermati, dan menganalisis dinamika sosial dan fenomena sosial yang
terjadi dan sekaligus mempengaruhinya dengan ide-ide mereka yang
dibungkus dalarn kekuatan kata yang mereka rangkaikan.
Untuk
memahami dinamika dan fenomena sosial yang terwujud dalam sebuah cerita
pendek tersebut, diperlukan suatu proses apresiasi. Dengan langkah ini
diharapkan pembelajar dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi.
Sebagai langkah awal proses ini, diperlukannya pengenalan apresiasi di
sekolah-sekolah. Sekolah, sebagai salah satu lembaga yang ada dalam
masyarakat, diharapkan turut berperan dalam pengembangan masyarakat. Di
lembaga ini pulalah, pengarang-dengan kekhasan mereka pada karya-karya
cerpennya-diperkenalkan kepada pembelajar lewat pembelajaran apresiasi
sastra.
Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai
beberapa tujuan di atas adalah-mendorong pembelajar untuk mengapresiasi
karya sastra. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana apresiasi
sastra itu dapat dipergunakan pengajar untuk membantu pembelajar untuk
memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat?
2. Pembelajaran Cerita Pendek
Pembelajaran
sastra di SMA dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam
mengapresiasikan suatu karya sastra. Dari proses apresiasi ini,
diharapkan muncul daya nalar, daya kritis, dan daya khayal dari diri
pembelajar. Penalaran yang runtut dan didukung dengan ketajaman
analisis kritis akan membantu pembelajar untuk mempunyai kepekaan
terhadap gejala atau fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Hal
ini diharapkan dapat terwujud karena dalam kurikulum pembelajaran
sastra, tertera butir-butir pembelajaran sastra yang memang diarahkan
pada kegiatan apresiasi sastra sekaligus pemahaman sosial budaya yang
terkandung dalam karya sastra termasuk di dalamnya cerita pendek. GBPP
Bahasa dan Sastra Indonesia 1994 telah mengetengahkan beberapa butir
pembelajaran sastra yang bertujuan agar pembelajar (1) mampu memahami
dan menghayati karya sastra, (2) mampu menulis prosa, puisi, dan drama,
(3) mampu menggali nilai-nilai moral, sosial, dan budaya dalam karya
sastra Indonesia dan karya terjemahan, (4) mampu menulis kreatif, (5)
mampu membuat tanggapan terhadap tulisan kreatif, dan (6) mampu membuat
kritik dan esai sastra (Saadie, 1997:7-9)
Berkaitan dengan
pembelajaran sastra di SMA ini, Rahmanto (1988:16-25) menyatakan bahwa
pembelajaran sastra dapat membangun dan membantu pendidikan secara utuh
bila pembelajaran itu selain dapat meningkatkan keterampilan berbahasa
juga dapat mengembangkan cipta rasa, menunjang pembentukan watak
pembelajar, dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman budaya.
Tujuan-tujuan itu dapat dicapai setelah pembelajar menjalani proses
apresiasi terhadap karya-karya sastra.
Sumardjo dan Saini K.M.
(1994: 173-175) mengusulkan tiga kegiatan atau langkah apresiasi.
Langkah pertama adalah keterlibatan jiwa. Dalam langkah ini pembelajar
diharapkan dapat memahami masalah yang diangkat sastrawan/penulis dalam
karya sastra. Selain itu, pembelajar diharapkan dapat merasakan
perasaan yang dirnunculkan atau yang dialami oleh tokoh-tokohnya
sekaligus sebagai usaha membayangkan dunia yang dikreasikan oleh
sastrawan. Hal penting yang perlu diketahui oleh pembelajar dalam tahap
ini adalah penerapan nilai-nilai estetika sastra pada pengalaman hidup
yang tertuang dalam bahasa. Dengan kata lain, tahap ini diarahkan pada
pemahaman atas penerapan unsur-unsur intrinsik cerita pendek.
Langkah
kedua adalah pemahaman dan penghargaan atas penguasaan sastrawan dalam
menyajikan pengalaman dalam karya sastra. Pada langkah ini, pembelajar
diharapkan mengetahui dan memahami cara atau teknik sastrawan/penulis
menerapkan asas keserasian, keutuhan, dan tekanan pada pengalamanannya
sehingga lahir suatu karya dan cara mereka memilih, mengolah, dan
menyusun lambang-lambang yang dipakai dalam karyanya. Langkah ini
memungkinkan pembelajar untuk bersikap kritis terhadap setiap karya
yang dihasilkan penulis sekaligus menguji kepekaan pembelajar dalam
menghubungkan dua fenomena yaitu fenomena dalam karya sastra dan
fenomena yang terjadi dalam masyarakat nyata.
Langkah ketiga adalah
langkah analisis. Pada langkah ini, pembelajar diharapkan dapat
mempermasalahkan fakta-fakta yang tertuang dalam karya sastra dan
menemukan hubungan fakta-fakta tersebut dengan realitas kehidupan yang
ada dalam kehidupan mereka. Dalam langkah inilah nantinya, pembelajar
dapat terbantu menemukan kesesuaian dunia rekaan dalam karya sastra
dengan dunia nyata dalam kehidupan sekaligus memahami perubahan yang
terjadi.
Langkah-langkah apresiasi di atas dapat membantu pembelajar
secara optimal bila dalam pelaksanaannya mengikuti asas kewajaran dan
keterpaduan. Asas kewajaran memungkinkan dijalaninya proses apresiasi
sesuai dengan kesiapan mental pembelajar, termasuk juga dalam pemilihan
karya sastra yang akan diapresiasi. Asas keterpaduan menyarankan
keterkaitan langkah-langkah apresiasi yang dilakukan. Langkah-angkah
itu tidak boleh dipisah-pisah karena merupakan suatu kesatuan proses.
3. Dari Pembelajaran Cerpen ke Pemahaman Situasi Masyarakat
Setelah
di atas diuraikan perihal pembelajaran sastra dan perubahan sosial,
sekarang akan diuraikan bagaimana pembelajaran apresiasi sastra dapat
dipergunakan untuk memahami perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Nurgiyantoro (1995:1-3) menyatakan bahwa sastra merupakan
salah satu sumber penting dalam pemahaman budaya. Hal ini dapat dirunut
karena di dalam karya sastra tercermin pandangan penulisnya yang
terbentuk dan dipengaruhi oleh kebiasaan hidup yang dijalaninya dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam kata lain, penulis karya sastra
merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya dan di antara
keduanya tedadi hubungan timbal balik dalam penciptaan karya sastra.
Sehubungan
dengan timbal balik antara pengarang dan masyarakat patut dikemukakan
di sini pendapat Hardjana (1991:2-4) bahwa semua pandangan, sikap, dan
nilai-nilai, termasuk di dalamnya kebutuhan-kebutuhan seseorang,
termasuk juga pengarang, ditimba dari sumber tata kemasyarakatan yang
ada dan berlaku dalam masyarakat atau komunitas. Jadi jelaslah hubungan
timbal-balik antara masyarakat dan pengarang/penulis karya sastra bahwa
keduanya saling mempengaruhi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Faruk
(1994), mengutip pandangan Marx, bahwa struktur sosial suatu masyarakat
juga lembaga di dalamnya, moralitasnya, dan kesusastraannya ditentukan
oleh kondisi produktif kehidupan anggota masyarakatnya sendiri termasuk
pengarang di dalamnya. Ini membawa implikasi bahwa semakin produktif
pengarang mencipta karya sastra dan diapresiasi masyarakat pembacanya
merupakan indikasi dinamisnya struktur sosial masyarakat yang
bersangkutan. Bertolak dari hal tersebut di atas, dapatlah kiranya
pembelajaran cerita pendek digunakan sebagai titik tolak pemahaman
perubahan sosial yang terjadi mengingat cerita pendek lahir atau
merupakan produk dari pengarang yang di dalamnya berisi berbagai
masukan yang diperoleh dari kenyataan yang terpampang dalam kehidupan
dan ditarik ke dalam bingkai permenungan pengarang dan akhirnya
lahirlah sebuah karya.
Sebagai langkah awal dalam proses apresiasi
seperti yang dimaksud di atas, perlulah kiranya adanya kecermatan dalam
pemilihan cerita pendek, karya-karya yang dipilih untuk diapresiasi
pembelajar hendaknya karya yang mengandung perubahan-perubahan nilai,
norma, dan tata kehidupan yang ditawarkan oleh pengarang. Cerita pendek
yang dipilih hendaknya diupayakan sesuai dengan tingkat perkembangan
usia dan pola pikir pembelajar sehingga, pembelajar dapat mengetahui
dan memahami perubahan sosial yang terjadi atau yang diinginkan atau
yang ditawarkan oleh pengarangnya.
4. Penerapan Langkah-langkah Apresiasi
Pada
bagian ini akan dipaparkan contoh penerapan langkah-langkah apresiasi
cerita pendek yang telah dijelaskan di atas dalam pembelajaran di
kelas. Contoh cerita pendek yang akan diapresiasi berjudul "Dilarang
Menyanyi di Kamar Mandi" karya Seno Gumira Ajidarma, seorang cerpenis
terkenal Indonesia. Cerita pendek ini mengisahkan suatu kejadian yang
sangat menarik di sebuah RT tempat seorang wanita muda, cantik,
tinggal. Wanita itu mempunyai kebiasaan mandi sambil bernyanyi-nyanyi
kecil. Akan tetapi nyanyian-nyanyian kecil yang diiringi guyuran air
itu membuat imajinasi kaum lelaki di RT tersebut mengembara ke dunia
lain. Mereka mempunyai imajinasi yang tidak senonoh.
Karena itu
pula, banyak protes dari Para isteri mereka bahwa wanita itu telah
menyebabkan rumah tangga mereka tidak harmonis lagi, membuat para suami
tidak betah tinggal di rumah karena selalu pergi untuk mendengarkan
nyanyian wanita itu ketika mandi, dan berbagai tuduhan yang menyudutkan
wanita muda tersebut. Para isteri itu menuntut agar wanita itu diusir
dan akhirnya wanita itu benar-benar pindah dari RT tersebut. Akan
tetapi, persoalannya belum selesai karena walaupun wanita itu sudah
pindah dan tidak terdengar lagi nyanyiannya, Para suami membayangkan
pada jam tertentu wanita itu mandi-entah dimana- dengan menyanyi kecil
dan menumbuhkan beribu imajinasi. Situasi menjadi kacau karena Para
isteri berlari sambil menangis dan berteriak histeris. Ketua RT menjadi
bingung untuk menertibkan" imajinasi para suami dan menenangkan para
isteri. Di akhir cerita ini, Ketua RT memasang tanda di sepanjang gang
dengan tulisan: DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI!.
4.1 Langkah Pertama
Langkah
pertama dalam apresiasi cerita pendek ini adalah menumbuhkan
keterlibatan jiwa pembelaJar. Hal ini bisa ditempuh dengan mengajak
pembelaiar menemukan masalah yang ada dalam cerpen itu. Apakah masalah
itu terjadi karena adanya wanita muda yang cantik dan sexy di RT itu?
Apakah salah bila wanita itu menyanyi di kamar mandi sembari ia mandi?
Atau masalahnya terletak pada para suami yang mempunyai imajinasi atau
pikiran yang tidak baik? Atau pertanyaan-pertanyaan di atas berkaitan
satu dengan lainnya? Salah satu alternatifnya, pengajar bisa
mengutarakan pendapatnya bahwa masalah dalam cerpen ini sebenarnya
cukup sederhana yaitu suara nyanyian seorang wanita yang sedang mandi
yang menimbulkan imajinasi yang tidak baik dalam benak para suami dan
hal itu menimbulkan kekacauan. Dalam langkah ini memang dimungkinkan
adanya perbedaan pendapat di antara pembelajar. Hal ini wajar karena
justru di sinilah kita dapat melihat sejauh mana kepekaan pembelajar
dalam menyikapi suatu situasi.
Setelah menemukan masalahnya,
pembelajar dibimbing untuk ikut merasakan situasi yang ada dalam cerpen
itu. Pembelajar diajak untuk masuk dalam suatu pengandaian bila mereka
menjadi Ketua RT, pemilik pondokan, si wanita muda, dan
ibu-ibu/isteri-istri. Pembelajar dapat dituntun dengan
pertanyaan-pertanyaan: bagaimana perasaan Anda bila menjadi Ketua RT?
Langkah-langkah apa yang harus diambil untuk mengatasi persoalan itu?
Atau pertanyaan: bagaimana perasaan Anda bila menjadi wanita muda yang
dituduh telah "merusak" pikiran 'Para suami dan menghancurkan rumah
tangganya? Apakah Anda akan marah, bertanya-tanya, protes, atau
menuntut Para isteri itu?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat
sekaligus dipergunakan untuk membantu pembelajar untuk menemukan
unsur-unsur intrinsik cerpen tersebut. Siapa sajakah tokoh-tokohnya?
Bagaimana perwatakannya? Di mana setting tempat cerita itu? Bagaimana
alur ceritanya - kronologis, flask back, atau campuran-? Apa tema
cerpen itu?
Tahap ini akan diwarnai dengan berbagai jawaban dan
pendapat dari pembelajar. Bila ini benar-benar terjadi, ini merupakan
gejala yang bagus karena dinamika kelas telah tercipta dan ini
memudahkan pengajar untuk menggali informasi atau tanggapan pembelajar
untuk kemudian didiskusikan bersama-sama untuk mendapatkan kesan umum
terhadap cerita pendek tersebut.
4.2 Langkah kedua
Apabila
langkah pertama sudah selesai, pengajar bisa membantu pembelajar untuk
masuk ke langkah kedua yaitu mencermati cara-cara pengarang menyajikan
cerita pendek itu. Apakah Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya disingkat
SGA) sebagai pengarang sudah menggambarkan suatu realitas yang tepat
dalam cerpen itu? Bagaimana SGA memilih kata, ungkapan, dan kalimat
dalam cerpennya; apakah kata dan ungkapannya sulit dan tidak biasanya
bagi pembelajar, apakah ia mempergunakan kalimat yang panjang dan
bertele-tele atau kalimat yang sederhana tapi penuh dengan makna?
Pengajar
dapat meminta pembelajar untuk menunjukkan beberapa contoh kata,
ungkapan, dan kalimat yang menurut mereka sulit dipahami atau yang
menarik perhatian mereka dan membahasnya bersama. Pada langkah ini
pula, pengajar dapat meminta pembelajar untuk menemukan lambang-lambang
atau sirnbol-simbol yang dipakai oleh SGA dan mencoba menafsirkan
lambang atau simbol tersebut. Di akhir langkah kedua ini, pembelajar
diminta mengutarakan pendapat/kesan mereka terhadap cara penyajian SGA
dalam cerpennya dan seberapa jauh cara penyajian cerita tersebut
membantu pembelajar dalam memahami cerpen "Dilarang Menyanyi di Kamar
Mandi". Tukar informasi dan pengalaman dalam langkah ini akan membuat
situasi kelas lebih hidup dan dinamis serta merangsang pembelajar untuk
berani mengungkapkan perasaan dan pendapatnya.
4.3 Langkah Ketiga
Langkah
ketiga adalah proses menemukan hubungan pengalaman pembelajar yang
diperoleh dari membaca (dan memahami) cerpen "Dilarang Menyanyi di
Kamar Mandi" dengan pengalaman pembelajar dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil-hasil apresiasi di langkah pertama dan kedua akan sangat membantu
pembelajar untuk memasuki langkah ketiga ini karena mereka tinggal
mencari titik-titik temu hal-hal yang mereka temukan pada tahap
sebelumnya dengan kehidupan keseharian mereka. Apakah mungkin peristiwa
yang terjadi dalam cerpen SGA itu bisa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari? Apabila itu bisa terjadi dalam hidup nyata, bagaimana
seharusnya mereka bersikap?
Pembelajar juga bisa kita bantu untuk
sampai pada proses mempertanyakan kembali apa sebenarnya yang hendak
disampaikan SGA dalam cerpen ini, nilai-nilai moral apa yang bisa
diambil dari apresisi cerpen ini, atau nilai-nilai sosial apa yang
harus ada bila peristiwa seperti dalam cerpen (atau peristiwa-peristiwa
yang serupa) benar-benar terjadi? Langkah ketiga ini bisa membantu
pembelajar untuk lebih peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di
sekelilingnya. Sebagai contoh, apakah mereka peka terhadap
masalah-masalah yang berkaitan dengan toleransi antarmasyarakat di
tempat mereka tinggal? Apakah mereka juga peka terhadap semakin
merebaknya pengaruh negatif video/CD porno di kalangan mereka? Apabila
kepekaan itu sudah mulai ada dalam diri mereka, maka nilai-nilai sosial
dan nilai-nilai moral yang ada dalam cerpen tersebut dapat membantu
mereka dalam menjalani peran mereka baik di keluarga, di sekolah, dan
di masyarakat.
Bila ketiga langkah apresiasi sudah dijalankan,
pengajar bisa mendapatkan umpan balik dari pelaksanaan proses tersebut.
Umpan balik ini sangat penting untuk mengetahui tingkat pemahaman
pembelajar dalam setiap langkah apresiasi dan pemahaman cerita pendek
"Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi". Teknik untuk mendapat umpan balik
ini bisa dilakukan dengan cara, (1) meminta pembelajar menyampaikan
hasil apresiasi secara lisan dalam suatu diskusi, (2) meminta
pembelajar menuliskan hasil apresiasinya terhadap cerpen SGA baik
secara individual ataupun berkelompok, (3) meminta pembelajar
menukarkan hasil apresiasinya atas cerpen itu dengan milik temannya
sehingga mereka akan semakin diperkaya oleh berbagai masukan dari
temannya sekaligus melatih mereka untuk menghargai hasil karya teman
mereka, (4) pengajar memberikan masukan -baik lisan maupun tertulis-
terhadap hasil karya pembelajar sehingga mereka mendapat suatu
penguatan (reinforcement) atas hasil apresiasi mereka. Masukan ini
dapat ditekankan pada kemampuan pembelajar dalam menghubungkan secara
logis tiap aspek yang ada dalam cerpen SGA, misalnya peran alur, tokoh,
setting, gaya penceritaan, dsb, sehingga mereka sampai pada pemahaman
umum cerpen tersebut.
5. Penutup
Sebagai catatan akhir dari
pembicaraan ini patutlah kiranya dimunculkan beberapa hal di sini bahwa
pembelajaran cerpen dapat dimulai dengan menumbuhkan rasa kecintaan
pembelajar terhadap karya sastra cerpen tersebut yang di dalamnya
termuat nilai-nilai, norma-norma, "potret" masyarakat yang ditangkap
oleh pengarang. Untuk menjalani proses tersebut, perlulah kiranya
ditempuh langkah-langkah apresiasi yang dilaksanakan secara wajar dan
berkesinambungan dengan cerita pendek yang sesuai dengan tingkat
perkembangan pembelajar. Pemilihan bahan yang tepat sasaran akan
sangat membantu pelaksanaan langkah-langkah apresiasi. Untuk itu,
penting kiranya bila pengajar mempunyai koleksi cerita pendek sehingga
mempunyai banyak pilihan dalam pembelajarannya.
Perlu juga
memberi kesempatan pembelajar untuk memilih cerita pendek yang akan
diapresiasi sehingga mereka secara total menjalani suatu proses
apresiasi; menemukan cerita pendek, membacanya, dan
mengapresiasikannya. Dengan terlewatinya seluruh rangkaian proses
tersebut diharapkan pembelajar semakin peka terhadap gejala-gejala
sosial dan perubahan dinamika masyarakat tempat mereka menjalani
kehidupannya.
CERPEN (MONUMEN TANPA KEPALA) DAN UNSUR INTRINSIKNYA
(CONTOH ANALISIS STRUKTURAL)
1 Cerpen
1.1 Hakikat Cerpen
Berdasarkan
bentuknya cerpen termasuk dalam karangan prosa, yaitu jenis karangan
yang disusun dalam bentuk bebas dan terperinci. Karangan prosa terdiri
dari dua jenis, yaitu: (1) prosa fiksi yaitu karangan yang disusun
dalam bentuk alur yang menekankan aturan sistematika penceritaan; (2)
prosa nonfiksi yaitu karangan yang menekankan aturan sistematika
ilmiah, dan aturan kelogisan (Kosasih, 2001: 32). Dari pembagian ini,
kita dapat menyimpulkan bahwa cerpen termasuk dalam prosa fiksi.
Dalam
kamus sastra Eneste (1994: 22) cerpen didefinisikan sebagai (1)
singkatan dari cerita pendek, (2) cerita yang bersifat rekaan (fiksi)
yang isinya relatif pendek. Pengertian ini sebenarnya tidak tepat dan
tidak lengkap, karena tidak semua cerita yang pendek disebut sebagai
cerpen. Ada jenis cerita pendek yang tidak dapat kita kategorikan
sebagai suatu cerpen, seperti fabel (cerita binatang), parabel (cerita
dari Kitab Suci), cerita rakyat, dan anekdot (cerita lucu). Memberikan
batasan sebuah cerpen adalah suatu yang amat sulit. Namun, kita mencoba
untuk membuat batasan berdasarkan pengertian yang diberikan para ahli.
Ajib
Rosidi memberikan batasan bahwa cerpen adalah cerita pendek yang
merupakan suatu kebulatan ide. Lebih lanjut dikatakan bahwa cerita
pendek mesti terikat pada suatu kesatuan: pendek, padat, dan lengkap
(Tarigan, 1984: 174-176). Henry Scidel Comby mengatakan bahwa kesan
yang satu dan hidup, itulah yang seharusnya hasil dari sebuah cerita
pendek. Ellergy Sedwick mengatakan bawa cerpen adalah penyajian suatu
keadan tersendiri atau kelompok yang memberikan kesan yang tunggal pada
diri pembaca (Tarigan,1984: 176).
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini
K.M (1987: 36), ciri dasar cerpen adalah sifat rekaan (fiktif). Cerpen
bukan putaran kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kejadian yang
sebenarnya, tetapi murni ciptaan yang direka pengarang. Meskipun
demikian, cerpen ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan.
Menurut
Puji Santosa (1995:98) cerpen adalah ragam cerita rekaan yang memiliki
ciri-ciri: (1) kisahan yang memberi kesan tunggal dan dominan tentang
suatu tokoh, suatu latar, dan suatu situasi dramatik; (2) bentuknya
sederhana karena kurang dari 10.000 kata; (3) berisi suatu ide pusat
dan tidak diberi kesempatan memunculkan ide sampingan; (4) dimensi
ruang dan waktu lebih sempit bila dibandingkan dengan novel; dan (5)
hanya menceritakan suatu kejadian yang paling menarik sehingga dapat
menimbulkan kesan impresif. Sebuah cerpen harus memperlihatkan kepaduan
sebagai patokan dasarnya.
Berdasarkan batasan-batasan di atas,
dapatlah disimpulkan bahwa: cerpen adalah suatu jenis karya sastra yang
berbentuk prosa fiksi yang berisi suatu ide pusat, memberi kesan
tunggal dan dominan tentang suatu tokoh, suatu latar, dan suatu situasi
dramatik serta ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan sebagai hasil
olahan jiwa pengarang.
1.2 Ciri-ciri Dasar Cerpen
Berdasarkan
batasan-batasan yang diberikan para ahli, Tarigan (1984: 177)
memberikan beberapa ciri yang menjadi kekhasan suatu cerpen. Adapun
ciri-ciri itu antara lain:
1. Ciri-ciri utama cerita pendek adalah: singkat, padu, intensif (brevity, unity, intensity).
2. Unsur utama cerpen adalah: adegan, tokoh, dan gerak (scene,character, and action).
3. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, alert).
4.
Cerpen harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya
mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
5. Sebuah cerpen haruslah menimbulkan suatu efek dalam pikiran pembaca.
6.
Cerpen harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah
yang pertama-tama menarik perasaan, dan kemudian menarik pikiran.
7.
Cerpen mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan
sengaja dan yang bisa menimbulkan pertanyaan dalam pikiran pembaca.
8. Cerpen harus mempunyai pelaku utama.
9. Cerpen harus mempunyai suatu efek atau kesan yang menarik.
1.3 Unsur-unsur Intrinsik Cerpen
Adapun unsur-unsur intrinik cerpen antara lain:
(1) Tema cerita (theme)
(2) Tokoh dan penokohan atau perwatakan
(3) Alur ( plot )
(4) Latar cerita (setting)
(5) Sudut Pandang (point of view)
2 Analisis Struktural Cerpen MTK
2.1 Tema (theme)
2.1.1 Hakikat Tema
Tema
merupakan ide sebuah cerita. Menurut KUBI, tema berarti pokok pikiran,
dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, dan
sebagainya) (Poerwadarminta, 1976: 1048). Santosa (1995:117) mengatakan
bahwa tema adalah gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pikiran dalam
karya sastra. Suatu tema merupakan arti pusat dalam sebuah cerita dan
berhubungan dengan arti karya sastra.
Cerpen yang disajikan
pengarang sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Hal
yang disampaikan dapat berupa masalah kehidupan, pandangannya tentang
hidup ini, atau komentarnya tentang kehidupan (Sumardjo dan Saini K.M,
1987: 56). Pengarang mengemukakan suatu masalah dalam sebuah cerpen dan
pemecahannya diserahkan kepada pembaca. Menemukan tema sebuah cerpen
berarti menemukan makna yang terkandung dalam cerpen tersebut.
2.1.2 Analisis Tema Cerpen MTK
Cerpen-cerpen
Indra Tranggono umumnya memperlihatkan adanya “tema utama”
ketercengkeraman dan kecemasan manusia di hadapan kekuatan dan
kekuasaan politik yang tidak sepenuhnya dapat dipahami (Noor,2000: v).
Hal itu terlihat jelas dalam cerpen MTK yang menyajikan suatu bentuk
kecemasan manusia menghadapi kekuatan politik yang tidak jelas
tersebut. Indra Tranggono yang hidup di tengah kegoncangan sosial
merasakan adanya proses perubahan yang menderu dan menggilas, dan
memunculkan bermacam paradoks, juga ironi yang seringkali berujung pada
tragisme. Situasi itu, tampaknya dipilih Indra untuk menjadi basis
ceritanya.
Situasi ketercengkeraman dan kecemasan manusia itu
digambarkan dalam cerpen tersebut dalam bentuk masalah kekuasaan
pemimpin atau masalah kepemimpinan. Cerpen MTK menyajikan suatu tema
tunggal, yakni masalah kepemimpinan. Perhatikan kutipan (1) berikut:
(1)
“Lengkingan sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning.
Pelan-pelan kain itu tersingkap. Gamelan monggang bertalu. Mulai tampak
sebagian badan monumen perunggu setinggi 10 meter itu. Tamu-tamu
undangan bertepuk riuh. Pak Gubernur, seusai menekan tombol itu,
menjabat tangan Pak Bupati yang tersenyum bangga….” (alinea 1-2).
Sebutan Gubernur dan Bupati pada kutipan di atas menunukkan bahwa yang
diceritakan pengarang adalah tentang kepemimpinan. Pada cerita MTK,
pengarang melukiskan tokoh bupati yang repot dan panik dalam membangun
munumen Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang ditentang oleh banyak orang. Ia
membuang uang ratusan juta demi pembangunan monumen tersebut. Orang
banyak menganggap bahwa proyek tersebut tidak manusiawi dan tidak
berguna. Uang ratusan juta lebih relevan untuk membangun gedung
sekolah. Di sini, kita melihat bahwa apa yang dilakukan oleh bupati
tidak sesuai dengan keinginan rakyatnya. Inilah situasi yang
digambarkan Indra dalam cerpennya. Situsasi ini menjadi representasi
situasi nyata dalam kehidupan. Ketercengkeraman dan kecemasan manusia
dihadapan kekuasaan politik digambarkan dalam cerpen tersebut berupa
kecemasan tokoh lainnya (rakyat) di hadapan kekuasaan tokoh bupati yang
tidak sepenuhnya dipahami.
Tindakan bupati dalam cerpen tersebut
merupakan suatu bentuk penyimpangan. Ia menjalankan kekuasaannya tanpa
mendengarkan aspirasi rakyat. Monumen TKW yang ditentang tetap
dibangunnya. Kepemimpinannya mengikuti apa yang diinginkannya.
Kepemimpinan yang semacam ini disebut kepemimpinan yang nondemokratis.
2.2 Tokoh dan Penokohan/ Perwatakan
2.2.1 Hakikat Tokoh dan Penokohan
Dalam
sebuah cerpen para tokoh harus diperkenalkan secara wajar dan sempurna
dengan segala sifat dan kehidupan batinnya. Namun, semua orang mengakui
bahwa manusia adalah makhluk yang paling kompleks. Kekompleksannya
bukan karena dimensi fisiologis atau struktur anatominya yang sukar
dianalisis, melainkan karena dimensi psikologisnya yaitu unsur-unsur
kejiwaan dan akal budinya (Mido, 1994: 22). Untuk mengetahui karakter
tokoh dalam sebuah cerita, kita dapat menggunakan dua metode yang
ditinjau dari pihak pengarang. Metode itu adalah metode langsung dan
metode tidak langsung. Metode langsung maksudnya pengarang secara
langsung melukiskan tokoh, baik bidang fisiologi, sosiologi, maupun
bidang psikologinya. Pengarang sendiri memberitahukan kepada
kita/pembaca tentang para tokoh, “the author himself tells us” (Moody,
1972). Metode tidak langsung maksudnya pengarang secara tidak langsung
membuat deskripsi tentang para tokoh kepada pembaca. Pembaca
mengetahuinya melalui deskripsi fisik, mimik dan lingkungan, melalui
nama tokoh, melalui reaksi, ucapan dan pendapat tokoh lain.
Pembagian
tokoh dalam cerita fiksi ada bermacam-macam, yaitu: dari segi peranan
ada tokoh utama, pembantu, dan tambahan. Dari segi macam perwatakan ada
perwatakan statis (static charaterization), perwatakan dinamis (dinamic
characterization), perwatakan datar (flat characterization), dan
perwatakan bulat (round characterization).
2.2.2 Analisis Tokoh dan Penokohan Cerpen MTK
Ada
banyak tokoh yang disebutkan dalam cerpen MTK, antara lain: Gubernur,
Bupati, Sureng, Bendot, Klantung, Warsiyah (istri Sureng), Dus cs (staf
Bupati), wartawan, Puwarto (humas Pemda). Dilihat dari segi peranannya,
yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini adalah Bupati dan Sureng,
sedangkan yang lainnya adalah tokoh tambahan.
Tokoh bupati adalah
seorang laki-laki. Indikatornya: ia mempunyai seorang istri (alinea 2).
Dari segi macam perwatakan, tokoh bupati tergolong dalam tokoh yang
berwatak dinamis yaitu watak tokoh yang berubah sesuai situasi.
Perhatikan kutipan (2) berikut:
(2) “…Pak Gubernur, seusai
menekan tombol itu menjabat tanga Pak Bupati yang tersenyum bangga.
Namun, gamelan itu mendadak berhenti. Para tamu kaget. Begitu kain
selubung itu terbuka seluruhnya, mereka melihat pemandangan aneh.
Monumen TKW itu berdiri tanpa kepala. Pak Gubernur gusar. Pak Bupati
cemas. Dalam bahasa yang sulit ditangkap, ia menciba menenangkan Pak
Gubernur. Namun, pak gubernur segera beranjak dari kursi. Suasana
berubah jadi gaduh. Pak Bupati tampak terguncang….” (alinea 2-3)
“Pak Bupati menggebrak meja. Para stafnya tak ada yang berani bicara.
Kepulan asap menguasai ruangan. Puntung-puntung merokok menumpuk dalam
asbak…” (alinea 15).
Dari kutipan pertama, kita
melihat watak bupati yang berubah sesuai situasi. Pada awalnya ia
merasa bangga dengan proyek yang baru dibangunnya. Tetapi, setelah
suasana berubah, yaitu monumen itu berdiri tanpa kepala, ia menjadi
cemas dan panik. Pada kutipan kedua, tokoh bupati berada pada situasi
yang membuatnya marah karena kasus monumen yang berdiri tanpa kepala.
Tokoh
Sureng adalah seorang tokoh utama. Ia memiliki kesamaan watak dengan
tokioh bupati. Pengarang membandingkan tokoh bupati yang repot dan
panik dalam membangun monumen TKW dengan tokoh Sureng yang selalu cemas
dan panik karena dituduh menyabotase monumen tersebut. Tokoh Sureng
mengalami tekanan batin. Ia terus dicari dan pada akhirnya ia masuk
penjara.
2.3 Alur (plot)
2.3.1 Hakikat Alur
Pada
dasarnya, kesederhanaan pemaparan peristiwa dalam urutan temporal
bukanlah urusan yang paling utama pagi seorang penulis fiksi. Bagi
pengarang, yang lebih penting adalah menyusun peristiwa-peristiwa
cerita yang tidak terbatas pada tuntutan-tuntutan murni kewaktuan saja.
Seorang penulis cerita harus harus menciptakan alur bagi ceritanya
(Sayuti, 2000: 29-30). Hal ini berarti bahwa alur cerita sebuah fiksi
menyajikan peristiwa-peristiwa kepada pembaca tidak hanya dalam sifat
kewaktuannya, tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah
diperhitungkan.
Alur sebuah cerpen sangat mempengaruhi kelangsungan
sebuah cerita. Keberadaan sebuah alur sangat ditentukan oleh semua
peristiwa dalam cerita. Peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita
merupakan sumber terjadinya alur. Alur berkaitan dengan perkembangan
konflik antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis (Rampung, 2000:
1-2). Mido (1994: 41-46) mengatakan bahwa alur merupakan sambung
sinambung peristiwa berdasarkan hubungan sebab akibat. Alur tidak hanya
menyampaikan apa yang terjadi, tetapi juga yang lebih penting adalah
mengapa hal itu tejadi. Menurut Sumardjo dan Saini K.M (1986: 49)
penyebab sebuah cerita adalah konflik. Konflik inilah yang menjadi
bagian penting pada sebuah alur.
Ada banyak ahli yang membagi alur
ke dalam struktur-struktur. Secara umum, struktur dalam alur itu
terdiri dari 3 bagian penting, yaitu: pengenalan, konflik, dan
penyelesaian. Melalui ketiga elemen ini pengarang berusaha membawa
pembaca pada ketegangan dan ketegangan inilah yang membuat pembaca
tertarik pada cerpen.
Boulton (1975) seperti dikutip Sukada (1993:
73) menyebutkan fungsi alur, yaitu: (1) Plot membawa pembaca ke arah
maju dalam memahami sebuah cerita, sekalipun sesungguhnya tidak semua
rincian diketahui (2) Plot menyediakan tahap atau peluang bagi penulis
untuk meletakkan sesuatu yang dikehendakinya untuk diperlihatkan kepada
pembaca.
Dalam menyusun sebuah alur, pengarang harus memperhatikan
hal-hal yang menyangkut aturan-aturan penyusunan alur. William Kenny
(1976: via Rampung, 2000: 47-48) menyebut 5 hal yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan alur:
(1) Masuk akal, logis artinya diharapkan pembaca dapat mengganggap cerita fiksi itu benar-benar ada dalam kehidupan.
(2)
Kejutan (surprise): dalam keseluruhan ceritanya, pengarang harus
menampilkan banyak kejutan yang tidak diduga pembaca sebelumnya.
(3)
Tegangan (suspense) timbul karena tidak adanya ketidakpastian dalam
cerita sehingga penbaca bertanya-tanya bagaimanakah jalan cerita
berikutnya. Jika tidak, pembaca tidak merasa penasaran untuk membaca
bagian berikutnya.
(4) Kesatuan (unity): unsur-unsur yang membentuk
alur memiliki hubungan satu sama lain. Rangkaian cerita yang masuk
akal, penuh kejutan, dan memiliki tegangan berarti memiliki satu
kesatuan.
(5) Ekspresi (expression):pengarang harus bisa
berkomunikasi de4ngan para peminat cerpen tentang pandangan dan
pengalaman, sehingga ekspresi pengarang terhadap realitas hidupnya
dapat dipahami dengan baik oleh pembaca.
2.3.2 Analisis Alur
Sebagai
sebuah cerita fiksi, cerpen MTK memiliki alur sebagai satui kesatuan
cerita. Alur cerpen MTK dibagi dalam beberapa bagian penting sesuai
dengan pembagian alur umumnya. Bagian-bagian alur tersebut dijelaskan
sebagai berikut: Pertama, pengenalan (exposition).
Alinea 1-5
merupakan tahap pengenalan dalam penyajian alur. Pengarang
memperkenalkan beberapa tokoh seperti bupati dan lain-lain. Bagian
pengenalan ini memiliki unsur-unsur surprise seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Hal ini membuat para pembaca penasaran dan ingin untuk
membaca bagian berikutnya.
Kedua klimaks. Dalam cerpen tersebut,
klimaks ditunjukkan oleh tokoh Sureng yang mengalami tekanan batin
karena dicurigai menyabotase monumen TKW (alinea 6-17). Ia meninggalkan
rumahnya dan anak istrinya. Setiap waktu pikirannya melayang pada
monumen TKW yang berdiri tanpa kepala itu. Selain itu, klimaks
ditunjukkan oleh toko bupati (alinea 18-31), yang marah kepada para
stafnya. Ia m,arah karena kasus monumen yang berdiri tanpa kepala.
Ketiga,
penyelesaian. Alinea 37-38 menunjukkan akhir dari cerita tersebut. Hal
itu ditunjukkan oleh tokoh Sureng yang memutuskan untuk kembali ke
rumahnya. Ia terobos ke kantor polisi, disergap pemeriksaan demi
peneriksaan. Ia terobos ke pengadilan, disergap pasal-pasal tuntutan
dan akhirnya ia masuk penjara dengan keputusan yang sama sekali ia
tidak pahami.
2.4 Latar (setting)
2.4.1 Hakikat Latar
Sebuah
karya fiksi, harus terjadi pada suatu tempat dan dalam waktu tertentu,
seperti halnya kehidupan yang juga berlangsung dalam ruang dan waktu.
Fiksi adalah sebuah “dunia dalam kata” (Sayuti, 2000: 125) yang di
dalamnya terjadi pula kehidupan, yakni kehidupan para tokoh dalam
peristiwa-peristiwa tertentu. Elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita
di mana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung disebut
latar (setting). Mido (1994: 51) menambahkan bahwa latar bukanlah hanya
pelukisan waktu dan tempat. Suatu adegan sedih akan lebih tersa bila
didukung oleh lukisan suasana seperti awan mendung, kesunyian, dan
sebagainya.
Menurut Murphy (via Mido, 1994: 52-56), ada tiga unsur
penting yang membentuk sebuah latar, yakni waktu, tempat, dan situasi.
Latar waktu dipakai karena sebuah cerita selalu terjadi pada waktu
tertentu. Ada empat latar waktu, yaitu waktu kini (present time), masa
lalu (past time), masa depan (future time), dan waktu tak tentu (no
spesific time). Latar tempat, apabila ditinjau dari pihak pembaca ada
tempat yang dikenal (familiar place), kurang dikenal (unfamiliar
place), dan tempat khayalan (imaginary place). Latar suasana ada 3,
yaitu suasana alamiah, suasana sosiokultural, dan suasana batiniah.
2.4.2 Analisis Latar Cerpen MTK
Dalam cerpen MTK, ketiga latar yang disebutka muncul. Pertama, latar
waktu. Pengarang mengunakan waktu sekarang dan masa lampau dalam
menulis cerpennya. Waktu sekarang terdapat pada hampir seluruh bagian
cerita, sedangkan waktu lampau hanya pada alinea 32. Pada alinea
tesebut, pengarang melukisakan tokoh Sureng yang memikirkan kembali
kekjadian yang telah lewat, seperti nyata pada kutipan 3 berikut:
(3)
“… Ia ingat betul, sebelum peristwa hilanhnay kepala tiga patung wanita
itu, tak ada kejadian yang istimewa. Sehingga sebelum peresmian, tempat
itu dijaga cukup ketat. Bersama Bendot dan Klantung, ia hanya menjadi
tenaga bantuan. Posisi mereka dari monumen sekitar 500 meter.” (alinea
26).
Kedua, latar tempat. Bila ditinjau dari sudut
pandang pembaca, latar tempat dalam cerpen MTK ada 2, yaitu tempat yang
tidak dikenal dan tempat yang dikenal. Tempatyang tidak dikenal
terda[pat pada bagian awal cerpen (alinea 1-5) yaitu saat peresmian
monumen TKW. Temapat yang dikenal ada dua, yaitu, rumah Warsiyah (istri
Sureng) dan warung kopi.
Ketiga, latar suasana. Menurut Mido
(1994:56-59) ada 3 macam latar suasana, yaitu suasana alamiah
(berhubungan dengan alam), suasana sosial budaya, dan suasana batiniah
yang merupakan akibat saling pengaruh dan interaksi antara tokoh dengan
tokoh, tokoh dengan suasana alamiah, dan sosio kultural. Cerpen MTK
menggunakan ketiga suasana tersebut. Suasana alamiah digambarkan saat
Sureng meninggalkan (alinea16). Kutipan (4) berikut menggambarkan hal
tersebut.
(4)”Barangkali hanya bulan dan gemercik air sungai
yang dirasakan tulus menemaninya. Ia sedikit terhibur menatap bulan di
dasar sungai. Bulan itu bergoyang ditingkah gemercik air yang menjelma
orkestrasi alam. Angin yang begitu lentur dan piawi memainkan irama
air, mempersembahkan musik alam yang indah…” (alinea 11).
Suasan
sosio-kultural berkaitan dengan struktur masyarakat. Dalam cerpen MTK,
struktur masyarakat digambarkan dengan jelas oleh pengarang. Pada
cerpen itu disebutkan tokoh Bupati, Gubernur, humas Pemda, wartawan,
hakim dan orang banyak (rakyat). Ini menunjukkan bahwa tokoh-tokoh
dalam cerita tersebut memiliki status masing-masing yang menyebabkan
terbentuknya struktur dalam masyarakat.
Suasana batiniah
digambarkan dengan tokoh Sureng yag mengalami tekanan batin. Ia merasa
panik dan takut karena dicurigai menyabotase monumen TKW. Selain itu,
suasana batinih ditunjukkan oleh tokoh Bupati yang juga panik dalam
mempersiapkan monumen TKW.
2.5 Sudut Pandang (Point of View)
2.5.1 Hakikat Sudut Pandang
Point
of View pada dasarnya adalah visi pengarang; artinya sudut pandang yang
diambil pengarang untuk melihat peristiwa dan kejadian dalam cerita.
Pemilihan sudut pandang amat penting karena menyangkut masalah seleksi
terhadap kejadian-kejadian yang disajikan, menyangkut masalah pembaca
akan dibawa, dan menyangkut masalah kepada siapa akan dipaparkan.
Tjahjono
menyebutnya dengan titik kisah. Titik kisah adalah bagaimana cara
menempatkan atau memperlakukan dirinya dalam cerita yang ditulisnya.
Apakah dia bertindak sebagai tokoh utama, ataukah hanya sebagai
pengamat, atau sebagai penonton yang melaporkan peristiwa yang
diamatinya kepada pembaca. Gorys Keraf (Tjahjono, 1987: 145-149)
membedakan titik kisah atas dua pola utama, yaitu pola orang pertama
dan pola orang ketiga. Dalam pola orang pertama, penulis terlibat pada
cerita yang ditulisnya. Pola orang ketiga secara eksplisit memakai kata
ganti dia, ia, atau nama orang. Dalam hal ini, pengarang berada jauh di
luar jalinan kisa itu, tidak ikut dalam segala pola tingkah laku para
tokoh dalam cerita yang ditulisnya.
Sementara itu, Sayuti (2000:
159-160) menyebutkan bahwa sudut pandang yang umum digunakan oleh
pengarang dibagi menjadi 4 jenis, yakni:
(1) Sudut pandang first person central: tokoh sentral cerita adalah pengarang yang secara langsung terlibat dalam cerita.
(2)
Sudut pandang first person peripheral artinya tokoh “aku” biasanya
hanya sebagai pembantu atau pengantar tokoh lain yang lebih penting.
Pencerita pada umumnya muncul pada awal atau akhir cerita.
(3) Sudut
pandang third persont omniscient artinya pengarang berada di luar
cerita, dan biasanya pengarang hanya menjadi seorang penmgamat yang
mahatahu, bahkan mampu berdialog langsung dengan pembaca.
(4) Sudut
pandang third person limited: pengarang menggunakan orang ketiga
sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya. Di sini pengarang
hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan
cerita.
2.5.2 Analisis Unsur Sudut Pandang
Sebagai sebuah
fiksi, cerpen MTK tentunya memiliki sudut pandang tertentu. Berdasarkan
hakikat sudut pandang di atas, cerpen MTK menggunakan sudut pandang
orang ketiga (third person point of view) yaitu sudut pandang pengarang
yang memperlakukan dirinya sebagai diri ketiga (the third person).
Pengarang tidak terlibat baik secara langsung maupun tidaka langsung
dalam peristiwa yang terjadi dalam cerita. Pengarang berada jauh di
luar jalinan kisah itu, tidak ikut di dalam segala pola tingkah para
tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Dalam pola ini, pengarang dapat
diibaratkan sebagai dalang; orang yang bercerita tetapi tanpa harus
terlibat dengan peristiwa yang dialami tokoh-tokoh yang diceritakannya.
Dalam
cerpen MTK, pengarang menceritakan apa yang terjadi/yang dialami oleh
tokoh-tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Di satu pihak, ia
menceritakan nasib tokoh Bupati yang repot dan panik dalam
mempersiapkam monumen TKW. Di lain pihak, ia menceritakan tokoh Sureng
yang selalu cemas dan panik karena dicurigai menyabotase proyek monumen
TKW.
APRESIASI CERPEN (MONUMEN TANPA KEPALA)
MERUJUK PADA KONSEP KEPEMIMPINAN IDEAL
1. Situasi Sosial Masyarakat dalam Cerpen Monumen Tanpa Kepala
Sebuah
karya sastra yang bermutu umumnya merupakan hasil penafsiran terhadap
kehidupan nyata (Sumardjo,1994:8). Pengarang menulis sebuah karya
sastra berdasarkan apa yang mereka lihat dan mereka alami dalam
hidupnya. Merka berusaha memahami dan menghayati kondisi sosiologis dan
politis pada tempat mereka tinggal. Setelah itu, mereka
menerjemahkannya ke dalam medium bahasa sehingga membentuk sebuah karya
sastra berupa cerpen, novel, puisi, sajak, dan lain-lain. Karena itu,
sebuah karya sastra pasti memiliki suatu tema yang diangkat pengarang
dari kehidupan nyata.
Cerpen MTK sebagai sebuah karya sastra,
tercipta berdasarkan apa yang dirasakan atau dialami pengarang dalam
kehidupannya. Indra Tranggono yang memang hidup di tengah kegoncangan
sosial merasakan adanya suatu proses perubahan yang menderu dan
menggilas yang seringkali berujung pada tragisme. Tragisme yang tidak
semata-mata marah dan geram, tetapi getir. Tragisme yang menyebabkan
kesengsaraan dalam segala aspek kehidupan. Dalam cerpen MTK, tragisme
tersebut menjadi nyata dalam bentuk penyimpangan dalam proses
kepemimpinan.
Cerpen MTK yang dipublikasikan pada Kompas (21
September 1997) mengkritisi ketimpangan tersebut. Angka 1997
menunjukkan tahun-tahun terakhir masa Orde Baru. Indra menciptakan
cerpen ini karena ia merasakan kepahitan selama ia berada di bawah
kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.
Soeharto berkuasa lebih dari seperempat abad, sehingga ia menjadi
presiden yang paling lama berkuasa di dunia. Namun, selama masa
kekuasaannya, roda pemerintahan dipenuhi oleh aksi yang mentragiskan
yang semuanya berujung pada chaos. Ada beberapa indikator yang
menunjukkan hal itu: partai politik dibatasi hanya tiga (Golkar,PPP,
dan PDI), hanya ada satu serikat buruh yang diakui oleh pemerintah;
pers sangat dikendalikan; dan militer mendominasi kehidupan politik
(Budiman, 1995:81).
Pada masa pemerintahannya, demokrasi hanya
menjadi retorika belaka. Tindakan elite politik dan para pemimpin telah
melenceng jauh dari yang diharapkan. Aspirasi rakyat tidak diindahkan.
Pers yang sebenarnya menjadi sarana yang utama dalam mengontrol roda
pemerintahan dibungkam. Ia dilarang untuk mengadakan kritik terhadap
pemerintah karena dianggap subversif dan berbahaya bagi stabilitas
nasional. Dalam kurun waktu itu, rakyat tidak bebas untuk mengeluarkan
pendapat karena takut dicap PKI dan subversif. Ketakutan untuk
mengemukakan pendapat semakin merambah ketika ORBA berhasil menjadikan
militer sebagai alat untuk mengekang setiap sikap kritis rakyat. Pada
titik ini, aspirasi rakyat tidak lebih dari teriakan mubazir tidak
bermakna.
Selain itu, tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme telah
merajalela di kalangan para pemimpin. Pemerintahan Soeharto runtuh,
selain karena sistemnya yang otoriter, juga karena tindak korupsi
terhadap miliaran rupiah uang negara demi kepentingan pribadi dan
konco-konconya. Benar, apa yang dikatakan Julien Benda (1995:20). Ia
pernah menulis bahwa para elite politik dan para pejabat tinggi negara
memegang tampuk kekuasaan hanya untuk pemuasan kepentingan (kemauam
untuk merebut, mempertahankan harta duniawi) dan untuk pemuasan
kesombongan (kemauan untuk merasa diri khas/lain dari yang lain).
Kurangnya
penegakan supremasi hukum, juga mewarnai panggung politik kita saat
itu. Hal ini terlihat jelas dalam kasus-kasus peradilan yang tidak
jelas penanganannya. Ada begitu banyak kasus-kasus ynagn dibiarkan
begitu saja. Kurangnya penegakan supremasi hukum juga dapat dilihat
dalam proses hukum yang tidak adil..
Cerpen MTK yang diciptakan
tahun 1997 tersebut tentunya masih sangat relevan dengan masa sekarang
ini. Ketika bangsa kita memasuki masa reformasi, penyimpangan dalam
kepemimpinan masih mewarnai panggung politik negara kita. Kondisi ini
terlihat jelas pada tindakan kaum elite politik (para pemimpin) yang
cenderung mementingkan kepentingan mereka dan mengabaikan kepentingan
orang banyak. Di mana-mana kita mendengar kasus KKN yang dilakukan para
pemimpin. TAP MPR No. 11/1998-tentang upaya pemberantasan korupsi dalam
dua segi, hanya menjadi slogan belaka. Di satu sisi, peraturan ini
menyatakan bahwa kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan
pejabat pada masa lampau harus diperiksa dan diputuskan oleh
pengadilan. Di sisi lain, harus diambil tindakan preventif supaya
perilaku pejabat tidak akan terinfeksi KKN lagi di masa yang akan
datang. Namun, selama ini hal tersebut belum tercapai. Kasus-kasus KKN
selama ORBA belum satu pun berhasil diajukan ke pengadilan.
Tindakan-tindakan preventif juga belum kelihatan. Hal ini menunjukkan
bahwa demokrasi sejati belum sepenuhnya terwujud di negara kita..
Kondisi-kondisi seperti inilah yang menjadi dasar bagi Indra dalam
menghasilkan cerpennya..Kepemimpinan dijadikannya sebagai tema utama.
Tokoh
bupati yang digambarkan Indra Tranggono menjadi representasi para
pemimpin yang ada dalam kehidupan nyata. Bupati mendirikan monumen TKW
yang sebenarnya ditentang oleh banyak orang. Itu artinya bahwa apa yang
dilakukannya itu hanya semata-mata sesuai dengan kehendak pribadinya.
Model kepemimpinan seperti ini disebut kepemimpinan yang tidak
demokratis. Indra Tranggono menggambarkan situasi kepemimpinan yang
tidak demokratis dalam cerpennya..
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa demokrasi yang ada di Indonesia bukanlah demokrasi
yang sesungguhnya. Memang, secara teoritis, Indonesia menganut paham
demokrasi murni, namun secara faktual-objektif indonesia sebenarnya
belum menjalankan demokrasi tersebut. Arief Budiman (1995:20)
mengemukakan bahwa demokrasi yang ada di Indonesia adalah demokrasi
yang terbatas (limited democracy) dan bukan demokrasi yang sejati
(genuine democracy). Penjelasan tentang dua tipe demokrasi ini, akan
dijelaskan pada bagian 4.2.1.
2. Konsep Kepemimpinan Menurut Cerpen MTK
“Bagaimana saya mesti mempertanggungjawabkan dana ratusan juta? Pak Bupati kembali meradang. Napasnya terengah-engah……”
“…..Begini
Pak. Program pengiriman Tenaga Kerja Wanita itu titentang keras
berbagai kelompok. Mereka menilai, priyek itu kurang manusiawi……”
“Mereka juga menentang megaproyek m,onumen TKW. Dana ratusan juta itu lebih relevan untuk membangun gedung sekolah…”
Pada
kutipan di atas, kita melihat secara tidak langsung adanya reaksi tokoh
lain terhadap keputusan tokoh Bupati (pemimpin). Mereka mengatakan
“tidak” terhadap keputusan pemimpin mereka, meskipun tanggapan mereka
tidak diperhatikan. Mengatakan “tidak” terhadap keputusan pemimpin
merupakan salah satu karakter kepemimpinan demokratis. Namun, itu bukan
berarti bahwa mengatakan ‘ya” terhadap keputuan pemimpin tidak
demokratis. Mengatakan “ya” terhadap keputusan pimpinan juga
demokratis, asalkan dengan alasan yang jelas dan logis, dan demi
kepentingan bangsa dan negara. Jadi, dalam cerpen tersebut, terdapat
perbedaan pendapat antara tokoh Bupati dengan tokoh lainnya. Perbedaan
pendapat ini menunjukkan adanya suasana demokrasi.
Dalam cerpen MTK
,Indra Tranggono melukiskan reaksi rakyat terhadap keputusan pemimpin
(tokoh Bupati). Namun. reaksi mereka sama sekali tidak diperhatikan
oleh sang pemimpin. Buktinya, tokoh Bupati melakukan kembali apa yang
ditentang oleh banyak orang. Perhatikan kutipan berikut:
“Jauh
sebelum palu keadilan dipukulkan, para tukang batu sudah memukul palu.
Memecah batu. Mengecor beton. Membangun kembali monumen TKW.
Berliter-litter keringat menetes. Beratus-ratus juta uang kembali
mengalir untuk proyek mercusuar yang banyak ditentang itu. “ (alinea…).
Pada
kutipan di atas, ditunjukkan ketidakberpihakan tokoh Bupati (pemimpin)
terhadap tokoh lain (rakyat). Ini menunjukkan bahwa apa yang
dilakukannya sama sekali tidak demokratis. Melalui cerpen MTK
sebenarnya Indra Tranggono ingin mengkritik keadaan pemerintahan
Indonesia saat itu. Melalui kritikannya yang tertuang dalam cerpen
tersebut ia ingin mengangkat kembali model kepemimpinan ynag semestinya
dijalankan, yakni model kepemimpinan demokratis.
Pada alinea-alinea
terakhir cerpen tersebut, diceritakan tindakan tokoh Hakim yang berlaku
tidak adil. Ia menjatuhkan keputusan yang sama sekali tidak dipahami.
Kutipan berikut menggambarkan hal tersebut.
“Ia terobos kantor
polisi, disergap pemeriksaan demi pemeriksaan. Ia terobos pengadilan,
disergap pasal-pasal tuntutan dan berhadapan dengan keputusan yang
dingion dab angkuh. Ribuan hari dijalaninya di sel yang sumpek, lewat
proses yang sama sekali tidak ia pahami. Hanya wajah hakim yang selalu
melekat di benaknya. Hakimitu gemetar membacakan putusan. Gemetar
memukul palu keadilan.”(alinea….).
Pada kutipan di atas,
digambarkan tokoh Hakim yang menjatuhkan putusan yang tidak adil
terhadap tokoh Sureng. Kondisi seperti ini, sengaja diangkat Indra
karena ia merasakan adanya ketidakadilan dalam proses pemerintahan
umumnya dan pengadilan khususnya. Pada masa orde baru bahkan sampai
sekarang, ketidakadilan masih mewarnai panggung politik negara kita.
Keadilan
merupakan salah satu ciri utama kepemimpinan demokratis. Kriteria
negara demokrasi yang berkaitan dengan keadilan seperti ditulis
Sudarminta, J (1995:70) adalah bahwa dalam negara demokrasi dituntut
persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pembagian pendapatan yang
adil. Kedua kriteria ini menunjukkan bahwa negara demokrasi sangat
menjunjung tinggi keadilan. Indra Tranggono berusaha memperjuangkan
keadilan dengan kritikan melalui cerpennya. Itu artinya, ia secara
tidak langsung menuntut supaya keadilan ditegakkan kembali dan
pemerintahan yang demokratis dijalankan sebagaimana mestinya.
2.1 Hakikat Kepemimpinan Demokratis
Sebelum
memasuki uraian tentang hakikat kepemimpinan demokratis, terlebih
dahulu penulis ingin menguraikan beberapa tipe demokrasi seperti yang
dimaksudkan pada bagian 4.1.
Pertama, tipe demokrasi bersyarat
(licensed demokracy). Tipe ini mengandaikan adanya suatu persyaratan
munculnya situasi demokrasi. Tipe ini menunjukkan bahwa adanya
kebebasan untuk melakukan kritikan tidak senantiasa merefleksikan
eksistensi demokrasi. Kebebasan untuk mengkritik hanya merupakan bukti
bahwa ada suasana demokrasi. Suasana yang demokratis dapat saja terjadi
tanpa demokrasi. Misalnya, jika pemerintah terlalu kuat, rakyat sipil
lemah dan dapat dikritik. Pada akhirnya, segala sesuatu menyerupai
pemikiran demokrasi. Jika kritikan terasa teralu jauh, penguasa akan
menarik kembali lisensinya dan eksistensi demokrasi akhirnya berhenti.
Kedua,
demokrasi terbatas (limited democracy) .Dalam demokrasi ini, kondisi
demokrasi memang ada, tetapi itu ada karena terjadi konflik
antargolongan di kalangan penguasa. Dalam situasi semacam ini, rakyat
tiba-tiba mempunyai kekuatan untuk melakukan kritik terhadap
pemerintah, karena golongan yang lain akan mengamankan kelompoknya dari
pelbagai macam aksi politik. Ketika konflik selesai, suasana demokrasi
ini akan hilang kembali.
Ketiga, demokrasi murni (genuine
democracy). Demokrasi ini hanya bisa eksis jika ada perimbangan
kekuatan antara pemerintah dan rakyat sipil. Jika kelompok soaial yang
ada dalam masyarakat sipil bersatu dan mempunyai kemampuan untuk
melindungi hak-hak demokratis mereka melawan pemerintah, barulah
demokrasi bisa eksis. Dalam konteks tersebut, rakyat tidak hanya
mempunyai kebebasan untuk menkritik pemerintah, tetapi juga mempunyai
kekuatan untuk menjatuhkan pemerintah. Konsep demokrasi yang diuraikan
berikut adalah konsep demokrasi yang ketiga yakni demokrasi murni
(genuine democracy).
Kata demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa
Yunani yaitu demos dan kratein. Demos berarti rakyat dan kratein
berarti berkuasa. Secara etimologis, dermokrasi berarti rakyat yang
berkuasa atau kekuasaan rakyat. Namun, pengertian ini bukan berarti
bahwa rakyat berkuasa penuh dalam proses pemerintahan negara. Magnis
Suseno (2001:290) mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bukan berarti
bahwa segala keputusan harus diambul langsung oleh rakyat dan seluruh
proses pemerintahn diatur sepenuhnya oleh rakyat. Kedaulatan rakyat
atau kekuasaan rakyat bermaksud bahwa pemerintahan negara tetap di
bawah kontrol masyarakat. Kontrol warga negara ini berlangsung melalui
dua sarana, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Secara
langsung, yaitu melalui pemilihan para wakil dan secara tidak langsung
melalui keterbukaan (publicity) pemerintah. Kontrol dari warga negara
merupakan basis bagi para pemimpin dalam mengambil keputusan dan dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Negara yang menganut paham
demokratis berpedoman pada keyakinan bahwa tidak ada orang atau
sekelompok orang yang dengan begitu saja berhak untuk mengatur dan
memerintah orang lain. Seseorang memiliki wewenang untuk mengatur orang
lain jika ia telah disetujui oleh warga masyarakat sendiri. Ia harus
menang dalam sebuah pemilihan. Giddens (2001:67) mengtakan bahwa
demokrasi merupakan sebuah persaingan yang efektif di antara
partai-partai politik untuk merebut posisi kekuasaan. Dalam demokrasi
ada pemilu yang teratur dan jurdil, yang di dalamnya semua anggota
masyarakat dapat mengambil bagian. Agar bisa menduduki sebuah posisi
seorang harus menang dalam persaingan tersebut. Kemenangan dalam
persaingan ditentukan oleh adanya persetujuan warga masyarakat
(berdasarkan sura terbanyak). Untuk itu, orang yang kalah harus
menerima kekalahannya dengan sportif. Tentang hal ini, K. Bertens
(2000:30-33) mengatakan bahwa demokrasi harus dijalankan loyalitas.
Artinya, sistem, demokrasi mengandaikan adanya kesediaan untuk menerima
kemenangan mayoritas.
Dalam mengambil keputusan dan menjalankan
roda pemerintahan, seorang pemimpin demoktratis selalu berpegang pada
apa yang menjadi keinginan rakyat. Suara rakyat harus dijadikan dasar
untuk bertindak karena suara mereka merupakan cerminan dari suara hati
mereka. Pemimpin selalu mengikutsertakan rakyatnya dalam penyusunan
recana dan keputusan. Untuk itu, setiap pendapat dan ide seseorang
perlu diperhatikan. Setyawati (2003:321) mencatat bahwa di alam
demokjrasi, pandangan setiap pribadi dihargai. Setiap orang diberi
kesempatan untuk berbicara, untuk mengungkapkan pikirannya, untuk
mempertahankan argumentasinya, dan untuk berbeda pandangan dengan orang
lain bahkan dengan pemimpinnya. Dalam bahasa yang lain, Ignas Kleden
(1999:245-246) mengatakan bahwa dalam demokrasi, para pemimpin politik
dituntut suatu tingkat toleransi terhadap pelbagai pendapat yang
berbeda. Seorang pemimpin seharusnya mengambil keputusan setelah
meninjau semua pendapat yang ada. Pemimpin juga harus berbudaya politik
yang didasarkan pada pengendalian diri.
Kepemimpinan demokratis
merupakan kepemimpinan yang berwatak atau bercorak demokrasi.
Kepemimpinan yang menganggap bahwa semua orang adalah penting (every
person is important) dan yang mencerminkan adanya kesempatan bagi
anggota untuk mengambil bagian dalam tugas bersama atau keanggotaan
asdalah partisipasi (membership is participation) (Gultom,1994:81-82).
Kepemimpinan demokratis selalu menitikberatkan perhatian utama pada
manusia.
2.2 Partisipatif: Inti Kepemimpinan Demokratis
Model
kepemimpinan demokratis merupakan model kepemimpoinan yang paling
pupuler dewasa ini. Salah satu yang amat menonjol dan menjadi inti
kepemimpinan ini adalah apa yang disebut partisipatif. Para anggota
berpartisipasi dalam kegiatan kepemimpinan, seperti dalam kesempatan
mengambil keputusan. Partisipasi menekankan keterlibatan rakyat dalam
mengoperasi atau mengatur sebuah wilayah atau sebuah organisasi.
Partisipasi merupakan suatu sumbangan penting untuk membangun sebuah
wilayah atau lembaga yang efektif. Partisipasi adalah keterlibatan
mental dan emosi anggota-anggota sehingga mendorong mereka dalam usaha
mencapai tujuan dengan cara melaksanakan tanggung jawab masing-masimg
(Tambunan, 1995:75). Partisipasi merupakan suatu pola kepemimpinan yang
dapat meningkatkan pelaksanan pekerjaan dalam suatu lemabag.
Partisipasi mengandung suatu potensi yang luar biasa untuk membagun
kesatuan kerja. Dalam kepemimpinan demokratis, kesatuan kerja terjalin
antara rakyat dan pemerintah. Dalam sistem ini, rakyat menyalurkan
aspirasi mereka—sebagai bentuk partisipasi—melalui lembaga khusus yaitu
DPR. Sebagai jembatan penyalur aspirasi rakyat, DPR harus mengetahui
kebutuhan rakyat dan menjalin hubungan yang baik, baik ke atas (menilai
pemerintah) maupun ke bawah (penyalur aspirasi). Dengan demikian,
kerjasama yang baik dapat terwujud.
Dalam cerpen MTK, partisipasi
ditunjukkan oleh keterlibatan tokoh lain dalam menilai tindakan tokoh
Bupati walaupun partisipasi mereka tidak diindahkan. Buktinya,
keterlibatan mereka menimbulkan suatu pertentangan. Kutipan berikut
secara tidak langsung menunjukkan pertentangan antara tokoh yang tidak
dikenal dengan tokoh Bupati dan stafnya.
"Bagaimana saya mesti
mempertanggungjawabkan dana ratusan juta?" Pak Bupati kembali
meradang. Napasnya terengah-engah. Beberapa detik berlalu tanpa suara.
"Maaf
Pak. Berdasarkan laporan tim investigasi, temyata kasus ini tidak
murni kriminal, " seorang staf memberanikan diri bicara. Keheningan
retak. Pak Bupati dan beberapa staf yang lain terhenyak. Mereka saling
memandang.
"Maksudmu?"…...
"Begini, Pak. Program pengiriman TKW itu ditentang keras berbagai kelompok. Mereka menilai, proyek itu kurang manusiawi. "
. "Mereka juga menentang megaproyek monumen TKW. Dana ratusan juta itu, lebih relevan untuk membangun gedung sekolah... "
"Soal
monumen itu'kan soal citra. Dan kita sangat butuh itu. Iya'kan?! Eeee
... lantas bagaimana dengan tiga penjaga malam yang kini jadi
tersangka?" "Diduga keras mereka sekadar menjadi kuda tunggangan pihak
ketiga. Tapi maaf Pak, kami belum mampu menunjukkan bukti-bukti."
Kepemimpinan
demokrasi-partisipatif tentunya dipimpin oleh seorang pemimpin yang
partisipatif pula. Pemimpin yang partisipatif selalu memberi perhatian
besar pada rakyatnya.. Ia suka berkonsultasi dengan anggotanya,
memberikan mereka masalah-masalah, dan mengajak mereka untuk
memecahkannya. Kegiatan ini bukan berarti bahwa pemimpin bersikap
otoriter, bukan pula seprang pemimpin yang bebas dari tanggung jawab..
Pemimpin partisipatif merupakan seorang yang bertanggung jawab, yang
tetap menjalankan tugasnya dalam lembaga atau organisasi yang
dipimpinnya. Ia belajar membagikan tanggung jawab dengan mereka yang
melaksakan pekerjaan atau dengan anggotanya.
Emil H. Tambunan
(1995:76-78) mengatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental
dan emosi seseorang ke dalam suatu situasi kelompok, dan hal ini akan
mendorongnya untuk turut memberi sumbangan kepada kelompok untuk
mencapai tujuan dan untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Ada tiga ide
pentinga dalam pengertian ini. Pertama, partisipasi merupekan
ketyerlibatan mental dan emosional. Keterlibatan mental dan emosional
melebihai kegiatan otot. Pengerytian partisipasi ini lebih menekankan
pikiran yang logis daripada kegitan fisik. Kedua, usaha memotivasi
manusia supay memberi sumbangan pikiran dan tenaga. Mereka diberi
kesempatan untuk mengemukakan inisiasi dan kreasi mereka. Yang penting
dalam ide ini adalah pemanfaatan kreatifitas anggota dalam suatu
organisasi atau lembaga. Ketiga, mendorong anggota untuk m,enerima
tanggung jawab. Hal ini merupakan suatu proses sosial yang
mengikutsertakan anggota secara perorangan dalam sutau lembaga atau
organisasi.
Partisipasi merupakan salah satu sumbangn pikiran yang
amat berharga dalam uasaha meningkatkan keefektifan seseorang dalam
mengoperasi suatu lembaga atau organisasi. Dari uaraian di atas, kita
dapat menyimpulkan ciri-ciri kepemimpinan yang partisipatif, yaitu (1)
Pemimpin percaya kepada anggotanya/rakyatnya, (2) Terbuka dalam
berkomunikasi, (3) Kepemimpinan bersifat suportif, (4) Aspek
kemanusiaan menjadi perhatian yang utama, (5) Pemecahan suatu masalah
dilakukan secara bersama-sama, (6) Membagi informasi secara luas
2.3 Kepemimpinan Demokratis: Idealisme dan Motivasi
Pada
bagian sebelumnya, dituliskan bahwa cerpen MTK merupakan sutu bentuk
kritikan terhadap kondisi kepemimpinan saat itu. Kritikan Indra yang
tertuang dalam cerpen tersebut merupakan akomodasi dari sejuta jeritan
warga negara Indonesia yang mendambakan keadilan dan demokrasi.
Keadilan dan demokrasi harus ditegakkan karena mereka dan kita semua
yakin bahwa demokrasi merupakan sistem yang paing tepat untuk
menciptakan masyrakat adil an makmur dan untuk mencapai cita-cita
masyarakat kita.
Emil Tambunan (1995:65-67) mengatakan bahwa pola
kepemimpinan demokratis bertolak dari idealisme kebudayaan kita dan
model kepemimpinan ini sesuai dengan perkembangn dan kebutuhan zaman
kita. Idealisme kebuyaan kita adalah menggarisbawahi tuyjuan kita,
maksud masyarakar kita, dan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat
kita. Ada tiga konsep dari idealisme kebudayaan kita ini yang sangat
relevan dan fundamental jika dihubungkan dengan kepemimpinan demokratis.
Pertama,
menjelaskan harkat dan martabat manusia sebagai suatu individu. Dalam
hal ini manusia menduduki urutan utama dfalam lingkup kepemimpinan
daripada benda dan material. Sehala urusan dan proses kepemimpinan
haruis lebnih mengutamakan manusia. Kesejahteraan manusia menjadi
prioritas yang utama. Manusia sebagai makhluk yang berakal budi harus
dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Idealisme
kedua menunjuk pada pemanfaatan kuasa intelek untk memecahkan suatu
masalah. Pad umumnya, pemimpin di[ilih karena memiliki kelebihan dan
memiliki kackapan yang khusus yang akan dimanfaatka untuk kepentingan
bersama. Selain intelek, manusia juga memiliki emosi yang berpengaruh
terhadap kuasa intelek. Namun, jika intelek dan emosi berjala secara
bersama-sama dalam proses kepemimpinan, maka akan membantu dalam
memecahkan masalah bersama dan untuk kesejahteraan manusia.
Idealisme
ketiga menunjuk pada keyakinan atas kerjasama kelompok dalam usaha
memecahkan pelbagai masalah. Untuk itu, anggota kelompok perlu
menyumbangkan ide atau gagasan-gagasan. Dengan demikian, mereka akan
lebih menyadari tanggung jawab mereka dan dapat meningkatkan dedikasi
mereka dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Kepemimpinan
demokratis sangat berperan dalam mencapai tingkat prestasi yang lebih
tinggi. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat mengalami perbaikan dan
perubahan yang pada akhirnya mencapai kesejahteraan seluruh anggota.
Untuk itu, pemimpin dan anggotanya perlu bekerjasama untuk mencapai
tujuan tersebut.
Kepemimpinan demokratis merupakan kepemimpinan yang
paling digemari banyak orang. Tetapi, model kepemimpinan ini bukanlah
timbul secara tiba-tiba. Bukan pula sebagai akibat kebijaksanaan yang
dibuat oleh mereka yang menduduki jabatan pentung. Kepemimpinan ini
merupakan suatu hasil motivasi yang lahir dari hati manusia, dan secara
sadar menunjukkan prestasi kerja yang tinggi (1995:67). Secara ilmiah
manusia memiliki motivasi yang tinggi, damn seorang pemimpin harus
mengetahui hal tersebut. Seorang pemimpin yang berusaha menekankan pola
kepemimpinan demokratis harus memiliki keyakinan-keyakinan sebagai
berikut:
(1) Kesejahteraan masyarakat terjamin atas dasar terpenuhnya kesejahteraan masing-masing individu.
(2) Keputusan diambil secara bersama-sama. Keputan bersama lebih kuat dan serasi daripada keputusan perorangan.
(3) Setiap pikiran atau ide harus didengar secara terbuka
(4) Setiap anggota berhak menyampaikan gagasan
(5) Demokrasi harus menjadi pedoman hidup
(6) Kemajuan datang dari kelompok, bukan dari luar.
(7) Metode demokrasi merupakan metode yang lebih efisien
(8) Sitiap orang tidak tergantung satu sama lain
(9) Saling mengisi dalam kelompok. Menghormati satui sama lain merupakan komponen penting dalam kepemimpinan demokratis.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan tentang ciri-ciri
kepemimpinan demokratis. Ada tujuh ciri yang mandasar dari kepemimpinan
demokratis.
(1) Prosesnya meningkatkan kemampuan pribasdi dalam
usaha menyesuaikan diri, membantu memecahkan permasalahan, menolong dan
anggota untuk memperolah kepuasan hati, memelihara gerak emosi, dan
untuk bertumbuh dalam sikap dan tingkah laku yang matang.
(2) Kepemimpinan harus dapat mengembangkan dan meningkatkkan daya dan potensi seriap anggota kelompok untuk kebaikan umum.
(3) Kepemimpinan harus dapay menyusun peratura, menjalankan keputusan dan kebijakan lainnya dengan baik.
(4) Kepemimpian harus dapat membantu anggota kelompok untuk mendapatka suatu konsensus.
(5)
Kepemimpinan itu datang dari dalam kelompok dan bukan dari luar. Oleh
karena itu, seorang pemimpin harus bisda menyesuaikan diri dengan
anggota kelompok. Jika ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik
maka ia akan gagal dan kurang mendapat pengakuan sebagai seorang yang
berbobot.
(6) Kepemimpinan itu ditandai oleh adanya tindakan bersama dalam memecahkan masalah, dan bukan menjadi hak istimewa seseorang.
(7) Kepemimpinan diukur sesuai dengan apa yanng berlaku kepada orang lain.
2.4 Kualitas Seorang Pemimpin Ideal
Seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan dan keahlian tertentu, agar dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Secara umum, ada tiga macam keahlian
dasar yang harus dimiliki seorang pemimpin (Mal Hutton, 1975 via
Rustandi, 1987: 54-55). Pertama, Keahlian teknis (technical skill).
Keahlian teknis ini berkaitan dengan metode, proses,dan prosedur yang
dijalankan. Keahlian teknis ini meliputi: Pengetahuan tentang prosedur,
Penulisan laporan, Kemampuan menyampaikan gagasan secara lisan, dan
Daya ingat. Kedua, Keahlian konseptual (conceptual skill). Keahlian
konseptual meliputi: Pengetahuan umum, Daya nalar, Kepastian dalam
mengambil keputusan, dan Berpikir kreatif. Ketiga, Keahlian kemanusiaan
(human skill). Keahlian ini meliputi: Kerjasama, Kemampuan meramal,
Kemampuan bermasyarakat, dan Kemampuan untuk bertindak adil
Sementara itu, Pierson (Tambunan, 1995:71) dalam bukunya “So You Want
To Be A Leader” mengemukakan sepiluh kualitas yang perlu dimiliki oleh
seorang pemimpin, yaitu: Seorang yang beribadah (spiritual man);
Seorang yang berpandangan jauh ke depen (man of vision); Seorang
pengamal ajaran Kitab Suci; Seorang yang rendah hati (humble man);
Seorang yang suka memahami (man of understanding); Seorang yang sbar
(patient man); Seorang yang memahami tanggung jawab dan maksud (man of
responsibility and purpose); Seorang yang berani (man of courage);
Seorang yang berpendirian teguh (man of integrity); Seorang yang setia
dan jujur (loyal and honest man).
Kepemimpinan yang demokratis hanya
dapat berjalan apabila sang pemimpin memimpin dengan cara-cara yang
demokratis dan memimpin dengan cara yang demokratis pula. Seorang
pemimpin demokrat harus menumbuhkan kultur demokrasi, seperti bersikap
moderat, respek atas keberagaman, bersedia kompromi untuk batas
ke[pentingan bersama, toleransi atas perbedaan dan menjadikan prosedur
demokrasi sebagai satu-satunya aturan (the only game in town), Orang
yang berjiwa dermokratis adalah orang yang: Mengakui dan menghormati
hak-hak orang lain; Menghargai dan mau mendengar pendapat orang lain,
meski berbneda dengan pendapat sendiri; Berani dan mau mengemukakan
pendapa meskipun mengetahui bahwa pendapatnya berbeda dengan pendapat
orang lain; Mau menerima dan melaksanakan keputusan bersama meskipun
tidak sesuai dengan pendapat sendiri.
Pemimpin yamg berjiwa
demokratis akan menjalankan kepemimpinannya dengan cara yang demokratis
pula, yaitu: Memberimkesempatan, bahkan mendoong bawahan untuk
berinisiatif dan berpartisipasi aktif; Mengusahakan agar bawahannya
berkembang; Mengkordinasi pekerjaan dan menggalang kerjasama denagn
menekankan rasa tanggung jawab; Meyakinkan bawahan akan pentingnya
tugas bersama dan kepentingan bersama (Gultom,1994:82)
3. Mengembangkan Kepemimpinan Demokratis
Gultom
(83) mengmukakan tiga cara untuk mengembangkan kepemimpinan demokratis.
Ketiga cara itu adalah pengembangan teori, pendidikan kader dan
pelembagan atau penerapan dalam organisasi/komunitas secara konkret.
Konsepsi
kepemimpinan demokratis masih dalam proses pencarian dan penngenbangan.
Untuk itu, studi tentang kepemimpinan dan demoktrasi perlu dilanjutkan
dengan memperhatikan kepemimpinan dalam masyarakat tradisional dan
pendapat-pendapat cendikiawan tentang kepemimpinan.
Perguruan Tinggi
turut berperan dalam pengembangan kepemimpinan demokratis dengan
mencantumkan kepemimpinan dalam kurikulum, dengan melakukan pelbagai
latihan dan praktek kepemimpinan Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Pelbagai organisasi melalui apa yang lazim disebut pendidikan kader,
mempunyai kesempatan sekaligus tanggung jawab dalam pengembang
kepemimpinan demokratis. Dalam kegiatan-kegiatan itu dikembangkan dan
dirumuskan teori-teori dan teknik-teknik kepemimpinan dalam alam
domokrasi sehingga sosok kepemimpinan demokratis semakin tampak.
KESIMPULAN
Kesusteraan
tidak terlepas dari kenyataan kehidupan. Kesusasteraan pada hakikatnya
mengarah pada pembentukan dan pencapaian nilai-nilai yang penting bagi
kehidupan. Sastra merupakan produk masyarakat. Ia berada di tengah
masyarakat karena dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan
desakan-desakan emosional dan rasional masyarakatnya (Sumardjo,
1982:12). Sastra biracial daru masyarakat karena mencerminkan kehidupan
masyarakat itu pula. Melelui sastra, kita dapat mengetahui dan
mendalami tentang manusia, dunia dan kehidupan. Manusia dapat
menghayati arti kehiduannya melelui karya sastra. Pesan yang
disampaikan merupakan makna ynag harus ditelaah. Dari hubungan antara
karya sastra dan kehidupan, kita dapat mengambil kesimpulan dari hasil
analisis terhadap cerpen MTK.
Pertama, cerpen merupakan salah satu
bentuk karya sasta. Cerpen dapat dijadikan objek kajian yang menarik
untuk menelaaha aspek kehidupan manusia. Pelbagai peristiwa yang
menarik dan perspektif dapat diungkapkan melalui cerpen. Makna sebuah
cerpen dapat diketahui melalui analisis unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun tubuh karya
sastra yang terdiri dari: tema, tokoh, latar, alur, dan sudut pandang.
Penelitian terhadap unsur ekstrinsik berarti menganalisis isi cerpen
dalam hubungannya dengan dimensi kehidupan manusia.
Kedua, proses
analisis terhadap karya sastra mengandaikan adanya pemahaman yang baik
terhadap unsur-unsur yang menopang sebuah karya sstra. Pemahaman
terhadap unsur-unsur karya sastra menjadi bagian yang mutlak dalam
pemaknaan karya sastra. Menganalisis sebuah cerpen mengharuskan
menggunakan unsur pembangun yang teoritis.
Ketiga, analisis terhadap
cerpen MTK dilakukan dengan berpedoman pada unsur-unsur intrinsik. MTK
dianalisis berdasarkan tema, tokoh, alur, latar, dan sudut pandang.
Dari analisis tersebut, dalam hubungannya dengan tema, MTK menampilkan
sebuah tema tunggal yaitu masalah kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan
masalah yang paling penting dalam kehidupan manusia. Perhatian pada
manusia merupakan hal yang pokok dalam kehidupan manusia. Manusia perlu
mendapat motivasi dan penghargaan. Hal ini sangat berkaitan dengan erat
dengan moral dan martabat manusia. Membuat manusia sebagai aset utama
yang potensial adalah tanggung jawab seorang pemimpin yang benar-benar
memperhatikan moral dan martabat manusia. Dalam hal ini, pemimpin
demokrat merupakan figur yang paliong tepat dan kepemimpinan demokratis
merupakan gaya kepemimpinan yang harus dijalankannya. Kepemimpinan
demokratis merupakan keemimpinan yang menekankan bahwa semua orang
penting (every person is important) dan keanggotaan adalah partisipasi
(membership is participation).
Keempat, hasil analisis terhadap
cerpen MTK menunjukkan secara jelas bahwa pengarang mendasarkan diri
pada kehidupan. Pengarang telah mengolah aneka kenyataan dalam bentuk
apresiasi terhadap karya sastra. Segala masalah dalam kehidupan menjadi
objek kajian yang menarik untuk dikaji lebih mendalaM
SUMBER RUJUKAN
Ajidarma, Seno Gumira. 1995. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Kumpulan Cerpen. Jakarta: Subentra Citra Pustaka.
Benda, Julien.1999.Pengkhianatan Kaum Cendikiawan.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Bertens,K.2000. Perspektif Etika. Yogyakarta:Kanisius.
Denny,J.A.1999.”Debat
Publik Atas Reformasi” dalam Frans M.Parera dan T.Jakob Koekerits
(Peny.).Reformasi Kehidupan Bernegara.Jakarta:Harian KOMPAS.
Eneste,Pamusuk.1994.Kamus Sastra.Ende: Nusa Indah.
Faruk, H.T. 1994. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gidens,Anthony.2001. Runaway World. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Gultom,R.M.S.1994.”Mengembangkan
Kepemimpinan Demokratis” dalam Yohanes Mardimin (Ed.). Jangan
TangisiTradisi. Yogyakarta: Kanisius.
Hardjana, Andre. 1991. Kritik Sastra: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Kleden,Ignas.1999.”Pemimpin,Lembaga
Politik dan Teori Politik” (245-246) dalam Reformasi Kehidupan
Bernegara. Jakarta:Harian KOMPAS.
Kosasih,E.2001.Kompetensi Ketatabahasaan. Bandung:YRAMA WIDYA.
Luxemburg, J.P dkk. 1992. Penganta Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Mido,Frans X.1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya.Ende:Nusa Indah.
Noor, Agus (Ed.).2000. Sang Terdakwa (Kumpulan Cerpen Indra Tranggono). Yogyakarta: Tarawang.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. "Sastra Sebagai Pemahaman Antarbudaya". Cakrawala Pendidikan Nomor 3, Tahun XIV, November 1995.
Pradopo,Rachmat djoko.1994.Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rampung,
Bonefasius. 2000. Dimensi-dimensi Humanitas Derabat (Suatu Tinjauan
Sosio-Struktural) dan Implementasinya dalam Pendidikan Nilai di SMU.
Skripsi. Yogyakarta:Universitas Sanata Dharma.
Riberu,J.1978.Dasar-Dasar Kepemimpinan. Jakarta: LUCEAT.
Rustandi,Achmat.1987.Gaya Kepemimpinan (Pendekatan Bakat Situasional). Bandung:Armico.
Saadie, Ma'mur.1997. "Merenungi Nasib Pengajaran Sastra". Horison XXXI/I5/1997
Santaso,Puji.1995.Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan dalam Tanya Jawab.Jakarta:Nusa Indah.
Sayuti,Suminto.2000.Berkenelan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta:Gama Media.
Sudarminta,J.1995.”Cita-cita
Demokrasi dan Kendala Perwujudannya di Indonesia” dala Alex Lanur (Ed).
Pancasila sebagai Ideologi Terbuka:Problema dan
Tantangannya.Kanisius:Yogyakarta.
Sukada, Made. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia, Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung:Angkasa.
Sumarjo,Yakub.1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta:Nur Cahaya.
Sumardjo, Jakob dan Saini K M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Suseno,
Frans Magnis.2001.”Cita-cita Negara Hukum Demokratis Modern” (hal.290)
dalam Etika Politik. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tjahjono,Liberatus Tengsoe.1987. Sastra Indonesia:Pengantar Teori dan Apresiasi.Ende:Nusa Indah.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lampiran Cerpen
Monumen Tanpa Kepala
Cerpen Indra Tranggono
Kompas Minggu, 21 September 1997 hlm. 21
LENGKINGAN sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning. Pelan-pelan kain itu tersingkap.
Gamelan
monggang bertalu. Mulai tampak sebagian badan monumen perunggu
setinggi sepuluh meter itu. tamu-tamu undangan bertepuk riuh. Pak
Gubemur, seusai menekan tombol itu, menjabat tangan Pak Bupati yang
tersenyum bangga. Namun, mendadak gamelan itu terhenti. Para tamu
undangan kaget. Begitu kain selubung itu terbuka seluruhnya, mereka
melihat pemandangan aneh. Monumen TKW, tenaga kerja wanita itu,
berdiri tanpa kepala.
Pak Gubemur gusar. Pak Bupati cemas. Dalam
bahasa yang sulit ditangkap, ia mencoba menenangkan Pak Gubernur.
Namun, Pak Gubernur segera beranjak dari kursi. Suasana berubah gaduh.
Pak Bupati tampak terguncang. Empat orang pengaman memapahnya. Istri
Pak Bupati menggosok tengkuk dan dada suaminya dengan balsem. Beberapa
petugas lainnya, lengkap dengan senapan, mengamankan tempat.
Terdengar sign dan hiruk-pikuk percakapan dalam pesawat genggam.
Beberapa petugas yang lain sibuk menghalau wartawan yang mencoba
mencegat Pak Bupati. Dengan gerakan yang sangat terlatih mereka segera
membawa Pak Bupati masuk mobil dinas.
No Comment ... no comment ujar Pak Bupati dari balik kaca mobil. Suara terengah-engah.
"Tunggu!
Secepatnya kami bikin jumpa pers. Jangan tergesa bikin kesimpulan.
Tungggu pernyataan resmi! " ujar Pawarto, humas pemda. Cemas.
"Apakah ada unsur-unsur politis?"desak wartawan.
"Kami akan mengusut tuntas.
"Bagaimana dengan isu manipulasi ... ?"
"Ah itu hanya gosip. Gosip! " masih dengan wajah cemas, Pawarto bergegas masuk mobil dinasnya yang mengkilap.
SURENG
gemetar membaca headline "Monumen TKW Tanpa Kepala" di koran Teraju
Bangsa. Judul yang ditulis dengan huruf kapital itu mencolok matanya.
Jantungnya berdetak sangat keras, dipicu kalimat: tiga orang
dinyatakan menjadi tersangka, mereka adalah Bt, Kt dan Sr. Tiga inisial
itu segera diketahui Sureng. Bt adalah Bendot dan Kt adalah Klantung.
Sedang Sr tak lain adalah dirinya. Bt dan Kt sudah diamankan, tulis
koran itu, Sedangkan Sr dinyatakan buron.
Sureng merasakan dadanya
sesak. Keringat dinginnya bercucuran. Berbagai perasaan teraduk dalam
rongga dadanya. Entah sudah berapa kali ia menyulut rokok. Menghisapnya
kuat-kuat, kemudian menghembuskannya. Asapnya memenuhi ruangan warung
yang tampak temaram diterobos sinar lampu minyak itu.
"Tambah
kopinya, Mas?" ujar penjual. Sureng tergeragap dan segera mengangguk.
Bayangan monumen TKW tanpa kepala itu masih menguasai benaknya. Ia
minta sebutir tablet antisakit kepala, yang langsung ditelannya
bersama pisang rebus yang dikunyahnya. Pandangan Sureng menerawang
jauh menembus kepulan asap, menembus hawa dingin yang menusuk,
menembus langit-langit warung. Menembus wajah istrinya, Warsiyah dan
anaknya, Brojol. Kerinduan menggigitnya kuat-kuat. Berpisah selama
hampir dua bulan membuatnya tidak sekadar rindu, tapi juga cemas.
"Lebih
baik Bu Warsiyah terus-terang. Siapa saja yang telah menghubungi Pak
Sureng, sebelum peristiwa ini terjadi?" ujar petugas dengan ramah.
Dengan kumis tipis, petugas tampak bersih dan tampan.
Warsiyah diam. Kepalanya tertunduk. Ruangan hening. Suara kipas angin ruangan terdengar keras.
"Tentu Bu War tidak menginginkan pemeriksaan ini berlangsung lebih lama lagi. Iya 'kan?"
"Tapi saya benar-benar tidak tahu Pak. "
"Mosok? Apa sih susahnya menyebut nama? Ini menentukan nasib suami Anda! Atau barangkali justru Anda memang ingin susah?"
Warsiyah
gemetar. Peluh menguasai tubuhnya. Petugas menyulut rokoknya.
Menawarkan teh hangat kepada Warsiyah dengan perangai yang mendadak
ramah.
"Coba sebutkan seluruh nama saudara Pak Sureng dan saudara Bu
War. Lengkap dengan alamatnya... " Petugas itu menyodorkan kertas dan
bolpoin. Dengan perasaan tertahan ia meninggalkan ruangan. Ia tampak
membisikkan sesuatu kepada temannya, petugas lain, yang bergantian
memeriksa Warsiyah.
SURENG sudah berganti angkutan kota enam kali.
Berpindah dari bus yang satu ke bus yang lain. Menjelajah berbagai
jurusan. Berbagai kota disinggahi dan ditinggalkan. Namun perjalanan
yang sangat melelahkan itu tidak juga mampu menghilangkan kecemasannya.
Laki-laki berusia 37 tahun itu merasakan setiap tatapan mata selalu
mencurigainya. Setiap tempat dirasakan penuh dengan mata, penuh
dengan telinga yang siap membidiknya. Setiap butir-butir udara
dirasakan selalu mengawasinya...
Barangkali hanya bulan dan
gemericik air sungai yang dirasakan tulus menemaninya. Ia sedikit
terhibur menatap bulan di dasar sungai. Bulan itu bergoyang ditingkah
gemercik air yang menjelma orkestrasi alam. Angin yang begitu lentur
dan piawai memainkan irama air, mempersembahkan musik alam yang indah.
Bulan bagaikan penari yang luwes bergoyang. Ia, bulan itu,
kadang-kadang tampak lonjong, berkerut-kerut diterjang arus air. Dan
ketika air tenang kembali, bulan itu tampak utuh. Berwibawa.
Menatap
lekat-lekat bulan itu, Sureng seperti menatap wajahnya: menggigil
sendirian. Bayangan cahaya bulan itu memudar ketika sebuah kerikil
jatuh menggelinding ke sungai. Sureng tergagap oleh gemeretak daun-daun
kering terinjak kaki. Kecemasan pun kembali mengurungnya. Detak
jantungnya makin keras. Sangat keras. Angin mati. Kegelapan dirasakan
padat. Menekannya.
Dalam temaram bulan, dilihatnya beberapa sosok
manusia mengendap-endap. Dan mendadak sosok-sosok hitam itu
menyergapnya. Sureng kaget. Dengan gerak refleks ia mencoba
meloloskan diri. Beberapa tangan yang berusaha membekuknya itu hanya
menangkap udara. Sureng meloncat ke sungai. Beberapa sosok hitam itu
mencoba mengejar. Namun terlambat. Di bawah sorotan lampu baterai
mereka hanya melihat bunga-bunga air. Seseorang mencoba mengarahkan
pistolnya. Tapi seseorang yang lain mencegahnya.
"Biarkan dia mati sendiri! "
Mereka bergegas meninggalkan tempat. Dari kejauhan terdengar deru mobil yang sudah lama menunggu.
PAK
Bupati menggebrak meja. Para stafnya tak ada yang berani bicara.
Kepulan asap menguasai ruangan. puntung-puntung rokok menumpuk dalam
asbak.
"Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan?! Demi proyek ini,
saya pertaruhkan seluruhnya. Jabatan saya, leher saya. Bahkan nyawa! "
Pak Bupati menggosokkan balsem di tengkuknya. Bau balsem itu merebak
ke seluruh ruangan. Satu persatu orang-orang gemetar mematikan
rokoknya.
"Monumen itu menjadi tanda keberhasilan kita sebagai
pemasok tenaga kerja wanita terbesar di negeri ini. Dus, itu berarti
kita menjadi pelopor dalam soal mengurangi pengangguran. Pemerintah
pusat sangat respek kepada kita. Tapi sekarang ... ?" Pak Bupati
mengedarkan pandangan. Para staf tetap bungkam. Kepala mereka
tertunduk. Gelas-gelas masih utuh. Tak ada yang berani menyentuh.
"Bagaimana saya mesti mempertanggungjawabkan dana ratusan juta?" Pak Bupati kembali meradang. Napasnya terengah-engah.
Beberapa detik berlalu tanpa suara.
"Maaf
Pak. Berdasarkan laporan tim investigasi, ternyata kasus ini tidak
murni kriminal, " seorang staf memberanikan diri bicara. Keheningan
retak. Pak Bupati dan beberapa staf yang lain terhenyak. Mereka saling
memandang.
"Maksudmu?" desak Pak Bupati sambil tangannya meletakkan
obat gosok dan meraih teh panas di depannya. Para staf pun
mengikutinya, ramai-ramai meraih gelas dan meminumnya. Suasana rapat
sedikit mengendor. Bahkan ada yang sudah berani menyalakan rokok,
ketika dilihatnya Pak Bupati muylai merokok.
"Begini, Pak. Program pengiriman TKW itu ditentang keras berbagai kelompok. Mereka menilai, proyek itu kurang manusiawi. "
"Tapi,
bukankah para TKW itu sekarang hidup lebih baik? Mereka bisa bangun
rumah, beli tivi, menyekolahkan anaknya... Bukankah itu berarti ada
peningkatan dari prasejahtera menjadi sejahtera bahkan sangat
sejahtera? Iya 'kan ... iya 'kan?! "
Para staf mengangguk bersama. Serempak.
"Mereka juga menentang megaproyek monumen TKW. Dana ratusan juta itu, lebih relevan untuk membangun gedung sekolah... "
"Soal
monumen itu 'kan soal citra. Dan kita sangat butuh itu. Iya 'kan?! Eeee
... lantas bagaimana dengan tiga penjaga malam yang kini jadi
tersangka?"
"Diduga keras mereka sekadar menjadi kuda tunggangan pihak ketiga. Tapi maaf Pak, kami belum mampu menunjukkan bukti-bukti."
Wajah
Pak Bupati mendadak kembali mengkerut. Parit-parit di wajahnya tampak
menajam. Beberapa kali ia menyeka wajahnya yang basah keringat. Ia
menghela napas dan melepaskannya dengan sentakan yang agak keras.
SURENG
menarik napas dan menghembuskan kuat-kuat. Semula ia sudah pasrah jika
arus air itu menjadi jalan Tuhan untuk mengambil nyawanya. Namun,
pikirnya, barangkali Tuhan menghendaki lain. Tubuh Sureng tersangkut
di akar pohon besar di pinggir sungai. Orang-orang desa menolongnya.
Ia pun melanjutkan perjalanan gelisahnya. Menempuh ratusan, bahkan
ribuan kilometer waktu. Monumen TKW terus menguntitnya. Ia ingat betul,
sebelum peristiwa hilangnya kepala tiga patung wanita itu, tak ada
kejadian yang istimewa. Seminggu sebelum peresmian, tempat itu dijaga
cukup ketat. Bersama Bendot dan Klantung, ia hanya menjadi tenaga
bantuan. Posisi mereka dari monumen itu sekitar 500 meter.
Ingatan
itu membuat dadanya sesak. Asma yang diidapnya dirasakan kambuh. Tapi,
ia mencoba melawan penyakitnya itu. Ia sedikit gembira. Tubuhnya
dirasakan lebih kuat dari penyakitnya. Kini hatinya yang justru rapuh
diterjang kerinduan kepada istri dan anaknya. Kerinduan itu
mendorongnya pulang. Tapi, perasaan dirinya yang selalu terancam,
buru-buru mencegahnya.
Kelelahan menerbitkan rasa kantuknya yang
luar biasa. Dengan tidur, ia berharap sedikit terbebas dari tindihan
beban persoalan. Atau setidaknya, bisa sebentar istirahat dari
kepenatan jiwa. Tapi seserpih kemewahan itu pun gagal diraihnya.
Kecemasan itu tetap menguntitnya. Bahkan dalam mimpinya.
Sureng
mendadak disergap sosok yang persis dirinya. Sosok aneh itu
menghajarnya. Tubuhnya rata dengan pukulan. Sureng tak mampu
memberikan perlawanan. Beberapa detik kemudian, badai pukulan itu
mereda. Sureng mencoba menggerakkan mulutnya. Tapi sia-sia. Sosok aneh
itu kembali meninju ulu hatinya.
“Dasar rongsokan kamu! Pengecut kamu! Rombengan kamu!” sosok aneh itu menatap nanar.
Sureng
tersentak bangun. Keringat dingin memandikan tubuhnya. Ia masih
menebak maksud sosok aneh yang menghajar dirinya, ketika angin malam
mengabarkan, hari sudah pagi. Dari bukit-bukit yang jauh, sayup-sayup
adzan Subuh menegaskan kabar itu.
SURENG memutuskan untuk pulang.
Ditempuhnya ribuan kilo meter waktu. Menyongsong gumpalan kerinduan
istri dan anaknya yang hendak dicairkannya menjadi air pembasuh
luka-luka jiwa. Ia terobos kantor polisi, disergap pemeriksaan demi
pemeriksaan. Ia terobos pengadilan, disergap pasal-pasal tuntutan dan
berhadapan dengan keputusan yang dingin dan angkuh. Ribuan hari
dijalaninya di sel yang sumpek, lewat proses yang sama sekali tidak ia
pahami. Hanya wajah hakim yang selalu melekat di benaknya. Hakim itu
gemetar membacakan putusan. Gemetar memukulkan palu keadilan.
Jauh
sebelum palu keadilan dipukulkan, para tukang batu sudah memuk-mukul
palu. Memecah batu. Mengecor beton. Membangun kembali monumen TKW.
Berliter-liter keringat menetes. Beratus-ratus juta uang kembali
mengalir untuk proyek mercusuar yang banyak ditentang itu.
MEMASUKI
masa bebasnya, Sureng melintas di jalan protokol. Monumen yang berdiri
tegar itu ditatapnya lekat-lekat.Wajah tiga perempuan perkasa itu
tersenyum, seperti mengejeknya. Ia merasakan ada yang bergolak di
dadanya, namun kesabaran telah memadamkannya. Sureng menyeret
langkahnya. Dalam beberapa puluh langkah ia menoleh. Tiga patung
wanita itu tetap berdiri di sana. Dalam tatapan Sureng, mendadak wajah
tiga patung itu berubah menjadi wajah Pak Bupati, yang selalu
tersenyum. Sureng membalas senyuman itu. Meskipun pahit.* Yogyakarta 20
Mei 1997
Kupu-Kupu untuk Bunga
Ratna Indraswari Ibrahim
Kompas, Minggu, 19/4/1998 hlm. 13.
Tepat
di saat-saat usianya 18 tahun, Kembang selalu mengalami kesakitan
luar biasa di sekujur tubuhnya. Begitu sakitnya penderitaan itu,
sehingga harus meredamnya dengan bentur-benturkan badan di setiap
dinding rumahnya.
Anehnya, kesakitan yang luar biasa itu selalu
disertai adanya dorongan dari dalam dirinya untuk mengejar-ngejar
setiap lelaki yang dijumpainya.
Pada saat seperti itulah dokter
keluarga akan segera menyuntiknya sehingga Kembang bisa tertidur pulas
di kamar. Sejak peristiwa itu, Bunga suka menyelinap masuk ke kamar
Kembang, menunggui mbak-nya sampai terjaga dari tidurnya. Sebab, kalau
mbak-nya terbangun, dia pasti akan berkata begini, "Kau mau kuceritai
apa, Malinkundang atau Cinderella lagi?" Bunga selalu ingin mbak-nya
menceritakan lagi tentang Cinderella, sebab setiap kali mbak-nya
bercerita dibarengi dengan peragaan bagaimana Cinderella dan Pangeran
yang sedang jatuh cinta itu berdansa.
Peragaan dansa Cinderella dan
Pangeran itu sangat mempesona Bunga. Mbak Kembang persis kupu-kupu
cantik yang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain.
Namun,
suatu hari orangtuanya memasukkan seluruh pakaian Kembang ke dalam
koper selanjutnya dimasukkan ke bagasi mobil. Dan Kembang dibawa pergi!
Besoknya orangtuanya pulang tidak bersama Kembang lagi!
Mama
memberi keterangan sangat singkat, "Mbak-mu Kembang harus dirawat di
rumah sakit jiwa di Malang, dia akan kembali ke rumah, kalau sudah
sembuh dari depresinya!"
Sejak saat itu (sepuluh tahun lampau),
Bunga tidak pernah bertemu lagi dengan mbak-nya, Kembang. Namun, dua
minggu setelah ulang tahunnya yang ke-21, Bunga mengatakan kepada
orangtuanya akan mengunjungi mbak-nya, Kembang, yang minggu depan juga
berulang tahun ke-28. Mama bilang, "Setahun yang lewat, ketika aku
mengunjunginya dokternya bilang, kalau lagi sehat, mbak-mu suka
menyulam. Oleh karena itu, saya akan memberikan kado seperangkat alat
sulam. Papa akan memberikan kado CD yang baru, iya kan Pa? Kau sendiri
kalau memberi mbak-mu kado harus yang diperlukan saja olehnya."
"Bunga,
saya menyangka kelompok diskusimu menyuruh kau menjadi pahlawan, bagi
gelandangan, orang miskin dan gila. Itu yang sering kau sebut-sebut
padaku sebagai kelompok pinggiran yang paling terpuruk dalam masa ini
kan? Non, Papa mau tanya sudah berapa jauh pemahamanmu tentang ekonomi,
sosial, dan politik. Saya anjurkan kau menghabiskan liburan semester
ini sesuai dengan rencanamu semula yakni liburan ke Bali bersama
teman-temanmu.
Perjalanan dari Jakarta ke Malang begitu panjang.
Bunga merasa asing di kota yang sudah banyak berubah ini. (Dia dan Mbak
dilahirkan dan bermasa kecil di kota ini). Oleh karena itu, ketika
Bunga merasa berjalan ke sembarang arah, yang pada akhirnya berdiri di
sebuah mal. Bergegas Bunga memasukinya. Ia merasa harus membeli kado
yang istimewa untuk Mbak Kembang. Sesungguhnya, dia sudah
mengaduk-aduk dan menjelajahi seluruh sudut mal ini. Akhirnya matanya
tertumbuk pada sepasang sepatu kaca (mirip sepatu Cinderella).
Bunga
selalu ingat cerita mbak-nya tentang Cinderella. Di suatu pesta dansa
Cinderella meninggalkan sepatunya. (Tertinggal?). Sebab itu Pangeran
mencari pemilik sepatu itu untuk dijadikan permaisuri. Saat itu Mbak
Kembang selalu bilang dengan telak "Kalau Bunga nanti sudah berusia 21
tahun jangan meninggalkan sepatu ya, agar tidak dicari oleh Pangeran."
Bunga,
tergagap-gagap. Dia tak pernah meninggalkan sepatu agar dicari oleh
lelaki mana pun. Namun, dia sudah memastikan Indralah yang akan
menjadi suaminya. Akhirnya Bunga memutuskan kado yang tepat bagi
mbak-nya adalah baju yang bermotifkan kupu-kupu yang sedang menari.
Di
dalam taksi yang membawanya ke rumah sakit, tiba-tiba Bunga merasakan
bayangan mbak-nya berkelebat. Sungguh, orangtuanya tak rnemiliki foto
Kembang. Kala para wartawan memuat wawancara dengan papanya yang ahli
analisa ekonomi itu, foto keluarga yang terpampang di koran cuma dialah
sebagai satu-satunya anak mereka.
Bunga sudah sampai di rumah
sakit. Seorang perawat membawanya ke sebuah kamar. Tiba-tiba dia
merasa berada di muka cermin yang berdiri di mukanya, "Mbak Kembang
yang sangat serupa dengan dirinya." Bunga berlari dan menciumnya.
"Mbak, saya Bunga adik sampeyan. Selamat ulang tahun Mbak, ini kado
dari Papa, Mama, Bude Tin, Tante Nin, Om Nano juga dari saya dan
pacarku Indra. Saya tadi sudah minta izin dokter akan merayakan ulang
tahun Mbak dengan makan di restoran. Buka dong kadonya Mbak."
Kembang
seperti tercenung melihat kado-kado itu dan pelan-pelan dibukanya kado
itu satu per satu. Kemudian Kembang berteriak, "Mama, Papa dan Indra
semua impoten... saya mau pakai bajumu yang kau pakai itu sekarang
juga."
"Mbak Kembang, Indralah yang menyemangati saya untuk bertemu
dengan sampeyan. Dia yang bilang begini kepadaku, "Rasa malu karena
punya saudara gila adalah persepsi masyarakat. Karenanya, mengapa kita
harus selalu bersikap seperti anggapan masyarakat yang normatif itu!...
Kembang melihatnya lekat-lekat dan tertawa cekikikan.
Sambil
menikmati makanan, Bunga melihat mbak-nya yang tampaknya sehat dan
cantik. Bunga merasa perlu bercerita, "Mbak, saya ingat cerita
sampeyan, jangan menaruh sepatu kalau kita sudah berusia 21 tahun,
sebab akan dicari oleh sang pangeran untuk dijadikan permaisurinya.
Tapi, saya tidak pernah menaruh sepatu! Sekalipun, saya sudah
memutuskan Indralah yang akan jadi ayah dari anak-anakku."
Kembang,
melihatnya lekat-lekat, "Pikirlah dirimu, sendiri nanti sakit perut
... aduh saya pusing. Ada banyak anjing, babi dan kerbau di sini. "
BUNGA merasa perlu menanyakan kepada dokter apakah Kembang punya kemajuan setelah dirawat selama sepuluh tahun di sini.
Dokter
cuma berkata begini. "Kemajuannya ada, sekalipun dia masih panik kalau
lagi haid. Sebaiknya kau coba membawanya pulang ke rumah, barang
sebulan, agar bisa bersosialisasi dengan keluargamu. Kau harusnya
bangga dengannya karena pagi ini saya mendapat faks dari organisasi
yang memamerkan hasil sulaman Kembang. Mereka menganggap sulaman hasil
karyanya memiliki nilai seni tinggi. Yah, setiap tahun kami mengirim
hasil kerajinan para pasien kami untuk berpameran ke mancanegara.
Organisasi tersebut memamerkan setiap hasil karya para penyandang
cacat mental dari seluruh dunia. Sebab itu, bagi setiap pasien, kami
tidak pernah menyebutnya sebagai orang gila. Karenanya, kemungkinan
untuk sembuh selalu kami harapkan dari setiap pasien kami. Sekarang,
lihatlah kakakmu di ruang senam. Cobalah berbicara sebanyak-banyaknya
agar dia bisa kembali ke lingkungan masyarakat secepat-cepatnya."
Bunga
melihat perempuan yang sangat langsing itu sedang senam. Kalau saja
mereka bisa, tentu sangatlah asyiknya untuk bisa mengobrol kembali
dengan Mbak Kembang, seperti dahulu!
Kemudian, ia melihat Mbak
menghampiri dan mengajak duduk di sebuah pohon, "Mbak, saya ingat
waktu kita kecil dulu kita bersama ingin tahu sebesar apa bayi semut.
Yang kita ketemukan adalah sepasang kupu-kupu yang baru keluar dari
kepompongnya. Saya sering berpikir Mbak akan seperti kupukupu itu
suatu hari, yang bisa keluar darikepompongnya."
Mbak Kembang melihatnya dan tersenyum. Dia seperti semua perempuan muda yang sehat dan cantik.
"Mbak,
saya akan minta izin Papa, Mama, untuk mengajak sampeyan kembali
pulang. Dan saya akan memperkenalkan sampeyan kepada Indra. Mbak pasti
suka kepadanya. Selain itu, saya akan berusaha untuk mencarikan orang
yang mau memamerkan hasil sulaman Mbak. Saya kira hal seperti ini belum
pernah dilakukan oleh organisasi-organisasi sosial di negeri kita.
Karena kita sering menganggap orang yang sakit seperti Mbak dan para
penyandang cacat mental lainnya, tidak punya potensi untuk
mengaktualitaskan diri di masyarakat."
Kembang melihatnya, dan kemudian menangis dengan sangat keras. "Aku mau pulang. Aku kangen sama Papa dan Mama!"
Seperti
yang diduga Bunga, Papa dan Mama tidak setuju untuk membawa pulang
Mbak Kembang, sekalipun cuma sebulan. Papa bilang lewat telepon, "Kita
semua sibuk, siapa yang akan menjaga mbak-mu? Apa perawat? Apa tidak
sulit mencari perawat yang mau merawat orang seperti mbak-mu? Bilang
pada dokter, jangan main coba-coba begitu, kalau sudah sembuh ya
sembuh. Apa kau bilang kami tidak mencintainya? Kami menaruhnya di
rumah sakit yang mahal dan mewah itu agar dia mendapat perawatan dokter
yang terbaik di negeri ini."
Ketika akan berpamitan dengan Mbak-nya
Bunga tak bisa menahan air mata. Tiba-tiba Kembang memeluknya. "Adik
jangan menangis, ini kupu-kupu hidup untukmu. Simpanlah karena ini
kenang-kenangan untukmu."
Bunga menangis keras. Dan tiba-tiba
Kembang mendorongnya, "Pulang-pulang sana, pikirlah dirimu sendiri.
Aku jadi pusing! Awas ada babi, anjing dan keledai."
Bertahun-tahun
semenjak itu, Bunga, Indra dan anaknya berada di negeri ini. Pagi ini,
Bunga merasa Indra sulit diajak bersahabat dengannya. Oleh karena itu,
dia mengajak anaknya ke taman kupu-kupu, tempat kupu-kupu dari daerah
tropis singgah dan bermukim di sini.
Di bangku taman dia duduk dan
membaca faks yang datang kemarin dari orangtuanya. Mereka mengabarkan
Mbak Kembang sudah meninggal dunia dan diistirahatkan di dekat rumah
sakit itu.
Dalam faks itu Mama juga menulis, "Saya kaget; dia mirip
kamu waktu meninggalnya. Dan setelah upacara penguburan selesai kami
melihat sepasang kupu-kupu, senantiasa berputar-putar di atas
pusaranya. Anakku yang malang itu sudah berbahagia di sisi-Nya. Oleh
karena itu, jangan terlampau bersedih dan dipikirkan. Dalam situasi
yang seperti ini sebaiknya kau dan Indra cepat-cepat menyelesaikan
kuliahmu, agar kita tak kehabisan dana untuk kalian. Lebih baik mari
kita doakan bersama agar mbak-mu diterima di sisi-Nya
Tiba-tiba anaknya menariknarik lengannya, "Mama kupukupu itu dari tadi mengitari Mama. Ayo, Ma, kita tangkap. "
Anaknya
mencoba menangkapnya, namun sepasang kupu-kupu itu terbang dan
menjauh yang tampak seperti menari-nari. Dan tarian itu mirip tarian
mbak-nya, Kembang, saat memperagakan bagaimana Cinderella dan
Pangeran yang sedang jatuh cinta berdansa.**