Senin, 17 Desember 2012

PROBLEM GENDER DAN FEMINISME DALAM CERPEN ”MAUKAH KAU MENGHAPUS BEKAS BIBIRNYA DI BIBIRKU DENGAN BIBIRMU?” KARYA HAMSAD RANGKUTI

1.      Catatan Awal
Masalah Gender dan Feminisme yang dijadikan judul dalam tulisan ini sesungguhnya  berkaitan dengan persoalan  Sosiolinguistik berkaitan dengan bahasa, gender, dan seksualitas. Makalah  ini sesungguhnya mengangkat masalah yang sama hanya dalam perspektif dan sisi tilik yang berbeda. Berbeda, karena problem gender, feminisme yang akan diuraikan dalam tulisan ini dkaitkan dengan karya sastra berbentuk cerita pendek (cerpen).

2.      Duduk Persoalan
“Maukah Kau Menghapus Bekas Bibibirnya, di Bibirku dengan Bibirmu?” adalah judul panjang untuk sebuah cerita pendek. Cerita pendek ini  merupakan karya Hamsad Rangkuti yang pernah dipublikasikan Harian Kompas  dan terpilih  menjadi salah satu cerpen terbaik versi Kompas tahun 1998/1999. Sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas, cerpen ini dimuat di dalam Derabat buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas tahun 1999. Pertanyaan mendasar yang harus dikedepankan sebelum berbicara panjang lebar tentang problem gender dan feminisme di dalam  cerpen ini adalah apakah cerpen Hamsad Rangkuti ini memuat masalah gender dan bertalian dengan feminisme? Untuk menjawab pertanyaan pokok ini, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan cara menafsirkan  teks itu sebagai sebuah tanda yang memberi pesan dan makna. Ini berarti memerlukan jasa dan cara pandang kajian semiotik dan hermeneutik.
3.      Gender dan Feminisme
Gender adalah perbedaan peluang, peran, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Gender = sociological term (sphare), Sex = biological term (sphare). Gen : inti kromosom dominan dari laki-laki atau perempuan menentukan jenis kelamin anaknya. Jadi gender merupakan konsep tentang sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Istilah gender merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seks sama dengan jenis kelamin, mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki; dibawa sejak lahir dan tidak bisa diubah. Seks atau jenis kelamin secara biologis bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), natural dibawa sejak lahir dan melekat pada sebagai kodrat (Wareing, 2007:105-107;  Fakih, 2012:7-12;   Protei, 2005: 237-240). Melalui penentuan jenis kelamin seseorang disebut berjenis kelamin laki-laki dan berjenis kelamin perempuan yang ditandai dengan ciri fisik yang berbeda yang tidak bisa dipertukarkan.  Kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, ketika konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya direduksi sebagai “kodrat”. Reduksi yang salah ini mewujud dalam sikap menomorduakan kaum perempuan.
            Feminisme bukanlah wacana baru karena pembicaraan  feminisme telah mewarnai pelbagai diskusi manusia dalam pelbagai ranah kehidupan. Feminisme telah menjadi sebuah narasi besar yang mulai mewarnai jagat pemikiran manusia mulai abad ke-20. Ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal.
Kutha Ratna (2007: 184) dalam Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra mendefinisikan feminisme secara etimologis berasal dari kata femme (woman), yang berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial.    Dalam teori-teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Melalui penjelasan ini dijelaskan bahwa kaum perempuan merasa tidak disejajarkan dengan laki-laki sehingga melahirkan keinginan kesetaraan gender.
Dominasi laki-laki terhadap wanita, telah mempengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan konvensi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita selalu berada pada posisi bejuang terus-menerus ke arah kesetaraan gender; (2) penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah objek fantastis yang menarik; (3) wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindak asusila, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi lemah.
Untuk meneliti karya sastra dari aspek feminis, peneliti perlu membaca teks sebagai wanita (reading a woman) dalam istilah Culler. Uraian di atas menjelaskan bahwa perlunya pembaca misalnya laki-laki menempatkan diri sebagai wanita agar aspek feminisme dalam karya sastra dapat dirasakan. Harus diakui bahwa  perempuan punya tempat tersendiri dalam karya sastra yang menempatkannya pada nilai-nilai kultural. Karya sastra tidak hanya menyajikan kekerasasan maupun berusaha menjadikan perempuan sebagai objek. Pembicaraan tentang perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.
4. Persoalan  Gender dan Feminis dalam Cerpen  Hamsad Rangkuti
Perosalan gender dan feminisme hampir ditemukan pada keseluruhan cerpen ini. Judul cerpen dan bagian awal cerpen sudah menggambarkan posisi tokoh perempuan sebagai tokoh yang tidak berdaya. Judul Cerpen “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu?”  Judul ini diambil dari penggalan dialog tokoh perempuan dengan tokoh lain (laki-laki) dalam hal ini Hamsad Rangkuti sendiri. Kutipan dialognya sebagai berikut:
"Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja." dia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudera. Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: "Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." dia berpaling ke arahku. Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu.

Judul cerpen Hamsad Rangkuti  ini menggambarkan ketidakberdayaan tokoh perempuan berkitan dengan dengan situasi yang telah menimpa dirinya sebagai perempuan. Pertanyaan tokoh perempuan  yang dijadikan judul ini menggambarkan ketergantungan tokoh perempuan pada laki-laki. Pernyataan tokoh perempuan yang mengungkapkan ketidakmampuannya membuang segalanya dapat dimaknai sebagai cara Hamsad Rangkuti menampilkan kelemahan tokoh perempuan. Deskripsi dalam penggalan di atas juga sekaligus menyiapkan peluang bagi tokoh lain, dalam hal ini Hamsad sendiri sebagai pengarang untuk memberikan jawaban atas harapan tokoh perempuan yang tengah mengalami masalah putus cinta. Penggambaran tokoh perempuan sebagai tokoh yang lemah ditampilkan sejak awal cerpen. Tokoh perempuan digambarkan sebagai pribadi yang berkarakter putus asa dan membunuh diri  dipilih sebagai jalan pembebasan. 
SEORANG wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upa­cara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba men­cegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat.
Tindakan nekad tokoh perempuan muda yang digambarkan pada awal cerpen ini sesungguhnya dipicu oleh kondisi relasinya  yang dapat diduga mengalami disharmoni dengan tokoh yang tidak disebutkan. Posisi tokoh perempuan yang bermasalah itu selanjutnya dijadikan sebagai objek oleh tokoh laki-laki dalam hal ini Hamsad Rangkuti yang bertindak sebagai juru potret atau wartawan yang ingin mengabadikan momen langka itu. Ada kesan postif  atau niat baik ketika tokoh laki-laki ini mendekati tokoh perempuan yang berusaha membunuh diri. Paling kurang dengan itu memperlambat usaha si perempuan menjalankan keputusannya membuang diri ke laut. Perempuan itu digambarkan sebagai tokoh yang tidak mau memberi jawaban atas pertanyaan sang laki-laki. Apakah ini mau menegaskan bahwa perempuan yang bermasalah sulit diajak berbicara? Tendensi Hamsad sebagai tokoh laki-laki menjadikan tokoh perempuan sebagai objek terbukti dari pemintaannya agar si perempuan berkisah. Kisah itu akan dijadikan bahan cerita untuk si penulis seperti terlihat pada kutipan berikut:

Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar.
"Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri?" kataku memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada se­buah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah tak bisa lagi untuk direkat.
"Tolong ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk kutulis."

Deskripsi tentang tokoh perempuan yang menjadi objek Hamsad Rangkuti ini semakin mendisposisikan tokoh perempuan sebagai tokoh yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan tinggi pada tokoh anonim yang menjadi sumber masalah bagi perempuan muda ini. Pengarang cerpen menggambarkan bahwa segala sesuatu yang dikenakan tokoh perempuan itu berasal dari orang yang “dibencinya”. Kebencian tokoh perempuan terhadap tokoh anonim itu digambarakan sedemikian dramatisnya. Pengarang tampaknya ingin mengambil jarak dengan berlaku sebagai pengamat yang mendengarkan  dan mencatat apa yang dikatakan tokoh perempuan ketika hendak membuang segala yang  telah diterimanya dari tokoh anonim. Pengarang bertindak sebagai wartawan yang mengamati tingkah laku tokoh perempuan dengan merekam semua perkataannya berkaitan dengan apa yang diterima dan yang akan dibuangnya. Gambaran itu tampak dalam kutipan berikut:

Tiba-tiba dia melepas sepatunya, menjulurkannya ke laut.
"Ini dari dia," katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam kamera.
Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada seben­tuk cincin. Sinar matahari memantul mengantar kilaunya. Mata berliannya membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya melampaui terali. Ombak yang liar menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat mencemaskan.
"Ini dari dia," katanya, dan melepas cincin itu. "Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu yang kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya. Inilah saat yang tepat mem­buang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami."
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, me­lepaskan pakaiannya, dan membuangnya satu persatu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya ke laut.
"Apa pun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku; saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat."

Klimaks penggambaran tentang lemahnya posisi tokoh perempuan tampak dalam bagian yang menggambarkan adanya inkonsistensi sikap tokoh perempuan yang sebelumnya tidak mau berkomunikasi kini berubah. Perubahan sikap itu, tampaknya dimanipulasi pengarang cerpen dalam rangka menyelamatkan tokoh perempuan di satu sisi, tetapi pada sisi lain justru membawa tokoh perempuan itu jatuh ke dalam pelukan sang pengarang. Klimaks kisah justru tercipta ketika tokoh perempuan yang tanpa busana itu menoleh kepada laki-laki yang membidiknya. Perempuan itu kini digambarkan sebagai tokoh yang menaruh harapan pada tokoh laki-laki yaitu Hamsad Rangkuti.
Permohonan yang berulang-ulanga dari  tokoh perempuan itu kepada sang pengarang cerpen juga menggambarkan betapa ia menggantungkan nasibnya pada tokoh laki-laki yang sedang membidiknya. Tokoh laki-laki  (pengarang) berusaha menghindari kesan bahwa ia akan melakukannya dengan senang hati. Karena itu, tokoh laki-laki lain dihadirkan pengarang. Tooh-laki-laki yang lain itulah yang tampaknya ”memaksa” pengarang untuk melakukannya. Ada desakan dan teriakan agar pengarang segera memenuhi kerinduan tokoh perempuan untuk menghapus bekas bibir seseorang pada bibir perempuan itu. Hal itulah yang terjadi. Perempuan muda yang telanjang itu jatuh ke dalam pelukan sang pengarang. Untuk menghindari kesan vulgar yang melanggar etika sopan santun dan moral, pengarang menghadirkan tokoh laki-laki yang membawa selimut melindungi tokoh perempuan dan sang pengarang dalam aksi penghapusan bekas bibir dengan bibir. Bahkan, tokoh laki-laki (pengarang) masih menginginkan sesuatu yang lebih. Pengarang yang mendapat kesempatan untuk melakukan itu  tidak saja melakukan apa yang diminta sang tokoh perempuan melainkan meminta dan menginginkan yang lebih. "Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?" bisikku.
Adegan ini mengakhiri puncak keteganagn cerita, karena dengan ini pembaca bisa menarik kesimpulan bahwa tokoh perempuan yang diangkat dalam kisah ini tidak sampai meneruskan usahanya membunuh diri. Di sini tokoh perempuan dijadikan sebagai inrrumen kisah yang memungkinkan pengarang bisa menciptakan suspens yang memukai pembaca. Dari segi penciptaan ketegangan cerpen ini memang mendapat apresiasi yang luas dari kalangan pembaca tetapi dari segi gender dan feminis cerpen ini tampaknya mewacakan sesuatu yang mendispisisikan perempuan pada tempat yang kurang menguntungkan. Hal ini didukung pula, dengan ketidakterusterangan pengarang menarasikan tokoh yang menyebabkan sang perempuan berputus asa dan memilih membunuh diri. Siapapun pembaca, hampir pasti akan menarik kesimpulan bahwa sang tokoh perempuan telah dikhianati seseorang yang sengaja disembunyikan pengarang. Di sinilah kita bisa mengatakan bahwa cerpen ini berbias gender dan kontra terhadap perjuangan kelompok feminis. Cermati saja kutipan  berikut:

Wanita muda, dalam ketelanjangan­nya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan burung ca­mar. Sebelum melom­pat, dia menoleh ke arahku. Seperti ada sesuatu yang terbersit di benaknya yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
"Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja." Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: "Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." dia berpaling ke arahku.. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu.
"Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di birku dengan bibir­mu? Tolonglah. Tolonglah aku melenyapkan segalanya."
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.
"Lakukan! Lakukan!"
Seorang muncul di pintu geladak membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
"Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat dibibirku dalam kematianku di dasar laut. Tolonglah."
"Lakukanlah! Lakukanlah!" teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai geladak.           
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut itu berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.
"Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?" bisikku.

Kuatnya isu gender dan isu feminis dalam cerpen Hamsad Rangkuti ini semakin dipertegas dengan penggalan lain dalam cerpen itu. Kehadiran tokoh perempuan muda yang diidentifikasi sebagai mahasiswi semester ketujuh bernama Chechen menegaskan betapa cerpen ini lebih banyak mengobjekkan perempuan. Chechen yang kebetulan hadir dalam kegiatan pembacaan cerpen yang dilakukan Hamsad digambarkan sebagai perempuan yang sedemikian mudahnya terpikat pada laki-laki (Hamsad). Perjumpaan dan dialog singkat setelah pembacaan cerpen tampaknya sengaja disederhanakan pengarang untuk melukiskan karakter tokoh perempuan Chechen yang sedemikian sentimentalnya, terpikat bermula dari kesukaan akan cerpen karya Hamsad. Dialog singkat melahirkan keterikatan dan keterpikatan.
Chechen tampaknya digambarkan sebagai tokoh yang terhipnotis oleh gaya cerita Hamsad. Chechen dijadikan objek yang memungkinkan pengarang (laki-laki) ini menjadi muda kembali meskipun usia bilogisnya melewati setengah abad. Perempuan seperti Chechen yang berusia dua puluh dua tahun digambarkan sebagai perempuan yang tempramental jatuh cinta pada pengarang. Sedemikian singkat kisah keakraban itu terjadi. Sedemikian singkat kisah pertemuan Hamsad dan Chechen yang membawa keduanya menjelajajahi semua tempat wisata yang romantis. ” Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam kampus Kayutanam maupun ke Danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Bukittinggi, Lembah Harau, Tabek Patah, Kota Gadang, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana Pagaruyung.
Kisah keakraban Hamsad dan Chechen yang sedemikian singkat tampaknya juga sarat dengan masalah gender dan feminis. Kisah petualangan Hamsad dengan mahasiswi, Chechen yang mendtangai semua tempat romantis secara tidak langsung mau menggambarkan karakter tokoh  Chechen sebagai perempuan (mahasiswi). Dalam imajinasi kepengarangan Hamsad Chechen dijadikan objek yang dapat dibawa ke mana-mana dalam dalam waktu yang relatif lama. Lima-hari lima malam tidak pernah berpisah adalah gambaran betapa tokoh perempuan Chechen berada dalam kuasa sang laki-laki.
Gambaran yang sedemikian romantis pada akhir cerpen yang melukiskan kebersamaan kedua tokoh dalamnya ada dominasi laki-laki atas tokoh perempuan seperti tampak pada kutipan berikut.

 "Kita pergi ke Lubang Jepang. Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam tanpa seorang pengunjung pun meng­awasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pe­ngantin dan kau meminta lampu dipadamkan”.
Kita benar-benar ber­dua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu de­ngan dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang kening kita bersentuhan pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya sekaligus, ber­gantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap tepat ke matamu.

Aksi yang dilakukan Hamsad di geladak kapal terhadap perempuan yang berniat membunuh diri dilakukannya pula terhadap perempuan bernama Chechen. Bedanyanya, dalam kasus perempuan di geladak kapal si tokoh perempuan tampaknya putus asa sedangkan perempuan Chechen berada dalam kondisi yang amat romantis. Kondisi dan situasi tokoh perempuan ini memang berbeda tetapi sama-sama digambarkan sebagai tokoh yang berada dalam dominasi laki-laki. Keduanya sama-sama dijadikan objek yang dikuasai.
"Kenangan itu akan kubawa pulang."
"Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
"Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?" bisikku.
Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku. "Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang," bisiknya.

5. Hamsad dan Sang Pangeran dalam Sleeping Beauty
Dongeng tentang Putri Tidur The Sleeping Beauty  adalah dongeng klasik mengisahkan  seorang raja yang cantik yang tersihir oleh kekuatan roh jahat. Putri yang cantik itu tak sadarkan diri selama setatus tahun setelah jarinya tertusuk alat pemintal. Putri itu kemudian sadar dari tidur setelah seorang Pangeran tampan menciumnya. Penggalan akhir cerita itu kami kutipkab berikut ini.
"Pangeran, engkau telah berhasil menghapus kutukan atas istana ini. Sekarang pergilah ke tempat sang Putri tidur," katanya. Pangeran menuju ke sebuah ruangan tempat sang Putri tidur. Ia melihat seorang Putri yang cantik jelita dengan pipi semerah mawar yang merekah. "Putri, bukalah matamu," katanya sambil mengenggam tangan sang Putri. Pangeran mencium pipi sang Putri. Pada saat itu juga, hilanglah kutukan sang Putri. Setelah tertidur selama seratus tahun, sang Putri terbangun dengan kebingungan. "Ah… apa yang terjadi…? Siapa kamu…? Tanyanya. Lalu Pangeran menceritakan semua kejadian yang telah terjadi pada sang Putri.
"Pangeran, kau telah mengalahkan naga yang menyeramkan. Terima kasih Pangeran," kata sang Putri. Di aula istana, semua orang menunggu kedatangan sang Putri. Ketika melihat sang Putri dalam keadaan sehat, Raja dan Permaisuri sangat bahagia. Mereka sangat berterima kasih pada sang Pangeran yang gagah berani. Kemudian Pangerang berkata, "Paduka Raja, hamba punya satu permohonan. Hamba ingin menikah dengan sang Putri." Raja pun menyetujuinya. Semua orang ikut bahagia mendengar hal itu. Hari pernikahan sang Putri dan Pangeran pun tiba. Orang berbondong-bondong datang dari seluruh pelosok negeri untuk mengucapkan selamat (http://prabareta.blogspot.com/2009/01/dongeng-putri-tidur.html)
Dongeng tentang Putri Tertidur ini ada pada hampir semua negara dan busaya dengan gaya dan versi yang berbeda. Kisah ini memuat banyak pesan bagai kehidupan manusia sehingga tidak mengherankan kalau kisah ini diangkat ke dunia layar lebar. Kisah ini menggambarkan secara singkat tentang kekuatan dahsyat yang ada dalam sebuah ciuman. Kedahsyatan kekuatan ciuman inilah yang tampaknya digambarkan dalam cerpen Hamsad Rangkuti dengan menyebutkan bibir sebagai kekuatan. Kekuatan ciuman itulah yang menjadikan tokoh perempuan yang ingin membunuh diri akhirnya terselamatkan karena adanya tokoh laki-laki dalam hal ini pengarang yang merelakan diri untuk menghapur bekas bibir seseorang pada bibir tokoh perempuan dengan bibir tokoh laki-laki yaitu Hamsad Rangkuti.
Kisah tentang Putri Tidur ini dalam gerakan feminisme sering digunakan sebagai penyangga setiap argumentasi dalam rangka menafikkan semua bentuk dominasi laki-laki atas perempuan. Tiga pemikir berkebangsaan Prancis Helena Cixous,  Luce Irigaray, dan Julia Kristeva yang banyak dipengaruhi gagasan psikoanalisis Lacan memilki kerangka pemahaman yang hampir sama berkaitan dengan masalah subjektivitas, seksualitas, bahasa, dan hasrat manusia (Sarup, 2004:191-222). Gagasan yang sama juga turut mewarnai perjuangan mereka berkaitan dengan persoalan oposisi dan dikotomi dalam kehidupan masyarakat yang melahirkan adanya dominasi. Konsep oposisi yang terjadi dalam kehidupan seperti budaya-alam, kepala-hati, bentuk-isi, dll. cenderung melahirkan dominasi. Hal ini akan semakin jelas ketika masyarakat menghubungkan konsep oposisi ini dengan oposisi laki-laki dan perempuan.
Kelompok pejuang feminisme Prancis umumnya berpendapat bahwa Dongeng tentang Putri yang Tertidur sunggung menggambarkan oposisi berjenis kelamin laki-laki berhadapan dengan perempuan. Perjuangan kaum feminis yang ingin membebaskan kaum perempuan dari dominasi laki-laki umumnya menjadikan kisah ini sebagai rujukan. Dasar pertimbangan mereka karena dalam kisah itu tokoh perempuan digambarkan sebagai makhluk yang tidur, tidak berdaya, sebagai makhluk yang dirasuki kekuatan (subjektivitas) negatif  sampai pada akhirnya harus mendapatkan perlakuan, dicium pangeran (laki-laki). Ciuman sang pangeran tampan itu terkesan ingin memberikan eksistensi, mengembalikan kondisi normal sang perempuan, tetapi sesungguhnya pemberian eksistensi, hak hidup itu hanya dalam proses yang medisposisikan dirinya sebagai pribadi yang ditaklukkan demi pemuasan keinginan sang Pangeran. Fakta serupa inilah yang diperjuangkan kaum feminis. Bagi mereka kisah dan dongen Putri Tidur adalah kisah yang diminati kaum laki-laki untuk melanggengkan dominasinya atas kaum perempuan.
Merujuk pada kisah Putri Tidur yang dibangunkan, hidup kembali oleh ciuman sang Panegaran membawa kita pada simpulan yang mirip berkaitan dengan kisah Hamsad Rangkuti dalam cerpen yang dinalisis dalam tulisan ini. Hamsad Rangkuti, ibarat sang Panegeran yang mau menyelamatkan sang putri, berusaha menyelamatkan tokoh perempuan yang ingin membunuh diri. Sang Pangeran berhasil mengembalikan konsisi sang Putri untuk dijadikan permaisurinya dan Hamsad menyelamatkan tokoh perempuan untuk memuaskan hasratnya. Minimal dalam imajinasi kreatifnya sebagai pengarang. Karena itu, cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu? Tergolong berbias gender dan kontra terhadap perjuangan kaum feminis.

***


Daftar Rujukan
Fakih,  Mansur. 2012. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.  R.A. Hudson,R.A. 1986. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurhan, Kenedi (Ed.). 1999. Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999. Jakarta: Kompas Media.
Protei, John. 2005. (Ed)., The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy,  Edinburgh  University  Press.
Sarup, Madan.2004. Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela.
Wareing, Shan. 2007.  “Bahasa dan Gender” dalam  Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan,  Linda Thomas & Shan Wareing, Jogjakarta: Pustaka Pelajarar.





 





Lampiran Cerpen

 

Maukah Kau Menghapus

Bekas Bibirnya Di Bibirku

Dengan Bibirmu?

Cerpen: Hamsad Rangkuti



SEORANG wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upa­cara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba men­cegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar.
"Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri?" kataku memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada se­buah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah tak bisa lagi untuk direkat.
"Tolong ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk kutulis."
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermainkan ujung lengan bajunya. Dan tampak kalau dia telah berketetapan hati untuk mengambil se­buah keputusan yang nekat. Tiba-tiba dia melepas sepatunya, menjulurkannya ke laut.
"Ini dari dia," katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam kamera.
Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada seben­tuk cincin. Sinar matahari memantul mengantar kilaunya. Mata berliannya membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya melampaui terali. Ombak yang liar menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat mencemaskan.
"Ini dari dia," katanya, dan melepas cincin itu. "Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu yang kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya. Inilah saat yang tepat mem­buang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami."
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, me­lepaskan pakaiannya, dan membuangnya satu persatu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya ke laut.
"Apa pun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku; saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat."
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya melampaui terali, bersiap-siap membuang dirinya ke laut. Kamera kubidikan ke arahnya. Di dalam lensa terhampar pe­mandangan yang pantastis! Wanita muda, dalam ketelanjangan­nya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan burung ca­mar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam di kejauhan samude­ra terlukis di sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melom­pat, dia menoleh ke arahku. Seperti ada sesuatu yang terbersit di benaknya yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
"Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya," katanya. "Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja." dia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudera. Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: "Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja." dia berpaling ke arahku. Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" katanya dalam nada ragu.
Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat mengejut­kan, dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu terasa datang dari orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa kamera yang mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan warna emas, memo­les bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas bibir.
"Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di birku dengan bibir­mu? Tolonglah. Tolonglah aku melenyapkan segalanya."
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.
"Lakukan! Lakukan!"
Seorang muncul di pintu geladak membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
"Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat dibibirku dalam kematianku di dasar laut. Tolonglah."
"Lakukanlah! Lakukanlah!" teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai geladak.        
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut itu berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.
"Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?" bisikku.
SAYA Chechen, Pak," kata wanita itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali di antara penonton. "Saya menggemari cerpen­cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca."
"Terima kasih. Namamu Chechen? Tidak nama seorang Minang."
"Bagaimana kelanjutan cerpen lisan itu?"
"Kau yang harus melanjutkannya. Kalian. Para pendengar­nya."
Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam kampus Kayutanam maupun ke Danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Bukittinggi, Lembah Harau, Tabek Patah, Kota Gadang, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana Pagaruyung.
Besok adalah hari terakhir aku di Kayutanam. Aku harus kembali kekehidupan rutin di Jakarta. Perpisahan itu kami habiskan di kawasan wisata di luar kota Padangpanjang. Sebuah kawasan semacam taman, berisi rumah gadang dari berbagai daerah di Minangkabau. Kawasan itu bersebelahan dengan lokasi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Tempat itu sejuk diliputi kabut, terkenal sebagai kota hujan. Sebentar-sebentar kabut tebal melintas menutup ka­wasan itu. Kami mencari tempat kosong di salah satu bangunan berbentuk payung dengan meja bulat dan kursi sandar meling­kar, yang disediakan untuk para pengunjung duduk-duduk me­mandang sungai kecil berbatu yang terhampar di bawah dan me­mandang puncak Gunung Merapi. Kami berkeliling mencari tempat kosong, tetapi semua-bangunan-bangunan kecil itu telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka duduk memandang lembah dan lereng gunung yang terus menerus diselimuti kabut yang datang seperti asap hutan terbakar.
Kami akhirnya duduk di hamparan rumput berbukit, di antara rumah gadang pajangan dalam ukuran yang sebenarnya. "Selama lima hari, siang dan malam kita tak pernah berpisah. Malam kita duduk berdekatan di warung-warung membiarkan kopi dingin sambil kita berpandangan. Aku mendengar proses kreatifmu sedang kau mendengarkan riwayat dan asal-usul tem­pat-tempat yang akan kita kunjungi besok pagi. Kita tidak menghiraukan mata-mata yang memandang kita. Kita biarkan percakapan-percakapan mereka tentang kita. Tanganku kau pe­gang dan aku merebahkan kepala ke bahumu dalam udara di­ngin Kayutanam. Semua itu akan menjadi kenangan. Besok kau akan pulang dan aku akan kembali ke kampus.
"Kita pergi ke Lubang Jepang. Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam tanpa seorang pengunjung pun meng­awasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pe­ngantin dan kau meminta lampu dipadamkan. Kita duduk di puncak pendakian di Lembah Harau. Kita duduk berdua me­mandang ke bawah mengikuti arah air terjun. Lembah kita lihat dari ketinggian dan tempat itu sangat sunyi. Kita biarkan kera­-kera mendekat dan kita tidak merasa terganggu. Kita biarkan pedagang kelapa muda itu meletakkan sebutir kelapa dengan dua penyedot di lubang tempurungnya. Kita tidak hiraukan dia turun meninggalkan kita dan membiarkan kita berdua menikmati kelapa muda yang kau pesan. Kita benar-benar ber­dua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu de­ngan dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang kening kita bersentuhan pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya sekaligus, ber­gantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap tepat ke matamu. Aku yakin, hal itu kita lakukan semacam isyarat yang tak berani kita ucapkan.
"Kelapa itu kita belah. Kau sebelah dan aku sebelah. Alangkah indahnya semua itu"
"Kenangan itu akan kubawa pulang."
"Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?" Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
"Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?" bisikku.
Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku. "Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang," bisiknya.
Serpihan kabut menyapu wajah kami bagaikan serbuk embun dipercikkan.
"Apakah kita akan keluar dari kepompong kabut ini sebagai sepasang kupu-kupu?"
"Bekas ini akan kubawa pulang dan akan ada yang mengha­pusnya. Bagaimana denganmu?"
"Akan kutunggu bekas yang baru di bekas yang lama, darimu."
"Apakah itu mungkin?" "Mungkin."
"Aku lima empat dan kau dua-dua. Itu. tidak mungkin." "Mungkin."
"Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam usia. Apa yang memaksamu?"
"Entahlah. Aku pun tak tahu."
Kami turun dari puncak bukit itu berpegangan tangan. Dia memegang erat jari-jariku. Dan aku memegang erat jari-jarinya. Seolah ada lem perekat di antara jari-jari kami. ***

Sumber:  DERABAT: Cerpen Pilihan KOMPAS 1999

Jumat, 14 Desember 2012

ANALISIS CERPEN SEBAGAI RAGAM BAHASA LITERER



1. Pendahuluan

Kesusastraan, dalam hubungannya dengan masyarakat, dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial yang langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat yang berlaku dan dianut oleh masyarakat tertentu (Luxemburg, 1992:23). Gejala sosial itu, oleh pengarang, diolah, direkayasa, dan dirangkaikan menjadi suatu struktur karya yang terpadu dan memiliki otonomi sebagai sebuah teks. Salah satu bentuk karya mstra tersebut adalah cerita pendek.
Cerita pendek adalah salah satu jenis karya sastra yang berbentuk prosa fiksi yang bentuknya relatif pendek; tidak sepanjang novel. Namun demikian, "kependekan" sebuah cerita pendek itu tidak berarti dangkal dalam hal maknanya. Sebuah cerita pendek yang panjangnya "hanya" sekitar 34 halaman dapat mengandung makna yang dalam yang menghabiskan waktu berhari-hari untuk memahaminya. Unsur­-unsur pembangun cerita pendek secara garis besar di bedakan menjadi dua; (1) unsur pembangun dari dalam berupa alur, tokoh dan penokohan, setting, sudut pandang penceritaan, bahasa dan tema, (2) unsur pembangun dari luar antara lain, latar belakang pengarang, gaya penulisan, dan gejala/situasi sosial tertentu.
Gejala sosial yang ditangkap oleh para penulis cerita pendek itu semakin beragam seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin plural baik dari sudut pola pikir maupun pola perilaku. Keberagaman ini, di tangan penulis, diejawantahkan dalam berbagai bentuk kreativitas penulisan cerita pendek yang diharapkan dapat berperan dalam proses mengubah, membangun, dan mengembangkan masyarakat termasuk di dalamnya mempengaruhi perubahan nilai, norma, dan pola bermasyarakat. Mereka mencoba berperan dalam perubahan sosial tersebut dengan gaya khas cerita pendek yang niereka hasilkan. Mereka secara terus-menerus, mencoba melihat, mencermati, dan menganalisis dinamika sosial dan fenomena sosial yang terjadi dan sekaligus mempengaruhinya dengan ide-ide mereka yang dibungkus dalarn kekuatan kata yang mereka rangkaikan.
Untuk memahami dinamika dan fenomena sosial yang terwujud dalam sebuah cerita pendek tersebut, diperlukan suatu proses apresiasi. Dengan langkah ini diharapkan pembelajar dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi. Sebagai langkah awal proses ini, diperlukannya pengenalan apresiasi di sekolah-sekolah. Sekolah, sebagai salah satu lembaga yang ada dalam masyarakat, diharapkan turut berperan dalam pengembangan masyarakat. Di lembaga ini pulalah, pengarang-dengan kekhasan mereka pada karya-karya cerpennya-diperkenalkan kepada pembelajar lewat pembelajaran apresiasi sastra.
Salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai beberapa tujuan di atas adalah-mendorong pembelajar untuk mengapresiasi karya sastra. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana apresiasi sastra itu dapat dipergunakan pengajar untuk membantu pembelajar untuk memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat?


2. Pembelajaran Cerita Pendek
Pembelajaran sastra di SMA dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pembelajar dalam mengapresiasikan suatu karya sastra. Dari proses apresiasi ini, diharapkan muncul daya nalar, daya kritis, dan daya khayal dari diri pembelajar. Penalaran yang runtut dan didukung dengan ketajaman analisis kritis akan membantu pembelajar untuk mempunyai kepekaan terhadap gejala atau fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Hal ini diharapkan dapat terwujud karena dalam kurikulum pembelajaran sastra, tertera butir-butir pembelajaran sastra yang memang diarahkan pada kegiatan apresiasi sastra sekaligus pemahaman sosial budaya yang terkandung dalam karya sastra termasuk di dalamnya cerita pendek. GBPP Bahasa dan Sastra Indo­nesia 1994 telah mengetengahkan beberapa butir pembelajaran sastra yang bertujuan agar pembelajar (1) mampu memahami dan menghayati karya sastra, (2) mampu menulis prosa, puisi, dan drama, (3) mampu menggali nilai-nilai moral, sosial, dan budaya dalam karya sastra Indonesia dan karya terjemahan, (4) mampu menulis kreatif, (5) mampu membuat tanggapan terhadap tulisan kreatif, dan (6) mampu membuat kritik dan esai sastra (Saadie, 1997:7-9)
Berkaitan dengan pembelajaran sastra di SMA ini, Rahmanto (1988:16-25) menyatakan bahwa pembelajaran sastra dapat membangun dan membantu pendidikan secara utuh bila pembelajaran itu selain dapat meningkatkan keterampilan berbahasa juga dapat mengembangkan cipta rasa, menunjang pembentukan watak pembelajar, dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman budaya. Tujuan-tujuan itu dapat dicapai setelah pembelajar menjalani proses apresiasi terhadap karya-karya sastra.
Sumardjo dan Saini K.M. (1994: 173-175) mengusulkan tiga kegiatan atau langkah apresiasi. Langkah pertama adalah keterlibatan jiwa. Dalam langkah ini pembelajar diharapkan dapat memahami masalah yang diangkat sastrawan/penulis dalam karya sastra. Selain itu, pembelajar diharapkan dapat merasakan perasaan yang dirnunculkan atau yang dialami oleh tokoh-tokohnya sekaligus sebagai usaha membayangkan dunia yang dikreasikan oleh sastrawan. Hal penting yang perlu diketahui oleh pembelajar dalam tahap ini adalah penerapan nilai-nilai estetika sastra pada pengalaman hidup yang tertuang dalam bahasa. Dengan kata lain, tahap ini diarahkan pada pemahaman atas penerapan unsur-unsur intrinsik cerita pendek.
Langkah kedua adalah pemahaman dan penghargaan atas penguasaan sastrawan dalam menyajikan pengalaman dalam karya sastra. Pada langkah ini, pembelajar diharapkan mengetahui dan memahami cara atau teknik sastrawan/penulis menerapkan asas keserasian, keutuhan, dan tekanan pada pengalamanannya sehingga lahir suatu karya dan cara mereka memilih, mengolah, dan menyusun lambang-lambang yang dipakai dalam karyanya. Langkah ini memungkinkan pembelajar untuk bersikap kritis terhadap setiap karya yang dihasilkan penulis sekaligus menguji kepekaan pembelajar dalam menghubungkan dua fenomena yaitu fenomena dalam karya sastra dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat nyata.
Langkah ketiga adalah langkah analisis. Pada langkah ini, pembelajar diharapkan dapat mempermasalahkan fakta-fakta yang tertuang dalam karya sastra dan menemukan hubungan fakta-fakta tersebut dengan realitas kehidupan yang ada dalam kehidupan mereka. Dalam langkah inilah nantinya, pembelajar dapat terbantu menemukan kesesuaian dunia rekaan dalam karya sastra dengan dunia nyata dalam kehidupan sekaligus memahami perubahan yang terjadi.
Langkah-langkah apresiasi di atas dapat membantu pembelajar secara optimal bila dalam pelaksanaannya mengikuti asas kewajaran dan keterpaduan. Asas kewajaran memungkinkan dijalaninya proses apresiasi sesuai dengan kesiapan mental pembelajar, termasuk juga dalam pemilihan karya sastra yang akan diapresiasi. Asas keterpaduan menyarankan keterkaitan langkah-langkah apresiasi yang dilakukan. Langkah-angkah itu tidak boleh dipisah-pisah karena merupakan suatu kesatuan proses.

3. Dari Pembelajaran Cerpen ke Pemahaman Situasi Masyarakat
Setelah di atas diuraikan perihal pembelajaran sastra dan perubahan sosial, sekarang akan diuraikan bagaimana pembelajaran apresiasi sastra dapat dipergunakan untuk memahami perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Nurgiyantoro (1995:1-3) menyatakan bahwa sastra merupakan salah satu sumber penting dalam pemahaman budaya. Hal ini dapat dirunut karena di dalam karya sastra tercermin pandangan penulisnya yang terbentuk dan dipengaruhi oleh kebiasaan hidup yang dijalaninya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kata lain, penulis karya sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya dan di antara keduanya tedadi hubungan timbal balik dalam penciptaan karya sastra.
Sehubungan dengan timbal balik antara pengarang dan masyarakat patut dikemukakan di sini pendapat Hardjana (1991:2-4) bahwa semua pandangan, sikap, dan nilai-nilai, termasuk di dalamnya kebutuhan-kebutuhan seseorang, termasuk juga pengarang, ditimba dari sumber tata kemasyarakatan yang ada dan berlaku dalam masyarakat atau komunitas. Jadi jelaslah hubungan timbal-balik antara masyarakat dan pengarang/penulis karya sastra bahwa keduanya saling mempengaruhi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Faruk (1994), mengutip pandangan Marx, bahwa struktur sosial suatu masyarakat juga lembaga di dalamnya, moralitasnya, dan kesusastraannya ditentukan oleh kondisi produktif kehidupan anggota masyarakatnya sendiri termasuk pengarang di dalamnya. Ini membawa implikasi bahwa semakin produktif pengarang mencipta karya sastra dan diapresiasi masyarakat pembacanya merupakan indikasi dinamisnya struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Bertolak dari hal tersebut di atas, dapatlah kiranya pembelajaran cerita pendek digunakan sebagai titik tolak pemahaman perubahan sosial yang terjadi mengingat cerita pendek lahir atau merupakan produk dari pengarang yang di dalamnya berisi berbagai masukan yang diperoleh dari kenyataan yang terpampang dalam kehidupan dan ditarik ke dalam bingkai permenungan pengarang dan akhirnya lahirlah sebuah karya.
Sebagai langkah awal dalam proses apresiasi seperti yang dimaksud di atas, perlulah kiranya adanya kecermatan dalam pemilihan cerita pendek, karya-karya yang dipilih untuk diapresiasi pembelajar hendaknya karya yang mengandung perubahan-­perubahan nilai, norma, dan tata kehidupan yang ditawarkan oleh pengarang. Cerita pendek yang dipilih hendaknya diupayakan sesuai dengan tingkat perkembangan usia dan pola pikir pembelajar sehingga, pembelajar dapat mengetahui dan memahami perubahan sosial yang terjadi atau yang diinginkan atau yang ditawarkan oleh pengarangnya.

4. Penerapan Langkah-langkah Apresiasi
Pada bagian ini akan dipaparkan contoh penerapan langkah-langkah apresiasi cerita pendek yang telah dijelaskan di atas dalam pembelajaran di kelas. Contoh cerita pendek yang akan diapresiasi berjudul "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" karya Seno Gumira Ajidarma, seorang cerpenis terkenal Indonesia. Cerita pendek ini mengisahkan suatu kejadian yang sangat menarik di sebuah RT tempat seorang wanita muda, cantik, tinggal. Wanita itu mempunyai kebiasaan mandi sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Akan tetapi nyanyian-nyanyian kecil yang diiringi guyuran air itu membuat imajinasi kaum lelaki di RT tersebut mengembara ke dunia lain. Mereka mempunyai imajinasi yang tidak senonoh.
Karena itu pula, banyak protes dari Para isteri mereka bahwa wanita itu telah menyebabkan rumah tangga mereka tidak harmonis lagi, membuat para suami tidak betah tinggal di rumah karena selalu pergi untuk mendengarkan nyanyian wanita itu ketika mandi, dan berbagai tuduhan yang menyudutkan wanita muda tersebut. Para isteri itu menuntut agar wanita itu diusir dan akhirnya wanita itu benar-benar pindah dari RT tersebut. Akan tetapi, persoalannya belum selesai karena walaupun wanita itu sudah pindah dan tidak terdengar lagi nyanyiannya, Para suami membayangkan pada jam tertentu wanita itu mandi-entah dimana- dengan menyanyi kecil dan menumbuhkan beribu imajinasi. Situasi menjadi kacau karena Para isteri berlari sambil menangis dan berteriak histeris. Ketua RT menjadi bingung untuk menertibkan" imajinasi para suami dan menenangkan para isteri. Di akhir cerita ini, Ketua RT memasang tanda di sepanjang gang dengan tulisan: DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI!.

4.1 Langkah Pertama
Langkah pertama dalam apresiasi cerita pendek ini adalah menumbuhkan keterlibatan jiwa pembelaJar. Hal ini bisa ditempuh dengan mengajak pembelaiar menemukan masalah yang ada dalam cerpen itu. Apakah masalah itu terjadi karena adanya wanita muda yang cantik dan sexy di RT itu? Apakah salah bila wanita itu menyanyi di kamar mandi sembari ia mandi? Atau masalahnya terletak pada para suami yang mempunyai imajinasi atau pikiran yang tidak baik? Atau pertanyaan-pertanyaan di atas berkaitan satu dengan lainnya? Salah satu alternatifnya, pengajar bisa mengutarakan pendapatnya bahwa masalah dalam cerpen ini sebenarnya cukup sederhana yaitu suara nyanyian seorang wanita yang sedang mandi yang menimbulkan imajinasi yang tidak baik dalam benak para suami dan hal itu menimbulkan kekacauan. Dalam langkah ini memang dimungkinkan adanya perbedaan pendapat di antara pembelajar. Hal ini wajar karena justru di sinilah kita dapat melihat sejauh mana kepekaan pembelajar dalam menyikapi suatu situasi.
Setelah menemukan masalahnya, pembelajar dibimbing untuk ikut merasakan situasi yang ada dalam cerpen itu. Pembelajar diajak untuk masuk dalam suatu pengandaian bila mereka menjadi Ketua RT, pemilik pondokan, si wanita muda, dan ibu-ibu/isteri-istri. Pembelajar dapat dituntun dengan pertanyaan-pertanyaan: bagaimana perasaan Anda bila menjadi Ketua RT? Langkah-langkah apa yang harus diambil untuk mengatasi persoalan itu? Atau pertanyaan: bagaimana perasaan Anda bila menjadi wanita muda yang dituduh telah "merusak" pikiran 'Para suami dan menghancurkan rumah tangganya? Apakah Anda akan marah, bertanya-tanya, protes, atau menuntut Para isteri itu?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat sekaligus dipergunakan untuk membantu pembelajar untuk menemukan unsur-unsur intrinsik cerpen tersebut. Siapa sajakah tokoh-tokohnya? Bagaimana perwatakannya? Di mana setting tempat cerita itu? Bagaimana alur ceritanya - kronologis, flask back, atau campuran-? Apa tema cerpen itu?
Tahap ini akan diwarnai dengan berbagai jawaban dan pendapat dari pembelajar. Bila ini benar-benar terjadi, ini merupakan gejala yang bagus karena dinamika kelas telah tercipta dan ini memudahkan pengajar untuk menggali informasi atau tanggapan pembelajar untuk kemudian didiskusikan bersama-sama untuk mendapatkan kesan umum terhadap cerita pendek tersebut.

4.2 Langkah kedua
Apabila langkah pertama sudah selesai, pengajar bisa membantu pembelajar untuk masuk ke langkah kedua yaitu mencermati cara­-cara pengarang menyajikan cerita pendek itu. Apakah Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya disingkat SGA) sebagai pengarang sudah menggambarkan suatu realitas yang tepat dalam cerpen itu? Bagaimana SGA memilih kata, ungkapan, dan kalimat dalam cerpennya; apakah kata dan ungkapannya sulit dan tidak biasanya bagi pembelajar, apakah ia mempergunakan kalimat yang panjang dan bertele-tele atau kalimat yang sederhana tapi penuh dengan makna?
Pengajar dapat meminta pembelajar untuk menunjukkan beberapa contoh kata, ungkapan, dan kalimat yang menurut mereka sulit dipahami atau yang menarik perhatian mereka dan membahasnya bersama. Pada langkah ini pula, pengajar dapat meminta pembelajar untuk menemukan lambang-lambang atau sirnbol-simbol yang dipakai oleh SGA dan mencoba menafsirkan lambang atau simbol tersebut. Di akhir langkah kedua ini, pembelajar diminta mengutarakan pendapat/kesan mereka terhadap cara penyajian SGA dalam cerpennya dan seberapa jauh cara penyajian cerita tersebut membantu pembelajar dalam memahami cerpen "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi". Tukar informasi dan pengalaman dalam langkah ini akan membuat situasi kelas lebih hidup dan dinamis serta merangsang pembelajar untuk berani mengungkapkan perasaan dan pendapatnya.
4.3 Langkah Ketiga
Langkah ketiga adalah proses menemukan hubungan pengalaman pembelajar yang diperoleh dari membaca (dan memahami) cerpen "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" dengan pengalaman pembelajar dalam kehidupan sehari-hari. Hasil-hasil apresiasi di langkah pertama dan kedua akan sangat membantu pembelajar untuk memasuki langkah ketiga ini karena mereka tinggal mencari titik-titik temu hal-hal yang mereka temukan pada tahap sebelumnya dengan kehidupan keseharian mereka. Apakah mungkin peristiwa yang terjadi dalam cerpen SGA itu bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Apabila itu bisa terjadi dalam hidup nyata, bagaimana seharusnya mereka bersikap?
Pembelajar juga bisa kita bantu untuk sampai pada proses mempertanyakan kembali apa sebenarnya yang hendak disampaikan SGA dalam cerpen ini, nilai-nilai moral apa yang bisa diambil dari apresisi cerpen ini, atau nilai-nilai sosial apa yang harus ada bila peristiwa seperti dalam cerpen (atau peristiwa-peristiwa yang serupa) benar-benar terjadi? Langkah ketiga ini bisa membantu pembelajar untuk lebih peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekelilingnya. Sebagai contoh, apakah mereka peka terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan toleransi antarmasyarakat di tempat mereka tinggal? Apakah mereka juga peka terhadap semakin merebaknya pengaruh negatif video/CD porno di kalangan mereka? Apabila kepekaan itu sudah mulai ada dalam diri mereka, maka nilai-nilai sosial dan nilai-nilai moral yang ada dalam cerpen tersebut dapat membantu mereka dalam menjalani peran mereka baik di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat.
Bila ketiga langkah apresiasi sudah dijalankan, pengajar bisa mendapatkan umpan balik dari pelaksanaan proses tersebut. Umpan balik ini sangat penting untuk mengetahui tingkat pemahaman pembelajar dalam setiap langkah apresiasi dan pemahaman cerita pendek "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi". Teknik untuk mendapat umpan balik ini bisa dilakukan dengan cara, (1) meminta pembelajar menyampaikan hasil apresiasi secara lisan dalam suatu diskusi, (2) meminta pembelajar menuliskan hasil apresiasinya terhadap cerpen SGA baik secara individual ataupun berkelompok, (3) meminta pembelajar menukarkan hasil apresiasinya atas cerpen itu dengan milik temannya sehingga mereka akan semakin diperkaya oleh berbagai masukan dari temannya sekaligus melatih mereka untuk menghargai hasil karya teman mereka, (4) pengajar memberikan masukan -baik lisan maupun tertulis- terhadap hasil karya pembelajar sehingga mereka mendapat suatu penguatan (reinforcement) atas hasil apresiasi mereka. Masukan ini dapat ditekankan pada kemampuan pembelajar dalam menghubungkan secara logis tiap aspek yang ada dalam cerpen SGA, misalnya peran alur, tokoh, setting, gaya penceritaan, dsb, sehingga mereka sampai pada pemahaman umum cerpen tersebut.

5. Penutup
Sebagai catatan akhir dari pembicaraan ini patutlah kiranya dimunculkan beberapa hal di sini bahwa pembelajaran cerpen dapat dimulai dengan menumbuhkan rasa kecintaan pembelajar terhadap karya sastra cerpen tersebut yang di dalamnya termuat nilai-nilai, norma-norma, "potret" masyarakat yang ditangkap oleh pengarang. Untuk menjalani proses tersebut, perlulah kiranya ditempuh langkah-­langkah apresiasi yang dilaksanakan secara wajar dan berkesinam­bungan dengan cerita pendek yang sesuai dengan tingkat perkem­bangan pembelajar. Pemilihan bahan yang tepat sasaran akan sangat membantu pelaksanaan langkah-langkah apresiasi. Untuk itu, penting kiranya bila pengajar mempunyai koleksi cerita pendek sehingga mem­punyai banyak pilihan dalam pembelajarannya.
Perlu juga memberi kesempatan pembelajar untuk memilih cerita pendek yang akan diapresiasi sehingga mereka secara total menjalani suatu proses apresiasi; menemukan cerita pendek, membacanya, dan meng­apresiasikannya. Dengan terlewatinya seluruh rangkaian proses tersebut diharapkan pembelajar semakin peka terhadap gejala-gejala sosial dan perubahan dinamika masyarakat tempat mereka menjalani kehidupannya.


CERPEN (MONUMEN TANPA KEPALA) DAN UNSUR INTRINSIKNYA
(CONTOH ANALISIS STRUKTURAL)


1 Cerpen
1.1 Hakikat Cerpen
Berdasarkan bentuknya cerpen termasuk dalam karangan prosa, yaitu jenis karangan yang disusun dalam bentuk bebas dan terperinci. Karangan prosa terdiri dari dua jenis, yaitu: (1) prosa fiksi yaitu karangan yang disusun dalam bentuk alur yang menekankan aturan sistematika penceritaan; (2) prosa nonfiksi yaitu karangan yang menekankan aturan sistematika ilmiah, dan aturan kelogisan (Kosasih, 2001: 32). Dari pembagian ini, kita dapat menyimpulkan bahwa cerpen termasuk dalam prosa fiksi.
Dalam kamus sastra Eneste (1994: 22) cerpen didefinisikan sebagai (1) singkatan dari cerita pendek, (2) cerita yang bersifat rekaan (fiksi) yang isinya relatif pendek. Pengertian ini sebenarnya tidak tepat dan tidak lengkap, karena tidak semua cerita yang pendek disebut sebagai cerpen. Ada jenis cerita pendek yang tidak dapat kita kategorikan sebagai suatu cerpen, seperti fabel (cerita binatang), parabel (cerita dari Kitab Suci), cerita rakyat, dan anekdot (cerita lucu). Memberikan batasan sebuah cerpen adalah suatu yang amat sulit. Namun, kita mencoba untuk membuat batasan berdasarkan pengertian yang diberikan para ahli.
Ajib Rosidi memberikan batasan bahwa cerpen adalah cerita pendek yang merupakan suatu kebulatan ide. Lebih lanjut dikatakan bahwa cerita pendek mesti terikat pada suatu kesatuan: pendek, padat, dan lengkap (Tarigan, 1984: 174-176). Henry Scidel Comby mengatakan bahwa kesan yang satu dan hidup, itulah yang seharusnya hasil dari sebuah cerita pendek. Ellergy Sedwick mengatakan bawa cerpen adalah penyajian suatu keadan tersendiri atau kelompok yang memberikan kesan yang tunggal pada diri pembaca (Tarigan,1984: 176).
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M (1987: 36), ciri dasar cerpen adalah sifat rekaan (fiktif). Cerpen bukan putaran kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni ciptaan yang direka pengarang. Meskipun demikian, cerpen ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan.
Menurut Puji Santosa (1995:98) cerpen adalah ragam cerita rekaan yang memiliki ciri-ciri: (1) kisahan yang memberi kesan tunggal dan dominan tentang suatu tokoh, suatu latar, dan suatu situasi dramatik; (2) bentuknya sederhana karena kurang dari 10.000 kata; (3) berisi suatu ide pusat dan tidak diberi kesempatan memunculkan ide sampingan; (4) dimensi ruang dan waktu lebih sempit bila dibandingkan dengan novel; dan (5) hanya menceritakan suatu kejadian yang paling menarik sehingga dapat menimbulkan kesan impresif. Sebuah cerpen harus memperlihatkan kepaduan sebagai patokan dasarnya.
Berdasarkan batasan-batasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa: cerpen adalah suatu jenis karya sastra yang berbentuk prosa fiksi yang berisi suatu ide pusat, memberi kesan tunggal dan dominan tentang suatu tokoh, suatu latar, dan suatu situasi dramatik serta ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan sebagai hasil olahan jiwa pengarang.

1.2 Ciri-ciri Dasar Cerpen
Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, Tarigan (1984: 177) memberikan beberapa ciri yang menjadi kekhasan suatu cerpen. Adapun ciri-ciri itu antara lain:
1. Ciri-ciri utama cerita pendek adalah: singkat, padu, intensif (brevity, unity, intensity).
2. Unsur utama cerpen adalah: adegan, tokoh, dan gerak (scene,character, and action).
3. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, alert).
4. Cerpen harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
5. Sebuah cerpen haruslah menimbulkan suatu efek dalam pikiran pembaca.
6. Cerpen harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, dan kemudian menarik pikiran.
7. Cerpen mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja dan yang bisa menimbulkan pertanyaan dalam pikiran pembaca.
8. Cerpen harus mempunyai pelaku utama.
9. Cerpen harus mempunyai suatu efek atau kesan yang menarik.

1.3 Unsur-unsur Intrinsik Cerpen
Adapun unsur-unsur intrinik cerpen antara lain:
(1) Tema cerita (theme)
(2) Tokoh dan penokohan atau perwatakan
(3) Alur ( plot )
(4) Latar cerita (setting)
(5) Sudut Pandang (point of view)

2 Analisis Struktural Cerpen MTK

2.1 Tema (theme)
2.1.1 Hakikat Tema
Tema merupakan ide sebuah cerita. Menurut KUBI, tema berarti pokok pikiran, dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, dan sebagainya) (Poerwadarminta, 1976: 1048). Santosa (1995:117) mengatakan bahwa tema adalah gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pikiran dalam karya sastra. Suatu tema merupakan arti pusat dalam sebuah cerita dan berhubungan dengan arti karya sastra.
Cerpen yang disajikan pengarang sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Hal yang disampaikan dapat berupa masalah kehidupan, pandangannya tentang hidup ini, atau komentarnya tentang kehidupan (Sumardjo dan Saini K.M, 1987: 56). Pengarang mengemukakan suatu masalah dalam sebuah cerpen dan pemecahannya diserahkan kepada pembaca. Menemukan tema sebuah cerpen berarti menemukan makna yang terkandung dalam cerpen tersebut.
2.1.2 Analisis Tema Cerpen MTK
Cerpen-cerpen Indra Tranggono umumnya memperlihatkan adanya “tema utama” ketercengkeraman dan kecemasan manusia di hadapan kekuatan dan kekuasaan politik yang tidak sepenuhnya dapat dipahami (Noor,2000: v). Hal itu terlihat jelas dalam cerpen MTK yang menyajikan suatu bentuk kecemasan manusia menghadapi kekuatan politik yang tidak jelas tersebut. Indra Tranggono yang hidup di tengah kegoncangan sosial merasakan adanya proses perubahan yang menderu dan menggilas, dan memunculkan bermacam paradoks, juga ironi yang seringkali berujung pada tragisme. Situasi itu, tampaknya dipilih Indra untuk menjadi basis ceritanya.
Situasi ketercengkeraman dan kecemasan manusia itu digambarkan dalam cerpen tersebut dalam bentuk masalah kekuasaan pemimpin atau masalah kepemimpinan. Cerpen MTK menyajikan suatu tema tunggal, yakni masalah kepemimpinan. Perhatikan kutipan (1) berikut:
(1) “Lengkingan sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning. Pelan-pelan kain itu tersingkap. Gamelan monggang bertalu. Mulai tampak sebagian badan monumen perunggu setinggi 10 meter itu. Tamu-tamu undangan bertepuk riuh. Pak Gubernur, seusai menekan tombol itu, menjabat tangan Pak Bupati yang tersenyum bangga….” (alinea 1-2).
Sebutan Gubernur dan Bupati pada kutipan di atas menunukkan bahwa yang diceritakan pengarang adalah tentang kepemimpinan. Pada cerita MTK, pengarang melukiskan tokoh bupati yang repot dan panik dalam membangun munumen Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang ditentang oleh banyak orang. Ia membuang uang ratusan juta demi pembangunan monumen tersebut. Orang banyak menganggap bahwa proyek tersebut tidak manusiawi dan tidak berguna. Uang ratusan juta lebih relevan untuk membangun gedung sekolah. Di sini, kita melihat bahwa apa yang dilakukan oleh bupati tidak sesuai dengan keinginan rakyatnya. Inilah situasi yang digambarkan Indra dalam cerpennya. Situsasi ini menjadi representasi situasi nyata dalam kehidupan. Ketercengkeraman dan kecemasan manusia dihadapan kekuasaan politik digambarkan dalam cerpen tersebut berupa kecemasan tokoh lainnya (rakyat) di hadapan kekuasaan tokoh bupati yang tidak sepenuhnya dipahami.
Tindakan bupati dalam cerpen tersebut merupakan suatu bentuk penyimpangan. Ia menjalankan kekuasaannya tanpa mendengarkan aspirasi rakyat. Monumen TKW yang ditentang tetap dibangunnya. Kepemimpinannya mengikuti apa yang diinginkannya. Kepemimpinan yang semacam ini disebut kepemimpinan yang nondemokratis.
2.2 Tokoh dan Penokohan/ Perwatakan

2.2.1 Hakikat Tokoh dan Penokohan
Dalam sebuah cerpen para tokoh harus diperkenalkan secara wajar dan sempurna dengan segala sifat dan kehidupan batinnya. Namun, semua orang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang paling kompleks. Kekompleksannya bukan karena dimensi fisiologis atau struktur anatominya yang sukar dianalisis, melainkan karena dimensi psikologisnya yaitu unsur-unsur kejiwaan dan akal budinya (Mido, 1994: 22). Untuk mengetahui karakter tokoh dalam sebuah cerita, kita dapat menggunakan dua metode yang ditinjau dari pihak pengarang. Metode itu adalah metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung maksudnya pengarang secara langsung melukiskan tokoh, baik bidang fisiologi, sosiologi, maupun bidang psikologinya. Pengarang sendiri memberitahukan kepada kita/pembaca tentang para tokoh, “the author himself tells us” (Moody, 1972). Metode tidak langsung maksudnya pengarang secara tidak langsung membuat deskripsi tentang para tokoh kepada pembaca. Pembaca mengetahuinya melalui deskripsi fisik, mimik dan lingkungan, melalui nama tokoh, melalui reaksi, ucapan dan pendapat tokoh lain.
Pembagian tokoh dalam cerita fiksi ada bermacam-macam, yaitu: dari segi peranan ada tokoh utama, pembantu, dan tambahan. Dari segi macam perwatakan ada perwatakan statis (static charaterization), perwatakan dinamis (dinamic characterization), perwatakan datar (flat characterization), dan perwatakan bulat (round characterization).

2.2.2 Analisis Tokoh dan Penokohan Cerpen MTK
Ada banyak tokoh yang disebutkan dalam cerpen MTK, antara lain: Gubernur, Bupati, Sureng, Bendot, Klantung, Warsiyah (istri Sureng), Dus cs (staf Bupati), wartawan, Puwarto (humas Pemda). Dilihat dari segi peranannya, yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini adalah Bupati dan Sureng, sedangkan yang lainnya adalah tokoh tambahan.
Tokoh bupati adalah seorang laki-laki. Indikatornya: ia mempunyai seorang istri (alinea 2). Dari segi macam perwatakan, tokoh bupati tergolong dalam tokoh yang berwatak dinamis yaitu watak tokoh yang berubah sesuai situasi. Perhatikan kutipan (2) berikut:

(2) “…Pak Gubernur, seusai menekan tombol itu menjabat tanga Pak Bupati yang tersenyum bangga. Namun, gamelan itu mendadak berhenti. Para tamu kaget. Begitu kain selubung itu terbuka seluruhnya, mereka melihat pemandangan aneh. Monumen TKW itu berdiri tanpa kepala. Pak Gubernur gusar. Pak Bupati cemas. Dalam bahasa yang sulit ditangkap, ia menciba menenangkan Pak Gubernur. Namun, pak gubernur segera beranjak dari kursi. Suasana berubah jadi gaduh. Pak Bupati tampak terguncang….” (alinea 2-3)
“Pak Bupati menggebrak meja. Para stafnya tak ada yang berani bicara. Kepulan asap menguasai ruangan. Puntung-puntung merokok menumpuk dalam asbak…” (alinea 15).

Dari kutipan pertama, kita melihat watak bupati yang berubah sesuai situasi. Pada awalnya ia merasa bangga dengan proyek yang baru dibangunnya. Tetapi, setelah suasana berubah, yaitu monumen itu berdiri tanpa kepala, ia menjadi cemas dan panik. Pada kutipan kedua, tokoh bupati berada pada situasi yang membuatnya marah karena kasus monumen yang berdiri tanpa kepala.
Tokoh Sureng adalah seorang tokoh utama. Ia memiliki kesamaan watak dengan tokioh bupati. Pengarang membandingkan tokoh bupati yang repot dan panik dalam membangun monumen TKW dengan tokoh Sureng yang selalu cemas dan panik karena dituduh menyabotase monumen tersebut. Tokoh Sureng mengalami tekanan batin. Ia terus dicari dan pada akhirnya ia masuk penjara.

2.3 Alur (plot)
2.3.1 Hakikat Alur
Pada dasarnya, kesederhanaan pemaparan peristiwa dalam urutan temporal bukanlah urusan yang paling utama pagi seorang penulis fiksi. Bagi pengarang, yang lebih penting adalah menyusun peristiwa-peristiwa cerita yang tidak terbatas pada tuntutan-tuntutan murni kewaktuan saja. Seorang penulis cerita harus harus menciptakan alur bagi ceritanya (Sayuti, 2000: 29-30). Hal ini berarti bahwa alur cerita sebuah fiksi menyajikan peristiwa-peristiwa kepada pembaca tidak hanya dalam sifat kewaktuannya, tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah diperhitungkan.
Alur sebuah cerpen sangat mempengaruhi kelangsungan sebuah cerita. Keberadaan sebuah alur sangat ditentukan oleh semua peristiwa dalam cerita. Peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita merupakan sumber terjadinya alur. Alur berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis (Rampung, 2000: 1-2). Mido (1994: 41-46) mengatakan bahwa alur merupakan sambung sinambung peristiwa berdasarkan hubungan sebab akibat. Alur tidak hanya menyampaikan apa yang terjadi, tetapi juga yang lebih penting adalah mengapa hal itu tejadi. Menurut Sumardjo dan Saini K.M (1986: 49) penyebab sebuah cerita adalah konflik. Konflik inilah yang menjadi bagian penting pada sebuah alur.
Ada banyak ahli yang membagi alur ke dalam struktur-struktur. Secara umum, struktur dalam alur itu terdiri dari 3 bagian penting, yaitu: pengenalan, konflik, dan penyelesaian. Melalui ketiga elemen ini pengarang berusaha membawa pembaca pada ketegangan dan ketegangan inilah yang membuat pembaca tertarik pada cerpen.
Boulton (1975) seperti dikutip Sukada (1993: 73) menyebutkan fungsi alur, yaitu: (1) Plot membawa pembaca ke arah maju dalam memahami sebuah cerita, sekalipun sesungguhnya tidak semua rincian diketahui (2) Plot menyediakan tahap atau peluang bagi penulis untuk meletakkan sesuatu yang dikehendakinya untuk diperlihatkan kepada pembaca.
Dalam menyusun sebuah alur, pengarang harus memperhatikan hal-hal yang menyangkut aturan-aturan penyusunan alur. William Kenny (1976: via Rampung, 2000: 47-48) menyebut 5 hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan alur:
(1) Masuk akal, logis artinya diharapkan pembaca dapat mengganggap cerita fiksi itu benar-benar ada dalam kehidupan.
(2) Kejutan (surprise): dalam keseluruhan ceritanya, pengarang harus menampilkan banyak kejutan yang tidak diduga pembaca sebelumnya.
(3) Tegangan (suspense) timbul karena tidak adanya ketidakpastian dalam cerita sehingga penbaca bertanya-tanya bagaimanakah jalan cerita berikutnya. Jika tidak, pembaca tidak merasa penasaran untuk membaca bagian berikutnya.
(4) Kesatuan (unity): unsur-unsur yang membentuk alur memiliki hubungan satu sama lain. Rangkaian cerita yang masuk akal, penuh kejutan, dan memiliki tegangan berarti memiliki satu kesatuan.
(5) Ekspresi (expression):pengarang harus bisa berkomunikasi de4ngan para peminat cerpen tentang pandangan dan pengalaman, sehingga ekspresi pengarang terhadap realitas hidupnya dapat dipahami dengan baik oleh pembaca.

2.3.2 Analisis Alur
Sebagai sebuah cerita fiksi, cerpen MTK memiliki alur sebagai satui kesatuan cerita. Alur cerpen MTK dibagi dalam beberapa bagian penting sesuai dengan pembagian alur umumnya. Bagian-bagian alur tersebut dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pengenalan (exposition).
Alinea 1-5 merupakan tahap pengenalan dalam penyajian alur. Pengarang memperkenalkan beberapa tokoh seperti bupati dan lain-lain. Bagian pengenalan ini memiliki unsur-unsur surprise seperti yang dijelaskan sebelumnya. Hal ini membuat para pembaca penasaran dan ingin untuk membaca bagian berikutnya.
Kedua klimaks. Dalam cerpen tersebut, klimaks ditunjukkan oleh tokoh Sureng yang mengalami tekanan batin karena dicurigai menyabotase monumen TKW (alinea 6-17). Ia meninggalkan rumahnya dan anak istrinya. Setiap waktu pikirannya melayang pada monumen TKW yang berdiri tanpa kepala itu. Selain itu, klimaks ditunjukkan oleh toko bupati (alinea 18-31), yang marah kepada para stafnya. Ia m,arah karena kasus monumen yang berdiri tanpa kepala.
Ketiga, penyelesaian. Alinea 37-38 menunjukkan akhir dari cerita tersebut. Hal itu ditunjukkan oleh tokoh Sureng yang memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Ia terobos ke kantor polisi, disergap pemeriksaan demi peneriksaan. Ia terobos ke pengadilan, disergap pasal-pasal tuntutan dan akhirnya ia masuk penjara dengan keputusan yang sama sekali ia tidak pahami.


2.4 Latar (setting)

2.4.1 Hakikat Latar
Sebuah karya fiksi, harus terjadi pada suatu tempat dan dalam waktu tertentu, seperti halnya kehidupan yang juga berlangsung dalam ruang dan waktu. Fiksi adalah sebuah “dunia dalam kata” (Sayuti, 2000: 125) yang di dalamnya terjadi pula kehidupan, yakni kehidupan para tokoh dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita di mana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung disebut latar (setting). Mido (1994: 51) menambahkan bahwa latar bukanlah hanya pelukisan waktu dan tempat. Suatu adegan sedih akan lebih tersa bila didukung oleh lukisan suasana seperti awan mendung, kesunyian, dan sebagainya.
Menurut Murphy (via Mido, 1994: 52-56), ada tiga unsur penting yang membentuk sebuah latar, yakni waktu, tempat, dan situasi. Latar waktu dipakai karena sebuah cerita selalu terjadi pada waktu tertentu. Ada empat latar waktu, yaitu waktu kini (present time), masa lalu (past time), masa depan (future time), dan waktu tak tentu (no spesific time). Latar tempat, apabila ditinjau dari pihak pembaca ada tempat yang dikenal (familiar place), kurang dikenal (unfamiliar place), dan tempat khayalan (imaginary place). Latar suasana ada 3, yaitu suasana alamiah, suasana sosiokultural, dan suasana batiniah.

2.4.2 Analisis Latar Cerpen MTK
Dalam cerpen MTK, ketiga latar yang disebutka muncul. Pertama, latar waktu. Pengarang mengunakan waktu sekarang dan masa lampau dalam menulis cerpennya. Waktu sekarang terdapat pada hampir seluruh bagian cerita, sedangkan waktu lampau hanya pada alinea 32. Pada alinea tesebut, pengarang melukisakan tokoh Sureng yang memikirkan kembali kekjadian yang telah lewat, seperti nyata pada kutipan 3 berikut:

(3) “… Ia ingat betul, sebelum peristwa hilanhnay kepala tiga patung wanita itu, tak ada kejadian yang istimewa. Sehingga sebelum peresmian, tempat itu dijaga cukup ketat. Bersama Bendot dan Klantung, ia hanya menjadi tenaga bantuan. Posisi mereka dari monumen sekitar 500 meter.” (alinea 26).

Kedua, latar tempat. Bila ditinjau dari sudut pandang pembaca, latar tempat dalam cerpen MTK ada 2, yaitu tempat yang tidak dikenal dan tempat yang dikenal. Tempatyang tidak dikenal terda[pat pada bagian awal cerpen (alinea 1-5) yaitu saat peresmian monumen TKW. Temapat yang dikenal ada dua, yaitu, rumah Warsiyah (istri Sureng) dan warung kopi.
Ketiga, latar suasana. Menurut Mido (1994:56-59) ada 3 macam latar suasana, yaitu suasana alamiah (berhubungan dengan alam), suasana sosial budaya, dan suasana batiniah yang merupakan akibat saling pengaruh dan interaksi antara tokoh dengan tokoh, tokoh dengan suasana alamiah, dan sosio kultural. Cerpen MTK menggunakan ketiga suasana tersebut. Suasana alamiah digambarkan saat Sureng meninggalkan (alinea16). Kutipan (4) berikut menggambarkan hal tersebut.

(4)”Barangkali hanya bulan dan gemercik air sungai yang dirasakan tulus menemaninya. Ia sedikit terhibur menatap bulan di dasar sungai. Bulan itu bergoyang ditingkah gemercik air yang menjelma orkestrasi alam. Angin yang begitu lentur dan piawi memainkan irama air, mempersembahkan musik alam yang indah…” (alinea 11).

Suasan sosio-kultural berkaitan dengan struktur masyarakat. Dalam cerpen MTK, struktur masyarakat digambarkan dengan jelas oleh pengarang. Pada cerpen itu disebutkan tokoh Bupati, Gubernur, humas Pemda, wartawan, hakim dan orang banyak (rakyat). Ini menunjukkan bahwa tokoh-tokoh dalam cerita tersebut memiliki status masing-masing yang menyebabkan terbentuknya struktur dalam masyarakat.
Suasana batiniah digambarkan dengan tokoh Sureng yag mengalami tekanan batin. Ia merasa panik dan takut karena dicurigai menyabotase monumen TKW. Selain itu, suasana batinih ditunjukkan oleh tokoh Bupati yang juga panik dalam mempersiapkan monumen TKW.

2.5 Sudut Pandang (Point of View)

2.5.1 Hakikat Sudut Pandang
Point of View pada dasarnya adalah visi pengarang; artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat peristiwa dan kejadian dalam cerita. Pemilihan sudut pandang amat penting karena menyangkut masalah seleksi terhadap kejadian-kejadian yang disajikan, menyangkut masalah pembaca akan dibawa, dan menyangkut masalah kepada siapa akan dipaparkan.
Tjahjono menyebutnya dengan titik kisah. Titik kisah adalah bagaimana cara menempatkan atau memperlakukan dirinya dalam cerita yang ditulisnya. Apakah dia bertindak sebagai tokoh utama, ataukah hanya sebagai pengamat, atau sebagai penonton yang melaporkan peristiwa yang diamatinya kepada pembaca. Gorys Keraf (Tjahjono, 1987: 145-149) membedakan titik kisah atas dua pola utama, yaitu pola orang pertama dan pola orang ketiga. Dalam pola orang pertama, penulis terlibat pada cerita yang ditulisnya. Pola orang ketiga secara eksplisit memakai kata ganti dia, ia, atau nama orang. Dalam hal ini, pengarang berada jauh di luar jalinan kisa itu, tidak ikut dalam segala pola tingkah laku para tokoh dalam cerita yang ditulisnya.
Sementara itu, Sayuti (2000: 159-160) menyebutkan bahwa sudut pandang yang umum digunakan oleh pengarang dibagi menjadi 4 jenis, yakni:
(1) Sudut pandang first person central: tokoh sentral cerita adalah pengarang yang secara langsung terlibat dalam cerita.
(2) Sudut pandang first person peripheral artinya tokoh “aku” biasanya hanya sebagai pembantu atau pengantar tokoh lain yang lebih penting. Pencerita pada umumnya muncul pada awal atau akhir cerita.
(3) Sudut pandang third persont omniscient artinya pengarang berada di luar cerita, dan biasanya pengarang hanya menjadi seorang penmgamat yang mahatahu, bahkan mampu berdialog langsung dengan pembaca.
(4) Sudut pandang third person limited: pengarang menggunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya. Di sini pengarang hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita.

2.5.2 Analisis Unsur Sudut Pandang
Sebagai sebuah fiksi, cerpen MTK tentunya memiliki sudut pandang tertentu. Berdasarkan hakikat sudut pandang di atas, cerpen MTK menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view) yaitu sudut pandang pengarang yang memperlakukan dirinya sebagai diri ketiga (the third person). Pengarang tidak terlibat baik secara langsung maupun tidaka langsung dalam peristiwa yang terjadi dalam cerita. Pengarang berada jauh di luar jalinan kisah itu, tidak ikut di dalam segala pola tingkah para tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Dalam pola ini, pengarang dapat diibaratkan sebagai dalang; orang yang bercerita tetapi tanpa harus terlibat dengan peristiwa yang dialami tokoh-tokoh yang diceritakannya.
Dalam cerpen MTK, pengarang menceritakan apa yang terjadi/yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita yang ditulisnya. Di satu pihak, ia menceritakan nasib tokoh Bupati yang repot dan panik dalam mempersiapkam monumen TKW. Di lain pihak, ia menceritakan tokoh Sureng yang selalu cemas dan panik karena dicurigai menyabotase proyek monumen TKW.


APRESIASI CERPEN (MONUMEN TANPA KEPALA)
MERUJUK PADA KONSEP KEPEMIMPINAN IDEAL

1. Situasi Sosial Masyarakat dalam Cerpen Monumen Tanpa Kepala
Sebuah karya sastra yang bermutu umumnya merupakan hasil penafsiran terhadap kehidupan nyata (Sumardjo,1994:8). Pengarang menulis sebuah karya sastra berdasarkan apa yang mereka lihat dan mereka alami dalam hidupnya. Merka berusaha memahami dan menghayati kondisi sosiologis dan politis pada tempat mereka tinggal. Setelah itu, mereka menerjemahkannya ke dalam medium bahasa sehingga membentuk sebuah karya sastra berupa cerpen, novel, puisi, sajak, dan lain-lain. Karena itu, sebuah karya sastra pasti memiliki suatu tema yang diangkat pengarang dari kehidupan nyata.
Cerpen MTK sebagai sebuah karya sastra, tercipta berdasarkan apa yang dirasakan atau dialami pengarang dalam kehidupannya. Indra Tranggono yang memang hidup di tengah kegoncangan sosial merasakan adanya suatu proses perubahan yang menderu dan menggilas yang seringkali berujung pada tragisme. Tragisme yang tidak semata-mata marah dan geram, tetapi getir. Tragisme yang menyebabkan kesengsaraan dalam segala aspek kehidupan. Dalam cerpen MTK, tragisme tersebut menjadi nyata dalam bentuk penyimpangan dalam proses kepemimpinan.
Cerpen MTK yang dipublikasikan pada Kompas (21 September 1997) mengkritisi ketimpangan tersebut. Angka 1997 menunjukkan tahun-tahun terakhir masa Orde Baru. Indra menciptakan cerpen ini karena ia merasakan kepahitan selama ia berada di bawah kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Soeharto berkuasa lebih dari seperempat abad, sehingga ia menjadi presiden yang paling lama berkuasa di dunia. Namun, selama masa kekuasaannya, roda pemerintahan dipenuhi oleh aksi yang mentragiskan yang semuanya berujung pada chaos. Ada beberapa indikator yang menunjukkan hal itu: partai politik dibatasi hanya tiga (Golkar,PPP, dan PDI), hanya ada satu serikat buruh yang diakui oleh pemerintah; pers sangat dikendalikan; dan militer mendominasi kehidupan politik (Budiman, 1995:81).
Pada masa pemerintahannya, demokrasi hanya menjadi retorika belaka. Tindakan elite politik dan para pemimpin telah melenceng jauh dari yang diharapkan. Aspirasi rakyat tidak diindahkan. Pers yang sebenarnya menjadi sarana yang utama dalam mengontrol roda pemerintahan dibungkam. Ia dilarang untuk mengadakan kritik terhadap pemerintah karena dianggap subversif dan berbahaya bagi stabilitas nasional. Dalam kurun waktu itu, rakyat tidak bebas untuk mengeluarkan pendapat karena takut dicap PKI dan subversif. Ketakutan untuk mengemukakan pendapat semakin merambah ketika ORBA berhasil menjadikan militer sebagai alat untuk mengekang setiap sikap kritis rakyat. Pada titik ini, aspirasi rakyat tidak lebih dari teriakan mubazir tidak bermakna.
Selain itu, tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme telah merajalela di kalangan para pemimpin. Pemerintahan Soeharto runtuh, selain karena sistemnya yang otoriter, juga karena tindak korupsi terhadap miliaran rupiah uang negara demi kepentingan pribadi dan konco-konconya. Benar, apa yang dikatakan Julien Benda (1995:20). Ia pernah menulis bahwa para elite politik dan para pejabat tinggi negara memegang tampuk kekuasaan hanya untuk pemuasan kepentingan (kemauam untuk merebut, mempertahankan harta duniawi) dan untuk pemuasan kesombongan (kemauan untuk merasa diri khas/lain dari yang lain).
Kurangnya penegakan supremasi hukum, juga mewarnai panggung politik kita saat itu. Hal ini terlihat jelas dalam kasus-kasus peradilan yang tidak jelas penanganannya. Ada begitu banyak kasus-kasus ynagn dibiarkan begitu saja. Kurangnya penegakan supremasi hukum juga dapat dilihat dalam proses hukum yang tidak adil..
Cerpen MTK yang diciptakan tahun 1997 tersebut tentunya masih sangat relevan dengan masa sekarang ini. Ketika bangsa kita memasuki masa reformasi, penyimpangan dalam kepemimpinan masih mewarnai panggung politik negara kita. Kondisi ini terlihat jelas pada tindakan kaum elite politik (para pemimpin) yang cenderung mementingkan kepentingan mereka dan mengabaikan kepentingan orang banyak. Di mana-mana kita mendengar kasus KKN yang dilakukan para pemimpin. TAP MPR No. 11/1998-tentang upaya pemberantasan korupsi dalam dua segi, hanya menjadi slogan belaka. Di satu sisi, peraturan ini menyatakan bahwa kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan pejabat pada masa lampau harus diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan. Di sisi lain, harus diambil tindakan preventif supaya perilaku pejabat tidak akan terinfeksi KKN lagi di masa yang akan datang. Namun, selama ini hal tersebut belum tercapai. Kasus-kasus KKN selama ORBA belum satu pun berhasil diajukan ke pengadilan. Tindakan-tindakan preventif juga belum kelihatan. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi sejati belum sepenuhnya terwujud di negara kita.. Kondisi-kondisi seperti inilah yang menjadi dasar bagi Indra dalam menghasilkan cerpennya..Kepemimpinan dijadikannya sebagai tema utama.
Tokoh bupati yang digambarkan Indra Tranggono menjadi representasi para pemimpin yang ada dalam kehidupan nyata. Bupati mendirikan monumen TKW yang sebenarnya ditentang oleh banyak orang. Itu artinya bahwa apa yang dilakukannya itu hanya semata-mata sesuai dengan kehendak pribadinya. Model kepemimpinan seperti ini disebut kepemimpinan yang tidak demokratis. Indra Tranggono menggambarkan situasi kepemimpinan yang tidak demokratis dalam cerpennya..
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang ada di Indonesia bukanlah demokrasi yang sesungguhnya. Memang, secara teoritis, Indonesia menganut paham demokrasi murni, namun secara faktual-objektif indonesia sebenarnya belum menjalankan demokrasi tersebut. Arief Budiman (1995:20) mengemukakan bahwa demokrasi yang ada di Indonesia adalah demokrasi yang terbatas (limited democracy) dan bukan demokrasi yang sejati (genuine democracy). Penjelasan tentang dua tipe demokrasi ini, akan dijelaskan pada bagian 4.2.1.

2. Konsep Kepemimpinan Menurut Cerpen MTK

“Bagaimana saya mesti mempertanggungjawabkan dana ratusan juta? Pak Bupati kembali meradang. Napasnya terengah-engah……”
“…..Begini Pak. Program pengiriman Tenaga Kerja Wanita itu titentang keras berbagai kelompok. Mereka menilai, priyek itu kurang manusiawi……”
“Mereka juga menentang megaproyek m,onumen TKW. Dana ratusan juta itu lebih relevan untuk membangun gedung sekolah…”

Pada kutipan di atas, kita melihat secara tidak langsung adanya reaksi tokoh lain terhadap keputusan tokoh Bupati (pemimpin). Mereka mengatakan “tidak” terhadap keputusan pemimpin mereka, meskipun tanggapan mereka tidak diperhatikan. Mengatakan “tidak” terhadap keputusan pemimpin merupakan salah satu karakter kepemimpinan demokratis. Namun, itu bukan berarti bahwa mengatakan ‘ya” terhadap keputuan pemimpin tidak demokratis. Mengatakan “ya” terhadap keputusan pimpinan juga demokratis, asalkan dengan alasan yang jelas dan logis, dan demi kepentingan bangsa dan negara. Jadi, dalam cerpen tersebut, terdapat perbedaan pendapat antara tokoh Bupati dengan tokoh lainnya. Perbedaan pendapat ini menunjukkan adanya suasana demokrasi.
Dalam cerpen MTK ,Indra Tranggono melukiskan reaksi rakyat terhadap keputusan pemimpin (tokoh Bupati). Namun. reaksi mereka sama sekali tidak diperhatikan oleh sang pemimpin. Buktinya, tokoh Bupati melakukan kembali apa yang ditentang oleh banyak orang. Perhatikan kutipan berikut:

“Jauh sebelum palu keadilan dipukulkan, para tukang batu sudah memukul palu. Memecah batu. Mengecor beton. Membangun kembali monumen TKW. Berliter-litter keringat menetes. Beratus-ratus juta uang kembali mengalir untuk proyek mercusuar yang banyak ditentang itu. “ (alinea…).
Pada kutipan di atas, ditunjukkan ketidakberpihakan tokoh Bupati (pemimpin) terhadap tokoh lain (rakyat). Ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya sama sekali tidak demokratis. Melalui cerpen MTK sebenarnya Indra Tranggono ingin mengkritik keadaan pemerintahan Indonesia saat itu. Melalui kritikannya yang tertuang dalam cerpen tersebut ia ingin mengangkat kembali model kepemimpinan ynag semestinya dijalankan, yakni model kepemimpinan demokratis.
Pada alinea-alinea terakhir cerpen tersebut, diceritakan tindakan tokoh Hakim yang berlaku tidak adil. Ia menjatuhkan keputusan yang sama sekali tidak dipahami. Kutipan berikut menggambarkan hal tersebut.

“Ia terobos kantor polisi, disergap pemeriksaan demi pemeriksaan. Ia terobos pengadilan, disergap pasal-pasal tuntutan dan berhadapan dengan keputusan yang dingion dab angkuh. Ribuan hari dijalaninya di sel yang sumpek, lewat proses yang sama sekali tidak ia pahami. Hanya wajah hakim yang selalu melekat di benaknya. Hakimitu gemetar membacakan putusan. Gemetar memukul palu keadilan.”(alinea….).

Pada kutipan di atas, digambarkan tokoh Hakim yang menjatuhkan putusan yang tidak adil terhadap tokoh Sureng. Kondisi seperti ini, sengaja diangkat Indra karena ia merasakan adanya ketidakadilan dalam proses pemerintahan umumnya dan pengadilan khususnya. Pada masa orde baru bahkan sampai sekarang, ketidakadilan masih mewarnai panggung politik negara kita.
Keadilan merupakan salah satu ciri utama kepemimpinan demokratis. Kriteria negara demokrasi yang berkaitan dengan keadilan seperti ditulis Sudarminta, J (1995:70) adalah bahwa dalam negara demokrasi dituntut persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pembagian pendapatan yang adil. Kedua kriteria ini menunjukkan bahwa negara demokrasi sangat menjunjung tinggi keadilan. Indra Tranggono berusaha memperjuangkan keadilan dengan kritikan melalui cerpennya. Itu artinya, ia secara tidak langsung menuntut supaya keadilan ditegakkan kembali dan pemerintahan yang demokratis dijalankan sebagaimana mestinya.

2.1 Hakikat Kepemimpinan Demokratis
Sebelum memasuki uraian tentang hakikat kepemimpinan demokratis, terlebih dahulu penulis ingin menguraikan beberapa tipe demokrasi seperti yang dimaksudkan pada bagian 4.1.
Pertama, tipe demokrasi bersyarat (licensed demokracy). Tipe ini mengandaikan adanya suatu persyaratan munculnya situasi demokrasi. Tipe ini menunjukkan bahwa adanya kebebasan untuk melakukan kritikan tidak senantiasa merefleksikan eksistensi demokrasi. Kebebasan untuk mengkritik hanya merupakan bukti bahwa ada suasana demokrasi. Suasana yang demokratis dapat saja terjadi tanpa demokrasi. Misalnya, jika pemerintah terlalu kuat, rakyat sipil lemah dan dapat dikritik. Pada akhirnya, segala sesuatu menyerupai pemikiran demokrasi. Jika kritikan terasa teralu jauh, penguasa akan menarik kembali lisensinya dan eksistensi demokrasi akhirnya berhenti.
Kedua, demokrasi terbatas (limited democracy) .Dalam demokrasi ini, kondisi demokrasi memang ada, tetapi itu ada karena terjadi konflik antargolongan di kalangan penguasa. Dalam situasi semacam ini, rakyat tiba-tiba mempunyai kekuatan untuk melakukan kritik terhadap pemerintah, karena golongan yang lain akan mengamankan kelompoknya dari pelbagai macam aksi politik. Ketika konflik selesai, suasana demokrasi ini akan hilang kembali.
Ketiga, demokrasi murni (genuine democracy). Demokrasi ini hanya bisa eksis jika ada perimbangan kekuatan antara pemerintah dan rakyat sipil. Jika kelompok soaial yang ada dalam masyarakat sipil bersatu dan mempunyai kemampuan untuk melindungi hak-hak demokratis mereka melawan pemerintah, barulah demokrasi bisa eksis. Dalam konteks tersebut, rakyat tidak hanya mempunyai kebebasan untuk menkritik pemerintah, tetapi juga mempunyai kekuatan untuk menjatuhkan pemerintah. Konsep demokrasi yang diuraikan berikut adalah konsep demokrasi yang ketiga yakni demokrasi murni (genuine democracy).
Kata demokrasi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu demos dan kratein. Demos berarti rakyat dan kratein berarti berkuasa. Secara etimologis, dermokrasi berarti rakyat yang berkuasa atau kekuasaan rakyat. Namun, pengertian ini bukan berarti bahwa rakyat berkuasa penuh dalam proses pemerintahan negara. Magnis Suseno (2001:290) mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bukan berarti bahwa segala keputusan harus diambul langsung oleh rakyat dan seluruh proses pemerintahn diatur sepenuhnya oleh rakyat. Kedaulatan rakyat atau kekuasaan rakyat bermaksud bahwa pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kontrol warga negara ini berlangsung melalui dua sarana, yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung, yaitu melalui pemilihan para wakil dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pemerintah. Kontrol dari warga negara merupakan basis bagi para pemimpin dalam mengambil keputusan dan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Negara yang menganut paham demokratis berpedoman pada keyakinan bahwa tidak ada orang atau sekelompok orang yang dengan begitu saja berhak untuk mengatur dan memerintah orang lain. Seseorang memiliki wewenang untuk mengatur orang lain jika ia telah disetujui oleh warga masyarakat sendiri. Ia harus menang dalam sebuah pemilihan. Giddens (2001:67) mengtakan bahwa demokrasi merupakan sebuah persaingan yang efektif di antara partai-partai politik untuk merebut posisi kekuasaan. Dalam demokrasi ada pemilu yang teratur dan jurdil, yang di dalamnya semua anggota masyarakat dapat mengambil bagian. Agar bisa menduduki sebuah posisi seorang harus menang dalam persaingan tersebut. Kemenangan dalam persaingan ditentukan oleh adanya persetujuan warga masyarakat (berdasarkan sura terbanyak). Untuk itu, orang yang kalah harus menerima kekalahannya dengan sportif. Tentang hal ini, K. Bertens (2000:30-33) mengatakan bahwa demokrasi harus dijalankan loyalitas. Artinya, sistem, demokrasi mengandaikan adanya kesediaan untuk menerima kemenangan mayoritas.
Dalam mengambil keputusan dan menjalankan roda pemerintahan, seorang pemimpin demoktratis selalu berpegang pada apa yang menjadi keinginan rakyat. Suara rakyat harus dijadikan dasar untuk bertindak karena suara mereka merupakan cerminan dari suara hati mereka. Pemimpin selalu mengikutsertakan rakyatnya dalam penyusunan recana dan keputusan. Untuk itu, setiap pendapat dan ide seseorang perlu diperhatikan. Setyawati (2003:321) mencatat bahwa di alam demokjrasi, pandangan setiap pribadi dihargai. Setiap orang diberi kesempatan untuk berbicara, untuk mengungkapkan pikirannya, untuk mempertahankan argumentasinya, dan untuk berbeda pandangan dengan orang lain bahkan dengan pemimpinnya. Dalam bahasa yang lain, Ignas Kleden (1999:245-246) mengatakan bahwa dalam demokrasi, para pemimpin politik dituntut suatu tingkat toleransi terhadap pelbagai pendapat yang berbeda. Seorang pemimpin seharusnya mengambil keputusan setelah meninjau semua pendapat yang ada. Pemimpin juga harus berbudaya politik yang didasarkan pada pengendalian diri.
Kepemimpinan demokratis merupakan kepemimpinan yang berwatak atau bercorak demokrasi. Kepemimpinan yang menganggap bahwa semua orang adalah penting (every person is important) dan yang mencerminkan adanya kesempatan bagi anggota untuk mengambil bagian dalam tugas bersama atau keanggotaan asdalah partisipasi (membership is participation) (Gultom,1994:81-82). Kepemimpinan demokratis selalu menitikberatkan perhatian utama pada manusia.

2.2 Partisipatif: Inti Kepemimpinan Demokratis
Model kepemimpinan demokratis merupakan model kepemimpoinan yang paling pupuler dewasa ini. Salah satu yang amat menonjol dan menjadi inti kepemimpinan ini adalah apa yang disebut partisipatif. Para anggota berpartisipasi dalam kegiatan kepemimpinan, seperti dalam kesempatan mengambil keputusan. Partisipasi menekankan keterlibatan rakyat dalam mengoperasi atau mengatur sebuah wilayah atau sebuah organisasi. Partisipasi merupakan suatu sumbangan penting untuk membangun sebuah wilayah atau lembaga yang efektif. Partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi anggota-anggota sehingga mendorong mereka dalam usaha mencapai tujuan dengan cara melaksanakan tanggung jawab masing-masimg (Tambunan, 1995:75). Partisipasi merupakan suatu pola kepemimpinan yang dapat meningkatkan pelaksanan pekerjaan dalam suatu lemabag. Partisipasi mengandung suatu potensi yang luar biasa untuk membagun kesatuan kerja. Dalam kepemimpinan demokratis, kesatuan kerja terjalin antara rakyat dan pemerintah. Dalam sistem ini, rakyat menyalurkan aspirasi mereka—sebagai bentuk partisipasi—melalui lembaga khusus yaitu DPR. Sebagai jembatan penyalur aspirasi rakyat, DPR harus mengetahui kebutuhan rakyat dan menjalin hubungan yang baik, baik ke atas (menilai pemerintah) maupun ke bawah (penyalur aspirasi). Dengan demikian, kerjasama yang baik dapat terwujud.
Dalam cerpen MTK, partisipasi ditunjukkan oleh keterlibatan tokoh lain dalam menilai tindakan tokoh Bupati walaupun partisipasi mereka tidak diindahkan. Buktinya, keterlibatan mereka menimbulkan suatu pertentangan. Kutipan berikut secara tidak langsung menunjukkan pertentangan antara tokoh yang tidak dikenal dengan tokoh Bupati dan stafnya.
"Bagaimana saya mesti mempertang­gungjawabkan dana ratusan juta?" Pak Bupati kembali meradang. Napasnya terengah-engah. Beberapa detik berlalu tanpa suara.
"Maaf Pak. Berdasarkan laporan tim investigasi, temyata kasus ini tidak mur­ni kriminal, " seorang staf memberanikan diri bicara. Keheningan retak. Pak Bupa­ti dan beberapa staf yang lain terhenyak. Mereka saling memandang.
"Maksudmu?"…...
"Begini, Pak. Program pengiriman TKW itu ditentang keras berbagai ke­lompok. Mereka menilai, proyek itu ku­rang manusiawi. "
. "Mereka juga menentang megaproyek monumen TKW. Dana ratusan juta itu, lebih relevan untuk membangun gedung sekolah... "
"Soal monumen itu'kan soal citra. Dan kita sangat butuh itu. Iya'kan?! Eeee ... lan­tas bagaimana dengan tiga penjaga malam yang kini jadi tersangka?" "Diduga keras mereka sekadar menjadi kuda tunggangan pihak ketiga. Tapi maaf Pak, kami belum mampu me­nunjukkan bukti-bukti."

Kepemimpinan demokrasi-partisipatif tentunya dipimpin oleh seorang pemimpin yang partisipatif pula. Pemimpin yang partisipatif selalu memberi perhatian besar pada rakyatnya.. Ia suka berkonsultasi dengan anggotanya, memberikan mereka masalah-masalah, dan mengajak mereka untuk memecahkannya. Kegiatan ini bukan berarti bahwa pemimpin bersikap otoriter, bukan pula seprang pemimpin yang bebas dari tanggung jawab.. Pemimpin partisipatif merupakan seorang yang bertanggung jawab, yang tetap menjalankan tugasnya dalam lembaga atau organisasi yang dipimpinnya. Ia belajar membagikan tanggung jawab dengan mereka yang melaksakan pekerjaan atau dengan anggotanya.
Emil H. Tambunan (1995:76-78) mengatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi seseorang ke dalam suatu situasi kelompok, dan hal ini akan mendorongnya untuk turut memberi sumbangan kepada kelompok untuk mencapai tujuan dan untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Ada tiga ide pentinga dalam pengertian ini. Pertama, partisipasi merupekan ketyerlibatan mental dan emosional. Keterlibatan mental dan emosional melebihai kegiatan otot. Pengerytian partisipasi ini lebih menekankan pikiran yang logis daripada kegitan fisik. Kedua, usaha memotivasi manusia supay memberi sumbangan pikiran dan tenaga. Mereka diberi kesempatan untuk mengemukakan inisiasi dan kreasi mereka. Yang penting dalam ide ini adalah pemanfaatan kreatifitas anggota dalam suatu organisasi atau lembaga. Ketiga, mendorong anggota untuk m,enerima tanggung jawab. Hal ini merupakan suatu proses sosial yang mengikutsertakan anggota secara perorangan dalam sutau lembaga atau organisasi.
Partisipasi merupakan salah satu sumbangn pikiran yang amat berharga dalam uasaha meningkatkan keefektifan seseorang dalam mengoperasi suatu lembaga atau organisasi. Dari uaraian di atas, kita dapat menyimpulkan ciri-ciri kepemimpinan yang partisipatif, yaitu (1) Pemimpin percaya kepada anggotanya/rakyatnya, (2) Terbuka dalam berkomunikasi, (3) Kepemimpinan bersifat suportif, (4) Aspek kemanusiaan menjadi perhatian yang utama, (5) Pemecahan suatu masalah dilakukan secara bersama-sama, (6) Membagi informasi secara luas

2.3 Kepemimpinan Demokratis: Idealisme dan Motivasi
Pada bagian sebelumnya, dituliskan bahwa cerpen MTK merupakan sutu bentuk kritikan terhadap kondisi kepemimpinan saat itu. Kritikan Indra yang tertuang dalam cerpen tersebut merupakan akomodasi dari sejuta jeritan warga negara Indonesia yang mendambakan keadilan dan demokrasi. Keadilan dan demokrasi harus ditegakkan karena mereka dan kita semua yakin bahwa demokrasi merupakan sistem yang paing tepat untuk menciptakan masyrakat adil an makmur dan untuk mencapai cita-cita masyarakat kita.
Emil Tambunan (1995:65-67) mengatakan bahwa pola kepemimpinan demokratis bertolak dari idealisme kebudayaan kita dan model kepemimpinan ini sesuai dengan perkembangn dan kebutuhan zaman kita. Idealisme kebuyaan kita adalah menggarisbawahi tuyjuan kita, maksud masyarakar kita, dan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat kita. Ada tiga konsep dari idealisme kebudayaan kita ini yang sangat relevan dan fundamental jika dihubungkan dengan kepemimpinan demokratis.
Pertama, menjelaskan harkat dan martabat manusia sebagai suatu individu. Dalam hal ini manusia menduduki urutan utama dfalam lingkup kepemimpinan daripada benda dan material. Sehala urusan dan proses kepemimpinan haruis lebnih mengutamakan manusia. Kesejahteraan manusia menjadi prioritas yang utama. Manusia sebagai makhluk yang berakal budi harus dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Idealisme kedua menunjuk pada pemanfaatan kuasa intelek untk memecahkan suatu masalah. Pad umumnya, pemimpin di[ilih karena memiliki kelebihan dan memiliki kackapan yang khusus yang akan dimanfaatka untuk kepentingan bersama. Selain intelek, manusia juga memiliki emosi yang berpengaruh terhadap kuasa intelek. Namun, jika intelek dan emosi berjala secara bersama-sama dalam proses kepemimpinan, maka akan membantu dalam memecahkan masalah bersama dan untuk kesejahteraan manusia.
Idealisme ketiga menunjuk pada keyakinan atas kerjasama kelompok dalam usaha memecahkan pelbagai masalah. Untuk itu, anggota kelompok perlu menyumbangkan ide atau gagasan-gagasan. Dengan demikian, mereka akan lebih menyadari tanggung jawab mereka dan dapat meningkatkan dedikasi mereka dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Kepemimpinan demokratis sangat berperan dalam mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat mengalami perbaikan dan perubahan yang pada akhirnya mencapai kesejahteraan seluruh anggota. Untuk itu, pemimpin dan anggotanya perlu bekerjasama untuk mencapai tujuan tersebut.
Kepemimpinan demokratis merupakan kepemimpinan yang paling digemari banyak orang. Tetapi, model kepemimpinan ini bukanlah timbul secara tiba-tiba. Bukan pula sebagai akibat kebijaksanaan yang dibuat oleh mereka yang menduduki jabatan pentung. Kepemimpinan ini merupakan suatu hasil motivasi yang lahir dari hati manusia, dan secara sadar menunjukkan prestasi kerja yang tinggi (1995:67). Secara ilmiah manusia memiliki motivasi yang tinggi, damn seorang pemimpin harus mengetahui hal tersebut. Seorang pemimpin yang berusaha menekankan pola kepemimpinan demokratis harus memiliki keyakinan-keyakinan sebagai berikut:
(1) Kesejahteraan masyarakat terjamin atas dasar terpenuhnya kesejahteraan masing-masing individu.
(2) Keputusan diambil secara bersama-sama. Keputan bersama lebih kuat dan serasi daripada keputusan perorangan.
(3) Setiap pikiran atau ide harus didengar secara terbuka
(4) Setiap anggota berhak menyampaikan gagasan
(5) Demokrasi harus menjadi pedoman hidup
(6) Kemajuan datang dari kelompok, bukan dari luar.
(7) Metode demokrasi merupakan metode yang lebih efisien
(8) Sitiap orang tidak tergantung satu sama lain
(9) Saling mengisi dalam kelompok. Menghormati satui sama lain merupakan komponen penting dalam kepemimpinan demokratis.

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan tentang ciri-ciri kepemimpinan demokratis. Ada tujuh ciri yang mandasar dari kepemimpinan demokratis.
(1) Prosesnya meningkatkan kemampuan pribasdi dalam usaha menyesuaikan diri, membantu memecahkan permasalahan, menolong dan anggota untuk memperolah kepuasan hati, memelihara gerak emosi, dan untuk bertumbuh dalam sikap dan tingkah laku yang matang.
(2) Kepemimpinan harus dapat mengembangkan dan meningkatkkan daya dan potensi seriap anggota kelompok untuk kebaikan umum.
(3) Kepemimpinan harus dapay menyusun peratura, menjalankan keputusan dan kebijakan lainnya dengan baik.
(4) Kepemimpian harus dapat membantu anggota kelompok untuk mendapatka suatu konsensus.
(5) Kepemimpinan itu datang dari dalam kelompok dan bukan dari luar. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus bisda menyesuaikan diri dengan anggota kelompok. Jika ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik maka ia akan gagal dan kurang mendapat pengakuan sebagai seorang yang berbobot.
(6) Kepemimpinan itu ditandai oleh adanya tindakan bersama dalam memecahkan masalah, dan bukan menjadi hak istimewa seseorang.
(7) Kepemimpinan diukur sesuai dengan apa yanng berlaku kepada orang lain.

2.4 Kualitas Seorang Pemimpin Ideal
Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan keahlian tertentu, agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Secara umum, ada tiga macam keahlian dasar yang harus dimiliki seorang pemimpin (Mal Hutton, 1975 via Rustandi, 1987: 54-55). Pertama, Keahlian teknis (technical skill). Keahlian teknis ini berkaitan dengan metode, proses,dan prosedur yang dijalankan. Keahlian teknis ini meliputi: Pengetahuan tentang prosedur, Penulisan laporan, Kemampuan menyampaikan gagasan secara lisan, dan Daya ingat. Kedua, Keahlian konseptual (conceptual skill). Keahlian konseptual meliputi: Pengetahuan umum, Daya nalar, Kepastian dalam mengambil keputusan, dan Berpikir kreatif. Ketiga, Keahlian kemanusiaan (human skill). Keahlian ini meliputi: Kerjasama, Kemampuan meramal, Kemampuan bermasyarakat, dan Kemampuan untuk bertindak adil
Sementara itu, Pierson (Tambunan, 1995:71) dalam bukunya “So You Want To Be A Leader” mengemukakan sepiluh kualitas yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu: Seorang yang beribadah (spiritual man); Seorang yang berpandangan jauh ke depen (man of vision); Seorang pengamal ajaran Kitab Suci; Seorang yang rendah hati (humble man); Seorang yang suka memahami (man of understanding); Seorang yang sbar (patient man); Seorang yang memahami tanggung jawab dan maksud (man of responsibility and purpose); Seorang yang berani (man of courage); Seorang yang berpendirian teguh (man of integrity); Seorang yang setia dan jujur (loyal and honest man).
Kepemimpinan yang demokratis hanya dapat berjalan apabila sang pemimpin memimpin dengan cara-cara yang demokratis dan memimpin dengan cara yang demokratis pula. Seorang pemimpin demokrat harus menumbuhkan kultur demokrasi, seperti bersikap moderat, respek atas keberagaman, bersedia kompromi untuk batas ke[pentingan bersama, toleransi atas perbedaan dan menjadikan prosedur demokrasi sebagai satu-satunya aturan (the only game in town), Orang yang berjiwa dermokratis adalah orang yang: Mengakui dan menghormati hak-hak orang lain; Menghargai dan mau mendengar pendapat orang lain, meski berbneda dengan pendapat sendiri; Berani dan mau mengemukakan pendapa meskipun mengetahui bahwa pendapatnya berbeda dengan pendapat orang lain; Mau menerima dan melaksanakan keputusan bersama meskipun tidak sesuai dengan pendapat sendiri.
Pemimpin yamg berjiwa demokratis akan menjalankan kepemimpinannya dengan cara yang demokratis pula, yaitu: Memberimkesempatan, bahkan mendoong bawahan untuk berinisiatif dan berpartisipasi aktif; Mengusahakan agar bawahannya berkembang; Mengkordinasi pekerjaan dan menggalang kerjasama denagn menekankan rasa tanggung jawab; Meyakinkan bawahan akan pentingnya tugas bersama dan kepentingan bersama (Gultom,1994:82)

3. Mengembangkan Kepemimpinan Demokratis
Gultom (83) mengmukakan tiga cara untuk mengembangkan kepemimpinan demokratis. Ketiga cara itu adalah pengembangan teori, pendidikan kader dan pelembagan atau penerapan dalam organisasi/komunitas secara konkret.
Konsepsi kepemimpinan demokratis masih dalam proses pencarian dan penngenbangan. Untuk itu, studi tentang kepemimpinan dan demoktrasi perlu dilanjutkan dengan memperhatikan kepemimpinan dalam masyarakat tradisional dan pendapat-pendapat cendikiawan tentang kepemimpinan.
Perguruan Tinggi turut berperan dalam pengembangan kepemimpinan demokratis dengan mencantumkan kepemimpinan dalam kurikulum, dengan melakukan pelbagai latihan dan praktek kepemimpinan Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Pelbagai organisasi melalui apa yang lazim disebut pendidikan kader, mempunyai kesempatan sekaligus tanggung jawab dalam pengembang kepemimpinan demokratis. Dalam kegiatan-kegiatan itu dikembangkan dan dirumuskan teori-teori dan teknik-teknik kepemimpinan dalam alam domokrasi sehingga sosok kepemimpinan demokratis semakin tampak.

KESIMPULAN
Kesusteraan tidak terlepas dari kenyataan kehidupan. Kesusasteraan pada hakikatnya mengarah pada pembentukan dan pencapaian nilai-nilai yang penting bagi kehidupan. Sastra merupakan produk masyarakat. Ia berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan rasional masyarakatnya (Sumardjo, 1982:12). Sastra biracial daru masyarakat karena mencerminkan kehidupan masyarakat itu pula. Melelui sastra, kita dapat mengetahui dan mendalami tentang manusia, dunia dan kehidupan. Manusia dapat menghayati arti kehiduannya melelui karya sastra. Pesan yang disampaikan merupakan makna ynag harus ditelaah. Dari hubungan antara karya sastra dan kehidupan, kita dapat mengambil kesimpulan dari hasil analisis terhadap cerpen MTK.
Pertama, cerpen merupakan salah satu bentuk karya sasta. Cerpen dapat dijadikan objek kajian yang menarik untuk menelaaha aspek kehidupan manusia. Pelbagai peristiwa yang menarik dan perspektif dapat diungkapkan melalui cerpen. Makna sebuah cerpen dapat diketahui melalui analisis unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun tubuh karya sastra yang terdiri dari: tema, tokoh, latar, alur, dan sudut pandang. Penelitian terhadap unsur ekstrinsik berarti menganalisis isi cerpen dalam hubungannya dengan dimensi kehidupan manusia.
Kedua, proses analisis terhadap karya sastra mengandaikan adanya pemahaman yang baik terhadap unsur-unsur yang menopang sebuah karya sstra. Pemahaman terhadap unsur-unsur karya sastra menjadi bagian yang mutlak dalam pemaknaan karya sastra. Menganalisis sebuah cerpen mengharuskan menggunakan unsur pembangun yang teoritis.
Ketiga, analisis terhadap cerpen MTK dilakukan dengan berpedoman pada unsur-unsur intrinsik. MTK dianalisis berdasarkan tema, tokoh, alur, latar, dan sudut pandang. Dari analisis tersebut, dalam hubungannya dengan tema, MTK menampilkan sebuah tema tunggal yaitu masalah kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan masalah yang paling penting dalam kehidupan manusia. Perhatian pada manusia merupakan hal yang pokok dalam kehidupan manusia. Manusia perlu mendapat motivasi dan penghargaan. Hal ini sangat berkaitan dengan erat dengan moral dan martabat manusia. Membuat manusia sebagai aset utama yang potensial adalah tanggung jawab seorang pemimpin yang benar-benar memperhatikan moral dan martabat manusia. Dalam hal ini, pemimpin demokrat merupakan figur yang paliong tepat dan kepemimpinan demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang harus dijalankannya. Kepemimpinan demokratis merupakan keemimpinan yang menekankan bahwa semua orang penting (every person is important) dan keanggotaan adalah partisipasi (membership is participation).
Keempat, hasil analisis terhadap cerpen MTK menunjukkan secara jelas bahwa pengarang mendasarkan diri pada kehidupan. Pengarang telah mengolah aneka kenyataan dalam bentuk apresiasi terhadap karya sastra. Segala masalah dalam kehidupan menjadi objek kajian yang menarik untuk dikaji lebih mendalaM

SUMBER RUJUKAN
Ajidarma, Seno Gumira. 1995. Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Kumpulan Cerpen. Jakarta: Subentra Citra Pustaka.
Benda, Julien.1999.Pengkhianatan Kaum Cendikiawan.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Bertens,K.2000. Perspektif Etika. Yogyakarta:Kanisius.
Denny,J.A.1999.”Debat Publik Atas Reformasi” dalam Frans M.Parera dan T.Jakob Koekerits (Peny.).Reformasi Kehidupan Bernegara.Jakarta:Harian KOMPAS.
Eneste,Pamusuk.1994.Kamus Sastra.Ende: Nusa Indah.
Faruk, H.T. 1994. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gidens,Anthony.2001. Runaway World. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Gultom,R.M.S.1994.”Mengembangkan Kepemimpinan Demokratis” dalam Yohanes Mardimin (Ed.). Jangan TangisiTradisi. Yogyakarta: Kanisius.
Hardjana, Andre. 1991. Kritik Sastra: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Kleden,Ignas.1999.”Pemimpin,Lembaga Politik dan Teori Politik” (245-246) dalam Reformasi Kehidupan Bernegara. Jakarta:Harian KOMPAS.
Kosasih,E.2001.Kompetensi Ketatabahasaan. Bandung:YRAMA WIDYA.
Luxemburg, J.P dkk. 1992. Penganta Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Mido,Frans X.1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya.Ende:Nusa Indah.
Noor, Agus (Ed.).2000. Sang Terdakwa (Kumpulan Cerpen Indra Tranggono). Yogyakarta: Tarawang.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. "Sastra Sebagai Pemahaman Antarbudaya". Cakrawala Pendidikan Nomor 3, Tahun XIV, November 1995.
Pradopo,Rachmat djoko.1994.Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rampung, Bonefasius. 2000. Dimensi-dimensi Humanitas Derabat (Suatu Tinjauan Sosio-Struktural) dan Implementasinya dalam Pendidikan Nilai di SMU. Skripsi. Yogyakarta:Universitas Sanata Dharma.
Riberu,J.1978.Dasar-Dasar Kepemimpinan. Jakarta: LUCEAT.
Rustandi,Achmat.1987.Gaya Kepemimpinan (Pendekatan Bakat Situasional). Bandung:Armico.
Saadie, Ma'mur.1997. "Merenungi Nasib Pengajaran Sastra". Horison XXXI/I5/1997
Santaso,Puji.1995.Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan dalam Tanya Jawab.Jakarta:Nusa Indah.
Sayuti,Suminto.2000.Berkenelan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta:Gama Media.
Sudarminta,J.1995.”Cita-cita Demokrasi dan Kendala Perwujudannya di Indonesia” dala Alex Lanur (Ed). Pancasila sebagai Ideologi Terbuka:Problema dan Tantangannya.Kanisius:Yogyakarta.
Sukada, Made. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia, Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung:Angkasa.
Sumarjo,Yakub.1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta:Nur Cahaya.
Sumardjo, Jakob dan Saini K M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Suseno, Frans Magnis.2001.”Cita-cita Negara Hukum Demokratis Modern” (hal.290) dalam Etika Politik. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tjahjono,Liberatus Tengsoe.1987. Sastra Indonesia:Pengantar Teori dan Apresiasi.Ende:Nusa Indah.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



Lampiran Cerpen

Monumen Tanpa Kepala
Cerpen Indra Tranggono
Kompas Minggu, 21 September 1997 hlm. 21

LENGKINGAN sirine mengiringi terbukanya selubung kain kuning. Pelan-pelan kain itu tersingkap.
Gamelan monggang bertalu. Mu­lai tampak sebagian badan monu­men perunggu setinggi sepuluh meter itu. tamu-tamu undangan bertepuk riuh. Pak Gubemur, seusai menekan tombol itu, menjabat tangan Pak Bupati yang tersenyum bangga. Namun, mendadak gamelan itu terhenti. Para tamu undang­an kaget. Begitu kain selubung itu terbu­ka seluruhnya, mereka melihat peman­dangan aneh. Monumen TKW, tenaga kerja wanita itu, berdiri tanpa kepala.
Pak Gubemur gusar. Pak Bupati ce­mas. Dalam bahasa yang sulit ditangkap, ia mencoba menenangkan Pak Guber­nur. Namun, Pak Gubernur segera beranjak dari kursi. Suasana berubah gaduh. Pak Bupati tampak terguncang. Empat orang pengaman memapahnya. Istri Pak Bupati menggosok tengkuk dan dada suaminya dengan balsem. Bebera­pa petugas lainnya, lengkap dengan se­napan, mengamankan tempat. Terde­ngar sign dan hiruk-pikuk percakapan dalam pesawat genggam. Beberapa petu­gas yang lain sibuk menghalau warta­wan yang mencoba mencegat Pak Bupa­ti. Dengan gerakan yang sangat terlatih mereka segera membawa Pak Bupati masuk mobil dinas.
No Comment ... no comment ujar Pak Bupati dari balik kaca mobil. Suara terengah-engah.
"Tunggu! Secepatnya kami bikin jum­pa pers. Jangan tergesa bikin kesimpul­an. Tungggu pernyataan resmi! " ujar Pa­warto, humas pemda. Cemas.
"Apakah ada unsur-unsur politis?"de­sak wartawan.
"Kami akan mengusut tuntas.
"Bagaimana dengan isu manipulasi ... ?"
"Ah itu hanya gosip. Gosip! " masih de­ngan wajah cemas, Pawarto bergegas masuk mobil dinasnya yang mengkilap.

SURENG gemetar membaca head­line "Monumen TKW Tanpa Kepala" di koran Teraju Bangsa. Judul yang ditulis dengan huruf kapital itu mencolok matanya. Jantungnya berde­tak sangat keras, dipicu kalimat: tiga orang dinyatakan menjadi tersangka, mereka adalah Bt, Kt dan Sr. Tiga inisial itu segera diketahui Sureng. Bt adalah Bendot dan Kt adalah Klantung. Sedang Sr tak lain adalah dirinya. Bt dan Kt su­dah diamankan, tulis koran itu, Sedang­kan Sr dinyatakan buron.
Sureng merasakan dadanya sesak. Keri­ngat dinginnya bercucuran. Berbagai pe­rasaan teraduk dalam rongga dadanya. Entah sudah berapa kali ia menyulut rokok. Menghisapnya kuat-kuat, kemu­dian menghembuskannya. Asapnya me­menuhi ruangan warung yang tampak te­maram diterobos sinar lampu minyak itu.
"Tambah kopinya, Mas?" ujar penjual. Sureng tergeragap dan segera mengangguk. Bayangan monumen TKW tan­pa kepala itu masih menguasai benak­nya. Ia minta sebutir tablet antisakit ke­pala, yang langsung ditelannya bersama pisang rebus yang dikunyahnya. Pan­dangan Sureng menerawang jauh me­nembus kepulan asap, menembus hawa dingin yang menusuk, menembus langit-­langit warung. Menembus wajah istri­nya, Warsiyah dan anaknya, Brojol. Ke­rinduan menggigitnya kuat-kuat. Berpi­sah selama hampir dua bulan membuat­nya tidak sekadar rindu, tapi juga cemas.
"Lebih baik Bu Warsiyah terus-terang. Siapa saja yang telah menghubungi Pak Sureng, sebelum peristiwa ini terjadi?" ujar petugas dengan ramah. Dengan ku­mis tipis, petugas tampak bersih dan tampan.
Warsiyah diam. Kepalanya tertunduk. Ruangan hening. Suara kipas angin ruangan terdengar keras.
"Tentu Bu War tidak menginginkan pemeriksaan ini berlangsung lebih lama lagi. Iya 'kan?"
"Tapi saya benar-benar tidak tahu Pak. "
"Mosok? Apa sih susahnya menyebut nama? Ini menentukan nasib suami An­da! Atau barangkali justru Anda me­mang ingin susah?"
Warsiyah gemetar. Peluh menguasai tubuhnya. Petugas menyulut rokoknya. Menawarkan teh hangat kepada Warsiyah dengan perangai yang mendadak ramah.
"Coba sebutkan seluruh nama saudara Pak Sureng dan saudara Bu War. Leng­kap dengan alamatnya... " Petugas itu menyodorkan kertas dan bolpoin. De­ngan perasaan tertahan ia meninggalkan ruangan. Ia tampak membisikkan sesua­tu kepada temannya, petugas lain, yang bergantian memeriksa Warsiyah.
SURENG sudah berganti angkutan kota enam kali. Berpindah dari bus yang satu ke bus yang lain. Menjelajah berbagai jurusan. Berbagai kota disinggahi dan ditinggalkan. Na­mun perjalanan yang sangat melelahkan itu tidak juga mampu menghilangkan kecemasannya. Laki-laki berusia 37 ta­hun itu merasakan setiap tatapan mata selalu mencurigainya. Setiap tempat di­rasakan penuh dengan mata, penuh de­ngan telinga yang siap membidiknya. Setiap butir-butir udara dirasakan selalu mengawasinya...
Barangkali hanya bulan dan gemericik air sungai yang dirasakan tulus mene­maninya. Ia sedikit terhibur menatap bu­lan di dasar sungai. Bulan itu bergoyang ditingkah gemercik air yang menjelma orkestrasi alam. Angin yang begitu len­tur dan piawai memainkan irama air, mempersembahkan musik alam yang in­dah. Bulan bagaikan penari yang luwes bergoyang. Ia, bulan itu, kadang-kadang tampak lonjong, berkerut-kerut diter­jang arus air. Dan ketika air tenang kem­bali, bulan itu tampak utuh. Berwibawa.
Menatap lekat-lekat bulan itu, Sureng seperti menatap wajahnya: menggigil sendirian. Bayangan cahaya bulan itu memudar ketika sebuah kerikil jatuh menggelinding ke sungai. Sureng tergagap oleh gemeretak daun-daun kering terinjak kaki. Kecemasan pun kembali mengurungnya. Detak jantungnya ma­kin keras. Sangat keras. Angin mati. Ke­gelapan dirasakan padat. Menekannya.
Dalam temaram bulan, dilihatnya be­berapa sosok manusia mengendap-endap. Dan mendadak sosok-sosok hitam itu menyergapnya. Sureng kaget. De­ngan gerak refleks ia mencoba melolos­kan diri. Beberapa tangan yang berusa­ha membekuknya itu hanya menangkap udara. Sureng meloncat ke sungai. Bebe­rapa sosok hitam itu mencoba mengejar. Namun terlambat. Di bawah sorotan lampu baterai mereka hanya meli­hat bunga-bunga air. Seseorang menco­ba mengarahkan pistolnya. Tapi sese­orang yang lain mencegahnya.
"Biarkan dia mati sendiri! "
Mereka bergegas meninggalkan tem­pat. Dari kejauhan terdengar deru mobil yang sudah lama menunggu.
PAK Bupati menggebrak meja. Para stafnya tak ada yang berani bicara. Kepulan asap menguasai ruangan. puntung-puntung rokok menumpuk da­lam asbak.
"Bagaimana mungkin kita bisa keco­longan?! Demi proyek ini, saya pertaruh­kan seluruhnya. Jabatan saya, leher saya. Bahkan nyawa! " Pak Bupati menggo­sokkan balsem di tengkuknya. Bau bal­sem itu merebak ke seluruh ruangan. Sa­tu persatu orang-orang gemetar memati­kan rokoknya.
"Monumen itu menjadi tanda keber­hasilan kita sebagai pemasok tenaga ker­ja wanita terbesar di negeri ini. Dus, itu berarti kita menjadi pelopor dalam soal mengurangi pengangguran. Pemerintah pusat sangat respek kepada kita. Tapi sekarang ... ?" Pak Bupati mengedarkan pandangan. Para staf tetap bungkam. Ke­pala mereka tertunduk. Gelas-gelas masih utuh. Tak ada yang berani menyentuh.
"Bagaimana saya mesti mempertang­gungjawabkan dana ratusan juta?" Pak Bupati kembali meradang. Napasnya terengah-engah.
Beberapa detik berlalu tanpa suara.
"Maaf Pak. Berdasarkan laporan tim investigasi, ternyata kasus ini tidak mur­ni kriminal, " seorang staf memberanikan diri bicara. Keheningan retak. Pak Bupa­ti dan beberapa staf yang lain terhenyak. Mereka saling memandang.
"Maksudmu?" desak Pak Bupati sambil tangannya meletakkan obat gosok dan me­raih teh panas di depannya. Para staf pun mengikutinya, ramai-ramai meraih gelas dan meminumnya. Suasana rapat sedikit mengendor. Bahkan ada yang sudah berani menyalakan rokok, ketika dilihatnya Pak Bupati muylai merokok.
"Begini, Pak. Program pengiriman TKW itu ditentang keras berbagai ke­lompok. Mereka menilai, proyek itu ku­rang manusiawi. "
"Tapi, bukankah para TKW itu seka­rang hidup lebih baik? Mereka bisa ba­ngun rumah, beli tivi, menyekolahkan anaknya... Bukankah itu berarti ada pe­ningkatan dari prasejahtera menjadi se­jahtera bahkan sangat sejahtera? Iya 'kan ... iya 'kan?! "
Para staf mengangguk bersama. Se­rempak.
"Mereka juga menentang megaproyek monumen TKW. Dana ratusan juta itu, lebih relevan untuk membangun gedung sekolah... "
"Soal monumen itu 'kan soal citra. Dan kita sangat butuh itu. Iya 'kan?! Eeee ... lantas bagaimana dengan tiga penjaga malam yang kini jadi tersangka?"
"Diduga keras mereka sekadar menjadi kuda tunggangan pihak ketiga. Tapi maaf Pak, kami belum mampu me­nunjukkan bukti-bukti."
Wajah Pak Bupati mendadak kembali mengkerut. Parit-parit di wajahnya tam­pak menajam. Beberapa kali ia menyeka wajahnya yang basah keringat. Ia meng­hela napas dan melepaskannya dengan sentakan yang agak keras.
SURENG menarik napas dan meng­hembuskan kuat-kuat. Semula ia sudah pasrah jika arus air itu men­jadi jalan Tuhan untuk mengambil nya­wanya. Namun, pikirnya, barangkali Tu­han menghendaki lain. Tubuh Sureng tersangkut di akar pohon besar di ping­gir sungai. Orang-orang desa menolong­nya. Ia pun melanjutkan perjalanan gelisahnya. Menempuh ratusan, bahkan ribuan kilometer waktu. Monumen TKW terus menguntitnya. Ia ingat betul, sebe­lum peristiwa hilangnya kepala tiga pa­tung wanita itu, tak ada kejadian yang istimewa. Seminggu sebelum peresmian, tempat itu dijaga cukup ketat. Bersama Bendot dan Klantung, ia hanya menjadi tenaga bantuan. Posisi mereka dari mo­numen itu sekitar 500 meter.
Ingatan itu membuat dadanya sesak. Asma yang diidapnya dirasakan kam­buh. Tapi, ia mencoba melawan penya­kitnya itu. Ia sedikit gembira. Tubuhnya dirasakan lebih kuat dari penyakitnya. Kini hatinya yang justru rapuh diterjang kerinduan kepada istri dan anaknya. Ke­rinduan itu mendorongnya pulang. Tapi, perasaan dirinya yang selalu terancam, buru-buru mencegahnya.
Kelelahan menerbitkan rasa kan­tuknya yang luar biasa. Dengan tidur, ia berharap sedikit terbebas dari tindihan beban persoalan. Atau setidaknya, bisa sebentar istirahat dari kepenatan jiwa. Tapi seserpih kemewahan itu pun gagal diraihnya. Kecemasan itu tetap mengun­titnya. Bahkan dalam mimpinya.
Sureng mendadak disergap sosok yang persis dirinya. Sosok aneh itu menghajar­nya. Tubuhnya rata dengan pukulan. Su­reng tak mampu memberikan perlawanan. Beberapa detik kemudian, badai pukulan itu mereda. Sureng mencoba menggerak­kan mulutnya. Tapi sia-sia. Sosok aneh itu kembali meninju ulu hatinya.
“Dasar rongsokan kamu! Pengecut kamu! Rombengan kamu!” sosok aneh itu menatap nanar.
Sureng tersentak bangun. Keringat di­ngin memandikan tubuhnya. Ia masih menebak maksud sosok aneh yang meng­hajar dirinya, ketika angin malam me­ngabarkan, hari sudah pagi. Dari bukit­-bukit yang jauh, sayup-sayup adzan Subuh menegaskan kabar itu.
SURENG memutuskan untuk pu­lang. Ditempuhnya ribuan kilo me­ter waktu. Menyongsong gumpalan kerinduan istri dan anaknya yang hen­dak dicairkannya menjadi air pembasuh luka-luka jiwa. Ia terobos kantor polisi, disergap pemeriksaan demi pemeriksa­an. Ia terobos pengadilan, disergap pa­sal-pasal tuntutan dan berhadapan de­ngan keputusan yang dingin dan angkuh. Ribuan hari dijalaninya di sel yang sumpek, lewat proses yang sama sekali tidak ia pahami. Hanya wajah hakim yang selalu melekat di benaknya. Hakim itu gemetar membacakan putusan. Ge­metar memukulkan palu keadilan.
Jauh sebelum palu keadilan dipukul­kan, para tukang batu sudah memuk-­mukul palu. Memecah batu. Mengecor beton. Membangun kembali monumen TKW. Berliter-liter keringat menetes. Beratus-ratus juta uang kembali meng­alir untuk proyek mercusuar yang ba­nyak ditentang itu.
MEMASUKI masa bebasnya, Sureng melintas di jalan protokol. Monumen yang berdiri tegar itu ditatapnya lekat-lekat.Wajah tiga perem­puan perkasa itu tersenyum, seperti mengejeknya. Ia merasakan ada yang ber­golak di dadanya, namun kesabaran telah memadamkannya. Sureng menyeret lang­kahnya. Dalam beberapa puluh langkah ia menoleh. Tiga patung wanita itu tetap berdiri di sana. Dalam tatapan Sureng, mendadak wajah tiga patung itu berubah menjadi wajah Pak Bupati, yang selalu tersenyum. Sureng membalas senyuman itu. Meskipun pahit.* Yogyakarta 20 Mei 1997


Kupu-Kupu untuk Bunga
Ratna Indraswari Ibrahim
Kompas, Minggu, 19/4/1998 hlm. 13.

Tepat di saat-saat usia­nya 18 tahun, Kembang selalu mengalami kesa­kitan luar biasa di sekujur tubuhnya. Begitu sakitnya penderitaan itu, sehingga harus meredamnya dengan bentur-benturkan badan di setiap dinding rumahnya.
Anehnya, kesakitan yang luar biasa itu selalu disertai adanya dorongan dari dalam dirinya untuk mengejar-ngejar setiap lelaki yang dijumpainya.
Pada saat seperti itulah dokter keluarga akan segera menyuntikny­a sehingga Kembang bisa tertidur pulas di kamar. Sejak peristiwa itu, Bunga suka menyelin­ap masuk ke kamar Kembang, menunggui mbak-nya sampai terjaga dari tidurnya. Sebab, kalau mbak-nya terbangun, dia pasti akan berkata begini, "Kau mau kuceritai apa, Malinkundang ­atau Cinderella lagi?" Bunga selalu ingin mbak-nya menceritakan lagi tentang Cinderella, sebab setiap kali mbak-nya ­bercerita dibarengi dengan peragaan bagaimana Cinderella dan Pangeran yang sedang jatuh cinta itu berdansa.
Peragaan dansa Cinderella dan Pangeran itu sangat mempesona Bunga. Mbak Kembang persis kupu-kupu cantik yang hinggap dari satu bunga ke bung­a yang lain.
Namun, suatu hari orangtua­nya memasukkan seluruh pa­kaian Kembang ke dalam koper selanjutnya dimasukkan ke bagasi mobil. Dan Kembang dibawa pergi! Besoknya orang­tuanya pulang tidak bersama Kembang lagi!
Mama memberi keterangan sangat singkat, "Mbak-mu Kem­bang harus dirawat di rumah sakit jiwa di Malang, dia akan kembali ke rumah, kalau sudah sembuh dari depresinya!"
Sejak saat itu (sepuluh tahun lampau), Bunga tidak pernah bertemu lagi dengan mbak-nya, Kembang. Namun, dua minggu setelah ulang tahunnya yang ke-21, Bunga mengatakan kepada orangtuanya akan mengunjungi mbak-nya, Kembang, yang minggu depan juga berulang ta­hun ke-28. Mama bilang, "Seta­hun yang lewat, ketika aku me­ngunjunginya dokternya bilang, kalau lagi sehat, mbak-mu suka menyulam. Oleh karena itu, saya akan memberikan kado sepe­rangkat alat sulam. Papa akan memberikan kado CD yang baru, iya kan Pa? Kau sendiri kalau memberi mbak-mu kado harus yang diperlukan saja olehnya."
"Bunga, saya menyangka ke­lompok diskusimu menyuruh kau menjadi pahlawan, bagi ge­landangan, orang miskin dan gi­la. Itu yang sering kau sebut-se­but padaku sebagai kelompok pinggiran yang paling terpuruk dalam masa ini kan? Non, Papa mau tanya sudah berapa jauh pemahamanmu tentang ekonomi, sosial, dan politik. Saya an­jurkan kau menghabiskan libur­an semester ini sesuai dengan rencanamu semula yakni libur­an ke Bali bersama teman-te­manmu.
Perjalanan dari Jakarta ke Malang begitu panjang. Bunga merasa asing di kota yang sudah banyak berubah ini. (Dia dan Mbak dilahirkan dan bermasa kecil di kota ini). Oleh karena itu, ketika Bunga merasa berjalan ke sembarang arah, yang pada akhirnya berdiri di se­buah mal. Bergegas Bunga me­masukinya. Ia merasa harus membeli kado yang istimewa un­tuk Mbak Kembang. Sesung­guhnya, dia sudah mengaduk­-aduk dan menjelajahi seluruh sudut mal ini. Akhirnya matanya tertumbuk pada sepasang sepatu kaca (mirip sepatu Cinderella).
Bunga selalu ingat cerita mbak­-nya tentang Cinderella. Di suatu pesta dansa Cinderella mening­galkan sepatunya. (Tertinggal?). Sebab itu Pangeran mencari pemilik sepatu itu untuk dijadi­kan permaisuri. Saat itu Mbak Kembang selalu bilang dengan telak "Kalau Bunga nanti sudah berusia 21 tahun jangan mening­galkan sepatu ya, agar tidak di­cari oleh Pangeran."
Bunga, tergagap-gagap. Dia tak pernah meninggalkan sepa­tu agar dicari oleh lelaki mana pun. Namun, dia sudah memas­tikan Indralah yang akan men­jadi suaminya. Akhirnya Bunga memutuskan kado yang tepat bagi mbak-nya adalah baju yang bermotifkan kupu-kupu yang sedang menari.
Di dalam taksi yang memba­wanya ke rumah sakit, tiba-tiba Bunga merasakan bayangan mbak-nya berkelebat. Sungguh, orangtuanya tak rnemiliki foto Kembang. Kala para wartawan memuat wawancara dengan pa­panya yang ahli analisa ekonomi itu, foto keluarga yang terpampang di koran cuma dialah seba­gai satu-satunya anak mereka.
Bunga sudah sampai di rumah sakit. Seorang perawat mem­bawanya ke sebuah kamar. Tiba-tiba dia merasa berada di muka cermin yang berdiri di mukanya, "Mbak Kembang yang sangat serupa dengan diri­nya." Bunga berlari dan menci­umnya. "Mbak, saya Bunga adik sampeyan. Selamat ulang tahun Mbak, ini kado dari Papa, Ma­ma, Bude Tin, Tante Nin, Om Nano juga dari saya dan pacar­ku Indra. Saya tadi sudah minta izin dokter akan merayakan ulang tahun Mbak dengan ma­kan di restoran. Buka dong ka­donya Mbak."
Kembang seperti tercenung melihat kado-kado itu dan pelan-pelan dibukanya kado itu satu per satu. Kemudian Kem­bang berteriak, "Mama, Papa dan Indra semua impoten... saya mau pakai bajumu yang kau pakai itu sekarang juga."
"Mbak Kembang, Indralah yang menyemangati saya untuk bertemu dengan sampeyan. Dia yang bilang begini kepada­ku, "Rasa malu karena punya saudara gila adalah persepsi masyarakat. Karenanya, me­ngapa kita harus selalu bersikap seperti anggapan masyarakat yang normatif itu!...
Kembang melihatnya lekat-lekat dan tertawa cekikikan.
Sambil menikmati makanan, Bunga melihat mbak-nya yang tampaknya sehat dan cantik. Bunga merasa perlu bercerita, "Mbak, saya ingat cerita sam­peyan, jangan menaruh sepatu kalau kita sudah berusia 21 tahun, sebab akan dicari oleh sang pangeran untuk dijadikan permaisurinya. Tapi, saya tidak pernah menaruh sepatu! Seka­lipun, saya sudah memutuskan Indralah yang akan jadi ayah dari anak-anakku."
Kembang, melihatnya lekat­-lekat, "Pikirlah dirimu, sendiri nanti sakit perut ... aduh saya pusing. Ada banyak anjing, babi dan kerbau di sini. "
BUNGA merasa perlu me­nanyakan kepada dokter apakah Kembang punya kemajuan setelah dirawat sela­ma sepuluh tahun di sini.
Dokter cuma berkata begini. "Kemajuannya ada, sekalipun dia masih panik kalau lagi haid. Sebaiknya kau coba membawa­nya pulang ke rumah, barang se­bulan, agar bisa bersosialisasi dengan keluargamu. Kau harus­nya bangga dengannya karena pagi ini saya mendapat faks dari organisasi yang memamerkan hasil sulaman Kembang. Mere­ka menganggap sulaman hasil karyanya memiliki nilai seni tinggi. Yah, setiap tahun kami mengirim hasil kerajinan para pasien kami untuk berpameran ke mancanegara. Organisasi ter­sebut memamerkan setiap hasil karya para penyandang cacat mental dari seluruh dunia. Se­bab itu, bagi setiap pasien, kami tidak pernah menyebutnya se­bagai orang gila. Karenanya, ke­mungkinan untuk sembuh se­lalu kami harapkan dari setiap pasien kami. Sekarang, lihatlah kakakmu di ruang senam. Coba­lah berbicara sebanyak-ba­nyaknya agar dia bisa kembali ke lingkungan masyarakat se­cepat-cepatnya."
Bunga melihat perempuan yang sangat langsing itu sedang senam. Kalau saja mereka bisa, tentu sangatlah asyiknya untuk bisa mengobrol kembali dengan Mbak Kembang, seperti dahulu!
Kemudian, ia melihat Mbak menghampiri dan mengajak du­duk di sebuah pohon, "Mbak, saya ingat waktu kita kecil dulu kita bersama ingin tahu sebesar apa bayi semut. Yang kita kete­mukan adalah sepasang kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya. Saya sering ber­pikir Mbak akan seperti kupu­kupu itu suatu hari, yang bisa keluar darikepompongnya."
Mbak Kembang melihatnya dan tersenyum. Dia seperti se­mua perempuan muda yang se­hat dan cantik.
"Mbak, saya akan minta izin Papa, Mama, untuk mengajak sampeyan kembali pulang. Dan saya akan memperkenalkan sampeyan kepada Indra. Mbak pasti suka kepadanya. Selain itu, saya akan berusaha untuk mencarikan orang yang mau memamerkan hasil sulaman Mbak. Saya kira hal seperti ini belum pernah dilakukan oleh organisasi-organisasi sosial di negeri kita. Karena kita sering menganggap orang yang sakit seperti Mbak dan para penyan­dang cacat mental lainnya, tidak punya potensi untuk mengaktu­alitaskan diri di masyarakat."
Kembang melihatnya, dan ke­mudian menangis dengan sa­ngat keras. "Aku mau pulang. Aku kangen sama Papa dan Mama!"
Seperti yang diduga Bunga, Papa dan Mama tidak setuju un­tuk membawa pulang Mbak Kembang, sekalipun cuma sebulan. Papa bilang lewat telepon, "Kita semua sibuk, siapa yang akan menjaga mbak-mu? Apa perawat? Apa tidak sulit men­cari perawat yang mau merawat orang seperti mbak-mu? Bilang pada dokter, jangan main coba­-coba begitu, kalau sudah sem­buh ya sembuh. Apa kau bilang kami tidak mencintainya? Kami menaruhnya di rumah sakit yang mahal dan mewah itu agar dia mendapat perawatan dokter yang terbaik di negeri ini."
Ketika akan berpamitan de­ngan Mbak-nya Bunga tak bisa menahan air mata. Tiba-tiba Kembang memeluknya. "Adik jangan menangis, ini kupu-kupu hidup untukmu. Simpanlah karena ini kenang-kenangan untukmu."
Bunga menangis keras. Dan tiba-tiba Kembang mendorong­nya, "Pulang-pulang sana, pi­kirlah dirimu sendiri. Aku jadi pusing! Awas ada babi, anjing dan keledai."
Bertahun-tahun semen­jak itu, Bunga, Indra dan anaknya berada di negeri ini. Pagi ini, Bunga merasa Indra sulit diajak bersahabat dengan­nya. Oleh karena itu, dia meng­ajak anaknya ke taman kupu­-kupu, tempat kupu-kupu dari daerah tropis singgah dan bermukim di sini.
Di bangku taman dia duduk dan membaca faks yang datang kemarin dari orangtuanya. Mereka mengabarkan Mbak Kem­bang sudah meninggal dunia dan diistirahatkan di dekat rumah sakit itu.
Dalam faks itu Mama juga me­nulis, "Saya kaget; dia mirip ka­mu waktu meninggalnya. Dan setelah upacara penguburan se­lesai kami melihat sepasang kupu-kupu, senantiasa berpu­tar-putar di atas pusaranya. Anakku yang malang itu sudah berbahagia di sisi-Nya. Oleh karena itu, jangan terlampau bersedih dan dipikirkan. Dalam situasi yang seperti ini sebaiknya kau dan Indra cepat-cepat menyelesaikan kuliahmu, agar kita tak kehabisan dana untuk kalian. Lebih baik mari kita doakan bersama agar mbak-mu diterima di sisi-Nya
Tiba-tiba anaknya menarik­narik lengannya, "Mama kupu­kupu itu dari tadi mengitari Mama. Ayo, Ma, kita tangkap. "
Anaknya mencoba menang­kapnya, namun sepasang kupu-­kupu itu terbang dan menjauh yang tampak seperti menari­-nari. Dan tarian itu mirip tarian mbak-nya, Kembang, saat mem­peragakan bagaimana Cin­derella dan Pangeran yang se­dang jatuh cinta berdansa.**