Jumat, 29 Juni 2012

Gubernur dan Bupati: Besar atau Kecil?



50. Gubernur dan Bupati:  Besar atau Kecil?

Jika pertanyaan yang dijadikan sebagai judul rubrik bahasa ini dilontarkan kepada pembaca yang kritis, maka kemungkinan besar orang sulit memberi jawaban yang tepat. Mengapa? Ya, karena pertanyaannya tidak jelas. Orang bisa saja tidak langsung menjawab karena yang dimaksudkan dengan kata besar  dalam pertanyaan itu tidak jelas. Pertanyaan serupa terbuka pada aneka tafsiran karena bercorak ambigu (taksa). Kalau kata besar dan kecil itu mengacu pada pangkat dan jabatan tentu saja bisa dijawab sederhana. Jabatan menjadi gubernur dan bupati itu jelas jabatan yang besar. Kalau besar dan kecil yang dimaksudkan itu berkaitan dengan gaji, tunjangan untuk gubernur dan bupati jelas gaji dan tunjangan gubernur dan bupati itu besar.
Hal yang dipertanyakan dalam konteks rubrik bahasa ini terkait erat dengan kaidah penulisan yang tepat dan baku menurut patokan yang dipersyaratkan dalam EYD. Apa yang dimaksudkan dengan kata ‘besar’ dan ‘kecil’ dalam konteks kebahasaan seperti ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah kita mencermati kutipan (1) s.d. (4) berikut ini:
(1)         Pihak yang berwewenang menginventarisasi, mengatur, aset-aset ke pemerintah Kabupaten Manggarai Barat adalah Gubernur  dan Bupati.
(2)         Jabatan Gubernur dan Bupati merupakan jabatan politis.
(3)         Mantan gubernur NTT Ben Mboi mendukung pembentukan Kabupaten Manggarai Barat.
(4)         Kebijakan ‘tiga batu tungku’ menjadi target bupati Anton Bagul untuk membangun Manggarai.
Kutipan di atas memperlihatkan secara jelas bahwa  yang dipersoalkan adalah bentuk  penulisan kata gubernur dan bupati yang masing-masing diawali dengan huruf kapital atau huruf besar. Persoalannya semakin jelas dan dalam konteks bentuk penulisan ini, kita  harus mengacu pada EYD yang berlaku untuk umum dalam tindak berbahasa khususnya dalam wacana, komunikasi tertulis.
Lampiran EYD yang dicantumkan pada Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1993:381-386) mencantumkan lima belas pedoman penggunaan huruf kapital (besar) dalam bahasa tulis yaitu (a) dipakai sebagai huruf pertama kata pada awal kalimat (b) huruf pertama dalam petikan langsung (c) huruf pertama ungkapan yang berkaitan dengan nama Tuhan, kita suci termasuk kata ganti Tuhan (d) huruf pertama nama gelar kehormatan dan keagamaan  yang dikuti nama orang (e) huruf pertama nama jabatan, pangkat yang diikuti nama orang (f)  huruf pertama unsur nama orang (g) huruf pertama nama bangsa, suku bangsa dan bahasa (h) huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya dan peristiwa sejarah (i) huruf pertama nama geografi (j) huruf pertama nama resmi (dan setiap bentuk ulang sempuma yang terdapat pada nama resmi) badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi (k) huruf pertama semua kata di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata partikel, seperti di, ke, dari, untuk, dan, yang, yang tidak terletak pada posisi awal (l) huruf pertama singkatan nama, gelar, dan sapaan (m) huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti: bapak, ibu, sau­dara, kakak, adik, dan paman yang dipakai sebagai kata ganti orang pertama atau kedua atau sapaan (n) huruf pertama kata ganti Anda.
Menghadapi pertanyaan berkaitan dengan judul rubrik ini dan mencermati kutipan atau contoh kalimat (1) s.d. (4) kita dapat melihat kemungkinnannya pada kelima belas kemungkinan kaidah penggunaan huruf kapital. Kaidah butir (e) dapat kita gunakan untuk menjelaskan masalah dalam uraian ini. Kaidah itu berbunyi: Huruf kapital dipakai untuk huruf pertama nama jabatan, pangkat yang diikuti nama orang.
Kata ‘gubernur’ dan kata ‘bupati’ dikategorikan sebagai pangkat dan jabatan. Kutipan kalimat (1) Pihak yang berwewenang menginventarisasi, mengatur, aset-aset ke pemerintah Kabupaten Manggarai Barat adalah Gubernur  dan Bupati  dan kutipan (2) Jabatan Gubernur dan Bupati merupakan jabatan politis, memuat kata ‘gubernur’ dan ‘bupati’ tanpa diikuti nama orang yang menjabat gubernur atau bupati. Dengan demikian, penulisan kata ‘gubernur’ dan ‘bupati’ pada kutipan (1) dan (2) itu salah.
Sebaliknya, pada kutipan (3) Mantan gubernur NTT Ben Mboi mendukung pembentukan Kabupaten Manggarai Barat dan kutipan (4) Kebijakan ‘tiga batu tungku’ menjadi target bupati Anton Bagul untuk membangun Manggarai, disebutkan nama orang yang menjabat gubernur atau bupati masing-masing Ben Mboi dan Anton Bagul. Kutipan (3) dan (4) ini kata ‘gubernur’ dan kata ‘bupati’ tidak ditulis dengan huruf kapital. Hal ini jelas menyalahi kaidah yang ada. Dengan demikian penulisan kata ‘gubernur’ dan kata ‘bupati’ pada kutipan (3) dan (4) itu salah.
Keempat kutipan (1) s.d. (4) di atas harus dibakukan menurut kaidah penulisan dan penggunaan huruf kapital yang benar menjadi seperti berikut ini:
(1)   Pihak yang berwewenang menginventarisasi, mengatur, aset-aset ke pemerintah Kabupaten Manggarai Barat adalah gubernur  dan bupati.
(2)   Jabatan gubernur dan bupati merupakan jabatan politis.
(3)   Mantan Gubernur NTT Ben Mboi mendukung pembentukan Kabupaten Manggarai Barat.
(4)   Kebijakan ‘tiga batu tungku’ menjadi target Bupati Anton Bagul untuk membangun Manggarai.**

Selasa, 26 Juni 2012

Akomodir, inventarisir belum diakomodasi?



49. Akomodir, inventarisir
belum diakomodasi?

Membuat kesalahan dan kekeliruan, kata orang, sangat manusiawi. Itu artinya, kesalahan dan kekeliruan bisa dilakukan semua orang. Ungkapan ini, jelas bukan satu bentuk argumentasi pembenaran terhadap semua kekeliruan dan kesalahan manusia. Ungkapan seperti ini hanya relevan dan diterima kalau frekuensi kesalahan dan kekeliruan itu secara kuantitatif berskala kecil bahkan lebih banyak unsur kebetulan dan ketidaksengajaannya.
 Dalam kehidupan yang biasa, manusia sering bertindak kurang cermat, kurang teliti. Akibatnya, terjadilah kasus pencampuradukkan segala hal yang   membingungkan orang lain. Ketidakcermatan dan ketidaktelitian yang terkesan semberono seperti ini terjadi juga dalam aktivitas berkomunikasi; dalam tindakan berbahasa. Kecermatan ketelitian juga membahasakan kualitas diri seseorang.
Takaran atau parameter kesemberonoan seseorang dapat dilihat secara nyata melalui tindak berbahasa, dalam hal ini, pemakaian bahasa yang dipertautkan dengan standar berbahasa yang umum. Berbahasa Indonesia baik yang berbentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan memiliki karakteristik yang berbeda. Khusus dalam bahasa tulis, bahasawan dituntut untuk mematuhi kaidah standar bahasa tulis. Di sini, pengetahuan tentang pedoman EYD,  pedoman penulisan istilah, kaidah penulisan unsur serapan kata dari bahasa asing harus mendapat perhatian ekstra.
Ketidaktaatasasan itu nyata dalam kalimat yang dijadikan judul ulasan ini. ”Akomodir, inventarisir belum diakomodasi? Apa sebenarnya yang dipermasalahkan di sini? Perhatikanlah saja lima contoh kalimat  berikut yang dikutip dari Harian Umum Pos Kupang (Selasa,1/4/2003) dan Dian (Minggu, 12/1/2003)
(1)   Golkar hanya akomodir figur yang daftar ke Panmil.
(2)   Golkar akan menginventarisir dan memberikan pembobotan pada masing-masing figur yang diwacanakan itu untuk kemudian dimajukan sebagai bakal calon.
(3)   Dalam penjaringan dan penyaringan Golkar berupaya mengakomodir aspirasi masyarakat
(4)   Yan Sehandi mengemukakan bahwa yang berwewenang untuk menginventarisasi, mengatur aset-aset ke pemerintah Kabupaten Manggarai Barat adalah Gubernur NTT dan Bupati Manggarai.
(5)   Perda Telah Mengakomodir Kepentingan Rakyat Lembata.
Pada kelima contoh kalimat di atas kita temukan berturut-turut kata akomodir, menginventarisir, mengakomodir, menginventarisasi, mengakomodir (yang sengaja dicetak miring). Bentuk pertama akomodir pada kalimat (1), dan  mengakomodir pada kalimat (3) dan (5) merupakan varian dari bentuk kata dasar akomodasi setelah mengalami proses morfologis (afiksisasi).  Pada bentuk kedua: kalimat (2) dan (4) kita temukan kata menginventarisir dan menginventarisasi.  Kedua bentuk ini juga merupakan varian  dari bentuk dasar inventaris setelah mengalami proses morfologis yang sama.
Proses morfologis pada bentuk pertama kelihatannya paralel karena semua kata bentukan itu berakhir dengan {-ir} sedangkan pada bentuk kedua tidak ditemukan bentuk varian yang bercorak paralel karena kalimat (2) berakhir dengan {-ir} (ini sama dengan pada bentuk pertama) sedangkan kalimat (4) berakhir dengan {-isasi}.
Bentuk akomodasi dan inventarisasi adalah bentuk yang diserap dari bahasa Belanda masing accomodatie dan Inventarisatie. Menurut Pedoman Umum Pembentukan Istilah khususnya butir 6.7 tentang penyesuaian Imbuhan Asing (akhiran) ditetapkan antara lain akhiran {-(a)tie} dalam bahasa Belanda sejajar dengan akhiran {-(a)tion} dalam bahasa Inggris. Dua bentuk akhiran {-(a)tie} dan {-(a)tion} ini jika diserap ke dalam kata bahasa Indonesia, maka  harus mengambil bentuk {-(a)si}. Contoh bentuk Actie, publicatie, productie (Bld) paralel dengan bentuk action, publication, production (Ing) dan paralel dengan aksi, publikasi, produksi (Ind) (Bdk.TBBI hlm.451-453).
Jika kita mengacu pada pedoman seperti ini, maka bentuk accomodatie dan Inventarisatie yang diambil dari kata bahasa Belanda ini harus disejajarkan dengan bentuk akomodasi dan inventarisasi dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa kata dengan akhiran {-ir} bukanlah kata yang  memenuhi tuntutan kaidah kebahasaan yang berlaku. Lalu, apa kesimpulan yang harus kita turunkan? Jawabannya sederhana. Kalau kaidahnya tidak mengizinkan penggunaan akhiran {-ir} , maka kalimat (1), (2), (3), dan (5) di atas harus dibenahi menjadi kalimat (a) s.d. (d) berikut:
(a)   Golkar hanya akomodasi figur yang daftar ke Panmil.
(b)   Golkar akan menginventarisasi dan memberikan pembobotan pada masing-masing figur yang diwacanakan itu untuk kemudian dimajukan sebagai bakal calon.
(c)    Dalam penjaringan dan penyaringan Golkar berupaya mengakomodasi  aspirasi masyarakat
(d)   Perda Telah Mengakomodasi Kepentingan Rakyat Lembata.

Di hari Minggu ia tiba pada rumah Paman



48. Di hari Minggu ia tiba

pada rumah Paman


Judul rubrik ini kami ambil dari penggalan kalimat yang ditulis  seorang siswa kelas I SLTP. Sebagai pembaca, kita tentu memahami maksud yang hendak disampaikan siswa itu melalui kalimat tersebut. Lebih dari itu, kita mungkin menerima kalimat seperti ini, karena melihat tingkat pendidikan penulis atau penuturnya yang diyakini belum mengetahui banyak masalah tata bahasa apalagi kaidah kebahasaan yang standar. 
Tetapi, bagaimana halnya kalau bentuk-bentuk seperti ini muncul dalam wacana jurnalistik yang nota bene mengemban fungsi edukatif termasuk  pendidikan dari aspek berbahasa? Ada begitu banyak contoh yang mirip dengan bentuk seperti pada judul di atas yang dapat diangkat dalam ulasan ini antara lain seperti pada kalimat berikut ini:
(1)   Juventus akan bertemu Barcelona untuk pertama kalinya di kompetisi Eropa… (Surya Flores, Senin, 24 Maret 2003 hlm.12)
(2)   Tapi di dua final berturut-turut tersebut gagal memenuhi ambisi… (Idem)
(3)   Pada musim kompetisi 1999-2000 Barceleona berpeluang  merebut piala Eropa (Idem)
(4)   Di barisan belakang ada nama-nama beken lainnya… (Flores Pos, Sabtu 4 Mei 2002 hlm.12)
Kalau kita mencermati judul rubrik ini dan membandingkannya dengan kalimat (1) sampai dengan kalimat (4), maka kita sebenarnya diperhadapkan pada masalah pilihan bentuk yang benar, pemakaian yang benar kata depan di dan kata depan pada. Sepintas, kedua kata depan itu tampaknya bermakna sama tetapi kalau dipertautkan dengan konsep berbahasa baku maka diperlukan pembedaan secara lebih cermat.
Pembaca pasti menangkap makna suratan dan makna niatan kalimat (1) dan (2) tetapi pemakaian kata depan (preposisi) di pada dua kalimat itu perlu dipersoalkan. Bentuk di sebagai preposisi dikelompokkan sebagai preposisi monomorfemis. Preposisi monomorfemis adalah preposisi yang hanya terdiri  dari satu morfem sehingga tidak dapat diperkecil lagi. Contoh lain preposisi jenis ini adalah bagi, untuk, buat, guna, dari,dengan, karena,sebab, ke, oleh, pada, tentang, dan sejak (bdk. TBBI, 1998 hlm. 230-231).
Deretan preposisi ini dapat dikelompokkan fungsinya (a) penanda hubungan peruntukan (bagi, untuk, buat, guna); (b) penanda hubungan asal,arah milik (dari); (c) penanda hubungan kesertaan, cara, alat (dengan); (d) penanda hubungan sebab (sebab, karena); (e) penanda hubungan arah (ke); (f) penanda hubungan pelaku (oleh); (g) penanda hubungan tempat, waktu (pada); (h) penanda hubungan ikhwal (tentang); (i) penanda hubungan urutan waktu (sejak).
Preposisi di menandai hubungan tempat berada(nya) susuatu yang lebih kenal sebagai keterangan tempat dan biasanya diikuti kata berkategori benda (nomina). Penggunaan preposisi di pada kalimat (1) tidak menandai hubungan yang menyatakan tempat melainkan menandai hubungan yang menyatakan waktu. Hal ini diperjelas kalau dibandingkan dengan kalimat (3) yang menggunakan preposisi pada sebagai penanda hubungan yang menyatakan waktu. Pemakaian kata musim [pada musim kompetisi dalam kalimat (3)] jelas menyatakan hubungan tentang waktu.
Lalu, pemakaian kata depan di   kalimat (4) dan pada kalimat (3) secara tepat menandai hubungan yang menyatakan tempat yang diperjelas dengan kata ‘belakang’ dan menandai hubungan waktu yang diperjelas dengan kata ‘musim’.
Setelah kita memahami uraian yang sangat teknis seperti ini, kita harus kembali pada hal praktis untuk melihat kembali kebenaran dan kebakuan pemakaian dua kata depan atau preposisi pada judul ulasan dalam rubrik ini. Kalau kita, sebagai pembaca, memiliki latar belakang pengetahuan bahasa yang memadai, maka kita akan secara langsung merasakan kejanggalan atau ketidakbakuan penggunaan preposisi di dan pada dalam judul itu. Bagi siswa setingkat kelas I SLTP,  judul itu dianggapnya bukan hanya baik tetapi lebih dari itu dinilai sebagai bentuk yang benar.
Tentu lain halnya, kalau kita sungguh-sungguh mencermati ulasan tadi. Kita akan segera menilai penggunaan preposisi di dan pada dalam judul ini tidak baik dan tidak benar. Argementasinya amat sederhana. Hari Minggu itu adalah keterangan waktu yang menuntut kehadiran preposisi pada sebagai unsur penandanya. Sementara itu, rumah sebagai nomina mengharuskan hadirnya preposisi di yang memungkinkan kata rumah itu menjadi penanda hubungan keterangan tempat.
Tugas kita yang terakhir tidak lain membenahi judul ulasan ini serta contoh kalimat (1) dan kalimat (2) di atas.  Yang kita lakukan tidak lain menggunakan preposisi di dan pada  secara tepat sesuai fungsi yang dipersyaratkan oleh masing-masing preposisi itu. Kita harus mengubah judul “*Di hari Minggu ia tiba pada rumah paman” menjadi “Pada hari Minggu ia tiba di rumah paman”*

Kesalahan Pebruari sampai Nopember



47.Kesalahan Pebruari sampai Nopember

Ketika pengasuh rubrik bahasa ini merayakan hari ulang tahun (HUT) kelahirannya , beberapa lembar kartu ucapan selamat diterimanya dengan senang hati. Kartu-kartu ucapan selamat itu bervariasi dalam bentuk, warna dan ucapan di dalamnya. Salah satu hal yang menarik dari kartu ucapan selamat itu adalah variasi penulisan nama bulan seperti pada kalimat (1) dan (2) berikut:
(1)   Saya Saudaramu mengucapkan selamat ulang tahun ke-36 pada tanggal 8 Pebruari 2003.
(2)   Mohon maaf karena saya tak dapat hadir pada HUT-mu tanggal 8 Februari 2003.
Memperhatikan variasi penulisan nama bulan ini, kami teringat akan variasi lain yang pernah tertulis pada  beberapa surat   untuk Seminari Kisol dari dinas atau instansi pemerintah. Variasi itu terlihat pada contoh (3), (4), (5) berikut:
(3)   Ruteng, 4 November 2002
(4)   Pertemuan dimaksud akan berlangsung hari Kamis 27 Nopember 2002
(5)   Kegiatan kami berlangsung mulai dari Pebruari hingga bulan Nopember tahun 2002
Berdasarkan contoh (1) s.d. (5) di atas kita temukan variasi penggunaan bentuk Februari-Pebruari dan November-Nopember. Penggunaan bentuk yang bervariasi atau bentuk kembar seperti ini dalam konteks komunikasi biasa tentu saja tidak perlu dan tidak harus dipersoalkan. Konteks tutur, konteks wacana yang menggunakan bentuk-bentuk itu jelas tidak menimbulkan salah pengertian atau membawa tafsiran bercorak taksa (ambigu) karena baik bentuk Februari maupun Pebruari; bentuk November maupun Nopember memiliki titik acuan (referen) yang sama yakni nama bulan ke-2 dan bulan ke-11 dalam tarikh Masehi.
Variasi pemakaian bentuk-bentuk seperti pada contoh di atas akan dipermasalahkan kalau kita dihadapkan pada persoalan bentuk yang baku dan tidak baku menurut kaidah Ejaan Yang Disempurnakan. Jika kita berbicara dalam konteks kaidah, maka kita dihadapkan pada pilihan antara bentuk yang benar, baku dan bentuk yang salah atau yang tidak baku. Meskipun acuan (referen) bentuk  yang dipilih itu sama, dalam kaitan dengan kecermatan dan kepatuhan pada kaidah standar berbahasa, pemakai bahasa (bahasawan) harus taat pada norma, kaidah sekaligus memaksanya memilih bentuk yang bukan hanya baik tetapi benar. Kecermatan memilih bentuk yang tepat juga menggambarkan kepekaan, kecintaan bahasawan terhadap bahasa Indoensia. Kaidah dan pedoman EYD dibuat karena ada penyimpangan dan sekaligus untuk mengatasi penyimpangan itu.
Lalu bagaimana kita menjelaskan variasi pemakaian bentuk-bentuk seperti pada contoh di atas? Manakah bentuk yang baku dan mana bentuk yang tidak baku? Dengan kata lain, manakah bentuk yang baik dan mana bentuk yang baik sekaligus benar? Untuk menjawab masalah seperti ini kita harus merunut asal-usul kata atau bentuk-bentuk itu.
Februari  dalam penanggalan Masehi merupakan nama bulan yang ke-2. Semula, dalam penanggalan Romawi Kuno, bulan Februari merupakan bulan ke-12 karena sistem penanggalannya dihitung mulai dengan bulan Maret. Tahun diawali dengan misim semi. Kata Februari (Inggris February) semula  diambil dari kata Februare yang berarti membersihkan. Bulan Februari  dalam konteks Romawi Kuno  dijadikan bulan pembaharuan dan pembersihan diri.
November yang kini (dalam tarikh Masehi) menempati urutan nama bulan ke-11, dalam penanggalan Romawi kuno menempati urutan ke-9. Hal ini mengacu pada perhitungan angka dalam bahasa Latin (Novem artinya sembilan).  Hal ini cocok dengan perhitungan bulan yang dimulai dengan bulan Maret. Nama ini juga dipakai, dipertahankan dengan latar belakang sejarah untuk menghormati Tiberius.
Jika kita memperhatikan argumentasi dan penjelasan di atas, maka penggunaan dan penyerapan kata itu ke dalam bahasa Indonesia adalah Februari (penggantian /y/ dengan /i/ jika diserap dari bahasa Inggris [February] bukan Pebruari, bukan Pebruary.  Sementara itu, penggunaan dan penyerapan bentuk November diserap secara utuh bukan Nopember (karena /v/ pada kata itu tidak dapat diganti dengan /p/).
Jadi contoh pemakaian bentuk Pebruari pada kalimat (1) dan (5) salah. Demikian juga pemakaian bentuk Nopember pada kalimat (4) dan (5) salah. Pemakaian bentuk Februari dan November yang benar hanya pada contoh (2) dan (3). Februari dan November merupakan bentuk baku sedangkan Pebruari dan Nopember merupakan bentuk tidak baku.**

Antara ‘Anda’ dan ‘anda’ ada ‘Saudara’



46. Antara ‘Anda’ dan ‘anda’ ada  ‘Saudara’

Pada lembaran soal ujian akhir  beberapa mata pelajaran terbaca beberapa kalimat pentunjuk mengerjakan soal seperti kalimat di bawah ini.
(a)      Pilihlah dan silangilah huruf pada jawaban yang anda anggap paling benar!
(b)      Pilihlah dan  silanglah jawaban yang paling benar menurut Anda!
(c)      Jika saudara ingin memperbaiki jawaban Anda yang salah, maka Saudara cukup memberikan dua garis datar sejajar pada jawaban itu!
(d)     Periksalah pekerjaan anda sebelum diserahkan kepada pengawas saudara.
Menghadapi keempat kalimat di atas, seorang peserta ujian memahami maksud kalimat petunjuk tersebut. Keempat kalimat itu dilihat dari aspek tujuan komunikasi, dikategorikan baik karena dirasakan cukup komunikatif. Artinya, maksud pihak pemberi petunjuk dapat dipahami siswa yang mengikuti ujian. 
Dilihat dari aspek  ejaan dan kaidah kebakuan berbahasa terutama masalah penulisan, keempat kalimat di atas bukanlah kalimat yang benar. Ketidakbenaran atau ketidakbakuan kalimat-kalimat itu terjadi karena ketidaktaatasasan soal penulisan huruf kecil dan huruf kapital. Pada kalimat itu, terbaca penulisan kata ‘anda’; ‘Anda’; ‘saudara’; Saudara seolah-olah bervariasi. Padahal, kalau dikaitkan dengan acuan atau referensi kata-kata itu sama yaitu kata ganti orang diri kedua. Orang mempertanyakan perihal bentuk penulisan manakah yang benar sesuai kaidah EYD? Apakah huruf a pada kata anda itu harus ditulis hurf kapital atau huruf kecil?
Terbitnya Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempumakan (EYD) edisi kedua dengan revisinya pada tahun 1988 memberikan jawaban dan penjelasan tentang masalah ini. Pedoman tersebut pertama kali dimuat sebagai lampiran pada Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pedoman EYD edisi kedua itu dalam Bab II tentang Pemakaian Huruf Kapital. Pada butir A point 14 secara eksplisit ditegaskan bahwa Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda (Moeliono, 1988: 386) disertai dua contoh: (1) Sudahkah Anda tahu?; (2) Surat Anda telah kami terima.
Bagi mereka yang berpegang teguh pada EYD ini, jelas pemakaian huruf kapital pada kata Anda itu tidak dipersoalkan lagi. Tetapi, bagi orang yang bergelut dengan masalah bahasa penetapan itu harus didasarkan pada penjelasan dan pertimbangan yang rasional dan memadai secara ilmiah.
Untuk pemakai bahasa (bahasawan) kebanyakan,  sudah mengetahui bahwa kata ganti diri, yang mengacu kepada manusia atau yang dianggap manusia, seperti saya, kami, mereka, dan dia pasti ditulis dengan huruf kecil kecuali bila terdapat pada awal kalimat dan yang mengacu pada Tuhan ditulis dengan huruf kapital.  Bandingkan kalimat (f) yang merujuk kepada Tuhan.
(e)      Mereka memberi kami kenangan berharga
(f)       Pendeta berdoa; “Terpujilah Engkau Tuhan langit dan bumi”.
Pedoman EYD perihal pemakaian huruf kapital, pada butir A point 14 terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa kata-kata perkera­batan seperti bapak, ibu, saudara, adik, dan kakak bila digunakan dalam penyapaan dan acuan maka huruf awalnya harus ditulis dengan huruf kapital. Bandingkan penulisan kata bapak  (sebagai acuan) pada kalimat (g) dan sebagai bentuk sapaan pada kalimat (h) serta sebagai istilah kekerabatan atau perkerabatan pada kalimat (i) berikut:  
(g)      Pak John berkata, "Adik-adik sekalian, Bapak harap kalian taat pada aturan yang ada."
(h)     Siswa bertanya kepada gurunya, "Apakah Bapak mau menolong saya?"
(i)        Aleks menjaga bapaknya di rumah sakit.
Orang umumnya dapat mengerti penulisan kata bapak pada ketiga kalimat di atas. Persoalan timbul berkenaan dengan penulisan kata anda  akibat ketidakjelasan status kata anda itu apakah termasuk kata ganti atau kata perkerabatan.
Lalu bagaimana kita berargumentasi atas ketentuan EYD di atas? Kita harus memberikan penjelasan lain yang berkaitan dengan tindak komunikasi yang berkaitan dengan masalah sosiolinguistik. Kita semua sepakat bahwa kata anda  dapat menggantikan kata kamu atau engkau. Pemilihan bentuk engkau atau kamu dalam tindak berbahasa memerlukan kepekaan atau citra berbahasa karena berkaitan erat dengan sosiolinguistik. Secara sosial orang hanya dapat menggunakan kata kamu dan engkau terhadap orang yang dianggap setaraf atau lebih rendah kedudukan, usianya. Sebagai perbandingan, kita mengambil contoh dalam bahasa asing. Kata anda, engkau, kamu dalam bahasa Inggris hanya dapat terwakilkan dalam satu bentuk yaitu kata ‘you’.  Kata 'you’ dapat digunakan terhadap siapa saja, entah kepada ayah, kepada adik, kepada presiden, maupun kepada petani, nelayan, siswa tanpa pembedaan berdasarkan status. Kata anda juga diharapkan dapat digunakan sebagai kata ganti orang kedua tunggal senilai dengan kata you bahasa Inggris itu. Kalau kita mau berpegang prinsip bahwa kata anda adalah kata ganti diri yang paralel/sekategori dengan bentuk kamu, engkau, dan you), maka penulisannya tetap harus dengan huruf kecil, kalau merujuk kepada manusia.  Kalau merujuk kepada Tuhan harus ditulis dengan huruf kapital.
Berkaitan dengan masalah citra bahasa bentuk anda, engkau, kamu, saudara tidak bisa disamaratakan pemakaiannya seperti pada bahasa Inggris. Penggunaan bentuk itu secara implisit menuntut adanya sikap hormat dari penutur terhadap mitratutur (wacana lisan) antara penulis dan pembaca (wacana tulisan). Dan, cara yang paling mudah untuk menyatakan makna niatan rasa hormat itu adalah dengan mengistimewakan penulisan kata anda dan saudara itu dengan huruf kapital seperti pada contoh (j) dan (k) berikut:
(j)        Surat permohonan Anda telah kami terima
(k)      Lamaran Anda kami terima dan untuk itu Saudara diminta menghadap pimpinan.
Kata Anda dan Saudara pada kalimat (j) dan (k) dapat diganti dengan kata kamu (huruf awal kecil) sehingga kita dapatkan kalimat (l) dan (m) berikut:
(l)        Surat permohonan kamu telah kami terima
(m)   Lamaran kamu kami terima dan untuk itu kamu diminta menghadap pimpinan.
Mempertimbangkan aspek tatakerama (sopan-santun) berbahasa, bentuk (j) dan (k) terasa lebih bercitarasa terhormat dibandingkan dengan kalimat (l) dan (m).
Setelah mengikuti uraian di atas tentu hal yang  menjadi pegangan bagi kita adalah melihat aturan ejaan itu hanyalah sebuah kovensi grafis, kesepakatan dalam tulis-menulis. EYD adalah konvensi yang harus kita patuhi. Termasuk kaidah penulisan kata anda yang harus dimulai dengan huruf kapital menjadi Anda. 

Ketangkap karena Ketawa



45. Ketangkap karena Ketawa


Kita, mungkin pernah mendengar atau membaca kalimat-kalimat yang mirip dengan contoh berikut ini.
(a)   Alimun ketangkap basah ketika mencuri sepeda motor di tempat parkir.
(b)   Imam Samudra tertangkap polisi di pelabuhan Merak.
(c)    Gus Dur dengan mudahnya memancing ketawa banyak orang.
(d)   Anekdot yang lucu biasanya membuat orang tertawa terbahak-bahak.
Dalam kalimat-kalimat di atas kita temukan kata ketangkap, tertangkap, ketawa, dan tertawa. Pasangan bentuk ketangkap dan tertangkap dapat diduga muncul sebagai hasil analogi pasangan bentuk ketawa dan tertawa. Bentuk analogi lain terhadap bentuk ketawa dan tertawa ini adalah kepotong-terpotong; kebawa-terbawa; kesentuh-tersentuh; kebaca-terbaca, dan sebagainya. Pasangan-pasangan itu mengikuti pola yang sama yakni kata berimbuhan ke- dan ter-. Imbuhan ke- bermakna menyatakan hal yang sifatnya spontan (misalnya bentuk ketawa) dan imbuhan ter-  bermakna (1) menyatakan hal yang sifatnya spontan (misalnya: teringat, terkejut (2) menyatakan aspek perfektif, sesuatu ‘sudah di-’  (tertulis, terkenal, terhunus, terbunuh) (3) menyatakan kesanggupan  atau ‘dapat di-’ (terangkat, terlihat, terbaca) (4) menyatakan tempat (terpojok, terpinggir, tertulang) (5) menyatakan tak sengaja (terbawa, terinjak, terpakai).
Masalah yang perlu mendapat penjelasan perihal penggunaan kata bentukan dengan imbuhan ke- dan ter- adalah soal keberterimaan atau kelaziman penggunaan bentuk-bentuk itu. Keberterimaan yang dimaksud berpautan dengan ketaatasasan pada kaidah pembetukan kata yang pada gilirannya menyentuh tataran sinkasis (penggunaannya dalam kalimat) dan semantik (makna). Untuk itu kita perlu memahami terlebih dahulu penggunaan bentuk ketawa dan tertawa sebagai dasar pemebentukan analogi untuk kata lain yang disebutkan di atas.
Bentuk ‘ketawa’ dan ‘tertawa’ adalah dua bentuk yang bersaing dalam penggunaannya. Dua bentuk itu, sama-sama dikategorikan sebagai kata bentukan atau kata jadian karena kedua kata itu dibentuk atau dijadikan melalui proses morfologis (afiksisasi ke- dan ter-) pada bentuk dasar ‘tawa’. Selanjutnya, kata ketawa dan tertawa menjadi dasar pembentukan kata menertawakan, menertawai, ditertawakan, dan ditertawai; mengetawakan, mengetawai, diketawakan, dan diketawai.
Kalau diamati, bentuk dasar tawa itu hanya terdapat pada tertawa dan ketawa. Meskipun ada bentukan tertawa dan ketawa tidak ada bentukan *menawakan, *menawai, *ditawakan, dan *ditawai.  Berbeda misalnya dengan kata dasar desak yang dapat dibentuk menjadi mendesak, mendesakkan, mendesaki, didesak, terdesak, dan sebagainya.  Kalau tertawa dan ketawa dapat dibentuk menjadi menertawakan dan mengetawakan, menertawai dan mengetawai, tidak demikian halnya dengan terdesak.  Tidak ada bentuk menerdesakkan atau menerdesaki'.
Keunikan bentuk menertawakan dan ditertawakan ialah adanya afiks meN- atau di- yang ditambahkan pada kata yang sudah berafiks ter-.  Afiks meN-, ber-, di-, ter-, biasanya tidak terdapat dalam satu kata bentukan (kata telah mendapat imbuhan seperti kata tertawa sebagai kata bentukan dari ter- dan tawa).  Kata menertawakan dan dimengerti dalam bahasa Indonesia  dikategorikan sebagai bentukan yang unik karena afiks meN-, dan ter-, dan di- dan meN- yang menurut kaidah tidak dibenarkan untuk muncul bersama itu, dalam kedua bentukan itu justru hadir bersama-sama.  Hal itu terjadi karena orang tidak lagi menyadari bahwa kata ‘tertawa’ itu kata bentukan yang berasal dari tawa yang mendapat afiks ter-, dan kata ‘mengerti’ tidak disadari sebagai kata bentukan yang berasal dari bentuk erti (arti) ditambah awalan meN-. Orang memperlakukan kata tertawa dan mengerti sebagai kata dasar sehingga muncullah bentuk menertawakan, menertawai, ditertawakan, ditertawai; dan dimengerti atau dimengertikan.
Lalu manakah yang betul, tertawa atau ketawa?  Menertawai, menertawakan, ditertawai, ditertawakan; atau mengetawai, mengetawakan, diketawai, diketawakan?  Lalu bagaimana dengan penggunaan kata berafiks ke-seperti dalam pasangan kata kepotong-terpotong; kebawa-terbawa; kesentuh-tersentuh; kebaca-terbaca tersebut di atas?
Untuk menjawab persoalan ini kita harus memahami konsep interferensi dalam berbahasa. Interferensi (Interference) adalah penggunaan unsur bahasa (struktur, pola, dialek) oleh bahasawan yang bilingual secara individual ke dalam bahasa lainnya. Contoh, seorang pemakai bahasa Indonesia belajar bahasa Inggris ketika diminta untuk menerjemahkan kalimat “Ayahku seorang guru” ia menerjemahkannya menjadi “*My father a teacher”. Pada bentuk terjemahannya salah karena pola dan struktur bahasa Indonesia diterapkan pada pola dan struktur bahasa Inggris. Bahasa Inggris menuntuk kehadiran kata kerja to be (is). Sebaliknya, seorang Inggris yang baru belajar bahasa Indonesia, ketika harus menerjemahkan kalimat bahasa Inggris “My father is a teacher” ke dalam bahasa Indonesia muncul kalimat “*Ayahku adalah seorang guru”. Pemakaian kata adalah di sini salah karena bahasa Indonesia tidak menuntut kehadiran kata kerja to be (is). Kesalahan seperti inilah yang disebut sebagai interferensi bahasa. Interferensi bahasa dapat disederhanakan dengan istilah kekacauan berbahasa atau saling pengaruh bahasa pada diri penutur atau pengguna sebuah bahasa.
Masalah bentuk kata berafiks ke- dan ter- pada contoh di atas dapat dijelaskan dalam konteks interferensi ini. Karena pengaruh bahasa Jawa, awalan ter- sering diganti dengan ke-, terpukul menjadi kepukul, terpotong menjadi kepotong, tertangkap menjadi ketangkap.  Untuk menyatakan pengertian pasif, tidak disengaja, atau spontan, tiba-tiba, dalam bahasa Indonesia digunakan afiks ter-. Karena itu, bentuk yang benar itu terpukul bukan kepukul, tertangkap bukan ketangkap; terpotong bukan kepotong. Jadi, ketawa, mengetawakan, mengetawai, diketawakan, diketawai tidak benar. Yang benar adalah bentuk tertawa, menertawakan, menertawai, ditertawakan, dan ditertawai. Kalau kita membuat kalimat dengan menggunakan bentuk ke- yang seharusnya menggunakan bentuk ter-, maka itu artinya kita tertangkap karena melakukan kesalahan dan bukan tidak mungkin kita ditertawakan.**